
Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi | Pakar Fiqih Kontemporer
Tanya:
Ustadz Shididiq, kalau batik bermotif burung (makhluk hidup) salah satu contohnya foto ini bagaimana hukumnya mubah atau haram? Karena saya perhatikan memang banyak sekali baju hem batik pria yang motifnya rata-rata burung. (Hamba Allah, Yogyakarta).
Jawab :
Sebelumnya perlu kami berikan koreksi (tash-hīh) bahwa yang diharamkan dalam Islam bukanlah menggambar “makhluk hidup” melainkan menggambar “makhluk bernyawa”, karena menggambar pohon (al-syajar) hukumnya boleh dalam Islam, meskipun kita tahu bahwa pohon itu adalah makhluk hidup, hanya saja pohon tidak bernyawa. Dalilnya adalah perkataan Ibnu Abbas RA, yang berfatwa kepada seorang pemuda pelukis yang bertanya kepadanya mengenai hukum menggambar. Ibnu ‘Abbas RA berkata kepadanya :
إنْ كُنْتَ لاَ بُدَّ فَاعِلًا، فَاصْنَعِ الشَّجَرَ وَمَا لاَ نَفْسَ لَهُ
“Jika kamu memang harus menggambar, maka gambarlah pohon, dan apa saja yang tidak bernyawa.” (HR. Al-Bukhari, no. 2225; Muslim, no. 2110; Ahmad, no. 2810, dan Ibnu Hibban, no. 6939).
Jadi, yang diharamkan dalam Islam itu bukanlah menggambar “makhluk hidup” seperti pohon, melainkan “makhluk bernyawa”, seperti manusia dan hewan. Dalam Bahasa Arab “makhluk bernyawa” disebut dengan istilah “mā fīhi rūh” (apa-apa yang di dalamnya ada nyawanya), menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani, dalam kitabnya yang berjudul Al-Syakhshiyyah Al-Islāmiyyah. (Juz II, hlm. 350).
Istilah lainnya adalah “dzawāt al-arwāh” (yang mempunyai nyawa). Contoh penggunaan istilah ini adalah judul kitab Syekh Muqbil bin Hādi Al-Wādi’ī, Hukmu Tashwīr Dzawāt Al-Arwāh. Judul kitab ini dapat diartikan “Hukum Menggambar Makhluk Bernyawa”.
Adapun hukum memakai batik dengan motif burung, maka hukum syara’ yang diterapkan untuk fakta tersebut bukanlah hukum menggambar (tashwīr), melainkan hukum meletakkan gambar atau patung (wadh’u al-shūrah/iqtinā`u al-shūrah) yang sudah ada. Hal ini karena pemakai baju batik itu bukanlah orang yang menggambar motif pada batik, melainkan sekedar memakai batik bergambar yang sudah ada, yang digambar oleh orang lain.
Mengenai hukum meletakkan gambar atau patung (wadh’u al-shūrah/iqtinā`u al-shūrah) yang sudah ada, menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani, rahimahullāh, dalam kitabnya Al-Syakhshiyyah Al-Islāmiyyah, Juz II, hlm. 355-356; hukumnya terdapat rincian (tafshīl) sebagai berikut :
Pertama, jika seseorang meletakkan gambar (shūrah), baik berupa gambar yang tidak mempunyai bayangan (shūrah lā zhilla lahā) (yaitu gambar dua dimensi) maupun yang mempunyai bayangan (tiga dimensi), yakni yang berbentuk patung (al-timtsāl), hukumnya secara tegas adalah haram dalam Islam, jika diletakkan di tempat yang disiapkan untuk ibadah, seperti di masjid atau musholla. Imam Taqiyuddin An-Nabhani berkata :
أَمَّا إِقْتِنَاءُ الصُّوَرِ الَّتِي صُوِّرَتْ فَإِنَّهُ إِنْ كَانَ فِي مَكَانٍ مُعَدٍّ لِلْعِبَادَةِ كَمَسْجِدٍ وَمُصَلًّى وَنَحْوِهِمَا فَإِنَّهُ حَرَامٌ قَطْعًا ، لِمَا وَرَدَ فِي حَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا رَأَى الصُّوَرَ فِي الْبَيْتِ- يَعْنِي الْكَعْبَةَ- لَمْ يَدْخُلْ وَأَمَرَ بِهَا فَمُحِيَتْ. رواه البخاري و مسلم
“Adapun meletakkan gambar/patung (al-shuwar), maka sesungguhnya jika dia diletakkan di tempat yang disiapkan untuk ibadah, seperti masjid atau musholla atau yang semacamnya, maka hukumnya haram secara tegas, berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas RA, bahwa Nabi SAW ketika melihat gambar-gambar di dalam Ka’bah, Nabi SAW tidak mau masuk, dan beliau memerintahkan agar gambar-gambar itu untuk dihapus.” (HR. Al-Bukhari 4288 dan Muslim 1331). (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islāmiyyah, Juz II, hlm. 354).
Kedua, adapun jika seseorang meletakkan gambar/patung (shurah), di tempat yang tidak disiapkan untuk ibadah, seperti di rumah-rumah, kantor-kantor, sekolah-sekolah, dan sebagainya, maka hukumnya dirinci lagi sebagai berikut :
[1] jika gambarnya tidak mempunyai bayangan (yakni gambar dua dimensi), misal gambar makhluk bernyawa pada selembar kain, hukumnya dirinci lagi sebagai berikut; jika diletakkan di tempat yang terhormat (fīhi ta’zhīm lahā) hukumnya makruh, tidak haram; misalnya kain bergambar makhluk bernyawa, yang dijadikan gorden, sedangkan jika diletakkan di tempat yang tidak terhormat, hukumnya boleh (jā`iz) tidak apa-apa, misal kain bergambar makhluk bernyawa yang dijadikan sarung bantal, sprei, atau keset.
Dalil bahwa hukumnya makruh tidak haram meletakkan gambar dua dimensi di tempat yang terhormat, adalah karena walau ada hadits yang melarang meletakkan/memasang gambar di dalam rumah, tetapi larangan itu tidak disertai qarinah (petunjuk) yang tegas (jazim), maka hukumnya makruh, bukan haram.
Dalil yang melarang adalah hadits Nabi SAW dari Abu Thalhah RA, bahwasanya Nabi SAW telah bersabda :
لَا تَدْخُلُ المَلَائِكَةُ بَيْتًا فيه كَلْبٌ ولَا صُورَةٌ
“Para malaikat tidak akan masuk ke dalam sebuah rumah yang di dalamnya ada anjing atau gambar/patung (makhluq bernyawa).” (HR. Al-Bukhari 3322).
Dalam satu riwayat menurut Imam Muslim terdapat perkecualian hukum dari Nabi SAW :
إلَّا رَقْمًا في ثَوْبٍ
“Kecuali gambar (makhluk bernyawa) yang terdapat pada sebuah pakaian.” (HR. Muslim, no. 2106).
Imam Taqiyuddin An-Nabhani menjelaskan perkecualian hukum dalam hadits tersebut dengan berkata :
فَهَذَا يَدُلُّ عَلَى اسْتِثْنَاءِ الصُّورَةِ الْمُرَقَّمَةِ فِي ثَوْبٍ، وَمَفْهُومُهُ أَنَّ الْمَلَائِكَةَ تَدْخُلُ الْبَيْتَ الَّذِي فِيهِ تِمْثَالٌ مُرَقَّمٌ فِي ثَوْبٍ أَيْ صُورَةٌ مَرْسُومَةٌ رَسْمًا
.
“Jadi hadits ini menunjukkan perkecualian untuk gambar yang terdapat pada suatu pakaian. Mafhum (mukhalafah)-nya (pengertian implisit sebaliknya), para malaikat akan masuk ke dalam rumah yang di dalamnya terdapat patung (makhluk bernyawa) yang tergambar dalam sebuah pakaian, yaitu gambar yang dilukis (pada pakaian).” (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islāmiyyah, Juz II, hlm. 355).
Ini penjelasan untuk hukum makruhnya meletakkan gambar yang tidak mempunyai bayangan (yakni gambar dua dimensi), jika diletakkan di tempat yang terhormat (fīhi ta’zhīm lahā).
Adapun jika gambar diletakkan di tempat yang tidak terhormat (laysa fīhi ta’zhīm lahā), misalnya kain bergambar makhluk bernyawa yang dijadikan sarung bantal, sprei, atau keset, hukumnya adalah boleh (jā`iz) tidak apa-apa (lā syai’a fīhi).
Dalilnya kebolehannya menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani ada dua, yaitu :
Pertama, hadits dari ‘A`isyah RA bahwa Rasulullah SAW telah mencabut kain penutup yang ada gambarnya ketika posisinya terpasang, kemudian setelah mencabutnya, beliau duduk/bersandar pada kain itu (yang ada gambarnya berupa makhluk bernyawa).
Hadits ‘A`isyah RA tersebut selengkapnya adalah sebagai berikut:
عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِيْنَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أنَّهَا كَانَتِ اتَّخَذَتْ علَى سَهْوَةٍ لَهَا سِتْرًا فيه تَمَاثِيلُ، فَهَتَكَهُ النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فَاتَّخَذَتْ منه نُمْرُقَتَيْنِ، فَكَانَتَا في البَيْتِ يَجْلِسُ عَلَيْهِمَا
Dari ‘Aisyah RA, bahwa beliau telah memasang kain penutup pada rak, yang di dalam kain itu ada gambar-gambar (makhluk bernyawa). Maka Nabi SAW kemudian mencabut kain itu, lalu ‘Aisyah RA membuat dari kain itu dua bantal kecil, maka kedua bantal kecil itu ada di rumah. Nabi SAW duduk di atasnya.” (HR Al-Bukhari 2479; Muslim 2107).
Kedua, hadits dari Abu Hurairah RA, bahwa malaikat Jibril AS memerintahkan kepada Nabi SAW beberapa hal di antaranya :
ومُرْ بالسترِ فليُقطعْ ، فليُجعلْ منه وسادتيْنِ منبوذتيْنِ تُوطآنِ
“Dan perintahkan (olehmu Muhammad) untuk kain penutup (yang ada gambar makluk bernyawanya) itu agar dipotong, lalu darinya dijadikan dua bantal yang dijadikan sandaran.”
Hadits itu selengkapnya, dari Abu Hurairah RA, adalah sebagai berikut :
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَتَانِيْ جِبْرِيْلُ عَلَيْهِ السَّلامُ فَقَالَ لِيْ : أَتَيْتُكَ الَبَارِحَةَ فَلَمْ يَمْنَعْنِيْ أَنَ أَكُوْنَ دَخَلْتُ إِلاَّ أنَّهُ كَانَ عَلىَ الْبَابِ تَمَاثِيْلُ . وَكاَنَ فِي الْبَيْتِ قِرَامُ سترٍ فِيْهِ تَمَاثِيْلُ ، وَكَانَ فِي الْبَيْتِ كَلْبٌ ، فَمُرْ بِرَأسِ التِّمْثَالِ الَّذِيْ فِي الْبَيْتِ يُقْطَعُ ، فَيَصِيْرُ كَهَيْئَةِ الشَّجَرَةِ ، ومُرْ بِالستْرِ فَلْيُقطعْ ، فَلْيُجْعَلْ مِنْهُ وِسَادَتَيْْنِ مَنْبُوْذَتَيْْنِ تُوْطَآنِ ، وَمُرْ ِبالْكَلْبِ فَليُخْرَجْ فَفَعَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dari Abu Huraiarah RA, bahwa Rasulullah SAW telah bersabda,“Malaikat Jibril AS telah datang kepadaku seraya berkata,’Aku datang kepadamu semalam, dan tidaklah menghalangiku untuk masuk kecuali karena di depan pintu ada patung-patung, ada tirai yang bergambar (makhluk bernyawa), dan ada anjing di rumah. Maka hendaklah dipotong kepala patung yang ada di rumah sehingga bentuknya menjadi seperti bentuk pohon, dan hendaklah tirai tersebut dipotong kemudian dijadikan dua bantal yang dijadikan sandaran, dan hendaknya anjing tersebut dikeluarkan, kemudian Rasulullah SAW melakukannya.” (HR. Abu Dawud 4158; Al-Tirmidzi 2806).
Hadits-hadits inilah yang menjadi dalil bahwa boleh (jā`iz) tidak apa-apa (lā syai’a fīhi) hukumnya meletakkan gambar (makhluk bernyawa) di tempat yang tidak terhormat (laysa fīhi ta’zhīm lahā), misalnya dijadikan sarung bantal, sprei, atau keset, dan yang semisalnya. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islāmiyyah, Juz II, hlm. 355).
[2] jika gambarnya mempunyai bayangan (yakni berupa patung), jika diletakkan di rumah-rumah, kantor-kantor, dsb, hukumnya adalah haram, berdasarkan hadits Nabi SAW yang secara umum menerangkan bahwa para malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang ada patung (timtsāl)-nya. Rasulullah SAW telah bersabda :
لاَ تَدْخُلُ المَلائِكَةُ بَيْتًا فِيْهِ كَلْبٌ، وَلاَ صُوْرَةُ تَمَاثِيْلَ
“Para malaikat tidak akan masuk ke dalam sebuah rumah yang ada anjingnya atau ada patung-patungnya.” (HR. Al-Bukhari, no. 3225).
Berdasarkan penjelasan ini, maka meletakkan patung di rumah, kantor, sekolah, kampus, hotel, dsb, hukumnya adalah haram dalam agama Islam. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islāmiyyah, Juz II, hlm. 355-356).
Kesimpulannya, dari penjelasan di atas, bagaimanakah jawaban untuk pertanyaan di atas, bolehkah memakai kain batik yang ada gambarnya berupa gambar makhluk bernyawa? Jawabannya adalah : boleh (ja`iz) atau tidak mengapa. Mengapa? Karena terdapat perkecualian untuk gambar makhluk bernyawa (dua dimensi) yang diletakkan di tempat terhormat. Hukum asalnya adalah makruh, tidak haram, kecuali jika gambar itu terdapat dalam pakaian, maka hukumnya tidak makruh, atau dengan kata lain, hukumnya dibolehkan secara syariah.
Jadi pada dasarnya memang terdapat dalil kemakruhan yang melarang meletakkan gambar dua dimensi di tempat yang terhormat, sesuai sabda Nabi SAW :
لَا تَدْخُلُ المَلَائِكَةُ بَيْتًا فيه كَلْبٌ ولَا صُورَةٌ
“Para malaikat tidak akan masuk ke dalam sebuah rumah yang di dalamnya ada anjing atau gambar/patung (makhluq bernyawa).” (HR. Al-Bukhari 3322).
Namun kemudian terdapat perkecualian untuk hukum makruh ini, yaitu hukumnya boleh, tidak makruh, jika gambar makhluk bernyawa itu terdapat pada baju, sesuai sabda Nabi SAW :
إلَّا رَقْمًا في ثَوْبٍ
“Kecuali gambar (makhluk bernyawa) yang terdapat pada sebuah pakaian.” (HR. Muslim, no. 2106). Wallāhu a’lam.
Yogyakata, 24 Juli 2025 Muhammad Shiddiq Al-Jawi