Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi
Tanya :
Ustadz, mohon dijelaskan hukum syara’ seputar mimbar masjid? (Hamba Allah)
Jawab :
Definisi mimbar menurut Syekh Rawwas Qal’ah Jie adalah :
اَلْمِنْبَرُ هُوَ الْمَكَانُ الْمُرْتَفِعُ فِيْ قِبْلَةِ الْمَسْجِدِ الْمُعَدُّ لِيَخْطُبَ عَلَيْهِ اْلإِمَامُ
“Mimbar adalah tempat yang tinggi pada arah kiblat masjid yang disiapkan untuk Imam berkhutbah di atasnya.” (Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughat Al-Fuqaha`, hlm. 432).
Pensyariatan mimbar didasarkan pada hadits-hadits Nabi SAW, di antaranya :
(1)عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ إِلَى جِذْعٍ، فَلَمَّا اتَّخَذَ المِنْبَرَ تَحَوَّلَ إِلَيْهِ ، فَحَنَّ الجِذْعُ ، فَأَتَاهُ ، فَمَسَحَ يَدَهُ عَلَيْهِ. رواه البخاري
(1) Dari Ibnu ‘Umar RA, Nabi ﷺ berkhutbah dekat dengan satu batang kurma. Maka ketika beliau membuat mimbar, beliau berpindah memakai mimbar tersebut sehingga batang kurma itu meratap, kemudian Nabi ﷺ mendatanginya dan mengusapkan tangannya padanya.” (HR Bukhari, no. 3583)
(2) عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، وأَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا : أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَخْطُبُ إِلَى جِذْعٍ ، فَلَمَّا اتَّخَذَ الْمِنْبَرَ ، ذَهَبَ إِلَى الْمِنْبَرِ ، فَحَنَّ الْجِذْعُ، فَأَتَاهُ ، فَاحْتَضَنَهُ ، فَسَكَنَ .فقَالَ: لَوْ لَمْ أَحْتَضِنْهُ لَحَنَّ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ. رواه ابن ماجة، وصححه الألباني في صحيح ابن ماجة بالرقم 1415
(2) Dari Ibnu ‘Abbas dan Anas RA, bahwa Nabi ﷺ sebelumnya biasa berkhutbah [dengan berdiri] dekat satu batang kurma. Maka ketika beliau membuat mimbar, beliau menggunakan mimbar tersebut. Maka merataplah batang kurma itu. Kemudian Nabi SAW mendatanginya dan memeluknya, lalu batang kurma itu diam. Nabi ﷺ bersabda,”Kalau aku tidak memeluknya, niscaya dia akan terus meratap sampai hari Kiamat.” (HR Ibnu Majah, no. 1415).
(3) عن جَابِر بْن عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قال كَانَ المَسْجِدُ مَسْقُوفًا عَلَى جُذُوعٍ مِنْ نَخْلٍ، فَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَطَبَ يَقُومُ إِلَى جِذْعٍ مِنْهَا، فَلَمَّا صُنِعَ لَهُ المِنْبَرُ، وَكَانَ عَلَيْهِ، فَسَمِعْنَا لِذَلِكَ الجِذْعِ صَوْتًا كَصَوْتِ العِشَارِ، حَتَّى جَاءَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَوَضَعَ يَدَهُ عَلَيْهَا ، فَسَكَنَتْ. رواه البخاري
(3) Dari Jabir bin Abdillah RA, dia berkata,”Dulu masjid (Nabawi) atapnya dibangun di atas batang-batang pohon kurma yang berfungsi sebagai pilar-pilarnya dan apabila Nabi ﷺ berkhuthbah beliau berdiri di dekat salah satu batang pohon kurma tersebut. Ketika beliau telah dibuatkan mimbar dan Nabi ﷺ berkhuthbah dengan berdiri di atasnya, kami mendengar suara dari batang kurma tersebut suara seperti suara unta yang hampir melahirkan, lalu Nabi SAW menghampirinya kemudian meletakkan tangan beliau pada batang kurma tersebut, hingga akhirnya batang kurma itu diam”. (HR Bukhari, no. 3585)
Hadits-hadits tersebut menjadi dalil pensyariatan mimbar. Imam Ibnu Hajar Al-’Asqalani memberi syarah (penjelasan) hadits-hadits tersebut dengan mengatakan :
وَفِيْهِ اسْتِحْبَابُ اتِّخَاذِ الْمِنْبَرِ لِكَوْنِهِ أَبْلَغَ فِيْ مُشَاهَدَةِ الْخَطِيْبِ وَالسِّمَاعِ مِنْهُ
“Dalam hadits tersebut terdapat kesunnahan (mustahab) untuk membuat mimbar karena mimbar itu [akan membuat jamaah] lebih baik dalam menyaksikan khathib dan mendengarkan khutbah darinya.” (Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari Syarah Shahih Al-Bukhari, II/400).
Hadits-hadits tersebut juga menjadi dalil disunnahkannya khathib untuk berkhutbah Jumat di atas mimbar. Imam Nawawi menjelaskan hadits-hadits tersebut dengan berkata :
أَجْمَعَ العُلَماءُ عَلَى أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ كَوْنُ الخُطْبَةِ عَلَى مِنْبَرٍ ، لِلْأَحَادِيثِ الصَّحيحَةِ اَلَّتِي أَشَرْنَا إِلَيْهَا ، وَلِأَنَّهُ أَبْلَغُ فِي الإِعْلامِ ، وَلِأَنَّ النّاسَ إِذَا شَاهَدُوا الخَطيبَ كَانَ أَبْلَغَ فِي وَعْظِهِمْ . . . فَإِنْ لَمْ يَكُنْ مِنْبَرٌ اُسْتُحِبَّ أَنْ يَقِفَ عَلَى مَوْضِعٍ عَالٍ وَإِلَّا فَإِلَى خَشَبَةٍ وَنَحْوِها لِلْحَدِيثِ المَشْهورِ فِي الصَّحيحِ أَنَّ النَّبيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهُ وَسَلَّمَ كَانَ يَخْطُبُ إِلَى جِذْعٍ قَبْلَ اتِّخاذِ المِنْبَرِ
“Para ulama telah sepakat bahwa disunnahkan berkhutbah di atas mimbar, berdasarkan hadits-hadits shahih yang telah kami isyaratkan, karena akan lebih baik dalam menyampaikan khutbah, dan jika jamaah menyaksikan khathib maka itu lebih baik untuk menasehati mereka…Jika tidak ada mimbar, disunnahkan khathib berdiri di tempat yang tinggi, atau jika tidak ada, dia berdiri di atas kayu atau yang semisalnya, berdasarkan hadits yang masyhur dalam Shahih Bukhari bahwa Nabi SAW berkhutbah di dekat batang kurma sebelum membuat mimbar.” (Imam Nawawi, Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab, IV/527).
Imam Ibnu Qudamah menjelaskan bahwa tujuan adanya mimbar adalah agar jamaah dapat melihat Khathib yang sedang berkhutbah dan agar dapat lebih mendengarkan khutbah darinya :
وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَصْعَدَ لِلْخُطْبَةِ عَلَى مِنْبَرٍ ليَسْمَعَ النّاسُ . . . وَلَيْسَ ذَلِكَ وَاجِبًا ، فَلَوْ خَطَبَ عَلَى الأَرْضِ ، أَوْ عَلَى رَبْوَةٍ ، أَوْ وِسادَةٍ ، أَوْ عَلَى راحِلَتِهِ ، أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ ، جَازَ ؛ فَإِنَّ النَّبيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهُ وَسَلَّمَ قَدْ كَانَ قَبْلَ أَنْ يَصْنَعَ المِنْبَرُ يَقومُ عَلَى الأَرْض
“Disunnahkan bagi khathib untuk berkhutbah di atas mimbar, agar jamaah dapat mendengarkan khutbah…namun hal itu tidak wajib, kalau khathib berkhutbah di atas tanah, atau di atas tanah yang tinggi, atau di atas bantal, atau di atas untanya, atau selain itu, hukumnya boleh, karena sesungguhnya Nabi SAW dulu pernah berkhutbah sebelum membuat mimbar, dengan berdiri di atas tanah.” (Imam Ibnu Qudamah, Al-Mughni, III/160-161).
Adapun model atau bentuk mimbar, maka syara’ tidak mewajibkan model atau bentuk tertentu, sehingga tidak wajib meniru model mimbar yang dipakai Nabi SAW, meski yang afdhol tentu tetap meniru bentuk yang dipakai Nabi SAW tersebut. Dalam situs https://islamqa.info/ terdapat fatwa yang menjelaskan hukum mimbar yang berbentuk balkon (asy-syurfah), apakah model mimbar yang seperti itu dibolehkan syara’, maka dijawab sebagai berikut :
وَلَا نَعْلَمُ أَنَّ هُنَاكَ دَلِيلًا مِنْ الشَّرْعِ يُحَدِّدُ شَكْلَ وَهَيْئَةَ المِنْبَرِ بِشَيْءٍ ، إِلَّا أَنَّ الوارِدَ فِي السُّنَّةِ : أَنَّ مِنْبَرَ الرَّسولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهُ وَسَلَّمَ كَانَ ثَلاثَ دَرَجاتٍ ، فَسَواءٌ كَانَ المِنْبَرُ عَلَى هَيْئَةِ الشُّرْفَةِ ، كَمَا فِي السُّؤالِ ، أَوْ كَانَ عَلَى هَيْئَةِ كُرْسيٍّ وَلَهُ دَرَجاتٌ . . . أَوْ كَانَ غَيْرَ ذَلِكَ فَقَدْ حَصَلَ المَقْصودُ ، وَهُوَ الِاقْتِداءُ بِالرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهُ وَسَلَّمَ فِي الخِطْبَةِ عَلَى المِنْبَرِ لِيَكُونَ ذَلِكَ أَبْلَغَ فِي رُؤْيَةِ النّاسِ لَهُ وَسَماعَهُمْ لِكَلَامِهِ ، وَلَا نَعْلَمُ أَحَدًا مِنْ العُلَماءِ مَنْعَ هَذَا المِنْبَرِ اَلَّذِي سَأَلَتْ عَنْهُ .
“Kami tidak mengetahui adanya dalil syar’i yang menentukan model (bentuk) tertentu dari mimbar. Hanya saja yang terdapat dalam As-Sunnah, bahwa pada mimbar Nabi SAW terdapat tiga undakan (derajat). Jadi, baik itu mimbar berbentuk balkon (asy-syurfah), sebagaimana dalam pertanyaan, maupun berbentuk kursi dengan beberapa undakan, atau berbentuk yang selain dari itu, maka maksudnya telah tercapai, yaitu meneladani Rasulullah SAW dalam berkhutbah di atas mimbar agar jamaah dapat menyaksikan khathib dan mendengarkan khathib saat khutbah. Kami tak mengetahui ada ulama yang melarang mimbar yang ditanyakan [yakni berbentuk balkon]. “
(https://islamqa.info/ حكم-الخطبة-على-المنبر-الذي-يكون-كالشرفة).
Wallāhu a’lam.
Yogyakarta, 17 Januari 2023
Muhammad Shiddiq Al-Jawi