Home Fiqih Fiqih Pergaulan / Ijtima'i HUKUM MEMBONGKAR AIB ORANG YANG MEMFITNAH KITA

HUKUM MEMBONGKAR AIB ORANG YANG MEMFITNAH KITA

53

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi

 

Tanya :

Assalamu’alaykum.Ustadz, saya Amin di Bogor, izin bertanya. Kan membongkar aib orang itu tidak boleh, tapi kalau dalam kondisi kita difitnah oleh orang tersebut dan aib itu adalah kunci dari kejadian sebenarnya, bolehkah kita membongkar aib tersebut, Ustadz? Contoh, ada karyawan perusahaan yang dikeluarkan karena ada kasus perselingkuhan dan penggelapan dana, dan pihak perusahaan menutupi aibnya. Tapi eks karyawan tersebut malah menyebar fitnah dan memutarbalikkan fakta seolah-olah dia adalah korban yang dizalimi oleh perusahaan, bahkan memprovokasi karyawan lainnya yang masih bekerja di sana. Apakah perusahaan itu boleh membuka aibnya? (Amin, Bogor).

 

Jawab :

Hukum menutupi aib bagi seorang muslim yang berbuat maksiat, seperti berzina, minum khamr, mencuri, korupsi, dan sebagainya ada 2 (dua) kemungkinan hukum syara’ ;

Pertama, hukumnya mandub (sunnah) jika pelaku maksiatnya selama ini secara lahiriyah dikenal sebagai orang yang berkelakuan baik dan tidak dikenal di muka publik sebagai orang yang gemar berbuat maksiat atau berbuat kerusakan di tengah masyarakat. Kepada orang-orang seperti inilah, kita disunnahkan untuk menutupi aib yang telah dilakukannya, sesuai beberapa riwayat hadits Nabi SAW, antara lain :

مَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Dan barangsiapa yang menutupi (aib) seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya pada Hari Kiamat.” (HR. Muslim, no. 2580).

Imam Nawawi memberi syarah (penjelasan) hadits tersebut dengan berkata :

وَأَمَّا السِّتْرُ الْمَنْدُوْبُ إِلَيْهِ هُنَا فَالْمُرَادُ بِهِ اَلسِّتْرُ عَلىَ ذَوِي الْهَيْئَاتِ وَنَحْوِهِمْ مِمَّنْ لَيْسَ هُوَ مَعْرُوْفًا بِاْلأَذَىْ وَالْفَسَادِ

“Adapun menutui aib yang mandub (sunnah) di sini, yang dimaksud adalah menutupi aib bagi orang yang yang berkelakukan baik dan sejenisnya yang tidak dikenal sebagai orang yang suka mengganggu (masyarakat) dan suka melakukan kerusakan.” (Imam Nawawi, Syarah Al-Nawawī ‘Alā Muslim, 16/135).

 

Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW :

أَقِيْلُوْا ذَوِي الْهَيْئَاتِ عَثَرَاتِهِمْ إِلاَّ الْحُدُوْدَ.رواه أبو داود وصححه الألباني

“Maafkanlah ketergelinciran dzawil hai’āt (orang-orang yang berkelakuan baik), kecuali jika dia terkena hukuman hudūd.” (HR. Abu Dawud, no 4375, dishahihkan Syekh Nashiruddin Al-Albani dalam kitabnya Ash-Shahihah, hlm. 638).

 

Kedua, adapun bagi pelaku maksiat yang sudah diketahui track record (rekam jejak)-nya buruk di masyarakat, yaitu dikenal sebagai orang yang berkelakuan buruk seperti gemar berbuat maksiat atau kerusakan, maka yang dianjurkan (mandub/sunnah) justru adalah membongkar aib orang tersebut kepada masyarakat. Kata Imam Nawawi :

فَأَمَّا الْمَعْرُوْفُ بِذَلِكَ فَيُسْتَحَبُّ أَنْ لاَ يُسْتَرَ عَلَيْهِ

“Adapun untuk yang sudah diketahui dengan hal yang demikian itu (suka mengganggu (masyarakat) dan suka melakukan kerusakan), yang mustahab (sunnah) adalah tidak menutupi aib orang tersebut.”  (Imam Nawawi, Syarah Al-Nawawi ‘Ala Muslim, 16/135).

 

Hal ini sesuai dengan sebuah hadits Nabi SAW, bahwa beliau pernah menyebutkan identitas seseorang di muka umum, karena orang itu adalah pelaku maksiat (yakni berzina). Nabi SAW pernah memerintahkan seorang shahabat bernama Unais, untuk menemui dan merajam seorang perempuan yang dilaporkan berbuat zina dengan seorang laki-laki, yang telah mengaku berzina dengan perempuan itu di hadapan Nabi SAW. Nabi SAW bersabda kepada Unais :

وَاغْدُ ياَ أُنَيْسُ عَلىَ امْرَأَةِ هَذَا ، فَإنِ اعَتَرَفَتْ ، فَارْجُمْهَا

“Berangkatlah kamu hai Unais untuk menemui perempuan ini (yang dilaporkan berzina), lalu jika dia mengaku (berbuat zina) hendaklah kamu menjatuhkan hukuman rajam kepadanya.”  (HR. Al-Bukhari, no. 6827).

 

Inilah penjelasan ringkas mengenai hukum syara’ membuka aib yang dilakukan seorang muslim. Kemudian jika kita mencoba menerapkan hukum syara’ ini kepada kasus yang ditanyakan, jawabannya : jika selama ini karyawan yang diberhentikan itu diketahui berkelakuan baik, maka yang direkomendasikan (disunnahkan) adalah menutupi aibnya berbuat selingkuh dan menggelapkan dana perusahaan.

Namun jika karyawan tersebut kemudian memfitnah perusahaan, yaitu menuduh perusahaan dengan suatu tuduhan yang tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya, maka boleh hukumnya perusahaan itu membongkar aibnya telah berselingkuh dan menggelapkan dana perusahaan.

Mengapa boleh membuka aibnya? Karena menutupi aib itu hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Inilah hukum asalnya, khususnya kepada orang yang selama ini diketahui berkelakuan baik. Namun ketika orang itu kemudian malah memfitnah perusahaan, berarti dia sendirilah yang sudah mengubah track record-nya yang baik selama ini. Semula dia yang diketahui berkelakuan baik, ternyata kemudian berkelakuan buruk dengan memfitnah perusahaan.

Maka dari itu, hukum asal yang ada sebelumnya (anjuran menutupi aibnya) tidak berlaku lagi bagi orang itu, sehingga hukum yang lebih tepat baginya setelah dia memfitnah perusahaan, adalah boleh hukumnya bagi perusahaan membongkar aibnya kepada masyarakat. Firman Allah SWT :

وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِّثْلُهَا ۖ فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ

“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (QS Al-Syūrā : 40). Wallāhu a’lam.

 

Jakarta, 5 Januari 2025

 Muhammad Shiddiq Al-Jawi