Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi | Palace Fiqih Kontemporer
Pendahuluan
Pada dasarnya, Allah akan memberikan hukuman kepada manusia yang tidak taat kepada-Nya, baik hukuman di dunia, seperti sakit, kecelakaan, kerugian bisnis, atau musibah-musibah gempa bumi, banjir, dsb, maupun hukuman di akhirat, yaitu siksa di neraka, sesuai firman-Nya :
مَن يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ
“Barang siapa mengerjakan keburukan, niscaya akan dibalas sesuai dengan keburukan itu.” (QS. Al-Nisā` : 123).
Akan tetapi, terkadang Allah memberikan maaf kepada para hamba-Nya yang berdosa, sehingga Allah tidak memberikan hukuman kepadanya baik di dunia, maupun hukuman di akhirat, sesuai firman-Nya :
وَمَاۤ اَصَابَكُمۡ مِّنۡ مُّصِيۡبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتۡ اَيۡدِيۡكُمۡ وَيَعۡفُوۡا عَنۡ كَثِيۡرٍؕ
“Dan musibah apapun yang menimpa kamu maka itu karena perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Al-Syūrā : 30).
Akan tetapi, boleh jadi, kepada hamba-Nya yang berdosa itu Allah sebenarnya tidak memberikan maaf kepadanya, tetapi hanya menunda hukumannya. Hamba yang bermaksiat itu oleh Allah SWT akan dipenuhi semua keinginan dan kebutuhannya di dunia, seperti harta, tahta, wanita, dsb namun semua itu bukan karena ridho-Nya, melainkan karena Allah menunda azab untuknya. Azab tertunda ini pasti akan menimpanya baik di dunia maupun di akhirat kelak. Kondisi hamba yang seperti inilah yang disebut ISTIDRAJ.
Pengertian Istidraj
Istidraj merupakan suatu kondisi hamba Allah yang terlihat mendapatkan berbagai nikmat dari Allah, seperti harta melimpah, kesehatan, umur panjang, punya kekuasaan dan jabatan, dan sebagainya, namun sebenarnya dia bukanlah hamba-Nya yang beriman dan taat, melainkan hamba yang kafir atau hamba yang muslim tapi bergelimang dengan berbagai dosa. Dosa itu baik dosa karena meninggalkan kewajiban-kewajiban, misalnya tidak sholat, tidak berzakat, tidak berpuasa Ramadhan, tidak berhaji, tidak berdakwah, dan lain-lain, maupun dosa karena melakukan keharaman-keharaman, misalnya berzina, minum khamr, membunuh orang, mencuri, membegal, korupsi, menipu rakyat, curang dalam berdagang, dan sebagainya.
Para ulama telah menjelqaskan definisi istidraj tersebut, di antaranya definisi istidraj menurut Imam Al-Razi dan Syekh Yusuf An-Nabhani berikut ini :
قال الامام الرازي: وَمَعْنَى الِاسْتِدْرَاجِ أَنْ يُعْطِيَهُ اللَّهُ كُلَّ مَا يُرِيدُهُ فِي الدُّنْيَا؛ لِيَزْدَادَ غَيُّهُ وَضَلَالُهُ وَجَهْلُهُ وَعِنَادُهُ، فَيَزْدَادُ كُلَّ يَوْمٍ بُعْدًا مِنْ اللَّهِ. (الامام الرازي، مفاتيح الغيب ج 21 ص 438، الشيخ يوسف النبهاني، جامع كرمات الأولياء ، ج 1 ص 21 (
Imam Al-Razi mengatakan,”Makna istidraj adalah (kondisi dimana) Allah memberikan kepada hamba-Nya (yang tidak taat) segala sesuatu yang dikehendakinya di dunia, agar dia semakin menyimpang, semakin sesat, semakin bodoh, dan semakin membangkang, sehingga tiap hari dia semakin bertambah jauh dari Allah SWT.” (Imam Al-Razi, Mafātihul Ghaib, 21/438; Syaikh Yusuf An-Nabhani, Jāmi’ Karamāt Al-Auliyā`, 1/21).
Rasulullah SAW telah menjelaskan mengenai ISTIDRAJ ini, sesuai hadits dari ‘Uqbah bin ‘Amir RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
إِذَا رَأَيْتَ اللهَ تَعَالَى يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا مَا يُحِبُّ وَهُوَ مُقِيمٌ عَلَى مَعَاصِيْهِ فَإِنَّمَا ذَلِكَ مِنهُ اسْتِدْرَاجٌ
“Bila kamu melihat Allah memberikan kepada seorang hamba dari (berbagai kenikmatan) dunia yang diinginkannya, padahal dia terus menerus berada dalam kemaksiatan kepada-Nya, maka (ketahuilah) bahwa itu adalah ISTIDRAJ (tipudaya berupa nikmat yang diberikan Allah kepada hamba-Nya yang berdosa) dari-Nya.” (HR. Ahmad, hadits shahih. Lihat Nāshiruddin Al-Albāni, Shahih Al-Jāmi’, no. 561).
Maka dari itu, tidak usah heran dan takjub, jika kita melihat ada pemimpin atau tokoh muslim yang sangat jahat yang membenci Islam, yang suka berbohong, yang korupsinya gila-gilaan, jarang sholat, suka minum, suka berzina, suka riba, suka menipu masyakarat, tetapi kelihatannya dia kaya raya, uang trilyunan, fine-fine saja, tidak penyakitan, tidak kudisan, tidak ditangkap atau dipenjara, seolah-olah kebal hukum atau bahkan dapat mengatur penegak dan penegakan hukum.
Tak usah heran, orang ini sedang mendapat ISTIDRAJ dari Allah, dan jika dia tidak mendapat musibah dunia sebagai penebus dosanya di dunia, maka dia tetap akan diazab di akhirat sebagai balasan dari dosa-dosanya yang besar di dunia.
Rasulullah SAW pernah bersabda :
إذاَ أرادَ اللهُ بعَبْدِهِ الخَيْرَعَجَّلَ لهَ العُقُوبَةَ في الدُّنيا وإذا أرادَ اللهُ بِعبدِه الشَّرَّ أمسَكَ عنه بِذَنبِهِ حتى يُوافِيَ يَومَ القِيامةِ
“Jika Allah berkehendak hamba-Nya mendapat kebaikan, nicaya Dia akan menyegerakan hukuman baginya di dunia. Namun jika Allah berkehendak hamba-Nya itu mendapat keburukan, niscaya Allah akan menahan dosa-dosanya sampai (terkumpul) dan Allah akan membalas dosa-dosa itu dengan setimpal di Hari Kiamat kelak.” (HR. Al-Tirmidzi dan beliau menghasankannya).
Agar Tidak Terjatuh Dalam Kondisi Istidraj
Para ulama telah menjelaskan bagaimana caranya agar seorang hamba Allah tidak terjatuh dalam kondisi istidraj itu. Mungkin seseorang merasa bahwa Allah ridho kepadanya dengan kondisinya yang baik-baik saja, sehat walafiat tanpa penyakit serius, bisnis lancar tanpa hambatan berarti, dan mendapat berbagai kenikmatan, misal istri yang cantik, anak-anak yang lucu dan menggemaskan, padahal dia adalah seorang seorang koruptor kelas kakap yang bejat moral. Nilai korupsinya tak lagi miliaran bahkan sudah triliunan rupiah. Inilah kondisi istidraj.
Cara agar seseorang tidak terjatuh ke dalam istidraj, utamanya adalah dengan melakukan dua hal sebagai berikut;
Pertama, hendaknya seorang hamba selalu melakukan muhasabah atau instropeksi, apakah dirinya dalam kondisi taat atau maksiat kepada Allah SWT. Telah masyhur perkataan Umar bin Khaththab RA :
حَاسِبُوْا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوْا، وَزِنُّوْا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُوزَنُوْا
“Hendaklah kalian menghisab diri-diri kalian sendiri, sebelum kalian dihisab (oleh Allah di hari Kiamat). Dan hendaklah kalian menimbang-nimbang (amal baik dan amal buruk kalian), sebelum amal kalian ditimbang (oleh Allah di Hari Kiamat). (HR. Ahmad, dalam kitab Al-Zuhud, no. 633; Ibnu Abi Dun-ya, dalam kitab Muhāsabah Al-Nafs, hlm. 2).
Kedua, hendaknya seorang hamba selalu merasa takut kepada Allah, yakni takut akan kemurkaan dan keridakridhoan Allah kepadanya. Rasa takut kepada Allah inilah yang akan dapat mengerem atau mengendalikan seseorang untuk berbuat maksiat kepada-Nya.
Rasulullah SAW bersabda :
لاَ يَلِجُ النَّارَ رَجُلٌ بَكىَ مِنْ خَشْيةِ اللهِ حَتىَّ يَعُوْدَ اللَّبَنُ فِي الضَّرْعِ
“Tidak akan masuk neraka seseorang yang takut kepada Allah hingga air susu kembali ke dalam teteknya (payudara).” (HR. Tirmidzi).
Rasululah SAW bersabda :
عَيْنَانِ لاَ تَمَسَّهُمَا النَّارُ : عَيْنٌ بَكَتْ مِنْ خَشْيةِ اللهِ ، وَعَيْنٌ باَتَتْ تَحْرُسُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ
“Ada dua macam mata yang tidak akan disentuh oleh api neraka; mata seseorang yang menangis karena takut kepada Allah, dan mata seseorang yang bermalam yang sedang berjaga-jaga dalam rangka berjihad fi sabilillah.” (HR. Al-Baihaqi).
Rasulullah SAW bersabda :
يَعجَبُ ربُّك مِنْ رَاعِي غَنَمٍ فِيْ رَأْسِ الشَّظِيَّةِ لِلْجَبَلِ يُؤَذِّنُ باِلصَّلاَةِ وَيُصلِّيْ، فَيَقُوْلُ اللهُ: أُنْظُرُوْا إِلىَ عَبْدِيْ هَذَا يُؤَذِّنُ وَيُقِيْمُ، يَخَافُ مِنِّيْ، قَدْ غَفَرْتُ لِعَبْدِيْ، وَأَدْخَلتُهُ الْجنَّةَ
“Tuhanmu kagum dengan seorang penggembala kambing yang berada di celah-celah kecil di puncak gunung, (ketika waktu sholat tiba) dia beradzan dan sholat sendiri. Lalu Allah berfirman,’Lihatlah kepada hamba-Ku ini, dia telah mengumandangkan adzan dan menegakkan sholat sendiri, karena takut kepada-Ku. Sungguh aku telah mengampuni hamba-Ku itu dan Aku akan memasukkannya ke dalam surga.” (HR. An-Nasa`i & Ibnu Hibban).
Semoga Allah SWT menghindarkan diri kita dari terjatuh ke dalam kondisi istidraj ini. Āmīn. Wallāhu a’lam.
Yogyakarta, 17 Nopember 2025
Muhammad Shiddiq Al-Jawi






















