Home Fiqih Fiqih Muamalah USAHA SALON ANJING

USAHA SALON ANJING

140
Cute dog Spitz at groomer salon

 

 

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi

 

Tanya :

  1. Ustadz, di daerah rumah saya banyak sekali yang membuka usaha salon hewan. Terus bagaimana hukumnya bila bekerja di tempat tersebut dan halal apa tidak gaji yang kita terima bila kita kerja di sana? (M. Fitrah, al_mift4h@yahoo.co.id)

 

  1. Ustadz, saya ada pertanyaan yaitu bagaimana hukumnya mempunyai usaha salon anjing. Sekarang mulai berkembang khususnya di kota besar usaha salon-salon yang diperuntukkan anjing agar mendapat perawatan terutama kebersihan bulunya. Memang untuk jenis anjing tertentu yang berkelas sangat membutuhkan perawatan. Selanjutnya bagaimana sebenarnya hukum memakan daging anjing tersebut dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah serta pendapat ulama salaf. (Indra F., m4s_in@yahoo.co.id).

 

Jawab :

Usaha salon anjing dalam fiqih Islam termasuk dalam akad ijarah, yaitu akad untuk memperoleh manfaat (jasa) dengan imbalan (‘aqd[un] ‘ala manfaah bi-‘iwadh[in]). Dalam usaha salon anjing ini setidaknya terdapat dua akad ijarah;

Pertama, akad ijarah antara pemilik anjing dengan pengusaha salon anjing, yang memperoleh uang jasa perawatan anjing dari pemilik anjing.

Kedua, akad ijarah antara pengusaha salon anjing dengan para stafnya yang bekerja dengan gaji dari pengusaha salon anjing tersebut.

Untuk menentukan apakah kedua akad ijarah tersebut sah atau tidak, yang menjadi penentunya adalah manfaat (jasa) yang diberikan, apakah manfaat itu mubah atau haram. Jika manfaat yang diberikan mubah, akad ijarahnya sah, dan sebaliknya jika manfaat yang diberikan haram, maka akad ijarahnya tidak sah. Jadi syarat sah tidaknya akad ijarah, bergantung pada manfaat yang diberikan. Dalam hal ini Imam Taqiyuddin An-Nabhani –rahimahullāh— berkata :

يُشْتَرَطُ لِصِحَّةِ الْإِجَارَةِ أَنْ تَكُونَ الْمَنْفَعَةُ مُبَاحَةً, وَلَا تَجُوزُ إِجَارَةُ الْأَجِيرِ فِيمَا مَنْفَعَتُهُ مُحَرَّمَةٌ

“Disyaratkan untuk sahnya ijarah adalah manfaatnya harus mubah, dan tidak boleh ijarah terhadap ajir (pekerja) pada segala manfaat yang telah diharamkan.” (Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizhām Al-Iqtishādi fī Al-Islām, hal. 93)

Dalam akad ijarah untuk salon anjing, manfaat yang ada adalah perawatan anjing, misalnya membersihkan atau merapikan bulunya. Nah, pertanyaannya sekarang, bolehkah seorang muslim melakukan perawatan anjing seperti itu?

Jawabnya adalah tidak boleh. Karena menurut jumhur ulama (kecuali mazhab Maliki) seluruh tubuh anjing adalah najis mughallazhah (najis berat), baik itu mulutnya, air lurnya, bulunya, dagingnya, maupun seluruh anggota tubuhnya. Syaikh Mahmud Abdul Lathif ‘Uwaidhah telah menjelaskan itu dengan berkata :

الْكَلْبُ نَجِسٌ كُلُّهُ : سُؤْرُهُ وَشَعْرُهُ وَلَحْمُهُ وَلُعَابُهُ، وَكُلُّ عُضْوٍ مِنْهُ

“Anjing adalah najis seluruhnya; bekasnya (misalnya air yang telah dijilati), bulunya, dagingnya, air liurnya, ataupun semua anggota tubuhnya.” (Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Al-Jami’ Li Ahkam Ash-Shalah, Juz 1, hal. 52 dst [bab Su’ru Hayawān]).

Di antara dalil-dalil yang menunjukkan najisnya anjing adalah hadits riwayat berikut :

عَنْ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ مَيْمُونَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا «أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَصْبَحَ يَوْمًاً وَاجِمًاً ، فَقَالَتْ مَيْمُونَةُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ لَقَدْ اسْتَنْكَرْتُ هَيْئَتَكَ مُنْذُ الْيَوْمِ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ جِبْرِيلَ كَانَ وَعَدَنِي أَنْ يَلْقَانِي اللَّيْلَةَ فَلَمْ يُلْقِنِي، أَمْ وَاَللَّهِ مَا أَخْلَفَنِي ، قَالَ فَظَلَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَهُ ذَلِكَ عَلَى ذَلِكَ، ثُمَّ وَقَعَ فِي نَفْسِهِ جَرْوُ كَلْبٍ تَحْتَ فُسْطَاطٍ لَنَا، فَأَمَرَ بِهِ فَأُخْرِجَ ، ثُمَّ أَخَذَ بِيَدِهِ مَاءً فَنَضَحَ مَكَانَهُ، فَلَمَّا أَمْسَى لَقِيَهُ جِبْرِيلُ ، فَقَالَ لَهُ : قَدْ كُنْتَ وَعَدْتَنِي أَنْ تَلْقَانِي الْبَارِحَةَ  قَالَ: أَجَلْ وَلَكِنَّا لَا نَدْخُلُ بَيْتًاً فِيهِ كَلْبٌ وَلَا صُورَةٌ ، فَأَصْبَحَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَئِذٍ فَأَمَرَ بِقَتْلِ الْكِلَابِ ، حَتَّى إِنَّهُ يَأْمُرُ بِقَتْلِ كَلْبِ الْحَائِطِ الصَّغِيرِ وَيُتْرُكُ كَلْبٌ »

Dari Ummul Mu`minin Maimunah RA,”Bahwa Rasulullah SAW pada suatu pagi berdiam diri dalam keadaan sedih, maka berkatalah Maimunah,’Wahai Rasulullah, sungguh saya tidak mengerti sikap Anda sejak [pagi] hari ini.’ Rasulullah SAW berkata,’Sesungguhnya Jibril telah berjanji kepadaku akan menemuiku tadi malam tapi dia ternyata tidak menemuiku. Demi Allah sesungguhnya dia (Jibril) tidak akan meninggalkanku.’ Dia (periwayat hadits) berkata,’Rasulullah SAW tetap dalam keadaan seperti itu pada hari itu. Kemudian beliau teringat akan seekor anak anjing yang ada di bawah kemah kami (fusthāth[un] lanā), kemudian beliau memerintahkan untuk mengeluarkan anak anjing itu. Kemudian Rasulullah SAW mengambil air dengan tangannya sendiri dan menyiramkan pada bekas tempat anak anjing itu. Ketika sore hari, Jibril menemui Rasulullah SAW. Berkatalah Rasulullah SAW kepada Jibril,’Engkau telah berjanji kepadaku untuk menemuiku malam kemarin.’ Jibril menjawab,’Benar, tetapi kami tidak akan memasuki sebuah rumah yang di dalamnya ada anjing dan lukisan.’  Maka pada pagi harinya Rasulullah SAW memerintahkan untuk membunuh anjing-anjing, hingga beliau memerintahkan membunuh anjing kebun yang kecil dan membiarkan anjing kebun yang besar.” (HR Muslim, Abu Dawud, Baihaqi, dan Nasa`i).

Berkata Syaikh Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah :

فَكَوْنُ الرَّسُولِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ يَأْخُذُ بِيَدِهِ مَاءً فَيَنْضَحُ مَكَانَ الْكَلْبِ إِنَّمَا هُوَ مِنْ أَجْلِ تَطْهِيرِ الْمَوْضِعِ، فَهَذَا دَلِيلٌ عَلَى نَجَاسَةِ الْكَلْبِ

“Bahwa Rasul SAW mengambil air dengan tangannya sendiri dan menyiramkan pada bekas tempat anak anjing, tiada lain adalah untuk menyucikan tempat itu. Jadi ini adalah dalil najisnya anjing.” (Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Al-Jāmi’ li Ahkām Al-Shalāh, Juz 1, hal. 52 dst [bab Su’ru Hayawān]).

Dalil lain yang menunjukkan najisnya anjing adalah hadits dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda :

إِذَا وَلَغَ الكَلْبُ فِي إِناءِ أَحَدِكُمْ فَلْيُرِقْهُ ، ثُمَّ لِيَغْسِلَهُ سبعَ مِرارٍ

“Jika seekor anjing menjilati bejana salah seorang kalian, tumpahkanlah bejana itu dan cucilah ia tujuh kali.” (HR Muslim dan Nasa`i).

Perintah Rasulullah SAW untuk menumpahkan air bekas jilatan anjing ini menunjukkan najisnya air bekas jilatan anjing (su`ru al-kalb). Ini tidak akan terjadi, kecuali anjingnya itu sendiri juga najis.

Berdasarkan dalil-dalil ini, jelaslah bahwa anjing adalah binatang najis, bukan binatang yang suci.

Padahal, syara’ telah mewajibkan untuk menjauhi segala macam najis, baik najis inderawi (hissi) seperti khamr, maupun najis ma’nawi (yakni segala perbuatan buruk) seperti judi. Perintah syara’ untuk menjauhi sesuatu yang najis, artinya adalah larangan untuk memanfaatkan sesuatu yang najis itu. Firman Allah SWT :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah najis (rijsun) termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah najis itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS Al-Ma`idah [5] : 90)

Ayat di atas telah memerintahkan kita untuk menjauhi najis, artinya kita tidak diperbolehkan memanfaatkan segala sesuatu yang najis.

Perintah syara’ untuk menjauhi sesuatu yang najis itu, atau dengan kata lain larangan memanfaatkan segala bentuk najis, juga termaktub dalam sebuah kaidah fiqih yang berbunyi :

لاَ يَجُوْزُ الإنْتِفَاعُ بْالنجِسِ مُطْلَقًا

Laa yajūzu al-intifā’ bi an-najis mutlaqan (Tidak boleh memanfaatkan najis secara mutlak). (Muhammad Shidqi Al-Burnu, Mausū’ah Al-Qawā’id Al-Fiqhiyyah, Kaidah Fiqih ke-101, Juz VIII, hlm.978; Mahmud Abdul Lathif ‘Uwaidhah, Al-Jāmi’ li Ahkām Al-Shalāh, Juz I, hlm.115).

Kesimpulannya, usaha salon anjing haram hukumnya dan ijarahnya tidak sah. Karena seluruh tubuh anjing anjing adalah najis, sehingga jasa perawatan anjing tidak dibenarkan, karena perawatan anjing yang najis itu, berarti termasuk memanfaatkan najis yang telah dilarang oleh syara’, sesuai firman Allah SWT :

فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Maka jauhilah najis itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS Al-Ma`idah [5] : 90)

 

Pendapat Mazhab Maliki

Memang, sebagaimana diketahui para ulama berbeda pendapat mengenai kenajisan anjing. Jumhur ulama (Imam Abu Hanifah, Syafi’i, Ahmad) berpendapat bahwa anjing adalah najis berat (najasah mughallazhah). Namun Imam Malik berpendapat anjing adalah suci (bukan najis). Diriwayatkan bahwa Imam Malik –rahimahullāh— dalam kitab Al-Mudawwanah Al-Kubrā pernah berkata :

مَنْ تَوَضَّأَ بِمَاءٍ قَدْ وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ وَصَلَّى أَجْزَأَهُ

“Barangsiapa yang berwudhu dengan air yang telah dijilat oleh anjing lalu shalat, maka shalatnya sah.”

(Lihat : Muhammad bin Abdirrahman al-Maghribi, Mawāhib Al-Jalīl, 1/175-176; ‘Alawi ‘Abbas Al-Maliki & Hasan Sulaiman An-Nuri, Ibānatul Al-Ahkām Syarah Bulūgh Al-Marām, [Kairo : Darul Kutub], 1969, Juz 1 hal. 44; Lihat juga Muhammad bin Abdirrahman Al-Dimasyqi, Rahmatul Ummah fi Ikhtilāf Al-A`immah, [Beirut : Darul Fikr], 1996, hal. 6).

Karena itu berikut ini akan kami uraikan dalil-dalil ulama Malikiyah dan bantahannya. Menurut ulama Malikiyah, anjing itu suci (bukan najis) dengan dalil Al-Qur`an dan Al-Hadits. Dalil Al-Qur`an menurut mereka adalah firman Allah SWT :

فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ

“Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu.” (QS Al-Ma`idah [5] : 4)

Firman Allah di atas menurut para ulama Malikiyah di atas menunjukkan sucinya anjing. Karena ayat tersebut membolehkan memakan binatang buruan yang ditangkap oleh anjing yang dilatih untuk berburu. Jadi, bekas gigitan anjing adalah suci sehingga anjingnya itu sendiri juga suci. (Muhammad bin Abdirrahman al-Maghribi, Mawāhib Al-Jalīl, 1/175; Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Al-Jāmi’ li Ahkām Al-Shalāh, Juz I, hlm.52 dst [bab Su’ru Hayawān]).

Selain itu mereka juga berhujjah dengan hadits dari shahabat Abu Tsa’labah Al-Khusyani RA :

عَنْ أَبِي ثَعْلَبَةَ الْخُشَنِيِّ قَالَ «قُلْتُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَصِيدُ بِكَلْبِي الْمُعَلّمِ وَبِكَلْبِي الَّذِي لَيْسَ بِمُعَلَّمٍ ، قَالَ : مَا صِدْتَ بِكَلْبِك الْمُعَلِّمِ فَاذْكُرْ اسْمَ اللَّهِ وَكُلْ، وَمَا أَصَدْتَ بِكَلْبِك الَّذِي لَيْسَ بِمُعَلَّمٍ فَأَدْرَكْتَ ذَكَاتَهُ فَكُلْ

Dari Abu Tsa’labah Al-Khusyani RA, dia berkata,”Aku berkata,’Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah berburu dengan anjingku yang terlatih dan anjingku yang tidak terlatih. Maka Rasulullah SAW bersabda,’Apa saja yang kamu buru dengan anjingmu yang terlatih maka sebutlah nama Allah dan makanlah. Dan apa saja yang kamu buru dengan anjingmu yang tidak terlatih, lalu kamu sempat menyembelihnya, maka makanlah.” (HR Abu Dawud, Bukhari, Ibnu Majah).

Menurut ulama Malikiyah, hadits di atas juga menunjukkan sucinya anjing, sebab hadits di atas tidak menyebut-nyebut keharusan mencuci bekas gigitan anjing, baik anjing terlatih maupun anjing tak terlatih. (Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Al-Jāmi’ li Ahkām Al-Shalāh, Juz 1, hal. 52 dst [bab Su’ru Hayawān]).

Sementara itu hadits Abu Hurairah RA yang memerintahkan mencuci bekas jilatan anjing pada bejana, dipahami secara berbeda oleh para ulama Malikiyah. Menurut mereka, perintah itu mengandung ta’līl (alasan penetapan hukum). Ta’līl mencuci bekas jilatan anjing adalah ta’abbudi (hanya dilaksanakan atas dasar ibadah murni), artinya, bukan karena anjing itu najis. (Lihat Muhammad bin Abdirrahman al-Maghribi, Mawāhib Al-Jalīl, 1/175-176).

 

Bantahan

Syaikh Mahmud Abdul Lathif ‘Uwaidhah dalam kitabnya Al-Jāmi’ li Ahkām Al-Shalāh telah memberikan bantahan terhadap pendapat para ulama Malikiyah di atas.

Mengenai pemahaman QS Al-Ma`idah ayat 4 dan hadits Abu Tsa’labah Al-Khusyani RA di atas, dijelaskan dua poin bantahan :

Pertama, memang dua nash tersebut diam (sukūt) dalam persoalan mencuci bekas gigitan atau jilatan anjing. Jadi diamnya dua nash ini dalam persoalan mencuci bekas gigitan atau jilatan anjing, dipahami sebagai dalil sucinya anjing. Walhasil sucinya anjing didasarkan pada mafhūm (pengertian menurut apa yang tersirat/tidak terucap) dari dua nash tersebut.

Tetapi, kata Syaikh Mahmud Abdul Lathif ‘Uwaidhah, ada nash lain yang berbicara (nuthq) mengenai persoalan itu, yaitu nash hadits Abu Hurairah RA yang menjelaskan perintah mencuci bejana sebanyak tujuh kali jika anjing telah menjilatinya. Kewajiban ini dipahami secara manthūq (pengertian menurut apa yang tersurat/terucap) dari nash hadits Abu Hurairah RA tersebut. Padahal sudah jelas dalam ilmu ushul fiqih, bahwa makna dari manthūq lebih kuat daripada makna dari mafhūm. Makna dari mafhūm pun tidak dapat membatalkan makna dari manthūq.

Kedua, topik dua nash di atas (QS Al-Ma`idah ayat 4 dan hadits Abu Tsa’labah Al-Khusyani RA) berbeda dengan nash hadits Abu Hurairah RA yang memerintahkan mencuci jilatan anjing. Kedua nash di atas topiknya adalah bolehnya menggunakan anjing terlatih untuk berburu dan bolehnya memakan binatang buruan yang ditangkap oleh anjing terlatih.

Jadi, topiknya bukan masalah suci atau tidaknya anjing, sebagaimana dipahami oleh ulama Malikiyah. Mengenai suci atau tidaknya anjing, ada nash lain yang menerangkannya, yaitu hadits Abu Hurairah RA yang memerintahkan mencuci jilatan anjing. (Syaikh Mahmud Abdul Lathif ‘Uwaidhah, Al-Jāmi’ li Ahkām Al-Shalāh, 1/52-68).

Mengenai pendapat ulama Malikiyah bahwa ta’līl mencuci bekas jilatan anjing  adalah semata-mata ibadah (ta’abbudi), juga dikemukakan bantahannya. Menurut Syaikh Mahmud, pendapat itu tidak tepat. Sebab di dalam hadits Abu Hurairah RA tersebut justru terdapat dalil yang meniadakan unsur ta’abbudi dalam pencucian jilatan anjing. Dalil itu terdapat dalam perintah Nabi SAW untuk menumpahkan bejana yang telah dijilat anjing. Perhatikan kembali hadits Abu Hurairah RA di atas:

إِذَا وَلَغَ الكَلْبُ فِي إِناءِ أَحَدِكُمْ فَلْيُرِقْهُ ، ثُمَّ لِيَغْسِلَهُ سبعَ مِرارٍ

“Jika seekor anjing menjilati bejana salah seorang kalian, tumpahkanlah bejana itu dan cucilah ia tujuh kali.” (HR Muslim dan Nasa`i).

Syaikh Mahmud Abdul Lathif ‘Uwaidhah berkata :

فَهَذَا الْأَمْرُ بِالْإِرَاقَةِ يَنْفِي النَّاحِيَةَ التَّعَبُّدِيَّةَ

“Perintah untuk menumpahkan bejana (yang telah dijilat anjing) ini telah menafikan unsur ta’abbudi.” (Mahmud Abdul Lathif ‘Uwaidhah, Al-Jāmi’ li Ahkām Al-Shalāh, 1/73).

Jadi, andaikata Nabi SAW hanya memerintahkan untuk mencuci bejana sebanyak tujuh kali tanpa memerintahkan menumpahkan bejana, mungkin dapat dipahami perintah itu hanya karena ta’abbudi. Namun Nabi SAW ternyata tidak hanya memerintahkan mencuci bejana sebanyak tujuh kali, tapi sekaligus juga memerintahkan untuk menumpahkan isi bejana. Ini tidak mengandung pengertian lain, kecuali bahwa bekas jilatan anjing itu adalah najis. (Syaikh Mahmud Abdul Lathif ‘Uwaidhah, Al-Jāmi’ li Ahkām Al-Shalāh, 1/73).

Berdasarkan penjelasan ini, nampaklah kelemahan pendapat mazhab Maliki yang menyatakan sucinya anjing. Terbukti pula bahwa pendapat jumhur ulama dari mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Hambali yang menyatakan najisnya anjing adalah lebih kuat (rājih). Wallāhu a’lam.

 

Kesimpulan

Usaha salon anjing haram hukumnya dan tidak sah. Gaji orang yang bekerja dalam usaha salon anjing adalah haram, karena ijarah usaha salon anjing adalah tidak sah, baik ijarah antara pemilik anjing dengan pengusaha salon anjing, maupun ijarah antara pengusaha salon anjing dengan para pegawainya. Hal itu karena menurut pendapat yang kuat (rājih), seluruh tubuh anjing adalah najis. Padahal syara’ telah memerintahkan kita untuk menjauhi segala sesuatu yang najis. Daging anjing juga haram, karena anjing adalah najis berat (najis mughallazhah). Wallāhu a’lam. [ ]

 

Yogyakarta, 28 April 2008

Muhammad Shiddiq Al-Jawi (*)

 

= = =

(*) Telah diedit kembali oleh Penulis di Jakarta, pada hari Ahad 28 Mei 2023.