Home Afkar HAKIKAT HIDUP MENURUT ISLAM

HAKIKAT HIDUP MENURUT ISLAM

375

Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi

Mukadimah
Seorang muslim sudah seharusnya memahami hakikat hidupnya di dunia: Dari mana ia berasal, untuk apa hidup dan bagaimana dia harus menjalani hidupnya, serta kemana setelah mati? Sudah sewajarnya bila setiap muslim memahami hal ini. Pemahaman akan hakikat hidup sangatlah penting, oleh karena ia akan menentukan corak atau gaya hidup seseorang. Saking pentingnya persoalan ini, sampai mungkin bisa dikatakan, janganlah kita hidup sebelum memahami apa sebenarnya hakikat hidup kita itu.

Tapi tidak sedikit muslim yang tidak memahami, bahkan kehilangan makna hidupnya yang hakiki ini. Ada yang terhanyut oleh pola hidup sekuler, ada pula yang acuh tak acuh menjalani hidupnya. Padahal, memahami hakikat hidup bukan hal yang sukar bagi seorang muslim. Allah SWT telah memberikan bekal dan potensi pada diri manusia, berupa daya pikir (akal) dan fitrah yang melekat pada manusia sejak dia diciptakan oleh Allah SWT. Allah SWT telah memberikan panca-indera, sebagai salah satu unsur penting untuk proses berpikir.

“Dan Allah mengeluarkan kalian dari perut ibu-ibu kalian dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kalian pendengaran, penglihatan, dan hati, agar kalian bersyukur.” (QS An Nahl : 78)

Semua bekal ini semestinya bisa digunakan dengan sebaik-baiknya, agar pada gilirannya ia dapat memahami hakikat hidupnya di dunia.

Kegagalan manusia dalam memahami hakikat hidupnya, tiada lain karena kelalaian dan keengganannya menggunakan bekal-bekal tersebut, sehingga arah dan orientasi hidupnya menjadi tidak jelas atau menyimpang dari jalan yang semestinya. Akhirnya, hawa nafsu atau setanlah yang dijadikan “tuhan”, yakni menjadi sumber penentu sikap dan tujuan hidupnya. Orang sesat seperti ini dicap oleh Allah SWT bagaikan binatang ternak, bahkan lebih rendah lagi daripada itu.

“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi) neraka Jahannam banyak dari jin dan manusia. Mereka mempunyai akal, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah) , dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS Al A’raaf : 179)

“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? Atau apakah kamu mengira bahwa mereka itu mendengar atau memahami? Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi jalannya (dari binatang ternak itu).” (QS Al Furqaan : 43-44)

Jelaslah, memahami hakikat hidup merupakan suatu hal yang sangat fundamental. Kegagalan memahami hakikat hidup, akan membuat seseorang menjalani hidup bagaikan layang-layang putus yang bergerak mengikuti kemana angin berhembus, atau bagaikan kapal berlayar tanpa nakhoda yang bisa saja menumbuk karang, atau dihempaskan ombak ke mana saja tanpa tujuan. Artinya, seorang muslim mudah sekalil tersesat, atau bahkan tak mustahil menjadi murtad tanpa dia sadari, sehingga amalnya di dunia menjadi sia-sia bagaikan fatamorgana atau debu beterbangan.

“Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (QS Al Furqaan : 24)

Definisi Hidup

Hidup dapat didefinisikan dari dua aspek. Pertama, aspek biologis dan kedua, aspek sosiologis. Dari aspek biologis, hidup (al hayah) seperti diungkapkan oleh Ghanim Abduh dalam Naqdhul Isytirakiyah Al Marksiyah adalah sesuatu yang maujud (ada) dalam makhluk hidup (asy-syai`u al- qaa`im fi al- ka`ini al- hayyi). Dalam pengertian ini, hidup dipahami sebagai esensi yang membuat sesuatu menjadi hidup, yang membedakannya dengan benda-benda mati, baik benda itu benda mati secara asli, seperti batu, maupun benda mati dalam arti benda yang sebelumnya berasal dari benda hidup, seperti kayu. Hidup, dengan demikian, nampak dan eksis dengan berbagai tanda-tandanya, seperti kebutuhan akan nutrisi, gerak, peka terhadap rangsang, pertumbuhan, dan perkembangbiakan. Lawan dari hidup dalam pengertian biologis ini, adalah mati. Yakni tiadanya atau hilangnya tanda-tanda kehidupan pada sesuatu. Maka, batu adalah benda mati karena tak ada satu pun tanda-tanda kehidupan padanya. Demikian pula seseorang yang telah membujur kaku di kamar jenazah disebut telah mati, karena telah hilang darinya tanda-tanda kehidupan yang semula dimilikinya.

Secara sosiologis, hidup berkaitan erat dengan segala perbuatan manusia yang terwujud dalam seluruh interaksi yang dilakukannya. Ketika menerangkan pengertian isti`naful hayatil Islamiyah (melanjutkan kehidupan Islam), Abdul Qadim Zallum dalam kitabnya Manhaj Hizbu al-Tahrir, menyebutkan bahwa hidup (al-hayah) adalah seluruh interaksi yang dilakukan manusia (jami’u alaaqati al-nas). Dalam perspektif ini, hidup berarti menyangkut seluruh aktivitas manusia dalam berbagai macam interaksinya satu sama lain. Tatkala manusia melakukan aktivitasnya dalam bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, pendidikan, dan lain-lain, berarti dia telah melakukan interaksi dengan manusia lainnya. Artinya, dia telah menjalani atau “mengisi” hidupnya.

Kebalikan dari hidup dalam pengertian ini, adalah tiadanya interaksi di antara manusia. Seseorang mungkin saja mengisolasi dirinya (beruzlah) dari masyarakat, atau bisa saja sebuah kota dibom sehingga seluruh penduduknya mati. Maka, kita dapat mengatakan bahwa orang yang beruzlah tadi telah “mati”, atau kota tadi telah “mati”, karena pada keduanya tak terdapat interaksi antar manusia yang menjadi pertanda adanya sebuah kehidupan.

Kendatipun pengertian hidup dapat dibedakan dalam arti biologis dan sosiologis, namun keduanya tak dapat dipisahkan satu sama lain. Sebab, hidup dalam arti biologis, adalah syarat bagi adanya hidup dalam arti sosiologis. Tak akan ada hidup dalam pengertian sosiologis, kecuali dengan adanya hidup dalam pengertian biologis. Meskipun mungkin saja terdapat hidup dalam makna biologis, tetapi tak terdapat hidup secara sosiologis.

Al Uqdatu al-Kubro : Pertanyaan Mendasar

Dalam hidupnya manusia sadar atau tidak, akan menghadapi pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang makna hidupnya. Pertanyaan-pertanyaan ini, diistilahkan oleh Taqiyyuddin An Nabhani dalam kitab Nidzamu al-Islam (1953) dengan al-Uqdatu al-Kubro. Secara harfiah, al-Uqdatu al-Kubro artinya adalah simpul yang besar. Pertanyaan mendasar ini berkisar tentang manusia, alam semesta, dan kehidupan, yang ada dalam kehidupan dunia kini (al-hayatu al-dunya), juga mengenai apa yang ada sebelum kehidupan dunia (qabla al-hayati al-dunya) dan sesudah kehidupan dunia (ba’da al-hayati al-dunya), serta hubungan antara kehidupan dunia sekarang, dengan apa yang ada sebelum dan sesudah kehidupan dunia itu.
Dalam ungkapan lain, pertanyaan mendasar tersebut dapat diuraikan menjadi 3 (tiga) pertanyaan utama. Pertanyaan pertama, “Darimanakah manusia, hidup, dan alam semesta ini berasal?” Apakah ketiga ini ada dengan sendirinya ataukah ada yang mengadakannya? Pertanyaan ini, sebagaimana uraian Taqiyuddin An Nabhani dalam kitab Al-Tafkir, berkaitan erat dengan fakta bahwa manusia itu hidup di alam semesta (li anna al-insaana yahya fi al-kaun). Maka wajar bila manusia menanyakan tentang dirinya, tentang hidup (dalam arti biologis) yang ada pada dirinya dan makhluk lainnya, dan tentang alam semesta yang merupakan tempat hidupnya. Pertanyaan pertama ini, menanyakan tentang hakikat apa yang ada sebelum kehidupan dunia (qabla al-hayati al-dunya).

Pertanyaan kedua, “Untuk apa manusia hidup?” Pertanyaan ini berkaitan dengan fakta bahwa manusia telah lahir dan eksis di dalam kehidupan dunia ini (al-hayatu al-dunya). Sehingga wajar bila dalam benaknya muncul pertanyaan mengenai untuk apa dia hidup dan bagaimana dia harus menjalani hidup (dalam arti sosiologis). Dalam bahasa Hafizh Shalih dalam kitabnya An Nahdhah (1988), pertanyaan ini berhubungan dengan makna keberadaan manusia dalam kehidupan (ma’na wujudi al- insaan fi al-hayah).

Pertanyaaan ketiga, “Kemana manusia pergi setelah mati nanti?” Pertanyaan ini juga sangat wajar, karena setiap manusia pasti akan berjumpa dengan kematian. Dalam benaknya pasti terbit pertanyaan apakah setelah kematian berarti segala sesuatunya juga akan berakhir, ataukah justru kematian itu merupakan suatu pintu untuk memasuki fase kehidupan yang baru selanjutnya. Pertanyaan ini berkaitan dengan hakikat apa yang ada setelah kehidupan dunia (ba’da al-hayati al-dunya).

Di samping ketiga pertanyaan utama tersebut, hal penting lain yang juga menjadi pertanyaan adalah adakah hubungan (‘alaaqah/shilah) antara apa yang ada sebelum kehidupan dunia (qabla al-hayati al-dunya) dengan kehidupan dunia kini (al-hayatu al-dunya), serta hubungan antara kehidupan dunia kini (ba’da al-hayati al-dunya) dengan apa yang ada sesudah kehidupan dunia (ba’da al-hayati al-dunya). Jika ada, hubungan apakah itu?

Tak ayal lagi, semua pertanyaan dalam simpul besar (al-uqdatu al- Kubro) itu memang merupakan pertanyaan-pertanyaan fundamental yang memerlukan jawaban tuntas sebagaimana halnya simpul-simpul besar pada tali yang harus diuraikan terlebih dahulu agar tali itu dapat digunakan. Bila simpul besar ini berhasil diurai, seperti diungkapkan Taqiyuddin An Nabhani, niscaya simpul-simpul cabang berikutnya akan dengan mudah diuraikan. Simpul-simpul ini adalah pertanyaan-pertanyaan praktis yang berkaitan langsung dengan kehidupan sehari-hari, semisal mengapa dan bagaimana kita harus bekerja mencari nafkah, bagaimana kita harus membina sebuah keluarga yang bahagia, bagaimana kita harus berpolitik dalam kehidupan bernegara, dan sebagainya.

Menghadapi pertanyaan mendasar dalam Al-Uqdatu al-Kubro yang sangat menguras pikiran itu, sikap manusia bermacam-macam. Ada yang lari atau tak acuh terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut, sehingga akhirnya mereka menjalani hidup sekedarnya saja. Tanpa makna, tanpa visi, tanpa misi. Kosong dan absurd. Namun ada pula yang berhasil menjawabnya setelah berusaha mencari jawabannya dengan serius, terlepas dari benar tidaknya jawaban tersebut.

Jawaban-jawaban terhadap al-Uqdatu al-Kubro ini menurut Muhammad Husain Abdullah dalam kitabnya Dirasat fi al-Fikri al-Islami disebut dengan fikrah kulliyah (pemikiran menyeluruh) karena jawabannya mencakup segala sesuatu yang maujud (alam semesta, manusia, dan kehidupan) di samping mencakup ketiga fase kehidupan yang dilalui manusia, beserta hubungan-hubungan di antara ketiganya. Jawaban itu disebutnya juga sebagai aqidah (pemikiran yang mendasar) dan qa’idah fikriyah (landasan pemikiran). Disebut aqidah, karena memang jawaban terhadap al-Uqdatu al-Kubro merupakan pemikiran yang mendasar. Dan disebut qa’idah fikriyah, karena jawaban itu merupakan basis pemikiran yang di atasnya dapat dibangun pemikiran-pemikiran cabang tentang kehidupan.
Maka, jawaban terhadap al-Uqdatu al-Kubro bisa beraneka macam, bergantung kepada aqidah (keyakinan) yang dianut seseorang. Di sini akan diuraikan jawaban dari sudut pandang keyakinan Islam dan sekulerisme, mengingat paham sekulerisme inilah yang kini merajalela di dunia, termasuk di dunia Islam, setelah sosialisme runtuh di penghujung tahun 80-an.
Jawaban Islam Terhadap Al-Uqdatu al-Kubro
Jawaban Islam terhadap al-Uqdatu al-Kubro bersumber Al Qur`an dan As Sunnah. Keduanya keduanya merupakan wahyu yang diturunkan Allah melalui Rasulullah Muhammad sebagai petunjuk hidup.

1. Jawaban pertanyaan “Dari Mana Manusia Hidup?”
Terhadap pertanyaan “Dari manakah manusia, hidup, dan alam semesta berasal?”, maka Islam memberikan jawaban bahwa ketiga hal tersebut diciptakan oleh Allah SWT, tidak maujud dengan sendirinya. Dengan kata lain, apa yang ada sebelum kehidupan dunia (qabla al-hayati al-dunya), adalah Allah SWT. Jawaban ini diterangkan dalam banyak nash, di antaranya,
“Hai manusia sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa.” (QS Al Baqarah : 21)

“Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah. Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)mu seimbang.” (QS. Al Infithaar : 6-7)

“Mengapa kalian kafir kepada Allah, padahal kalian tadinya mati lalu Allah menghidupkan kalian; kemudian Allah mematikan kalian dan menghidupkan kembali kalian, kemudian kepada-Nya-lah kalian dikembalikan?” (QS Al Baqarah : 28)

Ayat-ayat di atas menegaskan dengan jelas bahwa muasal manusia adalah karena diciptakan oleh Allah, bukan ada dengan sendirinya, tercipta semata-mata karena proses-proses alam, atau tercipta melalui evolusi dari organisme lain yang lebih sederhana. Allah-lah yang telah menciptakan manusia dan membuatnya hidup di dunia sampai batas waktu tertentu untuk kemudian nanti dikembalikan lagi kepada-Nya.

2. Jawaban pertanyaan “Untuk Apa Manusia Hidup?”
Terhadap pertanyaan “Untuk apa manusia hidup?” Islam menjawab, bahwa manusia hidup di dunia adalah untuk beribadah kepada-Nya. Yaitu untuk mentaati Allah SWT dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya dalam segala aspek kehidupan. Misi hidup manusia ini dijelaskan Allah:

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah (beribadah) kepada-Ku.” (QS Adz Dzariyaat : 56)

“Padahal mereka tidak diperintah kecuali supaya mereka beribadah (menyembah) Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama…” (QS Al Bayyinah : 5)

Ibadah menurut kamus Al Muhith karya Imam Al Fairuz Abadi, secara bahasa artinya adalah taat (patuh, tunduk). Sedang menurut istilah, sebagaimana diuraikan oleh Muhammad Husain Abdullah dalam kitabnya Dirasat fi al-Fikri al-Islami ibadah memiliki dua arti: arti umum dan arti khusus. Arti secara umum — ini pula yang dimaksud dengan ibadah dalam kedua ayat di atas — adalah mentaati segala perintah dan menjauhi segala larangan-larangan Allah. Adapun arti ibadah secara khusus adalah ketaatan kepada hukum syara’ yang mengatur hubungan antara manusia dengan Rabbnya, seperti shalat, zakat, haji, do’a, dan sebagainya.

Mengaktualisasikan ibadah dalam arti umum inilah yang secara konkret merupakan misi hidup manusia di dunia menurut Islam. Inilah hakekat hidup manusia di dunia, dan ini pula yang wajib menjadi landasan segala kiprahnya. Aktualisasi ibadah terwujud ketika seorang muslim mengikatkan dirinya dengan hukum-hukum syara’ dalam segala aktivitasnya, baik ketika berhubungan dengan Rabb-nya dalam bidang aqidah dan ibadah, berhubungan dengan dirinya sendiri dalam bidang akhlak, makanan, minuman, dan pakaian, maupun berinteraksi dengan sesamanya dalam bidang mu’amalah dan uqubat (hukuman dan sanksi).
Ketika seorang muslim menjalankan shalat lima waktu, mengeluarkan zakat setiap tahun, berpuasa di bulan Ramadhan, beribadah haji, bertaubat, atau membaca Al Qur`an disebut sedang melaksanakan ibadah (dalam arti khusus). Begitu pula tatkala dia bekerja secara profesional dengan etos kerja tinggi didukung keahlian dan sikap amanah, mendidik anak dengan cara Islam, menepati janji, mengkaji ajaran Islam, mempedulikan keadaan kaum muslimin yang lain, aktif berdakwah atau dalam kegiatan keIslaman, bersabar tatkala mendapat musibah, memerintahkan isteri atau anak perempuannya berjilbab, menengok teman yang sakit, bermusyawarah, menjaga kesehatan dan kebersihan dan sebagainnya dia pun juga tengah menjalankan misi ibadah.

Sebaliknya, tatkala seseorang melalaikan tugas, melakukan korupsi dan manipulasi, memberi atau menerima suap, berbohong, berzina, menenggak minuman keras, mengkonsumsi narkoba, mengunjungi pub/diskotik, membantu terjadinya perzinaan, suka mendzalimi orang lain dan sebagainya, dikatakan ia telah telah melakukan maksiat kepada Allah. Berarti ia telah lupa terhadap hakikat keberadaannya di dunia. Demikian pula halnya bila dia menentang dakwah Islam, berjudi, menyatakan bahwa hukum Islam tidak layak karena dinilai kejam, merayakan Natal bersama, melakukan pelecehan seksual, berhutang tak mau bayar, meninggalkan shalat lima waktu atau shalat Jum’at, tidak memakai jilbab; berarti dia telah lalai dari arti hakikat hidupnya di dunia, yaitu beribadah kepada Allah.

3. Jawaban pertanyaan “Kemana Manusia Setelah Mati?”
Terhadap pertanyaan, “Kemana manusia setelah mati?”, Islam menjawab, bahwa setelah kematian akan ada Hari Kiamat (Yaumu al- Qiyamah). Islam menegaskan bahwa kehidupan tidaklah hanya ada di dunia saja, tapi juga di akhirat, yang mau tidak mau pasti akan dilalui manusia. Manusia adalah mahluk Allah, berasal dari Dia dan akan dikembalikan kepada-Nya. Pada hari Kiamat, manusia akan dibangkitkan lagi dari kuburnya untuk dihisab amal perbuatannya oleh Allah SWT, lalu ditentukan tempat selanjutnya: di sorga atau neraka.
“Kemudian, sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati. Kemudian, sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan dari kuburmu di Hari Kiamat.” (QS Al Mukminun : 15-16)

“Apakah manusia mengira, bahwa Kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang belulangnya? Bukan demikian, sebenarnya Kami berkuasa menyusun (kembali) jari jemarinya dengan sempurna.” (QS Al Qiyaamah : 3-4)

Ketika dibangkitkan dari kuburnya, manusia dalam keadaan telanjang bulat. Sabda Nabi SAW :

“Sesungguhnya kalian akan dibangkitkan pada Hari Kiamat tanpa alas kaki, telanjang bulat, dan tidak berkhitan. ‘Aisyah bertanya,’Ya Rasulullah, laki-laki dan perempuan saling melihat (aurat) yang lain?’ Rasulullah menjawab,’Hai ‘Aisyah, pada saat itu perkara (Hari Kiamat) sangat dahsyat sehingga orang tidak akan memperhatikan hal itu.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Pada Hari Kiamat itu keadaan manusia yang dibangkitkan beraneka ragam sesuai dengan iman dan amal perbuatannya di dunia.

“Pada hari itu manusia keluar dari kuburnya dalam keadaan yang bermacam-macam supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka.” (QS Al Zalzalah : 6-8).

Orang-orang kafir yang tak mempercayai Hari Kiamat akan benar-benar kaget dibuatnya.

“Dan ditiupkan sangkakala, maka tiba-tiba mereka keluar dengan segera dari kuburnya (menuju) kepada Rabb mereka. Mereka berkata: ‘Aduh celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami (kubur)?’ Inilah yang dijanjikan Dzat yang Maha Pemurah dan benarlah para rasul-Nya” (QS Yasin : 51-52)

Karena penyesalan yang teramat sangat, sampai-sampai orang-orang kafir saat itu berharap alangkah baiknya seandainya dulu di dunia menjadi tanah saja !

“Dia mengatakan,’Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal saleh) untuk hidupku ini.” (QS Al Fajr : 24)
“Sesungguhnya Kami telah memperingatkan kepada kalian (hai orang kafir) siksa yang dekat, pada hari manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya; dan orang orang kafir berkata,”Alangkah baiknya sekiranya aku dahulu adalah tanah.” (QS An Naba` : 40)

Adapun orang muslim yang banyak berbuat dosa juga akan menyesal mengapa semasa hidup di dunia tidak menjalankan ajaran Islam sebagaimana mestinya dan telah mengambil teman (panutan) yang sesat dan menyesatkan.

“Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit dua tangannya seraya berkata,’Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul.’ Kecelakaan besarlah bagiku, kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si Fulan itu teman akrab(ku). Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al Qur`an ketika Al Qur`an itu telah datang kepadaku…” (QS Al Furqaan : 27-29)

Sedangkan orang-orang muslim yang taat menjalankan ketentuan-ketentuan ajaran Islam ketika di dunia tidak mengalami kegoncangan atau kekerasan pada Hari Kiamat. Nabi Muhammad SAW menyabdakan :

“Orang-orang ahli Laa ilaaha illallah (yang mengucapkan kalimat tersebut dan menunaikan haknya/konsekuensinya) tidak akan mengalami kegoncangan tatkala wafat, di alam kubur, dan tatkala dia dibangkitkan. Seolah-olah aku melihat mereka –ketika ditiup sangkakala yang kedua (saat dibangkitkan dari kubur)- sedang menyingkirkan tanah (pasir) dari kepala mereka seraya berkata,’Segala puji bagi Allah, yang telah menghilangkan duka cita dari kami.” (HR. Abu Ya’la)

Setelah dibangkitkan, manusia kemudian dihisab oleh Allah SWT. Pada saat itu Allah SWT akan menanyakan segala amal baik dan amal buruk yang pernah dilakukan manusia di dunia, baik amal yang kecil dan remeh, maupun amal yang besar dan agung. Pada saat itu, tiap manusia bahkan dapat membaca sendiri catatan amal perbuatannya dalam sebuah kitab yang diberikan kepada mereka.

“Maka demi Rabbmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu.” (QS Al Hijr : 92-93)

Dalam sebuah hadits diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:

“Kedua telapak kaki seorang anak Adam di Hari Kiamat masih belum beranjak sebelum ditanya kepadanya mengenai 5 (lima perkara) : tentang umurnya, untuk apa dihabiskan, tentang masa mudanya, apa yang dilakukannya, tentang hartanya, dari mana dia peroleh dan untuk apa dia belanjakan, dan tentang ilmunya, apa yang dia kerjakan dengan ilmunya itu.” (HR Ahmad).

Allah SWT berfirman bahwa manusia akan membaca catatan amalnya sendiri selama hidup di dunia :

“Adapun orang yang diberikan kitabnya dari sebelah kanannya, maka dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah, dan dia akan kembali pada kaumnya (yang sama-sama beriman) dengan gembira. Adapun orang yang diberikan kitabnya dari belakang, maka dia akan berteriak ‘Celakalah aku’. Dan dia akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).“ (QS Al Insyiqaq : 7-12)

“Dan diletakkan kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang yang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: ‘Aduh celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya dan mereka dapati apa yang mereka telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorangpun jua.” (QS Al Kahfi : 49).

Setelah itu manusia akan digiring ke tempat dimana timbangan amal perbuatannya diletakkan.

“Kami akan memasang timbangan yang tepat pada Hari Kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. Dan jika (amalan) itu hanya seberat biji sawi pun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya. Dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan.” (QS Al Anbiyaa` : 47).

“Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan)nya, maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan. Dan adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya, maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah.” (QS Al Qari’ah : 6-9).

Setelah tahapan ini selesai, manusia akan dimasukkan ke dalam neraka atau surga. Orang kafir, baik dari kalangan ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) atau orang musyrik, akan dijebloskan ke neraka dengan diseret atas muka mereka selamanya. Orang muslim yang lebih banyak dos||anya daripada amal baiknya, akan masuk neraka untuk sementara waktu sesuai yang dikehendaki Allah. Selanjutya masuk surga. Sabda Nabi SAW :

“… Allah memerintahkan para malaikat mengentas dari neraka itu orang-orang yang tidak pernah sekalipun melakukan perbuatan syirik. Yaitu mereka yang berucap Laa ilaaha illallah. Orang-orang ini dapat diketahui melalui ciri khasnya, yakni di wajahnya ada bekas sujud. Api yang membakar tubuh manusia itu tidak sampai melalap bagian-bagian tubuh yang pernah bersujud. Dan itu memang dilarang Allah. Maka keluarlah mereka dalam keadaan terbakar. Untuk memadamkannya, disiramkanlah ke tubuh-tubuh yang hangus itu air kehidupan. Dari air itu bekas-bekas yang terbakar menjadi musnah dan membuat mereka tumbuh seperti biji-biji yang terbawa air bah.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah RA)
Adapun para Nabi, syuhada, ulama, shiddiqin, akan masuk ke dalam surga-Nya dengan mendapat limpahan rahmat dan ridla-Nya.

“Orang-orang (kafir) yang dihimpunkan ke neraka Jahannam dengan diseret atas muka-muka mereka, mereka itulah orang yang paling buruk tempatnya dan paling sesat jalannya.” (QS Al Furqaan : 34)

“Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam. Mereka kekal di dalamnya. Mereka itulah seburuk-buruk makhluk.” (QS Al Bayyinah : 6)

Siksa neraka begitu dahsyat. Amat berat penderitaan para penghuni neraka menanggung semua siksa. Rasul menggambarkan, siksa yang paling ringan saja cukup membuat otak mendidih.

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
(QS An Nisaa` : 56).

“Disiramkan air yang mendidih ke atas kepala mereka. Dengan air itu dihancurluluhkan segala apa yang ada dalam perut mereka dan juga kulit mereka.” (QS Al Hajj : 19-20).

“Azab yang paling ringan di neraka pada Hari Kiamat adalah seseorang yang pada dua telapak kakinya ada dua bongkah bara api, lalu bara api ini akan merebus otak orang tersebut.” (HR. At Tirmidzi)

Adapun orang-orang mukmin, mereka akan masuk surga yang penuh kenikmatan, seraya mendapatkan ridlo dari Allah Azza Wa Jalla.

“Mereka dikelilingi oleh anak-anak muda yang tetap muda dengan membawa gelas, cerek dan minuman yang diambil dari air yang mengalir. Mereka tidak pening karenanya dan tidak pula mabuk. Dan buah-buahan dari apa yang mereka pilih, dan daging burung dari apa yang mereka inginkan. Dan (di dalam surga itu) ada bidadari-bidadari yang bermata jeli, laksana mutiara yang tersimpan baik. Sebagai balasan bagi apa yang telah mereka kerjakan.” (QS Al Waqi’ah : 17-24).

“Mereka tidak mendengar di dalamnya perkataan yang sia-sia dan tidak pula perkataan yang menimbulkan dosa, akan tetapi mereka mendengarkan ucapan salam. Dan golongan kanan, alangkah bahagianya golongan kanan itu. Berada di antara pohon bidara yang tidak berduri dan pohon pisang yang tersusun (buahnya), dan naungan yang terbentang luas, dan air yang tercurah, dan buah-buahan yang banyak, yang tidak berhenti (buahnya) dan tidak terlarang mengambilnya, dan kasur-kasur yang tebal dan empuk. Sesungguhnya Kami ciptakan mereka (bidadari-bidadari) lagi sebaya umurnya, (Kami ciptakan mereka) untuk golongan kanan, (yaitu segolongan besar dari orang yang terdahulu, dan segolongan besar pula dari orang yang kemudian.” (QS Al Waqi’ah : 25-40).

4. Hubungan Antar Fase-fase Kehidupan
Islam menjelaskan pula, antara sebelum kehidupan dunia dengan kehidupan dunia terdapat 2 (dua) hubungan. Pertama, hubungan penciptaan (shilatu al-khalqi). Yakni bahwa Allah SWT sajalah yang menciptakan manusia, kehidupan, dan alam semesta ini. Kedua, hubungan perintah dan larangan (shilatu al-awamir wa al-nawahi). Artinya Allah SWT tidak sekedar menciptakan, namun juga memberikan perintah dan larangan kepada manusia, yang termaktub dalam wahyu (Al Qur`an dan As Sunnah) yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
Kedua bentuk hubungan itu dijelaskan dalam satu ayat suci Al Qur’an:

“Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah,Tuhan semesta alam.” (QS Al A’raaf : 74)
Dalam ayat di atas, ditegaskan bahwa menciptakan (al-khalq) dan memerintah (al-amr) adalah hak Allah semata. Hak memerintah dari Allah ini terwujud dalam dua bentuk. Pertama, perintah untuk alam semesta (al-amru al-kauni) berupa hukum-hukum alam (sunnatullah) yang berlaku untuk alam semesta; Kedua, perintah hukum syara’ (al-amru al-tasyri’i) berupa hukum-hukum syara’ yang mengatur peri kehidupan manusia.
Hubungan antara kehidupan dunia (al-hayatu al-dunya) dengan apa yang ada setelah kehidupan dunia (ba’da al-hayati al-dunya) dijelaskan oleh Islam dalam 2 (dua) hubungan. Pertama, hubungan pembangkitan dan pengumpulan (shilatu al-ba’tsi wa al-nusyur). Yakni bahwa Allah SWT akan membangkitkan manusia dari kuburnya, kemudian mengumpulkan mereka di Padang Mahsyar. Kedua, hubungan perhitungan amal (shilatu al- muhasabah). Yakni Allah SWT tidak sekedar membangkitkan dan mengumpulkan manusia, namun juga melakukan hisab (perhitungan) terhadap amal perbuatan manusia tatkala hidup dunia, apakah ia beriman kepada Allah atau tidak; bila beriman, apakah ia menjalankan perintah-Nya atau tidak serta menjauhi larangan-Nya atau malah mengerjakannya.
“Kemudian, sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati. Kemudian, sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan dari kuburmu di hari kiamat.” (QS Al Mukminun : 15-16).

Tentang hisab atau perhitungan amal baik dan buruk manusia, Allah menjelaskan:

“Maka demi Rabbmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu”. (QS Al Hijr : 92-93).

Demikianlah jawaban Aqidah Islamiyah yang sangat gamblang dan jelas terhadap al-Uqdatu al-kubro. Jawaban-jawaban ini dapat diikhtisarkan dalam gambar 2 di bawah ini.
Gambar 2. Jawaban Islam Terhadap al-Uqdatu al-Kubro
Jawaban Sekulerisme Terhadap l Uqdatul Kubro
Bagaimanakah Sekulerisme menjawab al-Uqdatu al-Kubro ? Sekularisme menjawab tiga pertanyaan mendasar itu kadang berdasarkan pada wahyu, kadang berdasar pada pemikiran spekulatif. Terhadap pertanyaan, “Dari manakah manusia berasal?”, Sekulerisme memang menjawab, bahwa manusia, juga alam semesta dan kehidupan, adalah ciptaan Tuhan. Dengan kata lain, antara apa yang ada sebelum kehidupan dunia (qabla al-hayati al-dunya) dengan kehidupan dunia kini (al-hayatu al-dunya) terdapat hubungan penciptaan (shilatu al-khalqi). Jawaban ini wajar adanya, karena paham sekulerisme tidak menafikan agama (Nashrani), melainkan hanya menolak perannya dalam mengatur kehidupan. Jadi, pengakuan terhadap eksistensi Tuhan dan peran-Nya dalam penciptaan tetap ada, walaupun hanya bersifat formalitas belaka.
Bedanya dengan Islam, Sekulerisme tidak mengakui adanya hubungan perintah dan larangan (shilatu al-awamir wa al-nawahi) antara Tuhan dengan manusia. Tuhan dianggap tidak berhak mengatur bagaimana manusia harus berkiprah dalam aspek politik, ekonomi, budaya, pendidikan, dan bidang kehidupan lainnya. Manusialah yang mengatur semua itu dengan hukum dan undang-undang buatannya sendiri. Tuhan hanya mengatur hubungan khusus yang bersifat personal antara manusia dan diri-Nya. Dalam kehidupan publik, manusialah yang berhak mengaturnya, bukan Tuhan (Hafizh Shalih, 1988)
Mengenai pertanyaan ”Untuk apa manusia hidup di dunia?”, Sekulerisme memberikan jawaban bahwa manusia hidup di dunia adalah untuk mengejar kebahagiaan duniawi, yakni mencari kepuasan jasmani yang sebesar-besarnya. Inilah yang menyebabkan mengapa di tengah-tengah mereka berkembang paham hedonisme, pragmatisme, dan utilitarianisme. Dan semua sarana pemuasan tersebut dianggap tidak perlu diperoleh berdasarkan aturan agama. Cukup diperoleh dengan aturan yang dibuat oleh manusia itu sendiri. Bahkan untuk kehidupan umum mereka bersikeras harus steril dari pengaruh aturan agama (Ahmad Al Qashash, 1995).

Ini jelas sangat berbeda dengan Islam. Islam menjelaskan bahwa tugas manusia di dunia adalah beribadah, yang pasti menggunakan ketentuan dan aturan Islam (hukum-hukum syara’) dalam segala aspek kehidupannya, bukan dalam aspek ibadah mahdhah saja. Bahkan Islam memandang, Islam harus diamalkan secara menyeluruh (kaffah), tidak boleh sepotong-sepotong. Mengamalkan Islam secara sepotong-sepotong, misalnya menerima hukum Islam dalam beribadah shalat dan haji, tapi menolak hukum Islam dalam sistem pemerintahan dan ekonomi, adalah sesuatu yang amat bertolak belakang dengan Islam, yang dapat menimbulkan celaka di dunia dan di akhirat.
“Apakah kalian akan beriman kepada sebahagian Al Kitab dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian di antara kalian, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada Hari Kiamat nanti mereka akan dikembalikan kepada siksa yang sangat berat.” (QS Al Baqarah : 85)

Mengenai pertanyaan “Kemana aku setelah mati?”, Sekulerisme memang menjawab bahwa nanti manusia akan dibangkitkan lagi pada Hari Kiamat. Jadi, hubungan pembangkitan dan pengumpulan (shilatu al-ba’tsi wa al-nusyur) mereka juga akui adanya.

Namun bertolak belakang dengan Islam, Sekulerisme tidak mengakui adanya hubungan perhitungan amal (shilatu al-hisab), atau setidak-tidaknya hubungan itu menjadi absurd dan kontradiktif. Sebab hubungan perhitungan amal hanya akan wujud, jika manusia di dunia diharuskan berpegang pada perintah dan larangan-Nya. Oleh karena mereka membuat aturan hidupnya sendiri dan tidak menjalankan agama dalam mengatur kehidupan, bagaimana mungkin mereka diharuskan mempertanggungjawabkannya di hadapan Tuhan? Bukankah seharusnya mereka mempertanggung jawabkannya terhadap diri sendiri? Pemikiran seperti ini tentu saja sangat naif.
Ikhtisar jawaban Islam dan sekularisme terhadap al-Uqdatu al-Kubro dari Islam dan Sekulerisme di atas disajikan secara ringkas dalam tabel 1 berikut.

No Aspek Pertanyaan Islam Sekulerisme
1. ”Darimana manusia berasal?” -Manusia diciptakan Allah SWT -Mengakui hubungan perintah & larangan (shilatu al-awamir) antara Allah dan manusia -Manusia diciptakan Tuhan (secara formalitas) -Tidak mengakui hubungan perintah & larangan antara Allah dan manusia (kecuali secara parsial dan personal)
2. “Untuk apa manusia hidup?” -Ibadah kepada Allah SWT (hidup sesuai tuntunan Islam) -Mencari kepuasan jasmani yang sebesar-besarnya (tidak terikat dengan tuntunan agama)
3. “Kemana manusia setelah mati?” -Kebangkitan pada Hari Kiamat -Mengakui hubungan perhitungan amal (shilatu al-muhasabah) -Kebangkitan pada Hari Kiamat (secara formalitas) -Tidak mengakui hubungan perhitungan amal (shilatu al-muhasabah), atau membuat hubungan itu tidak jelas

KESIMPULAN SAHIH BATIL
Tabel 1. Perbandingan Jawaban Islam dan Sekulerisme
Mana Jawaban Yang Benar?
Dari kedua versi jawaban di atas, manakah jawaban yang benar? Jawaban yang benar adalah yang bersumber dari sesuatu yang benar. Sesuatu yang benar haruslah bersumber dari yang pasti benar (al-haq). Dialah Allah. Dengan demikian, sumber yang benar adalah wahyu (al-Qur’an). Pemikiran spekulatif nilainya bisa benar bisa salah. Tapi bila telah hadir pemikiran yang pasti benar, maka pemikiran spekulatif pasti salah adanya. Maka, bagi seorang muslim, jawaban yang benar tentu saja adalah yang bersumber dari al-wahyu, yakni Al Qur`an dan As Sunnah. Tapi, bagaimana meyakini bahwa al-Qur`an itu betul-betul merupakan wahyu Allah ? Apa buktinya?

Secara faktual, al-Qur’an adalah kitab berbahasa Arab yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad SAW. Maka, secara rasional hanya ada tiga kemungkinan asal Al Qur’an: 1) karangan bangsa Arab; 2) karangan Nabi Muhammad SAW; 3) berasal dari Allah SWT.

Kemungkinan pertama tidak bisa diterima. Sebab, faktanya bangsa Arab taklah pernah mampu memenuhi tantangan untuk membuat kitab serupa al-Qur’an,

“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal dengan Al Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolong kalian selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar” (QS Al Baqarah : 23).

Kemungkinan kedua, juga tidak bisa diterima. Mengapa? Ada dua sebab. Pertama, Muhammad SAW termasuk orang Arab. Kalau seluruh orang Arab tidak mampu memenuhi tantangan untuk membuat satu surat pun yang semisal dengan Al Qur’an, apalagi Nabi Muhammad yang ummi (tidak bisa membaca dan menulis) tentu lebih tidak bisa lagi. Andai saja nabi Muhammad bisa membuat al-Qur’an, apalagi orang-orang Arab lain yang lebih pandai dari Nabi Muhammad tentu lebih bisa membuat al-Qu’an. Kedua, gaya bahasa dalam tutur kata beliau sebagaimana yang terekam dalam hadits-hadits qauliyah ternyata berbeda dengan gaya bahasa Al Qur’an. Sekalipun seseorang barangkali bisa berbicara dalam dua gaya bahasa, namun mengeluarkan ungkapan dalam intensitas yang tinggi sebagaimana yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari Rasulullah SAW adalah suatu hal yang mustahil terjadi. Kalau pun toh ada yang berupaya keras melakukannya, kemiripan di antara dua gaya bahasa yang dia ungkapkan akan kerap kali terjadi. Sedangkan gaya bahasa Al Qur’an jelas berbeda dari gaya bahasa hadits. Ini jelas menunjukkan bahwa Al Qur’an bukanlah perkataan (kalaam) Nabi Muhammad SAW sendiri.

Bahwa Al Qur`an itu bukan buatan Muhammad SAW, juga dibuktikan dengan adanya fakta-fakta ilmiah yang terkandung dalam sebagian ayat-ayat Al Qur`an. Fakta-fakta yang sedemikian canggih dan rumit itu baru terbukti pada masa modern kini, yang menunjukkan Al Qur`an tidak mungkin dikarang oleh Muhammad SAW yang ummi itu. Dengan kata lain, Al Qur`an itu hanya dari sisi Allah saja, bukan dari yang lainnya. Di antara fakta-fakta ilmiah itu antara lain Tentang Atmosfer Bumi dan pergiliran siang dan malam secara cepat.

“Dan Kami menjadikan langit itu sebagai atap yang terpelihara, sedang mereka berpaling dari segala tanda-tanda (kekuasaan Allah) yang terdapat padanya.” (QS Al Anbiyaa` : 32)

Para ilmuwan sekarang menjelaskan kepada kita bahwa “atap yang terpelihara” (saqfan mahfuzhan) dalam ayat di atas adalah lapisan atmosfer, yaitu udara yang berlapis-lapis di atas bumi. Seandainya atmosfer tidak ada, niscaya jutaan meteor yang setiap hari terbakar di angkasa akan jatuh mengenai kita dan membakar segala sesuatu di bumi. Atmosfer telah dijadikan Allah bagaikan atap yang kokoh yang melindungi bumi beserta segenap makhluk hidup di dalamnya.
Tentang pergiliran siang dan malam secara cepat, Allah berfirman,

“Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat.” (QS Al A’raaf : 54)

Maksud ayat di atas, bahwa siang dan malam, masing-masing saling mengikuti secara cepat dengan tidak terputus. Ayat tersebut mengandung suatu isyarat tentang rotasi bumi yang menyebabkan datangnya siang dan malam. Demikian pula firman Allah SWT :

“Dia menutupkan malam kepada siang dan menutupkan siang kepada malam.” (QS Az Zumar : 5)

“Dia memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam.” (QS Faathir : 13)

“Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-masing beredar menurut garis edarnya.” (QS Al Anbiyaa` : 33)

Kosmonot Rusia, Yuri Gagarin, ketika terbang ke angkasa mengatakan bahwa dia menyaksikan dengan mata kepala sendiri pergiliran gelap dan cahaya yang cepat di permukaan bumi karena adanya rotasi bumi.

Inilah beberapa contoh ayat Al Qur`an yang membuktikan pula bahwa Al Qur`an itu berasal dari dari Allah SWT semata, bukan buatan manusia, termasuk Muhammad SAW. Pada zaman Nabi Muhammad SAW ilmu pengetahuan yang mengungkapkan hakikat ayat-ayat itu tidak dikenal. lmu pengetahuan seperti ini hanya diketahui oleh manusia modern saat ini. Maha benar Allah dengan firman-Nya :

“Katakanlah,’Al Qur`an itu diturunkan oleh (Allah) yang mengetahui rahasia langit dan bumi. Sesungguhnya dia adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al Furqaan : 6)

Bila kemungkinan pertama dan kedua tidak terbukti, maka kemungkinan ketiga lah yang pasti benar, yaitu bahwa Al Qur’an itu berasal dari sisi Allah SWT. Al Qur’an adalah ucapan (kalaam) Allah SWT. Patut dicatat di sini bahwa seorang tokoh sastrawan Quraisy yang bernama Walid bin Mughirah pernah mengatakan:
“Aku adalah orang yang paling tahu tentang sya’ir Arab. Tak ada yang lebih pandai tentang hal itu kecuali aku. Sungguh apa yang dibaca Muhammad itu bukanlah ucapan manusia. Dia itu tinggi, tak ada yang lebih tinggi darinya.” (lihat Taqiyyuddin An Nabhani, As Syakhshiyyah Al Islamiyyah, Juz I/148).

Adapun jawaban paham Sekulerisme terhadap Al Uqdatul Kubro, adalah jawaban yang amat spekulatif, karena ia berasal dari manusia yang lemah dan terbatas, serta tidak dapat menjangkau pengetahuan di luar batas-batas kemampuan inderawinya. Bahkan merekapun sendiri tak yakin, apakah jawaban itu benar. Bila ada jawaban yang pasti benar (yang bersumber dari al-wahyu), maka jawaban spekulatif ini pasti salah.
Oleh karena itu, wajib bagi tiap muslim untuk meyakini jawaban tentang al-uqdatu al-kubra yang diberikan oleh Islam karena jawaban ini didasarkan pada al-wahyu yang pasti benar. Allah menjelaskan bahwa tiap muslim wajib mengikuti apa yang telah diturunkan-Nya dan haram mengambil petunjuk selain keduanya.
“Ikutilah apa yang diturunkan kepada kalian dari Tuhan kalian dan janganlah kalian mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya.” (QS Al A’raaf : 3)

Penutup
Jawaban Islam tentang al-uqdatu al-kubra yang bersumber dari wahyu Allah adalah jawaban yang sahih, memuaskan akal, dan sesuai dengan fitrah manusia.

“Alif laam miim. Kitab (Al Qur`an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.” (QS Al Baqarah : 1-2)

Sementara, sekulerisme memang memberikan jawaban terhadap Al Uqdatul Kubro. Tapi jawaban yang diberikan itu salah, karena berlandaskan pada pemikiran spekulatif.

Dengan jawaban tuntas yang diberikan Islam tentang tiga pertanyaan mendasar “dari mana manusia berasal?”, “untuk apa manusia hidup?” dan “kemana setelah mati?”, tersingkaplah dengan gamblang hakikat hidup seorang muslim, yakni untuk beribadah kepada Allah yang telah menciptakannya di dunia, agar kelak bisa hidup bahagia kekal abadi di surga. Maka, hidup seorang muslim adalah hidup dengan misi yang agung, hidup yang terarah dan mantap, serta hidup yang bermutu tinggi dengan keyakinan akan kegemilangan hidup hakiki yang abadi di akherat kelak.
Wallahu a’lam bi al-shawab

 

Sumber :
https://pipitsipipot.blogspot.com/2012/02/hakikat-hidup-menurut-islam.html?m=1