Tanya :
Ustadz, bolehkah menjualbelikan emas secara kredit? Mohon penjelasannya. (Rasyid S., Yogyakarta).
Jawab :
Menjualbelikan emas secara kredit hukumnya haram. Karena emas termasuk salah satu barang ribawi yang jika dijualbelikan disyaratkan wajib dilakukan secara kontan (yadan bi yadin), yakni terjadi serah terima (al-taqâbudh) di majelis akad. Dengan kata lain, menjualbelikan emas tidak boleh dilakukan secara utang, baik secara bertempo (al-nasî`ah) maupun secara kredit (at–taqsîth).
Pendapat ini merupakan pendapat jumhur ulama, meski sebagian ulama mengklaim pendapat ini merupakan ijmâ’ (kesepakatan) di kalangan ulama tanpa ada khilâf (perbedaan pendapat), bahwa emas tidak boleh dijualbelikan kecuali secara kontan (yadan biyadin). Adanya ijmâ’ ini telah diriwayatkan antara lain oleh Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani (Fathul Bârî, Juz III, hlm. 380), Imam Nawawi (Syarah Al-Nawawî ‘Alâ Shahîh Muslim, Juz XI, hlm. 10), Imam Ibnu Abdil Bar (Al-Kâfî fî Fiqhi Ahl Al-Madînah, hlm. 302), dan Imam Ibnu Hubairah (Al-Ifshâh, Juz I, hlm. 212).
Pendapat jumhur ini pula yang dinilai râjih (lebih kuat) oleh Syekh ‘Athâ’ Abû Rasytah, hafizhahullâh, yang menegaskan,”Membeli emas dengan uang secara utang tidak boleh secara mutlak, baik uang itu uang emas, maupun uang kertas (al-awrâq al-naqdiyyah, fiat money), sama saja apakah utang itu seluruhnya adalah utang dengan pembayaran tertunda, ataukah utang yang dibayar secara angsuran, yaitu dibayar sebagian lebih dulu di muka lalu sisanya dibayar secara angsuran…” (‘Athâ’ Abû Rasytah, Jawâb Su’âl Haulâ Al-Ashnâf Al-Ribâwiyyah Al-Sittah, 21 Muharram 1437/3 Nopember 2015).
Dalil keharamannya antara lain sabda Rasulullah SAW,”Emas ditukarkan dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum (al-burru bi al-burri), jewawut dengan jewawut (al-sya’îr bi al-sya’îr), kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus sama takarannya (mitslan bi mitslin sawâ`an bi sawâ`in) dan harus dilakukan dengan kontan (yadan bi yadin). Dan jika berbeda jenis-jenisnya, maka juallah sesukamu asalkan dilakukan dengan kontan (yadan bi yadin).” (HR Muslim, no. 1587).
Syekh ‘Atha Abu Rasytah menjelaskan hadits tersebut dengan berkata,“Nash tersebut jelas bahwa ketika yang dipertukarkan dari benda-benda ribawi itu berbeda jenisnya, maka jual beli itu laksanakan sesuka kamu, yaitu tidak disyaratkan sama takarannya / sama beratnya, tetapi disyaratkan kontan (taqâbudh).” (‘Athâ’ Abû Rasytah, Jawâb Su’âl Haulâ Al-Ashnâf Al-Ribâwiyyah Al-Sittah, 21 Muharram 1437/3 Nopember 2015).
Jadi, boleh hukumnya menukar dua benda ribawi yang berbeda jenisnya, seperti gandum dengan emas, atau jewawut dengan perak, atau emas dengan kurma, asalkan dilakukan dengan kontan (taqâbudh). Nah, posisi uang kertas saat ini (al-awrâq al-naqdiyyah, fiat money) dihukumi sama dengan emas dan perak, karena terdapat kesamaan ‘illat pada keduanya sebagai mata uang dan ukuran jasa. Maka membeli emas dengan uang kertas saat ini, sama hukumnya dengan membeli emas dengan uang emas, atau membeli emas dengan uang perak, yang pada dua kondisi ini wajib dilakukan dengan kontan (taqâbudh). (‘Athâ’ Abû Rasytah, Jawâb Su’âl Haulâ Al-Ashnâf Al-Ribâwiyyah Al-Sittah, 21 Muharram 1437/3 Nopember 2015; Ali Ahmad As-Sâlûs, Mausû’ah Al-Qadhâyâ Al-Fiqhiyyah Al-Mu’âshirah wa Al-Iqtishâd Al-Islâmi, Qatar : Dâr al-Tsaqâfah, cetakan ke-9, 2006, hlm. 331).
Dengan demikian, menjualbelikan emas secara kredit atau angsuran, berarti telah melanggar persyaratan tersebut, yaitu harus terjadi secara kontan (taqâbudh), yakni serah terima di majelis akad. Maka menjualbelikan emas secara kredit atau angsuran, hukumnya secara syar’i adalah haram, karena terjadi riba dalam akad ini, yakni riba fadhl. Demikianlah pendapat yang râjih (lebih kuat) yang menjadi pendapat jumhur ulama, yang mengharamkan jual beli emas secara tidak tunai. Wallahu a’lam.