Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi
Tanya :
Ustadz, bolehkah membuat akun palsu di dunia maya? (Rendra Rais, bumi Allah)
Jawab :
Membuat akun palsu pada dasarnya adalah membuat akun bukan dengan nama sebenarnya. Misalnya orang bernama A tapi di dunia maya membuat akun dengan nama B.
Hukumnya secara syar’i bergantung pada faktanya (manath), sbb :
Pertama, hukumnya makruh jika nama yang digunakan nama samaran (pseudoname/ nick name), yang bertujuan untuk menyembunyikan nama asli, dan nama itu bukan nama sehari-hari. Misalkan orang bernama asli “Yono”, sehari-hari dipanggil “Yono”, tapi di Facebook akunnya “Simbah Maridjon”.
Dalilnya hadits riwayat Jabir bin Abdillah RA sbb :
عن جابر بن عبد الله رضي الله عنه قال أَتَيْتُ النَّبيَّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ في دَيْنٍ كانَ علَى أبِي، فَدَقَقْتُ البَابَ، فَقالَ: مَن ذَا؟ فَقُلتُ: أنَا، فَقالَ: أنَا أنَا! كَأنَّهُ كَرِهَهَا.
Dari Jabir bin Abdillah RA, dia berkata, “Aku pernah datang kepada Nabi SAW untuk menyelesaikan urusan utang ayahku kepada Nabi SAW. Lalu aku mengetuk pintu. Kemudian Nabi SAW bertanya,”Siapa ini?” Aku menjawab,”Saya.” Nabi SAW berkata,”Saya, saya,” seakan-akan beliau membenci jawabanku itu.” (HR Bukhari no 5896).
Imam Nawawi dalam Riyadhus Shalihin berdalil dengan hadits di atas sebagai dasar makruhnya seseorang menjawab “saya”, yakni tidak menyebut nama, ketika seseorang bertanya siapa nama kita. Maka dari itu, menurut kami, dalil ini dapat juga dijadikan dalil makruhnya seseorang yang tidak menyebut nama aslinya di media sosial.
Kedua, hukumnya mubah dan tidak apa-apa, jika nama yang digunakan adalah nama baru (new name), yakni bukan nama asli tetapi sudah menjadi nama baru dan digunakan sebagai nama sehari-hari. Misalkan orang bernama asli “Sigit”, tapi di Facebook namanya “Shiddiq”, dan nama ini sudah menjadi nama barunya dan digunakan sehari-hari.
Dalilnya hadits-hadits yang menunjukkan kebolehan bahkan kesunnahan (istihbab) mengganti nama menjadi nama lain yang maknanya lebih baik. Imam Nawawi telah menyebutkan hadits-hadits tersebut dalam kitabnya Al Adzkaar pada bab yang berjudul Istihbaab Taghyiir Al Ism Ila Ahsan Minhu (Kesunnahan Mengganti Nama Dengan Nama Yang Lebih Baik). (Imam Nawawi, Al Adzkaar An Nawawiyyah, hlm. 249-250).
Dari Ibnu Umar RA bahwa Nabi SAW telah mengganti nama perempuan bernama ‘Aashiyah (artinya perempuan yang bermaksiat), menjadi nama baru yaitu Jamiilah (artinya perempuan yang cantik). (HR Muslim no 2139).
Dari Sa’id bin Al Musayyab RA dia berkata :
أنَّ أبَاهُ جَاءَ إلى النَّبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم فَقالَ: ما اسْمُكَ؟ قالَ: حَزْنٌ، قالَ: أنْتَ سَهْلٌ. قالَ: لا أُغَيِّرُ اسْمًا سَمَّانِيهِ أبِي. قالَ ابنُ المُسَيِّبِ: فَما زَالَتِ الحُزُونَةُ فِينَا بَعْدُ!
“Bahwa ayahnya (bernama Hazn, artinya kesedihan) pernah datang kepada Nabi SAW lalu Nabi SAW bertanya,”Namamu siapa?” Maka Hazn menjawab,”Namaku Hazn (kesedihan).” Nabi SAW bersabda,”Gantilah namamu menjadi Sahl (artinya kemudahan)!” Hazn pun menjawab,”Aku tidak akan mengganti nama yang telah diberikan ayahku kepadaku.” Lalu Sa’id bin Al Musayyab RA berkomentar,”Maka sejak itu kesedihan selalu terjadi pada keluarga kami.” (HR Bukhari no 5836).
Dalil-dalil di atas menunjukkan kebolehan bahkan kesunnahan untuk mengganti nama seseorang dengan nama lain yang maknanya lebih baik. Maka jika seseorang di Facebook menggunakan nama lain yang bukan nama aslinya, tapi nama itu sudah menjadi nama baru baginya dan menjadi panggilannya sehari-hari, hukumnya boleh dan bahkan sunnah jika nama baru itu maknanya lebih baik dari yang lama.
Ketiga, hukumnya haram jika nama itu adalah nama atau identitas orang lain (false name), baik orang itu sudah meninggal atau pun masih hidup. Hal itu tidak boleh karena termasuk kedustaan (al kadzib) atau penipuan (al ghisy) yang telah diharamkan oleh syara’.
Misalkan membuat akun dengan nama Taqiyuddin An-Nabhani. Jelas ini tidak boleh, karena pemilik nama itu sudah meninggal tahun 1977 (semoga Allah merahmatinya). Atau membuat akun dengan nama Ismail Yusanto. Itu juga tidak boleh, karena pemilik nama itu sama sekali tidak pernah membuat akun di Facebook.
Jadi membuat akun palsu dalam arti menggunakan nama orang lain, baik yang sudah meninggal maupun masih hidup, haram hukumnya, karena merupakan kedustaan (al kadzib) atau penipuan (al ghisy) yang telah diharamkan Islam. Sabda Rasulullah SAW :
مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّى
”Barangsiapa menipu, maka dia bukan golongan aku.” (HR Bukhari no 164).
Dari uraian di atas, ada 3 (tiga) hukum syara’ untuk akun dengan nama palsu sbb :
Pertama, hukumnya makruh jika nama yang digunakan adalah nama samaran (pseudoname/ nick name), yang bertujuan untuk menyembunyikan nama asli, dan nama itu bukan nama sehari-hari.
Kedua, hukumnya mubah (boleh) dan tidak apa-apa, jika nama yang digunakan adalah nama baru (new name), yakni bukan nama asli tetapi sudah menjadi nama baru dan digunakan sebagai nama sehari-hari.
Ketiga, hukumnya haram jika nama itu adalah nama atau identitas orang lain (false name), baik orang itu sudah meninggal atau pun masih hidup.
Dari tiga hukum syara’ di atas, hukum manakah yang kiranya dapat diterapkan untuk akun Fufufafa, yang dihebohkan oleh netizen di di dunia maya akhir-akhir ini (awal s/d pertengahan September 2024)?
Jawabnya, hukum asalnya, yang berlaku untuk akun Fufufafa adalah hukum yang pertama, yaitu makruh, ketika nama palsu yang digunakan adalah nama samaran (pseudoname/ nick name), yang bertujuan untuk menyembunyikan nama asli, dan nama itu bukan nama sehari-hari.
Namun hukum asal makruh itu sesungguhnya telah berubah menjadi haram, karena telah terbukti akun Fufufafa tersebut digunakan oleh pemiliknya untuk hal-hal yang haram, misalnya :
- Menghina orang lain.
- Mengucapkan kata-kata cabul/mesum.
- Melecehkan wanita dengan menyebut organ-organ tubuhnya yang sensitif.
- Merendahkan ras orang lain (rasis), misal menyebut orang Papua itu berkulit hitam.
- Mengata-ngatai orang lain (Jawa : misuh), misalnya menyebut kata AS*. Wallahu a’lam
Bandung, 13 September 2024
Muhammad Shiddiq Al-Jawi