Oleh : KH. M. Shiddiq al-Jawi
Fakta Iklim Bisnis
Bisnis adalah segala kegiatan produsen untuk memproduksi dan memasarkan barang/jasa kepada konsumen untuk
memperoleh laba (profit) (Straub & Attner, 1994). Sedangkan iklim bisnis –dimodifikasi dari definisi “iklim investasi” Stern
(2002)– adalah semua kebijakan, kelembagaan, dan lingkungan, baik yang sedang berlangsung maupun yang
diharapkan terjadi di masa depan, yang dapat mempengaruhi kegiatan bisnis (Kuncoro, 2006).
Iklim bisnis dipengaruhi banyak faktor. Berdasarkan survei, faktor utama yang mempengaruhi iklim bisnis adalah tenaga
kerja dan produktivitas tenaga kerja, perekonomian daerah, infrastruktur fisik, kondisi sosial politik, dan institusi
(Kuncoro, 2006). Faktor institusi yang dimaksud, terutama ialah institusi birokrasi (pemerintah).
Untuk kasus Indonesia, birokrasi banyak disorot karena justru melahirkan iklim bisnis yang tidak kondusif. Studi Bank
Dunia (2004) menunjukkan, alasan utama investor khawatir berbisnis di Indonesia adalah ketidakstabilan ekonomi
makro, ketidakpastian kebijakan, korupsi (oleh pemerintah daerah maupun pusat), perizinan usaha, dan regulasi pasar
tenaga kerja (Kuncoro, 2006).
Ketidaksabilan ekonomi makro itu misalnya diindikasikan dengan berbagai kebijakan makro yang justru melumpuhkan
dunia bisnis, besar maupun kecil. Seperti kenaikan harga BBM yang rata-rata lebih dari 120 %, kenaikan suku bunga,
kenaikan upah minimum, dan segera menyusul kenaikan tarif dasar listrik dan gas.
Ketidakpastian kebijakan contohnya adalah pemberlakuan PP No. 63/2003 yang diberlakukan surut sejak 1995 di
Batam. PP mengenai pajak penjualan barang mewah (PPnBM) dan pajak pertambahan nilai (PPN) tersebut
mengakibatkan 25 perusahaan penanaman modal asing (PMA) dikabarkan akan hengkang dari Batam.
Mengenai pungli, reputasi birokrasi Indonesia tak usah diragukan lagi. Pungli telah ada sejak mencari bahan baku,
memproses input menjadi output, hingga tahapan ekspor. Rata-rata persentase pungli terhadap biaya ekspor setahun
adalah 7,5 % yang diperkirakan sebesar Rp 3 triliun atau sekitar 153 juta dolar AS! (Kuncoro, 2006).
Perizinan usaha juga sering dikeluhkan. Kegiatan bisnis sering tertunda karena untuk melakukan bisnis di Indonesia
butuh waktu 168 hari untuk mengurus perizinan berbelit-belit dengan biaya yang dapat mencapai rata-rata 14,5 % dari
rata-rata pendapatan pengusaha.
Inilah gambaran sekilas fakta iklim bisnis, sekaligus fakta iklim bisnis yang tidak kondusif dalam kasus perekonomian
Indonesia. Para birokrat dan pejabat Indonesia baik di pusat maupun daerah lebih bangga berperilaku sebagai predator
daripada menjadi fasilitator bagi penciptaan iklim bisnis yang sehat dan kondusif.
Pangkalnya Sistem Kapitalisme
Iklim bisnis Indonesia yang tidak kondusif tersebut, tak dapat dilepaskan dari sistem kapitalisme yang ada. Karakterkarakter
dasar sistem kapitalisme yang destruktif telah menjadi faktor determinan (menentukan) terhadap penciptaan
iklim bisnis.
Sebagai contoh, mengapa banyak pungli dan korupsi? Ke mana larinya komitmen moral dan tanggung jawab sosial
birokrat? Jawabannya dapat dikembalikan pada salah satu karakter dasar kapitalisme, yaitu menomorsatukan selfinterest
(kepentingan pribadi) (Chapra, 2000). Adam Smith dalam bukunya The Wealth of Nations (1776) hal. 27
menegaskan bahwa self-interest merupakan kekuatan pembimbing bagi individu untuk melakukan aktivitas ekonomi.
Kata Adam Smith,”Bukan karena kemurahan hati tukang daging, pembuat bir, atau tukang roti kita berharap dapat
makan malam, melainkan karena mereka mengejar kepentingan pribadi masing-masing.” (Jalaluddin, 1991).
Ketidakjelasan kebijakan seringkali membuat akses terhadap informasi dan pasar, permodalan, dan teknologi hanya
dinikmati para pengusaha besar yang berkolusi dengan birokrat yang korup. Pengusaha kecil harus rela mati akibat
kompetisi tidak fair ini. Mengapa ini bisa terjadi? Jawabannya juga dapat dikembalikan pada salah satu karakter dasar
kapitalisme, yaitu penerapan prinsip Darwinisme Sosial yang kejam ala Thomas R. Malthus (w. 1834). Esensi prinsip itu,
yang berhak bertahan hidup hanyalah yang terkuat (survival for the fittest) (Chapra, 2000).
Walhasil, iklim bisnis yang tidak kondusif itu sebenarnya hanya gejala (symptom) luar dari sebuah masalah inheren yang
lebih mendasar, yakni eksistensi sistem ekonomi kapitalistik yang pada dasarnya destruktif. Maka solusinya tidak cukup
kita hanya melakukan reformasi pelayanan publik (seperti perizinan) atau perbaikan moral birokrat. Sistem
kapitalismenya sendiri juga harus dibongkar total dan diganti dengan sistem ekonomi Islam yang konstruktif dan
rahmatan lil ‘alamin.
Menciptakan Iklim Bisnis Kondusif
Berikut ini akan dijelaskan solusi Islam yang akan dijalankan Negara Khilafah menyangkut metode dan strategi dalam
menciptakan iklim bisnis yang sehat dan kondusif.
Metode tersebut adalah kebijakan Khilafah menerapkan hukum-hukum syariah yang menyangkut kegiatan ekonomi
dalam sebuah sistem ekonomi Islam. Segala kegiatan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan individu, baik kebutuhan
primer maupun sekunder, wajib terikat dengan hukum syariah. Metode wajib dan baku yang diterapkan Khilafah inilah
yang oleh Syaikh an-Nabhani (1963) diistilahkan dengan Politik Ekonomi dalam Islam (siyasah al-iqtishad fi al-islam).
Metode tersebut secara kontras berbeda dengan kebijakan negara penganut kapitalisme yang melepaskan aktivitas
ekonomi dari agama, dan hanya mengkaitkannya dengan nilai manfaat (an-naf’iyah). Pornografi, pornoaksi, riba, judi,
dan khamr, semuanya dianggap sah dalam kapitalisme karena bermanfaat dan dapat memuaskan kebutuhan sebagian
individu masyarakat. Namun dalam Islam, semua itu tidak boleh ada dalam masyarakat, karena walau bermanfaat
namun syariah Islam telah mengharamkannya.
Metode ini, dengan demikian, mendeskripsikan logika sistem yang unik dalam ekonomi Islam, yang sangat berbeda
secara fundamental dengan sistem kapitalisme.
Berdasarkan metode tersebut, dibangun berbagai strategi syar’i untuk menciptakan iklim bisnis yang sehat dan kondusif.
Di antara strategi yang terpenting adalah :
1. Negara wajib menjamin keamanan dan stabilitas masyarakat.
Keamanan dan stabilitas merupakan salah satu faktor penentu pertumbuhan ekonomi. Tanpanya, tidak akan ada
investasi atau aktivitas ekonomi lainnya yang signifikan (Jalaluddin, 1991). Negara bertanggung jawab mewujudkan
keamanan dan stabilitas ini atas seluruh rakyatnya. Nabi SAW bersabda, “Imam adalah (ibarat) penggembala dan dialah
yang bertanggung jawab atas gembalaannya [rakyatnya].” (HR Muslim).
2. Negara wajib memberantas kerusakan moral (moral corruption) birokrat dan pengusaha.
Pengalaman pembangunan Dunia Ketiga menunjukkan, kerusakan moral birokrat dan juga pengusaha berkontribusi
besar terhadap buruknya iklim bisnis (Jalaluddin, 1991). Berbagai suap, korupsi, pungli, manipulasi, dan sebagainya tak
hanya menciptakan iklim bisnis yang payah dan menurunkan daya saing, tapi juga suatu dosa di mata Allah SWT. Nabi
SAW bersabda,”Barangsiapa mengumpulkan harta dari jalan yang haram, kemudian dia sedekahkan harta itu, maka dia
tidak akan mendapat pahala dan bahkan dia mendapat dosanya.” (HR Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan al-Hakim). (Al-
Qaradhawi, 1990:40)
Maka negara wajib melakukan upaya penanggulangan komprehensif, antara lain : (1) memperbaiki mentalitas (nafsiyah)
birokrat dengan Aqidah Islam, (2) menciptakan standar rekrutmen yang jelas atas dasar integritas moral dan kapabilitas,
(3) meningkatkan kesejahteraan birokrat, (4) meningkatkan pengawasan, dan (5) memberikan sanksi yang tegas dengan
Sistem Pidana Islam.
3. Negara wajib mengawasi segala kegiatan bisnis
Pengawasan mutlak adanya agar seluruh elemen sistem terhindar dari penyimpangan syariah. Pengawasan ini
dilakukan oleh negara sebagai amar ma’ruf nahi mungkar (QS 3:110) yang dijalankan oleh institusi hisbah (Ahmad,
2001). Muhtasib (Qadhi Hisbah) yang menjalankan amanah tersebut bertugas memelihara hak-hak masyarakat,
misalnya bertugas keliling pasar memeriksa takaran dan timbangan. Muhtasib dapat melakukan sidang di tempat, dan
dalam tugasnya disertai polisi untuk mengeksekusi vonis. Rasulullah SAW telah mengangkat Said bin Said bin al-’Ash
bin Umayyah sebagai petugas pengontrol pasar di Makkah (Ahmad, 1991). Pengawasan juga wajib dilakukan oleh
masyarakat sebab mereka juga berkewajiban amar ma’ruf nahi mungkar (QS 9:71).
4. Negara wajib menerapkan kebijakan fiskal dan moneter yang mendukung bisnis.
Dalam kebijakan fiskal, negara misalnya tidak dibenarkan menarik pajak kecuali memenuhi 4 (empat) syarat, yaitu : (1)
dipungut untuk menjalankan kewajiban bersama negara dan kaum muslimin; (2) hanya diambil dari orang kaya; (3)
diambil sesuai kadar kebutuhan (temporal); (4) diambil hanya dari muslim (An-Nabhani, 1990). Kaidah fikih menyatakan :
laa yajuuzu an yu`khadza min maalil muslim syai`un illa bi-haqqin syar’iy. (Tidak boleh memungut harta muslim sedikit
pun kecuali berdasarkan hak yang dibenarkan syar’i) (An-Nabhani, 1990). Dalam kebijakan moneter, negara misalnya
wajib mencetak dinar dan dirham saja, dan melarang mata uang lain misalkan dolar jika membahayakan stabilitas
moneter negara (An-Nabhani, 1963).
5. Negara wajib menerapkan kebijakan ketenagakerjaan yang Islami
Negara tidak boleh menerapkan kebijakan ketenagakerjaan yang bertentangan dengan Islam. Penetapan upah buruh,
misalnya, wajib berdasarkan kadar manfaat (jasa) yang diberikan oleh buruh, bukan berdasarkan daya beli upah untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup minimum buruh, seperti dalam kapitalisme. Jika buruh tetap miskin dengan upah
itu, maka yang bertanggung jawab atas kesejahteraannya adalah negara (Baitul Mal), bukan pengusaha (An-Nabhani,
1990). Negara juga wajib melindungi buruh dari eksploitasi pengusaha yang secara sepihak memaksakan upah yang
tidak layak. Pada dasarnya, besarnya upah ditentukan sendiri oleh buruh dan pengusaha secara suka rela. Jika tidak
ada titik temu, buruh dan pengusaha masing-masing menunjuk seorang ahli sebagai wakil masing-masing untuk
membicarakan besaran upah. Jika tidak ada titik temu juga, negaralah yang akan menunjuk para ahli yang akan
mewakili buruh dan pengusaha untuk menentukan besaran upah (An-Nabhani, 1994).
6.Negara wajib menerapkan sistem administrasi birokrasi yang sederhana, cepat, dan profesional
Negara dibolehkan melakukan pencatatan administratif atas lembaga bisnis dan berbagai kegiatannya. Kaidah fikih
menyatakan : al- ashlu fi al-af’aal al-idariyah al-ibahah (hukum asal aktivitas administrasi/manajerial adalah boleh).
Birokrasinya harus sederhana, cepat, dan profesional. Namun negara tidak boleh sama sekali mengambil segala macam
pungutan. Kaidah fikih menyatakan : laa yajuuzu an yu`khadza min maalil muslim syai`un illa bi-haqqin syar’iy. (Tidak
boleh memungut harta muslim sedikit pun kecuali berdasarkan hak yang dibenarkan syar’i) (An-Nabhani, 1990:240, Bab
Adh-Dhara`ib)
7. Negara melarang segala bentuk kegiatan bisnis yang diharamkan
Negara melarang dan menindak segala bentuk bisnis yang haram, baik bisnis barang haram seperti daging babi, darah,
bangkai, patung, dan khamr; maupun bisnis jasa haram seperti riba, judi, prostitusi, dan sebagainya. Allah SWT
berfirman :
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta di antara kamu dengan cara yang batil, kecuali
dengan cara perdagangan berdasarkan saling ridha daripada kamu..” (QS An-Nisaa` [4] : 29)
8. Negara melarang segala bentuk kegiatan bisnis yang berbahaya (dharar)
Negara akan melarang bisnis yang walaupun asalnya mubah namun menimbulkan bahaya. Misalnya menangkap ikan
dengan dinamit, atau mengoperasikan pabrik yang menimbulkan polusi udara, suara, atau bau. Nabi SAW bersabda,
“Laa dharara wa laa dhiraara.” (HR Ahmad & Ibn Majah), artinya tidak boleh menimbulkan bahaya bagi diri sendiri
maupun orang lain.
9. Negara melarang segala bentuk kegiatan bisnis yang dapat menimbulkan kesenjangan sosial-ekonomi masyarakat
Negara akan melarang hal-hal yang meski asalnya mubah namun membuat harta beredar di kalangan orang-orang kaya
saja (QS 59:7). Misalnya membangun mal di dekat pasar tradisional yang dapat mematikan pasar tradisional itu. [ ]
Sumber :
MENCIPTAKAN IKLIM BISNIS YANG SEHAT DAN KONDUSIF Oleh : KH. M. Shiddiq al-Jawi