Home Soal Jawab Fiqih HUKUM MENZAKATI HARTA HARAM

HUKUM MENZAKATI HARTA HARAM

138

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi

Tanya :
Kyai, bagaimana hukum zakat dari hasil judi online? (Ali Bayanullah, Sumedang).

Jawab :
Harta haram itu tidak ada zakatnya, dan kalaupun dikeluarkan zakatnya, hukumnya tidak sah menurut syara’. Hal itu karena harta haram itu hakikatnya bukanlah hak milik bagi orang yang memegangnya, padahal salah satu syarat zakat adalah adanya hak milik (milkiyyah) pada harta yang akan dizakati. Selain itu, harta haram bukanlah harta yang baik. Padahal Allah itu Maha Baik dan tidak mau menerima kecuali dari yang baik.

Dalam kitab Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah disebutkan hukum menzakati harta haram sbb :

الْمَالُ الحَرامُ كَاَلْمَأْخوذِ غَصْبًا أَوْ سَرِقَةً أَوْ رَشْوَةً أَوْ رِبًا أَوْ نَحْوَ ذَلِكَ لَيْسَ مَمْلُوكًا لِمَنْ هُوَ بِيَدِهِ , فَلَا تَجِبُ عَلَيْهِ زَكاتُهُ , لِأَنَّ الزَّكاةَ تَمْلِيْكٌ , وَغَيْرُ المالِكِ لَا يَكونُ مِنْهُ تَمْلِيْكٌ , وَلِأَنَّ الزَّكاةَ تُطَهِّرُ المُزَكّيَّ وَتُطَهِّرُ الْمَالَ المُزَكَّى لِقَوْلِهِ تَعَالَى : ( خُذْ مِنْ أَمْوالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهم بِهَا ) وَقَالَ النَّبيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَا يَقْبَلُ اللَّهُ صَدَقَةً مِنْ غُلُولٍ.رواه أبو داود. والْمالُ الحَرامُ كُلُّهُ خَبَثٌ لَا يُطَهِّرُ. الموسوعة الفقهية الكويتية  ج 23 ص 248.

“Harta haram itu, seperti harta yang diambil dengan cara merampas, atau dengan cara mencuri, atau harta hasil suap, atau harta riba (seperti bunga bank, bunga deposito, denda, penalti, dsb), dan yang semisalnya, bukanlah harta yang dimiliki oleh orang yang memegang harta itu dengan tangannya. Maka tidak wajib atas dia menzakati harta haram itu, karena zakat itu adalah tamlīk, yakni memberikan hak milik harta kepada orang lain sedangkan orang yang bukan pemilik tidak mungkin melakukan tamlīk itu. Selain itu, [menzakati harta haram tidak sah] karena zakat itu mensucikan orang yang berzakat dan juga menyucikan harta yang dizakati, sesuai firman Allah SWT :

خُذْ مِنْ اَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيْهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْۗ اِنَّ صَلٰوتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْۗ وَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ

“Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka.”
(QS At-Taubah : 103),

Juga sesuai sabda Nabi SAW :

لَا يَقْبَلُ اللَّهُ صَدَقَةً مِنْ غُلُولٍ

“Allah itu tidak mau menerima shadaqah dari harta khianat (ghulūl).” (HR Abu Dawud). Padahal harta haram itu semuanya kotor dan tidak dapat menyucikan.” (Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 23/248).

Dalil tidak sahnya menzakati harta haram, adalah sabda Nabi Muhammad SAW :

أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لا يَقْبَلُ إِلا طَيِّبًا وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ : (يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنْ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ ) وَقَالَ : ( يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ ) ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ ) رواه مسلم (1015).

“Sesungguhnya Allah Maha Baik dan tidak menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kaum mukminin dengan sesuatu yang Allah perintahkan pula kepada para rasul. Allah SWT berfirman,”Wahai para rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik dan kerjakanlah amal shalih.” (QS Al-Mukminun : 51). Dan Allah SWT berfirman,”Wahai orang-orang yang beriman, makanlah kalian dari rezeki yang baik-baik yang telah Kami berikan kepada kalian.” (QS Al-Baqarah : 172). Kemudian Rasululah SAW menyebutkan ada seseorang yang melakukan perjalanan jauh dalam keadaan rambutnya kusut dan berdebu, dia menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berdoa,”Wahai Rabb-ku, wahai Rabb-ku,” padahal makanannya haram, minumannya haram, dan pakaiannya haram dan kenyang dengan sesuatu yang haram, lalu bagaimana mungkin doanya akan dikabulkan?” (HR. Muslim, no. 1015)

Berdasarkan dalil di atas, jelaslah bahwa harta haram itu tidak ada zakatnya, dan kalaupun dikeluarkan zakatnya hukumnya tidak sah menurut syara’. Hal itu dikarenakan harta haram itu tidak baik (thayyib).

Tidak ada khilāfiyah (perbedaan pendapat) di kalangan ulama mengenai tidak adanya zakat untuk harta haram, sebagaimana pendapat ulama dalam mazhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali). (Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 23/248; ‘Abdullah Manshūr Al-Ghufaili, Nawāzil al-Zakāt, hlm. 210-212).

Pendapat empat mazhab tersebut dikutip selengkapnya sebagai berikut :

Pertama, pendapat mazhab Hanafi :

قَال الْحَنَفِيَّةُ : لَوْ كَانَ الْمَال الْخَبِيثُ نِصَابًا لاَ يَلْزَمُ مَنْ هُوَ بِيَدِهِ الزَّكَاةُ؛ لأنّه يَجِبُ إِخْرَاجُهُ كُلِّهِ فَلاَ يُفِيدُ إِيجَابَ التَّصَدُّقِ بِبَعْضِهِ.(حاشية ابن عابدين ج 2 ص 25)

Ulama Hanafiyah berkata,”Kalau harta yang haram itu telah mencapai nishab, tidak ada kewajiban zakat bagi orang yang menguasai harta itu, karena dia wajib mengeluarkan [mengembalikan] harta haram itu seluruhnya. Jadi tidak ada kewajiban untuk menzakatkan sebagiannya.” (Hāsyiyah Ibnu ‘Ābidīn, Juz II, hlm. 25).

Kedua, pendapat mazhab Maliki :

وَفِي الشَّرْحِ الصَّغِيرِ لِلدَّرْدِيرِ مِنَ الْمَالِكِيَّةِ: تَجِبُ الزَّكَاةُ عَلَى مَالِكِ النِّصَابِ فَلاَ تَجِبُ عَلَى غَيْرِ مَالِكٍ كَغَاصِبٍ وَمُودَعٍ.(والشرح الصغير للدردير ج 1 ص206)

Ulama Malikiyah dalam kitab Al-Syarh al-Shaghīr karya Syekh al-Dardir, berkata,”Wajib hukumnya zakat bagi pemilik harta yang mencapai nishab, dan sebaliknya tidak wajib zakat atas orang yang bukan pemilik harta, seperti orang yang merampas harta orang lain, atau orang yang dititipi harta orang lain.” (Syekh Ad-Dardir, Al-Syarh al-Shaghīr, Juz I, hlm. 206).

Ketiga, pendapat mazhab Syafi’i :

قَال الشَّافِعِيَّةُ كَمَا نَقَلَهُ النَّوَوِيُّ عَنِ الْغَزَالِيِّ وَأَقَرَّهُ: إِذَا لَمْ يَكُنْ فِي يَدِهِ إِلاَّ مَالٌ حَرَامٌ مَحْضٌ فَلاَ حَجَّ عَلَيْهِ وَلاَ زَكَاةَ ، وَلاَ تَلْزَمُهُ كَفَّارَةٌ مَالِيَّةٌ.(المجموع للنووي ج 9 ص353)

Ulama Syafi’iyyah sebagaimana dinukil oleh Imam Nawawi dari Imam Al-Ghazali dan disetujui oleh Imam Nawawi berkata,”Jika tidak ada harta di tangan seseorang kecuali hanya harta yang haram semata-mata, maka dia tidak wajib naik haji juga tidak wajib berzakat, juga tidak ada kewajiban kaffārah untuk hartanya itu.” (Imam Nawawi, Al-Majmū’, Juz IX, hlm. 353).

Keempat, pendapat mazhab Hambali :

وَقَال الْحَنَابِلَةُ: التَّصَرُّفَاتُ الْحُكْمِيَّةُ لِلْغَاصِبِ فِي الْمَال الْمَغْصُوبِ تَحْرُمُ وَلاَ تَصِحُّ ، وَذَلِكَ كَالْوُضُوءِ مِنْ مَاءٍ مَغْصُوبٍ وَالصَّلاَةِ بِثَوْبٍ مَغْصُوبٍ أَوْ فِي مَكَانٍ مَغْصُوبٍ ، وَكَإِخْرَاجِ زَكَاةِ الْمَال الْمَغْصُوبِ ، وَالْحَجِّ مِنْهُ ، وَالْعُقُودِ الْوَارِدَةِ عَلَيْهِ كَالْبَيْعِ والإجارة.(كشاف القناع ج 4 ص115)

Ulama Hanabilah berkata,”Tasharruf (pemanfaatan) terhadap harta haram yang dilakukan oleh perampas harta, hukumnya haram dan tidak sah, seperti halnya berwudhu dengan air rampasan, sholat dengan baju rampasan atau di atas tanah rampasan, seperti menzakati harta rampasan, atau berhaji dengan harta rampasan itu, atau melakukan akad-akad dengan harta rampasan itu seperti jual beli atau sewa menyewa.” (Syekh Al-Buhūti, Kasysyāful Qinā’, Juz IV, hlm. 115).

Dari kutipan-kutipan di atas, jelaslah bahwa tidak ada khilāfiyah (perbedaan pendapat) di kalangan mazhab yang empat tersebut mengenai tidak adanya zakat untuk harta haram. Yang wajib dilakukan oleh pemegang harta haram bukanlah menzakati harta haramnya itu, melainkan membersihkan dirinya dari harta haram itu (al-takhallush min al-māl al-harām), dengan cara :

Pertama, mengembalikan harta haram kepada pemiliknya, jika pemiliknya diketahui. Misal mengembalikan harta curian atau harta rampasan kepada pemiliknya.

Kedua, atau menginfakkannya di berbagai jalan kebaikan, misal untuk pembangunan jalan, atau membantu orang miskin, jika pemiliknya tidak diketahui. (‘Abbās Ahmad Muhammad Al-Bāz, Ahkām al-Māl al-Harām, hlm. 356). Wallāhu a’lam.

 

Yogyakarta, 24 Februari 2023
Muhammad Shiddiq Al-Jawi