SKENARIO GLOBAL MELAWAN ISLAM
Kalangan penolak UU Pornografi mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka berusaha menjegal pelaksanaan UU yang mengatur pornografi di Indonesia. Mereka berdalih UU itu tidak sesuai dengan hak asasi manusia, pluralisme, kebhinekaan, adat dan budaya dll. Padahal UU itu sendiri telah jauh dari rancangan semula ketika masih dalam bentuk RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi.
Bahkan untuk memperkuat argumennya ke MK, mereka tanpa malu-malu mencatut pandangan Ketua DPP HTI M. Shiddiq Al Jawi yang secara substansial sebenarnya sangat bertolak belakang. Mengapa mereka berani melakukan itu? Apa tujuan mereka di balik itu? Berikut wawancara wartawan Media Umat Mujiyanto dengan M. Shiddiq Al Jawi beberapa waktu lalu di Jakarta.
Tulisan Anda menjadi salah satu dasar judicial review kalangan anti Islam ke MK. Tanggapan Anda?
Saya cukup terperanjat, soalnya judicial review itu ‘kan diajukan oleh komunitas non muslim dengan tujuan menolak UU Pornografi. Kita tahu mereka dan kelompok liberal selama ini terus menerus menolak undang-undang itu, bahkan ketika masih dalam bentuk draft yaitu RUU APP. Dengan mengutip tulisan saya, dan bahkan menyebut kedudukan saya sebagai Ketua DPP HTI, saya anggap itu pencatutan yang tidak pada tempatnya. Publik akan tergiring pada opini seakan-akan saya atau HTI menolak UU Pornografi dan dengan itu, publik menggolongkan saya atau HTI ke dalam barisan mereka. Padahal mereka itu kan golongan kafir atau munafik. Nauzhubillah... Terlebih lagi opini publik sudah terlanjur terbentuk, bahwa masyarakat terbelah jadi dua. Ada yang pro terhadap UU Pornografi, yaitu kelompok Islam, dan ada yang kontra yaitu kelompok liberal. Jadi, pencatutan saya itu akan disalahpahami oleh publik, termasuk kelompok atau ormas Islam. Publik akan berpikir seakan saya atau HTI otomatis tergolong kelompok yang kontra alias kelompok liberal, dan di sisi lain akan berhadapan dengan kelompok Islam. Gila apa, masak saya digolongkan kelompok liberal? Jadi, itu cuma pencatutan yang tidak pada tempatnya. Karena sesungguhnya substansi tulisan saya tidaklah begitu.
Sebenarnya seperti apa pendapat Anda itu?
Tulisan saya yang dikutip berjudul Kritik Terhadap UU Pornografi : Perspektif Islam yang saya upload di situs pribadi saya. Substansi tulisan saya sebenarnya dua hal. Yang pertama, saya ingin mengkritik UU itu dari tiga segi, yaitu metodologi penemuan hukum, landasan ideologi, dan substansi hukum. Dari segi subtansi substansi misalnya, saya mengkriti perubahan nama dari RUU APP (Anti Pornografi & Pornoaksi) menjadi UU Pornografi. Menurut saya perubahan itu sangat fundamental. Kalau RUU APP, semangatnya memberantas pornografi. Sedang UU Pornografi semangatnya mengatur, bukan memberantas pornografi. Ini yang pertama. Yang kedua, saya menghendaki pemberantasan pornografi dengan Syariah Islam, bukan yang lain. Jadi, sudah jelas. Saya tidak dalam posisi menolak atau menerima UU Pornografi itu. Coba lihat judul tulisan saya, ‘kan jelas dari judulnya, saya akan mengkritisi UU itu. Itulah inti tulisan saya.
Berarti pendapat Anda hanya mengkritisi, bukan menolak UU Pornografi?
Benar. Saya hanya mengkritisi, bukan menolak UU Pornografi. Ini sejalan dengan pernyataan Juru Bicara (Jubir) HTI pada 17 September 2008, judulnya Kritik Terhadap UU Pornografi. Jadi, HTI secara resmi mengkritisi. Andaikata tulisan saya mengandung pernyataan implisit untuk menolak UU itu, maka saya tegaskan bahwa yang berlaku dan resmi adalah pernyataan resmi dari Jubir HTI tadi, bukan tulisan saya. Apalagi semangat tulisan saya sendiri pun sebenarnya adalah mengkritik.
Menurut Anda, mengapa kalangan anti Islam ini begitu getol menentang UU Pornografi tersebut?
Menurut saya ada dua alasan. Yang pertama, alasan agama, maksudnya ada unsur sentimen agama di kalangan non Islam untuk menolak UU Pornografi. Ada semacam anggapan di kalangan mereka, bahwa UU Pornografi itu adalah aspirasi umat Islam. Jadi mereka merasa harus menentang UU itu, karena UU itu dianggap mengandung muatan syariah Islam. Ini seperti halnya ketika kalangan non muslim menentang berbagai RUU atau perda syariah. Yang kedua, alasan ideologis. Maksud saya, ideologi mereka itu kan kapitalisme-sekuler. Ideologi ini memandang agama tidak boleh diterapkan ada ranah publik sebagai undang-undang. Selain itu, ideologi ini menganggap kebebasan individu adalah harga mati yang tidak boleh diintervensi oleh negara. Karena itulah mereka merasa harus menentang UU Pornografi, karena UU ini dianggap sebagai bentuk intervensi negara terhadap kebebasan individu.
Adakah upaya ini terkait dengan upaya liberalisasi Indonesia?
Jelas ada kaitannya. Saya melihat judicial review itu tidak berdiri sendiri, tapi hanya bagian dari skenario besar dari kalangan liberal atau sekuler untuk meliberalkan Indonesia. Tujuan mereka agar Indonesia ini jadi sekuler secara kaffah, di samping untuk menjegal penerapan Syariah Islam dalam ranah publik. Kalau kita amati sepak terjang mereka, mereka sangat konsisten dengan sekulerisme dan sangat membenci Islam. Ingat saja upaya mereka mengajukan draft KHI (Kompilasi Hukum Islam) yang kontroversial itu. Mengapa? Karena menyamakan bagian waris pria dan wanita, memberikan hak talak pada wanita, membolehkan nikah kontrak, dan sebagainya. Mereka juga menolak RUU Ekonomi Syariah, lalu bersatu padu membela Ahmadiyah yang sesat dan kafir. Akhir-akhir ini mereka terus menentang poligami, seperti terlihat dari propaganda murahan mereka untuk menolak caleg-caleg yang melakukan poligami. Jadi, saya lihat penolakan kaum liberal terhadap UU Pornografi ini bukan agenda yang berdiri sendiri. Ini sangat terkait dengan agenda besar untuk membuat Indonesia ini makin terjerumus ke dalam jurang sekulerisme yang sangat destruktif. Kalau UU Pornografi nanti dibatalkan, meski UU ini bagi saya memang banyak kelemahannya, perusakan moral akan terjadi lebih dahsyat dan mengerikan. Seni budaya sekarang yang sudah sangat liberal dan liar, akan semakin membuat moral masyarakat jadi bejat dan bobrok.
Mengapa perusakan moral ini penting bagi mereka?
Saya kira ini terkait aspek ideologi dan aspek strategi. Secara ideologis, kebebasan itu kan salah satu prinsip sekulerisme. Kalau tidak membela kebebasan, entah itu kebebasan beragama atau kebebasan berperilaku, bukan orang sekuler namanya. Jadi, ketika kaum liberal membela kaum gay, lesbian, misalnya, itu mereka lakukan karena kebebasan itu hukumnya wajib menurut mereka. Lalu secara strategis, perusakan moral ini penting demi melemahkan dan melumpuhkan umat Islam, khususnya generasi mudanya. Umat Islam yang kuat dan tidak terbius dengan budaya mereka itu, tentu akan menakutkan mereka. Tapi saya ingin sampaikan di sini, kaum liberal tentu tak akan mau disebut melakukan perusakan moral masyarakat. Dalam aksi mereka menentang RUU APP, mereka mengatakan,”Tolak pornografi dan tolak juga RUU APP.” Jadi mereka juga tidak mau disebut pro pornografi. Nah di sinilah umat Islam harus cerdas dan tidak tertipu. Kalau toh mereka menolak pornografi, kita harus mengkritisi, apakah mereka menolak sekularisme? Apakah mereka menolak kebebasan? Apakah mereka mau diatur Syariah Islam? Saya kira jawabannya sangat jelas. Tak mungkin mereka menolak sekularisme atau menolak kebebasan. Tak mungkin mereka mau diatur Syariah Islam. Justru di sinilah, umat harus kritis. Ketika mereka mempertahankan kebebasan, artinya apa? Artinya ya merusak moral masyarakat itu, meski secara verbal mereka menolak pornografi. Itu hanya tipu-tipu saja, untuk menutupi kejahatan mereka. Umat jangan terkecoh.
Siapa yang ada di balik upaya ini?
Agenda liberalisasi ini sebenarnya agenda global. Bukan agenda lokal semata. Berbagai pihak yang menjalankan agenda liberalisasi di sini, baik itu individu, LSM, ormas, lembaga pendidikan, dan sebagainya, tidak terlepas dari jaringan internasionalnya, khususnya di negara-negara Barat, baik Eropa atau Amerika. Menurut pengamatan saya, yang ada di balik upaya ini adalah negara-negara kapitalis-sekuler di Barat, seperti AS, yang ingin mempertahankan dan memperdalam cengkeraman sekulerisme di Dunia Islam, agar Dunia Islam tidak bisa bangkit dan terus berada di bawah hegemoni negara-negara penjajah itu.
Menurut Anda, cukupkah masyarakat sekarang terlindungi dengan adanya UU Pornografi yang ada?
Menurut saya belum cukup. Coba lihat pasal 14 UU Pornografi sekarang. Pasal itu menyebutkan, bahwa “Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan materi seksualitas dapat dilakukan untuk kepentingan dan memiliki nilai: a. seni dan budaya; b. adat istiadat; dan c.ritual tradisional”. Artinya, dalam kegiatan seni dan budaya, materi seksualitas dibolehkan sebagai perkecualian. Jadi goyang dangdut yang rendahan, tak bisa dilarang dengan UU ini. Makanya kemarin waktu kampanye Pemilu Legislatif banyak parpol yang mengadakan hiburan dangdut yang disertai goyang erotis. Ini sangat memprihatinkan. Apalagi pesertanya banyak dari kalangan anak-anak. Demikian juga tari jaipong yang amoral juga tidak akan bisa dilarang dengan UU ini. Termasuk juga berbagai program TV seperti infotainment, sinetron, musik, dan sebagainya yang mengumbar aurat. Ini tidak dapat dicegah dengan UU ini. Semuanya akan aman-aman saja, dengan dalih semuanya dianggap seni dan budaya. Lalu apa artinya keberadaan UU Pornografi ini, kalau tidak bisa melarang aktivitas-aktivitas yang diharamkan Syariah Islam? Makanya UU Pornografi yang ada bagi saya memang belum bisa melindungi masyarakat. Malah bisa jadi UU Pornografi dapat menjadi legitimasi untuk kegiatan seni dan budaya yang merusak moral itu.
Bagaimana agar masyarakat terbebas dari perusakan moral?
Saya punya keyakinan, hanya Syariah Islam saja yang dapat melindungi masyarakat dari perusakan moral. Tanpa syariah Islam, masyarakat akan mengalami fasad atau kerusakan, entah itu kerusakan alam atau kerusakan sosial, seperti kerusakan moral. Syariah Islam yang saya maksudkan ini harus dilaksanakan oleh tiga pilar. Pertama, oleh individu. Ajaran Islam dapat memperbaiki kualitas moral secara individual, dengan menumbuhkan rasa takut kepada Allah SWT, rasa takut akan neraka, dan kerinduan akan surga. Sebagai contoh, dalam sebuah hadis tentang Isra’ Mi’raj disebutkan, Nabi SAW menyaksikan perempuan yang diikat dengan sebuah tiang dengan payudaranya. Malaikat Jibril lalu menjelaskan, wanita itu adalah wanita yang suka menampakkan aurat kepada bukan mahramnya. Ini saya kira akan dapat membangkitkan ketaatan, walau secara individual. Pilar yang kedua, adalah masyarakat. Maksudnya harus ada budaya amar ma’ruf nahi mungkar, atau saling mengingatkan, di antara masyarakat jika ada suatu kemungkaran. Kalau ada muda-mudi yang pacaran di tempat sepi, masyarakat harus berani menegur, misalnya. Budaya ini penting ditumbuhkan. Saya lihat di masyarakat pilar ini lemah sekali, karena terpengaruh budaya Barat yang nafsi-nafsi, atau tidak mau mencampuri urusan orang lain. Ini budaya yang salah karena bertentangan dengan Islam. Pilar yang ketiga, harus ada penegakan hukum Syariah oleh negara. Jadi di sini diperlukan formalisasi syariah oleh negara. Misalnya dengan menerapkan hukum cambuk bagi pezina yang belum kawin. Atau hukum rajam bagi pezina yang sudah kawin. Kalau ini dilaksanakan, saya yakin muda-mudi akan berpikir seribu kali untuk berbuat zina. Namun sayang sistem hukum ini belum terwujud hingga saat ini. Mungkin ini secara parsial sudah diterapkan di NAD. Tapi saya kira ini belum cukup.
Berarti harus ada perubahan sistem?
Benar, kita harus mengubah sistem hukum yang ada. Harusnya, di negeri muslim ini tidak boleh ada sistem hukum kecuali satu sistem saja, yaitu sistem hukum Islam. Sayang sekali, karena pengaruh penjajahan, kita sekarang melaksanakan tiga sistem hukum, yaitu sistem hukum Islam, hukum Barat, dan hukum adat. Sistem hukum selain Islam hukumnya haram menurut saya, dan yang melaksanakannya tidak dapat lepas dari dosa besar. Nauzhubillah…. Sebab di samping sistem hukum selain Islam merupakan hukum jahiliyah, melaksanakan sistem itu adalah sikap mempertahankan penjajahan. Jadi menurut saya, siapapun yang meneruskan sistem hukum selain Islam, saya anggap dia adalah agen penjajah yang berusaha mempertahankan penjajahan di negeri ini. [ ]
Sumber : Tabloid Media Umat (edisi cetak), Edisi 12, 12 – 25 Jumadil Awwal 1430 H / 8-21 Mei 2009, hal. 10-11.