Menyoroti Draft KHI Dari Perspektif Ideologis Dan Metodologis Oleh: M. Shiddiq al-Jawi Pengantar Draft KHI (Kompilasi Hukum Islam) yang kontroversial itu menurut para penggagasnya (Tim Pengarusutamaan Gender Depag) lahir sebagai upaya mencari alternatif dari tuntutan formalisasi Syari�at Islam yang kaffah pada satu sisi, dengan keharusan menegakkan demokrasi dalam nation-state Indonesia pada sisi yang lain. Agar menjadi hukum publik yang layak, maka menurut penggagas Draft KHI, setidak-tidaknya Syariat Islam perlu dikaji ulang dalam empat pendekatan utama, yakni gender, pluralisme, hak asasi manusia, dan demokrasi. Sementara itu KHI yang telah ada selama ini sejak tahun 1991 dianggap tidak memadai, kontradiktif dengan prinsip-prinsip universal, serta tidak sesuai dengan hukum nasional dan internasional. Secara metodologis Draft KHI lahir dari upaya pembaruan fiqih melalui tiga langkah yang dirumuskan sebagai berikut: Pertama, Revitalisasi kaidah ushul, misalnya (1) al �ibrah bi khusus sabab laa bi umum al-lafazh (yang menjadi patokan adalah khususnya sebab, bukan keumuman lafazh), (2) takhsis bi al-aql wa bi al-�urf (pengkhususan dengan akal dan adat kebiasaan), (3) al amr idza dlaqa ittasa�a (suatu perkara jika sempit maka akan meluas). Kedua, Jika langkah pertama tak cukup, maka dilakukan pembongkaran paradigma fiqih klasik, meliputi (1) melangkah dari teosentrisme ke antroposentrisme (2) melangkah dari eisegese ke exegese, (3) merelatifkan syariat, syariat sebagai wasilah (alat) bagi tujuan, (4) maslahah sebagai rujukan segala penafsiran, (5) melangkah dari berpikir deduktif ke induktif. Ketiga, Dari upaya pembongkaran tersebut, diperoleh kaidah ushul alternatif berikut: (1) al �ibrah bil maqashid la bil alfazh (yang menjadi patokan adalah maksud/tujuan syariah, bukan lafazh/kata dalam teks), (2), jawaz naskh nushush bi al mashlahah (dibolehkan menasakh teks dengan maslahah), (3) tanqih nushush bi aql al-mujtama� (mengoreksi teks dengan akal publik). Hasil dari langkah-langkah pembaruan tersebut, adalah Drat KHI yang membahas tentang perkawinan (116 pasal), kewarisan (42), perwakafan (20 pasal). Diharapkan Draft KHI yang kini menjadi RUU suatu saat akan disahkan oleh DPR menjadi UU sebagai pengganti KHI yang berlaku saat ini. Tulisan ini bertujuan menyoroti Draft KHI tersebut dari segi ideologis, metodologis, serta membahas beberapa pasal kontroversial. Muatan Ideologi Kapitalisme Dalam KHI Hal pertama yang harus disoroti adalah adanya muatan ideologi kapitalisme dalam Draft KHI yang ada. Ini nampak jelas melalui beberapa perspektif yang dipakai, yaitu gender, pluralisme, hak asasi manusia, dan demokrasi. Semua perspektif ini lahir dari ideologi kapitalisme yang berpangkal pada sekularisme. Kapitalisme pada asalnya adalah nama sistem ekonomi yang diterapkan di Barat. Milton H. Spencer (1977) dalam Contemporary Macro Economics mengatakan bahwa kapitalisme adalah sistem organisasi ekonomi yang bercirikan kepemilikan individu atas sarana produksi dan distribusi, serta pemanfaatan sarana produksi dan distribusi itu untuk memperoleh laba dalam mekanisme pasar yang kompetitif (lihat juga A. Rand, Capitalism: The Unknown Ideal, New York: A Signet Book, 1970). Karena fenomena ekonomi ini sangat menonjol dalam peradaban Barat, maka, menurut SyaikhTaqiyyudin An-Nabhani, kapitalisme kemudian digunakan juga untuk menamai ideologi yang ada di negara-negara Barat, sebagai sistem sosial yang menyeluruh (An-Nabhani, Nizham Al-Islam, 2001:26; W. Ebenstein, Isme-Isme Dewasa Ini, terj., Jakarta: Erlangga, 1990). Sebagai sebuah ideologi (Arab: mabda�), kapitalisme mempunyai aqidah (ide dasar) dan ide-ide cabang yang dibangun di atas aqidah tersebut. Aqidah di sini dipahami sebagai pemikiran menyeluruh (fikrah kulliyah) tentang alam semesta, manusia, dan kehidupan, serta tentang apa yang ada sebelum dan sesudah kehidupan dunia, serta hubungan kehidupan dunia dengan apa yang ada sebelum dan sesudah kehidupan dunia. Aqidah kapitalisme adalah pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme), sebuah ide yang muncul di Eropa sebagai jalan tengah antara dua ide ekstrem, yaitu keharusan dominasi agama (Katolik) dalam segala aspek kehidupan di satu sisi, dan penolakan total eksistensi agama (Katolik) di sisi lain. Akhirnya, sebagai jalan tengah, agama tetap diakui eksistensinya, hanya saja perannya dibatasi pada aspek ritual, tidak mengatur urusan kehidupan seperti politik, ekonomi, sosial, dan sebagainya (An-Nabhani, 2001:28). Di atas aqidah (ide dasar) sekularisme ini, dibangunlah berbagai ide cabang dalam ideologi kapitalisme, seperti demokrasi dan kebebasan. Ketika agama sudah dipisahkan dari kehidupan, berarti agama dianggap tak punya otoritas lagi untuk mengatur kehidupan. Jika demikian, maka manusia itu sendirilah yang mengatur hidupnya, bukan agama. Dari sinilah lahir demokrasi, yang berpangkal pada ide menjadikan rakyat sebagai sumber kekuasaan-kekuasaan (legislatif, eksekutif, yudikatif) sekaligus pemilik kedaulatan (pembuat hukum) (An-Nabhani, 2001:27). Demokrasi ini, selanjutnya membutuhkan prasyarat kebebasan. Sebab tanpa kebebasan, rakyat tidak dapat mengekspresikan kehendaknya dengan sempurna, baik ketika rakyat berfungsi sebagai sumber kekuasaan, maupun sebagai pemilik kedaulatan. Kebebasan ini dapat terwujud dalam kebebasan beragama (hurriyah al-aqidah), kebebasan kepemilikan (hurriyah at-tamalluk), kebebasan berpendapat (hurriyah al-ar`y), dan kebebasan berperilaku (al-hurriyah asy-syakhshiyyah) (Abdul Qadim Zallum, Ad-Dimuqrathiyah Nizham Kufr, 1993). Dari penjelasan ini, jelaslah bahwa gagasan-gagasan yang menjadi perspektif Draft KHI, yaitu pluralisme, HAM, dan demokrasi adalah ide-ide pokok dalam kapitalisme (Abdul Qadim Zallum, Al-Hamlah Amirikiyyah lil Qadha` `ala Al-Islam, 1996). Ide gender (feminisme) juga dapat dipahami sebagai bagian dari kapitalisme. Semua perspektif tersebut bertentangan dengan Islam. Konsep gender bertentangan dengan Islam karena dalam konsep gender semua hak dan kewajiban laki-perempuan disamakan. Tidak ada pembedaan, atau perkecualian. Sedang dalam Islam, pada dasarnya (al-ashl) hak dan kewajiban laki-perempuan adalah sama. Namun, dalam Islam diterima adanya pembedaan, jika terdapat dalil yang mengkhususkan (dalil takhsis). Ini sesuai kaidah ushul: al-`aam yabqaa `ala umumihi maa lam yarid dalil at-takhsis (dalil umum tetap dalam keumumannya selama tidak ada dalil yang mengkhususkan). Konsep HAM bertentangan dengan Islam, karena HAM berpangkal pada ide kebebasan (al-hurriyat), yang terwujud dalam empat macam kebebasan, yaitu kebebasan beragama (hurriyatul aqidah), kebebasan berpendapat (hurriyatur ra`yi), kebebesan kepemilikan (hurriyatut tamalluk), dan kebebasan berperilaku (al hurriyat asy syakhshiyyah). Islam tidak mengenal kebebasan dalam pengertian Barat, karena dalam Islam perbuatan manusia terikat dengan hukum syara�. Konsep demokrasi juga bertentangan dengan Islam. Sebab aspek terpenting dalam demokrasi, adalah ketetapannya bahwa pihak yang berhak membuat hukum (Al Musyarri�) adalah manusia itu sendiri, bukan Allah SWT. Ini logis saja bagi penganut ide pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme), karena pemisahan agama dari kehidupan itu berarti memberikan otoritas menetapkan hukum kepada manusia, bukan kepada Allah SWT. Bagi kaum muslimin, hal itu berarti tindak pembangkangan dan pengingkaran terhadap seluruh dalil yang qath�i tsubut (pasti sumbernya) dan qath�i dalalah (pasti pengertiannya) yang mewajibkan kaum muslimin untuk mengikuti syari'at Allah dan membuang peraturan apa pun selain syari�at Allah. Na�udzu billah min dzalik. Kewajiban di atas diterangkan oleh banyak ayat dalam al-Qur�an. Dan lebih dari itu, ayat-ayat yang qath�i tadi menegaskan pula bahwa siapa pun yang tidak mengikuti atau menerapkan syari'at Allah, berarti dia telah kafir, dzalim, atau fasik (Qs. al-Maa�idah [5]: 44, 45, 47). Konsep pluralisme juga bertentangan dengan Islam. Pluralisme bukan pluralitas. Pluralitas adalah fakta. Yaitu kemajemukan dalam masyarakat, seperti beragamnya suku, agama, ras, dan seterusnya. Sedang pluralisme adalah paham bagaimana menyikapi dan mengatur kemajemukan yang ada itu menurut pandangan hidup tertentu. Pluralisme dalam hal ini artinya adalah memandang dan mengatur kemajemukan dalam perspektif ideologi kapitalisme sekuler. Sehingga berbagai pranata dan sistem kehidupan yang mengatur kemajemukan, adalah sistem sekuler. Padahal pluralitas dalam Islam haruslah dipandang dari perspektif Aqidah Islamiyah serta diatur hanya dengan hukum-hukum syara� yang lahir dari aqidah tersebut. Kesimpulannya, Draft KHI yang ada sesungguhnya tidaklah mencerminkan Hukum Islam, melainkan mencerminkan dan mengekspresikan ideologi kapitalisme yang kafir. Dengan kata lain, Draft KHI adalah sarana pemaksaan nilai-nilai asing atas umat Islam Indonesia dengan kedok �hukum Islam�. Tegasnya, Draft KHI adalah alat penjajahan Barat atas umat Islam di bidang hukum keluarga. Problem Metodologis Draft KHI Muatan ideologi kapitalisme tersebut akhirnya berdampak lebih lanjut dalam aspek metodologinya, yang menjadi jalan (thariqah) untuk merumuskan ketentuan-ketentuan hukum Islam dalam Draft KHI. Beberapa catatan kritis patut diberikan bagi metodologi yang digunakan tersebut: Pertama, maslahat telah digunakan sebagai standar bagi segala sesuatu. Hal ini tentu tidak benar, sebab standar perbuatan dan aktivitas manusia dalam Islam adalah halal-haram (hukum syara�). Sesuai kaidah syariah: Al-Hasan maa hassanahu asy-syar�u wa al-qabiih maa qabbahahu asy-syar�u (apa yang baik adalah yang baik menurut pandangan hukum syara�, sedang apa yang buruk adalah yang buruk dalam pandangan hukum syara� ) (M. Muhammad Ismail, Al-Fikr Al-Islami, 1958). Kontras dengan ini, adalah pandangan ideologi kapitalisme yang menjadikan manfaat (an-naf�iyyah) sebagai standar perbuatannya. Standar ini kadang bernama utilitarianisme atau pragmatisme (Lihat Richard T. De George, �Applying Utilitarianism�, Business Ethics, 1995:73-77). Jadi, ketika para penggagas menyatakan bahwa maslahat menjadi rujukan penentuan hukum, sesungguhnya yang dimaksud adalah menjadi utilitarianisme sebagai standar bagi penentuan baik buruknya perbuatan manusia. Adapun maslahat, bukanlah standar perbuatan, dan bukan pula dalil hukum syara�. Pemahaman yang benar tentang posisi maslahat terhadap syariah, seharusnya adalah haitsuma yakunu asy-syar�u takunu al-maslahah (di mana ada penerapan syariah, maka di sana akan ada maslahat). Itulah yang benar, bukan aynama wujidat al-maslahah fa tsamma syar�ullah (dimana ada maslahat maka di sana ada hukum Allah) (M. Muhammad Ismail, Al-Fikr Al-Islami, 1958). Kedua, penggagas Draft KHI terjerumus dalam kekeliruan yang parah dalam hal hubungan kenyataan (al-waqi�) dengan hukum syara�. Mereka berpandangan bahwa kenyataan adalah sebagai faktor determinan yang menentukan suatu hukum syara�. Ini jelas keliru, dan sekaligus secara telanjang menunjukkan pola berpikir Barat dalam memandang kaitan fakta dengan hukum. Sebab dalam falsafah hukum Barat, realitas sosial masyarakat dipandang sebagai ibu kandung yang melahirkan nilai dan norma hukum. Dalam falsafah hukum Barat salah satu prinsipnya adalah �al-qaanuun waliid az-zuruf al-ijtima�iyyah� (undang-undang adalah anak kandung yang lahir dari situasi dan kondisi sosial masyarakat) (Mufti & Al-Wakil, At-Tasyri� wa Sannul Qawanin fi Ad-Dawlah Al-Islamiyah, 1992:10). Dalam Islam, fakta masyarakat bukanlah sumber hukum, bukan pula faktor yang dapat mengubah hukum, seperti halnya dalam falsafah hukum Barat. Hukum Islam bersumberkan pada wahyu, bukan realitas. Wahyu itu terwujud dalam Al-Kitab dan As-Sunnah, serta sumber hukum lain yang ditunjukkan keduanya, seperti Ijma� Shahabat dan Qiyas. Namun dalam proses istinbath hukum, pemahaman terhadap realitas empiris, memang diperlukan. Menurut Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani (1953) ada 3 (tiga) langkah yang harus ditempuh mujtahid dalam menggali hukum: Pertama, memahami fakta/problem secara apa adanya (fahmul musykilah al-qaimah). Kedua, memahami nash-nash syara� yang berkaitan dengan fakta tersehut, Ketiga, mengistinbath hukum dari nash, dan menerapkannya pada fakta. Jadi, dalam proses istinbath hukum, memang benar bahwa pemahaman terhadap fakta empiris sangat diperlukan bahkan mutlak. Tapi, posisinya bukanlah sebagai penentu status hukum, melainkan sebagai langkah awal yang mutlak harus dilakukan untuk memahami fakta yang akan menjadi sasaran penerapan hukum. Fakta inilah yang diistilahkan sebagai manath. Ketiga, langkah pembaruan fiqih yang dirumuskan sangatlah gegabah, yang hasilnya justru akan akan menghancurkan fiqih, bukan memperbaruinya. Langkah-langkah itu hanyalah operasionaliasi kaidah-kaidah berpikir kapitalistik-sekularistik dengan memperalat bahasa-bahasa fiqih. Misalkan tentang revitalisasi kaidah ushul al ibrah bi khusus sabab laa bi umum al-alfazh, sangatlah absurd. Sebab terkesan hanya mencomot kaidah marginal (marjuuh). Absurditas itu menjadi jelas karena tidak ada penjelasan sama sekali dari mana kaidah dirumuskan atau bagaimana argumentasinya. Mungkin argumentasinya, �pokoknya� sesuai dengan tujuan sempit para pengggagas Draft KHI. Kaidah takhsis bi al-aql wa bi al-�urf juga sangat absurd, sebab akal telah diposisikan setara dengan nash. Padahal akal manusia sangatlah terbatas dan hanya mampu menjangkau hal-hal yang terindera. Berbeda dengan nash yang diyakini sebagai wahyu Allah, Dzat Maha Mengetahui yang dapat menjangkau segala hal-hal di balik realitas yang tidak dapat dijangkau manusia. Demikian pula dengan langkah membongkar paradigma fiqih klasik, sangat jelas menggambarkan pola berpikir sekuler. Langkah teosentrisme (lahutaniyyah) menuju ke antroposentrisme (nasutaniyyah), misalkan, hanyalah jiplakan dari ide Adonis (nama aslinya Ali Ahmad Said), seorang pemikir yang sangat fanatik mendukung sekularisme (Lihat Khawatir Hawla Mazahir At-Takhalluf al-Fikri fi al-Mujtama� al-`Arabi, dalam Al-Adab, no. 5, tahun 1975). Sudah barang tentu dari langkah-langkah pembaruan yang keliru tadi dan mengandung muatan ideologi penjajah (sekularisme), dihasilkan kaidah ushul alternatif yang menjadi pisau analisis untuk mencincang Syari�at Islam, yaitu kaidah (1) al �ibrah bil maqashid la bil alfazh, (2), jawaz naskh nushush bi al mashlahah, (3) tanqih nushush bi �aql al-mujtama�. Kaidah pertama dan kedua tidak ada dalam khazanah Islam, sebab keduanya adalah kaidah berpikir sekularistik yang menjadikan manfaat sebagai standar segala sesuatu. Substansinya adalah utilitarianisme atau pragmatisme, bukan ide-ide Islam. Kaidah ketiga juga tidak ada dalam khazanah fiqih Islam, karena hanya merupakan ekspresi dari cara berpikir sekuler yang menjadikan akal sebagai pengganti wahyu. Atau dengan kata lain, manusialah yang pembuat hukum, bukan Tuhan. Ini adalah cara berpikir demokrasi yang menjadikan manusia sebagai pembuat aturan kehidupan bagi dirinya sendiri. Walhasil, semua kaidah ushul yang ditawarkan memang seakan-akan hebat dan baru. Tapi sesungguhnya itu adalah ungkapan-ungkapan lain ideologi kapitalisme, ideologi kaum penjajah yang kafir. Beberapa Pasal Kontroversial Muatan ideologis, lalu langkah metodologis yang ada, kemudian melahirkan berbagai pasal dalam Draft KHI. Berikut contoh dan tinjauan kritis beberapa pasal yang kontroversial: 1. Asas perkawinan adalah monogami. Perkawinan di luar itu harus dinyatakan batal secara hukum (pasal 3 ayat 2). Aneh, sesuatu yang dimubahkan Allah mereka larang, namun yang sudah jelas haramnya malah didiamkan atau bahkan didukung, seperti pasal-pasal yang membolehkan perjanjian perkawinan dalam jangka waktu tertentu. Allah telah menghalalkan poligami sebagai solusi atas suatu permasalahan, bukan untuk membuat permasalahan baru. Allah SWT berfirman: �Jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kalian mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kalian senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja.� (Qs. an-Nisaa� [4]: 3). Ayat ini bersifat umum, yang membolehkan poligami. Ayat ini memang turun berkaitan dengan konteks lelaki yang mengasuh anak-anak yatim perempuan, lalu lelaki tersebut mencampurkan hartanya dan harta mereka sehingga khawatir tidak bisa beraku adil, jika mengawini mereka. Tapi ayat ini bersifat umum dan tidak harus dikaitkan dengan konteks tersebut. Sebab tujuan ayat tersebut adalah membatasi jumlah isteri maksimal empat, karena sebelum turunnya ayat ini, jumlah wanita yang boleh diperisteri tidak ada batasannya. Dalilnya antara lain hadits Ghaylan bin Salamah RA, yang telah masuk Islam dan dia mempunyai sepuluh isteri, lalu mereka masuk Islam bersama Ghaylan. Maka Nabi SAW memerintahkan Ghaylan untuk memilih empat orang di antara mereka [HR. Ahmad dan at-Tirmidzi]. Berdasarkan ayat itu, poligami jelas adalah sesuatu yang halal. Bukan sesuatu yang haram. Lalu, atas dasar apa kita berani mengharamkan sesuatu yang telah dihalalkan Allah? 2. Calon suami dan istri bisa melakukan perjanjian perkawinan dalam jangka tertentu (pasal 28). Ini adalah fatwa legalisasi pelacuran terselubung. Alih-alih membasmi pelacuran, serta mengentaskan para pelacur dengan memperbaiki moralnya dan memberinya ketrampilan kerja, pasal ini malah semakin menjerumuskan para pelacur untuk terus melacur, karena ada dalih yang membolehkan kawin �dalam jangka waktu tertentu�. Mungkin perlu ditanya hati nurani para pembuat draf ini, maukah anak perempuan mereka atau saudara perempuan mereka dinikah dengan kontrak, misalnya sejam, sehari, atau seminggu? Dalam hal ini, Rabi� bin Sabrah menuturkan hadis dari bapaknya: �Sesungguhnya Nabi saw. telah mengharamkan menikahi wanita secara mut'ah (nikah �kontrak�).� [HR. Ahmad dan Abu Dawud]. 3. Perkawinan beda agama boleh (pasal 54). Para penggagas Draft KHI menganggap perkawinan antara orang Islam dan bukan orang Islam, adalah boleh. Mutlak dibolehkan. Mereka menilai pelarangan perkawinan beda agama melanggar prinsip pluralisme dalam Islam. Padahal Allah memang telah jelas mengharamkan kita menikahi orang-orang musyrik: �Janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang Mukmin lebih baik daripada wanita musyrik walaupun dia menarik hati kalian. Janganlah kalian menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita Mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang Mukmin lebih baik daripada orang-orang musyrik walaupun dia menarik hati kalian.� (Qs. al-Baqarah [2]: 221). Jelaslah, bahwa para penggagas Draft KHI telah menjadikan pluralisme sebagai alasan untuk membuang ayat di atas. Ini suatu tindakan yang sangat keterlaluan dan kurang ajar, karena mengutamakan pikiran manusia di atas ayat Allah yang mulia. 4. Bagian warisan untuk anak laki-laki dan anak perempuan sama, 1:1 (pasal 8 ayat 3). Terlihat jelas, pasal ini menjadikan kesetaraan jender sebagai prinsip dan menganggap Islam menyamakan laki-laki dan perempuan dalam semua hal. Padahal, Islam menyamakan hak laki-laki perempuan dalam beberapa hal, dan membedakannya dalam hal yang lain. Allah SWT berfirman: �Sesungguhnya laki-laki dan perempuan Muslim, laki-laki dan perempuan Mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.� (Qs. al-Ahzab [33]: 35). �Allah mensyariatkan bagi kalian tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anak kalian, yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.� (Qs. an-Nisaa� [4]: 11). Jadi, pada dasarnya Islam mensyariatkan untuk memberi imbalan yang sama atas prestasi yang sama, tidak pandang laki-laki atau perempuan, sedangkan soal waris bukanlah soal prestasi. Hukum ini harus didudukkan bersama-sama dengan hukum nafkah. Laki-laki wajib menafkahi isterinya, sedangkan perempuan tidak wajib menafkahi siapapun. Tanggung jawab keluarga dibebankan pada lelaki. Jika tanggungjawab ini tidak dijalankan, negara berhak campur tangan dan memaksanya sehingga hak-hak si perempuan itu tetap terpenuhi. Jadi syari�at Islam tidak berdiri sendiri-sendiri. Nikah, waris, nafkah saling berkaitan erat. Tidak bisa dipandang secara parsial. Para penggagas Draft KHI gagal total memahami karakter Syari�at Islam yang holistik-komprehensif ini. Penutup Dari seluruh uraian di atas, kesimpulannya adalah Draft KHI harus ditolak. Bahkan wajib dihancurkan dan digagalkan. Karena di dalamnya mengandung muatan ideologi kapitalisme yang kufur, menggunakan metodologi yang rancu dan absurd, serta menghasilkan pasal-pasal kontroversial yang sangat jauh dari Syari�at Islam. Draft KHI tujuan akhirnya adalah untuk menghambat perjuangan menerapkan syari�at Islam secara kaffah, mempertahankan dominasi sekularisme yang kufur, serta memaksakan ideologi penjajah atas umat Islam dengan kedok �hukum Islam�. Itu adalah tujuan yang sangat keji dan jahat, yang tidak mungkin dilakukan, kecuali oleh antek-antek penjajah kafir yang tidak lagi punya rasa malu, kehormatan, dan harga diri, karena mereka mau dibayar murah untuk menghancurkan Islam. Allah SWT berfirman: �Mereka ingin hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci.� (Qs. ash-Shaff [61]: 8). Sumber : https://www.mail-archive.com/kmnu2000@yahoogroups.com/msg01593.html