Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi**
Fakta JKN oleh BPJS
JKN (Jaminan Kesehatan Nasional, Jamkesnas) adalah program jaminan kesehatan nasional yang diselenggarakan oleh BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial). BPJS ini merupakan lembaga yang dibentuk berdasarkan UU No 24 Tahun 2011 tentang BPJS, yang merupakan amanat dari UU yang ada sebelumnya, yaitu No 40 Tahun 2004 Tentang SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional). UU BPJS ini ini menetapkan ada dua jenis layanan BPJS, yaitu BPJS kesehatan dan BPJS ketenagakerjaan. BPJS sendiri akan mulai beroperasi tanggal 1 Januari 2014 yang tiba sebentar lagi.
Apa yang akan diperoleh rakyat dengan adanya JKN? Konon kabarnya berupa jaminan kesehatan yang disebut UHC (universal health coverage), yaitu cakupan layanan kesehatan yang menyeluruh. Artinya, rakyat siapapun bisa berobat gratis di mana saja, kapan saja, tanpa ada diskriminasi. Dalam salah satu forum sosialisasi JKN, seorang dokter berucap dengan mulutnya,”Mau cuci darah 1000 kali juga gratis, tidak ada batasan…Tidak ada lagi pasien yang meninggal karena dipingpong dari satu rumah sakit ke rumah sakit lainnya.” (majalahkesehatan.com, 23 Agustus 2013).
Kelihatannya itu sangat bagus dan menggiurkan rakyat, khususnya rakyat miskin, yang selama ini kurang mampu mengakses layanan kesehatan. Tapi tunggu dulu. Semua itu tidak bisa diperoleh dengan gratis, melainkan harus bayar. Jadi jaminan kesehatan yang disebut JKN ini menggunakan prinsip asuransi sosial, yakni setiap individu rakyat wajib membayar iuran per bulan kepada BPJS. Sifat pembayarannya pasti, alias paksaan. Jika rakyat tidak membayar, akan dihukum oleh negara.
Dalam UU No 40 Tahun 2004 tentang SJSN dan UU No 24 Tahun 2011 tentang BPJS, disebutkan pembiayaan JKN berasal dari iuran rakyat yang mengikuti prinsip asuransi sosial yang sifatnya wajib. Dalam UU No 40 Tahun 2004 tentang SJSN pasal 19 ayat 1 disebutkan,”Jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas.” Dalam pasal 1 butir ke-3 UU No 40 Tahun 2004 disebutkan,”Asuransi sosial adalah suatu mekanisme pengumpulan dana yang sifatnya wajib.”
BPJS dibolehkan mengambil iuran secara paksa (alias memalak) dari rakyat setiap bulan (mulai 1 Januari 2014), dengan masa pungutan yang berlaku seumur hidup, dan uang yang diambil tidak akan dikembalikan. Kecuali dikembalikan dalam bentuk layanan kesehatan menurut standar BPJS, yaitu saat sakit saja. Jika rakyat tidak bayar, akan dihukum oleh negara dengan sanksi berupa denda. (Lihat Buku Saku FAQ BPJS Kesehatan, Jakarta : Kemenkes RI, 2013).
Berapa besarnya uang yang dipalak oleh BPJS? Sesuai standar besarnya iuran JKN, jika seseorang itu pekerja yang menerima upah, misalnya PNS atau karyawan perusahaan swasta, besarnya iuran adalah 5% dari uang gaji, dimana 3% dibayar oleh pemberi kerja dan 2% dibayar oleh pekerja. Misalkan seorang pria PNS mempunyai seorang isteri dan tiga anak usia sekolah, dengan penghasilan Rp 3.755.000 per bulan. Maka besarnya iuran adalah 2% dari Rp 3.755.000 atau Rp 75.100 per bulan.
Jika seseorang itu pekerja yang bukan penerima upah, misal tukang bakso, tukang bubur kacang ijo, atau tukang becak, besarnya iuran per orang per bulan Rp adalah 25.500 (untuk perawatan kelas III), atau Rp 42.500 (untuk perawatan kelas II), atau Rp 59.500 (untuk perawatan kelas I). Padahal pria PNS tersebut dan juga tukang bakso tadi, tak hanya dibebani pemalakan struktural atas nama BPJS, tapi masih harus bayar uang sekolah anak, bayar biaya listrik, air, pulsa HP, tranportasi, bensin, rumah, pakaian, dan seterusnya yang harganya bukan semakin murah, malah semakin melangit dari hari ke hari. Inikah kesejahteraan rakyat yang diidamkan-idamkan oleh negara bagi rakyatnya?
Jika kita sebagai rakyat merasa terbebani (atau merasa terjajah) dengan iuran paksa oleh PBJS ini, itu perasaan yang wajar. Mengapa? Karena memang konsep jaminan kesehatan BPJS ini bukan karya anak bangsa sendiri, melainkan konsep dari negara kafir penjajah. Mana ada penjajah yang tulus ikhlas menyejahterakan masyarakat yang dijajahnya? Kalaupun berlagak menolong, mustahil motif penjajah adalah motif yang murni sosial, melainkan pasti ada embel-embel ingin meraup materi (uang) secara jahat dan rakus.
Konsep jaminan kesehatan nasinal (JKN) yang ada saat ini, berasal dari WTO (Word Trade Organization), institusi perdagangan global bentukan Barat pimpinan Amerika, yang memasukkan layanan kesehatan sebagai salah satu kesepakatan perdagangan global, atau yang disebut dengan GATS (General Agreements Trade in Services) tahun 1994. (Rini Syafri, “Mengapa JKN Wajib Ditolak”, http://www.hizbut-tahrir.or.id, hlm. 1).
Konsep JKN ini berakar dari suatu pandangan yang bersifat neoliberalistik, artinya berusaha menghilangkan peran negara/pemerintah dalam mengurus rakyat. Konsep ini menegaskan bahwa layanan kesehatan dianggap lebih baik diselenggarakan melalui asuransi sosial daripada diselenggaraakan oleh pemerintah. Dengan kata lain, JKN pada dasarnya adalah pengalihan tanggung jawab penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang asalnya ada di pundak pemerintah, lalu dipindahkan ke pundak institusi yang dianggap berkemampuan lebih tinggi dalam membiayai kesehatan atas nama peserta jaminan sosial. Institusi yang dimaksud, untuk konteks Indonesia, adalah BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial). (Rini Syafri, “Mengapa JKN Wajib Ditolak”, http://www.hizbut-tahrir.or.id, hlm. 2).
Konsep JKN ala Barat itu akhirnya menyusup ke Indonesia dan menjelma dalam bentuk UU SJSN (2004) dan BPJS (tahun 2011). Semua itu terjadi lantaran pemerintah Indonesia dipaksa oleh Barat untuk mengadopsi dan melaksanakannya, khususnya melalui LoI (Letter of Intent) antara pemerintah Indonesia dengan IMF pada saat Indonesia berupaya mengatasi krisis tahun 1998 yang lalu. (Arim Nasim, “SJSN dan BPJS : Memalak Rakyat Atas Nama Jaminan Sosial”, Tabloid Media Umat, Edisi 118, 20 Desember 2013 – 2 Januari 2014, hlm. 14).
Pandangan Hukum Islam
Haram hukumnya pemerintah menyelenggarakan jaminan kesehatan nasional berdasarkan UU No 40 Tahun 2004 Tentang SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional) dan UU No 24 Tahun 2011 tentang BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial).
Ada 5 (lima) alasan keharamannya, sebagai berikut :
Pertama, karena konsep jaminan kesehatan nasional tersebut bukanlah peraturan Syariah Islam, melainkan peraturan Hukum Kufur. Yang disebut hukum kufur, menurut Imam Taqiyuddin An Nabhani, adalah setiap hukum yang bukan hukum Syariah Islam. (kullu hukmin ghairi syar’iyyin huwa hukmu kufrin). (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam, Beirut : Darul Ummah, 2004, hlm. 136).
Padahal seorang muslim, siapapun dia, baik rakyat atau penguasa/pemimpin, haram hukumnya menerapkan hukum kufur, dan sebaliknya wajib menerapkan Syariah Islam saja, bukan hukum yang lain. Banyak ayat Al-Qur`an dan Al-Hadits yang menegaskan hal tersebut.
Misalkan firman Allah SWT :
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُوْلَئِكَ هُمْ الظَّالِمُونَ
“Dan barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah (Syariah Islam), maka mereka adalah orang-orang yang zalim.” (QS Al Maa`idah : 45).
Padahal hukum Islam itulah hukum yang terbaik, bukan hukum buatan manusia. Hukum buatan manusia inilah yang dalam Al Qur`an disebut dengan hukum Jahiliyyah / hukum thaghut. Firman Allah SWT :
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنْ اللَّهِ حُكْماً لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Apakah hukum Jahiliyyah yang mereka kehendaki. Dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS Al Maaidah : 50).
Firman Allah SWT :
يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ
“Mereka (orang-orang munafik) itu hendak berhukum kepada thaghut padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari thaghut itu.” (QS An Nisaa` : 60).
Kedua, karena konsep jaminan kesehatan nasional tersebut berasal dari kaum kafir penjajah yang dipaksakan atas kaum muslimin Indonesia.
Pemaksaan kaum kafir tersebut jelas dapat menimbulkan dominasi kaum kafir penjajah atau antek-anteknya atas kaum muslimin. Pada waktu yang sama pemaksaan itu dapat menghilangkan kedaulatan kaum muslimin untuk mengatur negeri sendiri berdasarkan hukum Syariah Islam.
Allah SWT berfirman :
وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلاً
“Dan sekali-kali Allah tidak akan menjadikan suatu jalan bagi orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang yang beriman.” (QS An Nisaa` : 141).
Ketiga, karena konsep jaminan kesehatan nasional tersebut akan menimbulkan mudharat, yaitu semakin beratnya beban hidup masyarakat, akibat pemaksaan iuran bulanan yang akan diambil secara paksa oleh BPJS.
Padahal Islam adalah ajaran yang mengharamkan segala bentuk mudharat, termasuk mudharat dalam bentuk iuran paksa yang menimbulkan beban tambahan atas rakyat yang sudah menderita selama ini.
Sabda Rasulullah SAW :
لا ضرر ولا ضرار في الإسلام
“Tidak boleh menimbulkan mudharat (bahaya) bagi diri sendiri dan juga mudharat (bahaya) bagi orang lain di dalam ajaran Islam.” (HR Ibnu Majah no 2340; Ahmad 1/133 & 5/326).
Allah SWT juga sudah mengingatkan agar umat Islam selalu mewaspadai kaum kafir yang memang selalu ingin menimbulkan mudharat bagi kita umat Islam. Firman Allah SWT :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لا يَأْلُونَكُمْ خَبَالاً وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتْ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (kaum kafir), karena mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi.” (QS Ali ‘Imran : 118).
Keempat, karena konsep jaminan kesehatan nasional tersebut bertentangan dengan Islam dalam hal peran negara. Konsep JKN adalah konsep kafir yang berusaha untuk menghilangkan peran dan tanggung jawab negara dalam mengurus rakyat, termasuk urusan jaminan kesehatan.
Sementara dalam ajaran Islam, negara mempunyai peran sentral dan sekaligus bertanggung jawab penuh dalam segala urusan rakyatnya, termasuk urusan kesehatan. Hal ini didasarkan pada dalil umum yang menjelaskan peran dan tanggung jawab seorang Imam / Khalifah (kepala negara Islam) untuk mengatur seluruh urusan rakyatnya. Sabda Rasulullah SAW :
فالأمير الذي على الناس راع، وهو مسئول عن رعيته
“Pemimpin yang mengatur urusan manusia (Imam/Khalifah) adalah bagaikan penggembala, dan dialah yang bertanggung jawab terhadap rakyatnya (gembalaannya).” (HR Bukhari no 4904 & 6719; Muslim no 1827).
Kelima, karena konsep jaminan kesehatan nasional tersebut bertentangan dengan jaminan kesehatan dalam Islam. Dalam JKN, jaminan kesehatan diperoleh oleh rakyat harus dengan membayar iuran yang dipaksakan (asuransi sosial).
Sedang dalam Islam, jaminan kesehatan diperoleh oleh rakyat dari pemerintah secara gratis (cuma-cuma), alias tidak membayar sama sekali.
Dalam ajaran Islam, negara wajib hukumnya menjamin kesehatan rakyatnya secara cuma-cuma, tanpa membebani rakyat untuk membayar. Dalam Shahih Muslim diriwayatkan sebagai berikut :
عن جابر قال: بعث رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى أبي بن كعب طبيبا فقطع منه عرقا ثم كواه عليه
Dari Jabir RA, dia berkata,”Rasulullah SAW telah mengirim seorang dokter kepada Ubay bin Ka’ab (yang sedang sakit). Dokter itu memotong salah satu urat Ubay bin Ka’ab lalu melakukan kay (pengecosan dengan besi panas) pada urat itu.” (HR Muslim no 2207).
Dalam hadits tersebut, Rasulullah SAW sebagai kepala negara Islam telah menjamin kesehatan rakyatnya secara cuma-cuma, dengan cara mengirimkan dokter kepada rakyatnya yang sakit tanpa memungut biaya dari rakyatnya itu. (Taqiyuddin An Nabhani, Muqaddimah Ad-Dustur, 2/143).
Terdapat pula hadits lain dengan maksud yang sama, dalam Al Mustadrak ‘Ala As Shahihain karya Imam Al Hakim, sebagai berikut :
عن زيد بن أسلم عن أبيه قال مرضت في زمان عمر بن الخطاب مرضا شديدا فدعا لي عمر طبيبا فحماني حتى كنت أمص النواة من شدة الحمية
“Dari Zaid bin Aslam dari ayahnya, dia berkata,”Aku pernah sakit pada masa Umar bin Khaththab dengan sakit yang parah. Lalu Umar memanggil seorang dokter untukku, kemudian dokter itu menyuruhku diet (memantang memakan yang membahayakan) hingga aku harus menghisap biji kurma karena saking kerasnya diet itu.” (HR Al Hakim, dalam Al Mustadrak, Juz 4 no 7464).
Hadits ini juga menunjukkan, bahwa Umar selaku Khalifah (kepala negara Islam) telah menjamin kesehatan rakyatnya secara gratis, dengan cara mengirimkan dokter kepada rakyatnya yang sakit tanpa meminta sedikitpun imbalan dari rakyatnya. (Taqiyuddin An Nabhani, Muqaddimah Ad-Dustur, 2/143).
Kedua hadits di atas merupakan dalil syariah yang shahih, bahwa dalam Islam jaminan kesehatan itu wajib hukumnya diberikan oleh negara kepada rakyatnya secara gratis, tanpa membebani apalagi memaksa rakyat mengeluarkan uang untuk mendapat layanan kesehatan dari negara.
Namun hal ini tak berarti bahwa jasa dokter swasta atau membeli obat dari apotek swasta hukumnya haram. Karena yang diperoleh secara gratis adalah layanan kesehatan dari negara. Adapun jika layanan kesehatan itu dari swasta (bukan pemerintah), misalnya dari dokter praktek swasta atau membeli obat dari apotik umum (bukan apotek pemerintah), maka hukumnya tetap boleh membayar jasa dokter atau membeli obat dari apotek swasta tersebut. Hal ini didasarkan pada dalil umum bolehnya berobat dengan membayar dan dalil umum bolehnya jual beli. (Taqiyuddin An Nabhani, Muqaddimah Ad-Dustur, 2/143).
Berdasarkan 5 (lima) alasan keharaman di atas, haram hukumnya pemerintah menyelenggarakan jaminan kesehatan nasional berdasarkan UU No 40 Tahun 2004 Tentang SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional) dan UU No 24 Tahun 2011 tentang BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial). DPR dan pemerintah yang bersekongkol secara jahat melegislasi kedua UU tersebut, kelak pada Hari Kiamat akan ditanya oleh Allah SWT di Padang Mahsyar, mengapa mereka membuat peraturan yang sedemikian zalim dan sangat memberatkan rakyat.
Maka dari itu, sudah saatnya seluruh rakyat Indonesia menolak penerapan kedua UU yang zalim tersebut. Karena kedua UU jelas-jelas tidak makin menyejahterakan dan mempermudah kehidupan rakyat, tapi malah semakin memperberat dan mempersulit hidup masyarakat yang sudah sulit.
Inilah akibatnya kalau ditengah umat Islam diterapkan peraturan kufur yang berasal dari kapitalisme Barat, khususnya neoliberalisme dalam bidang layanan kesehatan.
Peraturan kufur itu wajib dilawan dan dihancurkan hingga tidak berlaku lagi, lalu diganti dengan peraturan Syariah Islam yang berkah dan diridhoi Allah, termasuk Syariah Islam dalam bidang layanan kesehatan. Dan penerapan Syariah Islam ini tentunya tidak mungkin terwujud secara sempurna dalam sistem demokrasi-kapitalis yang kufur saat ini. Sistem yang dapat menerapkannya hanyalah negara Khilafah Islam saja, bukan yang lain. Sistem Khilafah inilah yang wajib kita ikuti dan kita tegakkan, karena itulah yang dulu dicontohkan oleh Rasululah SAW dan para Khulafa`ur Rasyidin yang mendapat petunjuk Allah. Ya Allah, kami sudah menyampaikan, saksikanlah ! Wallahu a’lam.
= = =
*Makalah disampaikan dalam Diskusi Publik yang diselenggarakan oleh DPC HTI Sewon DIY, hari Ahad, 22 Desember 2013, di masjid Al-Muhtar ISI (Institut Seni Indonesia), Yogyakarta.
Sumber :
https://ceramahideologis.wordpress.com/2013/12/31/pandangan-islam-terhadap-jaminan-kesehatan-nasional-jkn-oleh-bpjs-badan-penyelenggara-jaminan-sosial/
https://ceramahideologis.wordpress.com/2013/12/31/pandangan-islam-terhadap-jaminan-kesehatan-nasional-jkn-oleh-bpjs-badan-penyelenggara-jaminan-sosial/