Home Fiqih Fiqih Muamalah HUKUM MEMBUAT AKAD TERTULIS

HUKUM MEMBUAT AKAD TERTULIS

18

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi

 

Tanya :

Ustadz, apa hukumnya membuat akad secara tertulis, misalnya akad jual beli, akad utang piutang, akad syirkah, dsb? (Hamba Allah).

 

Jawab :

Hukum asalnya adalah mandub (sunnah), tidak wajib, membuat akad tertulis (al-’aqd al-maktūb) untuk berbagai akad-akad muamalah, seperti akad jual-beli, akad utang-piutang, akad syirkah, dan sebagainya. (Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah,14/137).

Istilah para fuqoha untuk pembuatan akad tertulis ini adalah kitābat al-’uqūd (penulisan akad) atau tautsīq al-uqūd bi al-kitābah (pengukuhan akad-akad dengan tulisan).

Dalil yang menunjukkan sunnahnya tautsīq al-uqūd bi al-kitābah (pengukuhan akad-akad dengan tulisan), adalah firman Allah SWT :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS Al-Baqarah [2] : 282).

Syekh Wahbah Zuhaili menafsirkan ayat tersebut dengan berkata :

فَاكْتُبُوهُ نَدْباً اسْتِيْثاَقاً لِلدَّيْنِ وَدَفْعاً لِلنِّزاَعِ

“Ayat yang berbunyi (فَاكْتُبُوهُ), yang artinya “hendaklah kamu menuliskannya [muamalah tidak tunai] sebagai suatu perbuatan mandub (sunnah) (نَدْباً), untuk mendokumentasikan utang dan untuk menjauhkan persengketaan.” (Syekh Wahbah Al-Zuhaili, Al-Tafsīr Al-Munīr, 3/109).

Dalil lainnya yang menunjukkan sunnahnya tautsīq al-uqūd bi al-kitābah (pengukuhan akad-akad dengan tulisan), adalah hadits sbb :

عن عبد المجيد بن وهب قال : قال لِي الْعَدَّاءُ بْنُ خَالِدِ بْنِ هَوْذَةَ : أَلَا أُقْرِئُكَ كِتَابًا كَتَبَهُ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ قَالَ : قُلْتُ : بَلَى . فَأَخْرَجَ لِي كِتَابًا : هَذَا مَا اشْتَرَى الْعَدَّاءُ بْنُ خَالِدِ بْنِ هَوْذَةَ مِنْ مُحَمَّدٍ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، اشْتَرَى مِنْهُ عَبْدًا أَوْ أَمَةً ، لَا دَاءَ ، وَلَا غَائِلَةَ ، وَلَا خِبْثَةَ ، بَيْعَ الْمُسْلِمِ الْمُسْلِمَ. رواه الترمذي حديث رقم : (1216) وحسنه الألباني في ” صحيح الترمذي “.

Dari ‘Abdul Majid bin Wahab, dia berkata,”Telah berkata kepadaku Al-’Adda` bin Khalid bin Haudzah,’Maukah aku bacakan kepadamu satu surat yang ditulis oleh Rasulullah SAW untukku?’ Aku berkata,”Ya mau.” Lalu dia mengeluarkan untukku sebuah surat (yang berbunyi),’Ini adalah apa yang dibeli oleh Al-’Adda` bin Khalid bin Haudzah dari Muhammad SAW, dia membeli darinya SAW seorang budak laki-laki atau budak perempuan, yang bebas dari penyakit, yang tidak buruk dan tidak jelek, jual beli dari muslim kepada muslim.” (HR. Al-Tirmidzi, 1216, hadits hasan menurut  Syekh Nashiruddin Al-Albani, dalam Shahīh Al-Tirmidzī).

Syekh Musthofa Az-Zarqa’ menjelaskan bahwa hukum asal shīghat akad (yang terdiri dari ijab dan kabul itu) adalah dengan ucapan, tetapi ucapan dapat diganti dengan tulisan, sebagaimana penjelasan beliau dalam kitabnya Al-Madkhal Al-Fiqhī Al-’Ām sebagai berikut :

اَلنُّطْقُ بِالِّلساَنِ لَيْسَ طَرِيْقاً حَتْمِيَّةً لِظُهُوْرِاْلإِراَدَةِ الْعَقْدِيَّةِ بِصُوْرَةٍ جاَزِمَةٍ فَي النَّظَرِ الْفِقْهِيِّ ، بَلِ النُّطْقُ هُوَ اْلأَصْلُ فِي الْبَياَنِ ، وَلَكِنْ قَدْ تَقُوْمُ مَقاَمَهُ كُلُّ وَسِيْلَةٍ أُخْرَى اخْتِياَرِيَّةً أَوْ اضْطِرَارِيَّةً مِمَّا يُمْكِنُ أَنْ تُعَبِّرَ عَنِ اْلإِرَادَةِ الْجاَزِمَةِ تَعْبِيْراً كاَفِياً مُفِيْدًا . وَعَلىَ هَذَا أَقَرَّ الْفُقَهاَءُ أَنَّهُ يَقُوْمُ مَقاَمَ النُّطْقِ فِي اْلإِيْجاَبِ وَالْقَبُوْلِ إِحْدَى وَسَائِلِ ثَلاَثٍ أُخْرَى ، وَهِيَ : اَلْكِتاَبَةُ ، وَإِشاَرَةُ اْلأَخْرَسِ , وَالتَّعاَطِيِّ

“Ucapan dengan lidah bukanlah cara yang diharuskan untuk mengekspresikan kehendak dalam bentuk yang tegas menurut pandangan fiqih, melainkan ucapan dengan lidah itu adalah hukum asalnya dalam memberikan penjelasan, akan tetapi ucapan itu dapat digantikan oleh setiap sarana lain, baik yang sifatnya opsional maupun keterpaksaan, yang dapat mengekspresikan kehendak yang tegas dengan ungkapan yang cukup dan memberikan pengertian. Maka dari itu, para fuqoha` mengakui bahwa ucapan dalam ijab dan kabul dapat digantikan dengan salah satu dari tiga sarana lain, yaitu : tulisan, isyarat bagi orang bisu, dan ta’āthī (saling memberi).” (Musthofā Az-Zarqā’, Al-Madkhal Al-Fiqhī Al-’Ām, hlm. 411).

Berdasarkan penjelasan di atas, jelaslah bahwa hukum asal pembuatan akad tertulis (kitābat al-’uqud) (penulisan akad) adalah mandub (sunnah), tidak wajib.

Namun dalam kitab Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, disebutkan :

وَقَدْ يَكُوْنُ التَّوْثِيْقُ وَاجِباً

Tautsīq al-uqūd (pengukuhan akad-akad dengan tulisan, dsb) hukumnya bisa menjadi wajib.”(Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah,14/137).

Dalil bahwa pembuatan akad tertulis (kitābat al-’uqud) (penulisan akad) hukumnya dapat menjadi wajib, antara lain 2 (dua) dalil sebagai berikut;

Pertama, jika kewajiban para pihak untuk menjaga hak-hak (shiyānat al-huqūq) masing-masing tidak dapat dilaksanakan, kecuali dengan penulisan akad. Kaidah fiqih yang terkait dengan masalah ini menyebutkan :

مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ

Mā lā yatimmul wājibu illā bihi fahuwa wājib. Artinya,“Jika suatu kewajiban tidak terlaksana kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya.“ (Muhammad Shidqī Al-Burnū, Mausū’ah Al-Qawā’id Al-Fiqhiyyah, 9/218).

 Kedua, jika diduga kuat akan timbul mudharat (bahaya) kalau penulisan akad tidak dilakukan, misalnya terjadi persengketaan (munāza’āt/khusūmāt), keragu-raguan, dsb, maka penulisan akad menjadi wajib untuk menghilangkan mudharat itu, utamanya untuk menghilangkan persengketaan (qath’u al-munāzā’at). Kaidah fiqih yang terkait masalah ini menyebutkan :

اَلضَّرَرُ يُزاَلُ

Al-dharar yuzālu. Artinya,“Segala macam bentuk mudharat (bahaya) wajib untuk dihilangkan.” (Muhammad Shidqī Al-Burnū, Mausū’ah Al-Qawā’id Al-Fiqhiyyah, 6/261, Musthofā Ahmad Az-Zarqā`, Syarah Al-Qawā’id Al-Fiqhiyyah, hlm.179).

 Kesimpulannya, berdasarkan dua dalil tersebut, maka jelaslah bahwa pembuatan akad tertulis (kitābat al-’uqūd) (penulisan akad) yang hukum asalnya sunnah (mandub), dapat berubah menjadi wajib, karena dua alasan utama, yaitu :

Pertama, demi untuk menjaga hak masing-masing (shiyānatul huqūq), yang hukumnya wajib.

 Kedua, demi untuk menghilangkan segala bentuk dharar/mudharat (bahaya), utamanya demi untuk menghindari persengketaan (qath’ul munāza’āt). (Lihat : Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah,14/135-137).

Perlu kami beri catatan penting, bahwa pembuatan akad tertulis hukumnya dapat menjadi haram, jika pembuatan akad tertulis itu menjadi sarana kepada yang haram, misalnya akad utang piutang ribawi (berbunga), atau akad jual beli segala sesuatu yang diharamkan (misalnya jual beli narkoba, babi, khamr, dsb), atau segala macam akad-akad haram lainnya, sesuai kaidah fiqih :

اَلْوَسِيْلَةُ اِلىَ الْحَراَمِ مُحَرَّمَةٌ

Al-wasīlah ilā al-harām muharramah. Artinya, segala sarana atau perantaraan menuju yang haram, hukumnya diharamkan. (Muhammad Shidqī Al-Burnū, Mausū’ah Al-Qawā’id Al-Fiqhiyyah, VIII/775). Wallāhu a’lam bi al-shawāb.

 

Yogyakarta, 03 Oktober 2024

 Muhammad Shiddīq Al-Jāwī