
Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi
Tanya :
Ustadz, ada fatwa MUI yang menyatakan kalau seseorang terlanjur utang ke bank, maka dia tetap wajib membayar bunganya, sesuai hadits Nabi SAW : “Kaum muslimin terikat dengan syarat dan ketentuan yang disepakati.” (Fatwa terlampir, sumber di sosmed mereka : https://www.facebook.com/share/p/1A3NzzUAWN/). Bagaimana menurut Ustadz? (Firli, Yogyakarta)
Jawab :
Intisari (khulāshah) dari fatwa MUI tersebut di atas terdapat 3 (tiga) butir fatwa untuk orang yang terlanjur pinjam uang dari bank kemudian dia tahu bahwa bunga itu riba yang hukumnya haram, yaitu;
(1) Orang itu wajib langsung bertaubat dari riba.
(2) Orang itu tetap wajib membayar utang dan tambahannya (ribanya).
(3) Orang itu tidak sah hanya membayar pokok pinjaman, tapi menolak membayar bunga dan dendanya.
Menurut kami, fatwa MUI tersebut batil dan tidak halal diamalkan, dengan 5 (lima) alasan sebagai berikut;
Pertama, karena dalam fatwa MUI tersebut terdapat kontradiksi antara fatwa pertama dengan fatwa kedua dan fatwa ketiga, yang mengakibatkan taubat seorang pelaku riba menjadi tidak sah.
Fatwa pertama menyatakan bahwa orang itu wajib langsung bertaubat dari riba. Artinya, orang itu semestinya tidak membayar riba, karena taubat nasuha itu ada 3 (tiga) syarat, yaitu :
(1)Berhenti dari berbuat dosa itu.
(2)Menyesali dosa yang telah dilakukan.
(3)Berazam (bertekad kuat) tidak mengulangi dosa itu. (Imam Nawawi, Riyādhus Shālihīn, I/17).
Jadi, bukankah bertaubat dari riba itu, artinya berhenti membayar riba? Lalu bagaimana mungkin bisa bertaubat dari riba, jika ribanya tetap dibayar?
Walhasil, fatwa pertama yang mewajibkan orang itu bertaubat dari riba, yaitu tidak membayar riba, bertentangaan dengan fatwa kedua dan fatwa ketiga, yaitu tetap mewajibkan membayar riba.
Jadi, seolah-olah fatwa MUI itu berbunyi, bertaubatlah kamu dari riba, jadi kamu harus berhenti bayar riba, tapi kamu harus tetap bayar ribanya itu. Fatwa yang kontradiktif bukan?
Fatwa yang kontradiktif dari MUI tersebut, yakni di satu sisi meminta pelaku riba bertaubat, tapi di sisi lain mewajibkan ribanya tetap dibayar, akan berakibat fatal, yaitu taubat dari orang itu hukumnya tidak sah. Mengapa? Karena orang itu tidak memenuhi satu syarat dari tiga syarat taubat, yakni harus berhenti dari maksiat. Hal ini ditegaskan oleh Imam Nawawi :
فَإِنْ فَقَدَ أَحَدُ الثَّلَاثَةِ لَمْ تَصِحَّ تَوْبَتُهُ.) الإمام النووي، رياض الصالحين، ج 1 ص 17)
“Jika tidak terdapat satu dari tiga syarat taubat tersebut, maka tidak sah taubatnya.” (Imam Nawawi, Riyādhus Shālihīn, I/17).
Kedua, fatwa kedua dan fatwa ketiga, yang tetap mewajibkan membayar riba, batil karena berarti merupakan perbuatan menunda-nunda taubat, sesuatu yang tidak dibenarkan oleh ulama secara ittifāq (menurut kesepakatan ulama).
Imam Nawawi berkata dalam kitabnya Syarah Shahīh Muslim :
وَاتَّفَقُوا عَلَى أَنَّ التَّوْبَةَ مِنْ جَمِيعِ الْمَعَاصِي وَاجِبَةٌ عَلَى الْفَوْرِ، وَلَا يَجُوزُ تَأْخِيرُهَا، سَوَاءٌ كَانَتْ الْمَعْصِيَةُ صَغِيرَةً أَوْ كَبِيرَةً
“Mereka (para ulama) sepakat bahwa taubat dari segala maksiat wajib dilakukan dengan segera, tidak boleh menundanya, baik maksiat itu dosa kecil mapun dosa besar.” (Imam Nawawi, Syarah Shahīh Muslim, 17/59).
Firman Allah SWT :
وَسَارِعُوْٓا اِلٰى مَغْفِرَةٍ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمٰوٰتُ وَالْاَرْضُۙ اُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِيْنَۙ
“Bersegeralah kamu menuju ampunan dari Tuhanmu dan surga (yang) luasnya (seperti) langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali ‘Imran : 133)
Ketiga, fatwa kedua dan fatwa ketiga, yang tetap mewajibkan membayar riba bagi orang yang pinjam uang (qardh) dari bank, batil karena bertentangan dengan ijma’ ulama yang sepakat mengharamkan tambahan atas pinjaman (qardh) jika dipersyaratkan.
Imam Ibnul Mundzir dalam kitabnya Al-Ijmā’ berkata :
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ الْمُسلفَ إِذَا شَرَطَ عِنْدَ السَّلَفِ هَدِيَّةً أَوْ زِيَادَةً فَأَسْلَفَ عَلَى ذَلِكَ أَنَّ أَخْذَهُ الزِّيَادَةَ رِبًا
“Mereka (para ulama) sepakat bahwa jika pemberi pinjaman mensyaratkan adanya hadiah atau tambahan pada saat pemberian pinjaman, lalu dia memberi pinjaman atas dasar syarat itu, maka pengambilan dia atas tambahan itu adalah riba.” (Imam Ibnul Mundzir, Al-Ijmā’, hlm. 136).
Imam Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni berkata :
وَكُلُّ قَرْضٍ شَرَطَ فِيهِ أَنْ يَزِيدَهُ فَهُوَ حَرَامٌ بِغَيْرِ خِلَافٍ
“Setiap-tiap pinjaman (qardh) yang mensyaratkan padanya suatu tambahan, maka tambahan itu adalah haram, tidak ada perbedaan pendapat (di kalangan ulama).”(Imam Ibnu Qudamah, Al-Mughni, 4/240).
Imam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Majmū’ul Fatāwā berkata :
وَقَدْ اتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّ الْمُقْتَرِضَ إِذَا اشْتَرَطَ زِيَادَةً عَلَى قَرْضِهِ كَانَ ذَلِكَ حَرَامًا
“Sungguh para ulama telah sepakat bahwa pemberi pinjaman (qardh) jika mensyaratkan tambahan atas pinjamannya, maka tambahan itu haram.” (Ibnu Taimiyyah, Majmū’ul Fatāwā, Juz ke-29, hlm. 334).
Keempat, fatwa ketiga, yang tetap mewajibkan membayar riba bagi orang yang terlanjur pinjam uang (qardh) dari bank, dengan alasan sudah sesuai kesepakatan atau sudah sesuai syarat dan ketentuan, adalah batil karena syarat membayar riba itu tidak diperbolehkan dan bertentangan dengan Syariah Islam.
Imam Syafi’i berkata dalam kitabnya Al-Umm :
وَإِنَّمَا يُوَفَّى مِنْ الشُّرُوطِ مَا يُبَيِّنُ أَنَّهُ جَائِزٌ وَلَمْ تَدُلَّ سُنَّةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ عَلَى أَنَّهُ غَيْرُ جَائِزٍ
“Sesungguhnya syarat-syarat yang wajib dipenuhi itu hanyalah syarat-syarat yang telah jelas dibolehkan (dalam syariah Islam), dan tidak terdapat Sunnah Rasulullah yang menunjukkan syarat itu tidak boleh.” (Imam Syafi’i, Al-Umm, 5/80).
Jadi, adanya syarat dan ketentuan (S&K), bahwa nasabah tetap wajib membayar bunga (riba) atas pinjamannya ke bank, adalah syarat yang batil yang tidak boleh diamalkan, karena telah menghalalkan bahkan mewajibkan yang haram (yaitu riba).
Rasulullah SAW tidak membolehkan syarat yang batil, sesuai sabdanya:
مَنِ اشْتَرَطَ شَرْطًا لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ، وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ
“Barangsiapa menetapkan suatu syarat yang bertentangan dengan Kitabullah (Al-Qur`an) maka syarat itu batil, meskipun ada seratus syarat.” (HR. Muslim, no. 1504; Al-Bukhari, no. 2168; Abu Dawud, no. 3929).
Rasulullah SAW telah menyatakan kaum muslimin terikat dengan syarat dan ketentuan yang disepakati. Tetapi ini ada perkecualiannya, yaitu jika syarat dan ketentuan yang ada mengharamkan yang halal, atau menghalalkan yang haram, maka syarat dan ketentuan itu tidak boleh diikuti :
الْمُسْلِمُونَ عِنْدَ شُرُوطِهِمْ، إِلَّا شَرْطًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ شَرْطًا أَحَلَّ حَرَامًا. رواه البيهقي وغيره
“Kaum muslimin (terikat) dengan syarat-syarat di antara mereka, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau syarat yang menghalalkan yang haram.” (HR. Al-Baihaqi dan lain-lain).
Kelima, fatwa yang tetap mewajibkan membayar riba yang haram, bertentangan dengan kaidah tarjih dalam Ilmu Ushul Al-Fiqih. Kaidah tarjih yang dimaksud, adalah jika di satu sisi ada keharaman membayar riba, sementara di sisi lain ada kewajiban membayar utang, atau kewajiban memenuhi syarat dan ketentuan, maka yang dikuatkan (dirajihkan) adalah hukum haram (tidak membayar riba), bukan hukum wajib (membayar utang plus ribanya). Ini sesuai kaidah tarjih dalam Ilmu Ushul Al-Fiqh yang berbunyi :
يُرَجَّحُ التَّحْرِيْمُ عَلىَ اْلإِيْجاَبِ
“Dirajihkan (dikuatkan/dimenangkan) dalil yang mengharamkan atas dalil yang mewajibkan (sesuatu).” (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islāmiyyah, 3/493; Imam Al-Baidhawi, Nihāyatul Sūl Syarah Minhāj Al-Ushūl fī ‘Ilmi Al-Ushūl, 4/503).
Kesimpulannya, fatwa MUI yang tetap mewajibkan membayar riba kepada orang yang terlanjur meminjam uang ke bank, adalah fatwa yang batil dan tidak halal untuk diamalkan oleh kaum muslimin. Wallāhu a’lam.
Yogyakarta, 17 Oktober 2025
Muhammad Shiddiq Al-Jawi