Home Fiqih Fiqih Makanan Dan Minuman BOLEHKAH GURU MAKAN MBG (MAKAN BERGIZI GRATIS) KETIKA SISWA TIDAK MASUK SEKOLAH?

BOLEHKAH GURU MAKAN MBG (MAKAN BERGIZI GRATIS) KETIKA SISWA TIDAK MASUK SEKOLAH?

12

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi

 

Tanya :

Assalamu’alaikum. Afwan ustadz @M. Shiddiq Al Jawi, izin bertanya. Apa hukumnya seorang guru makan MBG (Makan Bergizi Gratis) ketika ada anak yang tidak masuk sekolah? Apakah boleh guru ini makan jatah anak karena tidak masuk, ataukah guru harus mengantarkan MBG ke rumah anak yang tidak masuk sekolah atau bagaimana? Mohon penjelasannya, jazakumullahu khoiro. (Dhianita, bumi Allah).

 

Jawab :

Wa ‘alaikumus salam wr.wb

 

Jawaban untuk masalah ini, yakni bolehkah guru makan MBG ketika siswa tidak masuk sekolah, dikembalikan kepada ketentuan atau peraturan dari pemerintah Indonesia. Dan dalam Islam, peraturan dari pemerintah yang ada saat ini boleh saja ditaati oleh kaum muslimin, selama tidak bertentangan dengan Syariah Islam.

Rasulullah SAW bersabda :

لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ

“Tidak ada ketaatan dalam melakukan perbuatan maksiat (melakukan yang haram atau meninggalkan yang wajib), sesungguhnya ketaataan itu hanyalah dalam hal-hal yang ma’ruf (yang sesuai dengan Syariah Islam).” (HR. Al-Bukhari, no. 4340; Muslim, no. 1840; Abu Dawud, no. 2625; Ibnu Hibban, no. 4567).

Lalu bagaimanakah ketentuan atau peraturan dari pemerintah dalam masalah ini? Kepala BGN (Badan Gizi nasional) Dadan Hindayana dalam suatu kesempatan (26/6/2025) pernah menyatakan bahwa program MBG akan tetap berjalan walaupun saat libur sekolah. Bagi siswa yang tetap ingin mendapatkan menu MBG, siswa bisa mengambilnya ke sekolah.
Adapun jika siswa tidak berangkat ke sekolah, maka menu MBG tidak akan diberikan alias tidak akan diantar ke rumah masing-masing.

(https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20250626161956-92-1244212/makan-bergizi-gratis-tetap-jalan-meski-libur-sekolah.)

Berdasarkan penjelasan Kepala BGN (Badan Gizi nasional) Dadan Hindayana tersebut, jelaslah bahwa dalam kondisi libur sekolah, meski MBG tetap berjalan dan diberikan di sekolah, tetapi jika siswa tidak mengambilnya di sekolah, MBG tidak akan diantarkan ke rumah masing-masing siswa.

Dari peraturan tersebut dapat dipahami konsekuensi logisnya, bahwa dalam kondisi tidak libur sekolah, MBG juga tidak akan diantarkan ke rumah masing-masing siswa. Analogi peraturan ini disimpulkan demikian, karena kewajiban menyediakan MBG bagi pemerintah, dianggap sudah tertunaikan, ketika MBG diberikan kepada siswa di sekolah (bukan ketika MBG diberikan di rumah masing-masing siswa). Inilah alasan hukum (ratio legis, “’illat”) mengenai kapan kewajiban MBG dianggap sudah tertunaikan.

Maka dari itu, kalau siswa tidak menerima MBG karena tidak berangkat ke sekolah yang disebabkan oleh berbagai alasan, mungkin karena siswa itu sakit, izin, atau alpa, atau mungkin karena libur sekolah, maka secara umum tidak ada kewajiban bagi pemerintah untuk mengantar MBG ke rumah masing-masing siswa.

Peraturan ini tidak bertentangan dengan Syariah Islam, karena tidak mengakibatkan maksiat, yaitu meninggalkan hal-hal yang wajib atau melakukan hal-hal yang haram. Hanya saja, peraturan ini dapat menimbulkan kemakruhan, yakni ketika MBG sudah disediakan di sekolah, tetapi siswa tidak berangkat sekolah. Sebab, MBG akan tersia-siakan dan hanya membusuk tanpa ada yang mengkonsumsinya. Kondisi seperti ini dalam Islam disebut “menyia-nyiakan harta” atau idhā’atul māl (إِضَاعَةُ الْمَالِ) yang hukumnya makruh.

Rasulullah SAW bersabda :

إنَّ اللَّهَ كَرِهَ لَكُمْ ثَلَاثًا: قِيلَ وَقَالَ، وَإِضَاعَةَ الْمَالِ، وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ

“Sesungguhnya Allah membenci bagi kalian tiga perkara; berkata atas dasar katanya katanya (qīla wa qāla), menyia-nyiakan harta, dan banyak bertanya.” (HR. Al-Bukhari, no. 1447; Muslim, no. 593).

Imam Taqiyuddin An-Nabhani (w. 1977) telah mengistinbath hukum syariah dari hadits tersebut dengan berkata :

فَإِضَاعَةُ الْمَالِ مَكْرُوهَةٌ وَلَيْسَتْ بِحَرَامٍ، وَمَعْنَى كَوْنِهَا مَكْرُوهَةً أَنَّهُ لَا إِثْمَ فِيهَا عِنْدَ اللَّهِ

“Jadi perbuatan menyia-nyiakan harta itu, hukumnya makruh, bukan haram. Yang dimaksudkan bahwa hukumnya makruh, artinya perbuatan menyia-nyiakan harta itu tidak ada dosanya di sisi Allah SWT.“ (Taqiyuddin An-Nabhani, Hadīts Al-Shiyām, hlm. 117).

 

Dengan demikian, peraturan pemerintah bahwa MBG yang tidak diambil siswa di sekolah, tidak akan diantarkan ke rumah siswa, baik kondisi libur sekolah maupun bukan libur sekolah, merupakan peraturan yang tidak bertentangan dengan syariah. Meskipun demikian, peraturan tersebut akan dapat menimbulkan kemakruhan, yakni sesuatu yang kurang baik dalam Islam, yang lebih baik tak dilakukan, yaitu menyia-menyiakan harta (idhā’atul māl) yang berupa makanan.

Walhasil, dalam rangka untuk menghindarkan diri dari kemakruhan itu, yang lebih baik secara syariah adalah tetap mengkonsumsi MBG tersebut, bukan membiarkannya begitu saja hingga membusuk tanpa termanfaatkan. Oleh pihak pimpinan sekolah, MBG tersebut boleh saja disalurkan kepada kaum fakir atau miskin di sekitar sekolah, atau diberikan kepada anak-anak yatim, atau diberikan kepada para karyawan sekolah yang kurang mampu, atau boleh juga diberikan kepada guru-guru di sekolah tersebut. Demikianlah jawaban menurut syariah Islam dalam masalah ini. Wallāhu a’lam.

 

Yogyakarta, 13 September 2025

Muhammad Shiddiq Al-Jawi