
Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi | Pakar Fiqih Mu’amalah & Kontemporer
Tanya :
Bismillah. Assalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh. Semoga Pak Kyai senantiasa sehat dan dalam lindungan Allah SWT, Aamiin. Izin bertanya Pak Kyai. Si A hobby memancing, nah satu waktu si A ini ikut kompetisi memancing dengan membayar tiket sebesar Rp. 700.000. Peserta kompetisi ada 80 orang. Di akhir pertandingan si A menjuarai kompetisi. Dia mendapat piala, mendapat piagam, dan mendapat hadiah uang sebesar Rp 14 Juta. Uang yang didapat juara ini, ternyata berasal hasil tiket (uang pendaftaran peserta). Semua uang pendaftaran yang terkumpul, hanya akan diberikan kepada juara 1 saja, setelah dipotong beberapa potongan biaya, antara lain; (1) biaya pengganti untuk harga ikan yang turun, 2. Biaya untuk tong serok ikan, 3. Biaya untuk sewa balong (kolam ikan). Bagaimana Islam memandang hal ini? (Rini, Bandung).
Jawab :
Wa ‘alaikumus salam warrahmatullahi wabarakatuh.
Hukum kompetisi memancing ikan seperti yang ditanyakan di atas, termasuk judi (al-maysir) yang diharamkan dalam Islam, sesuai firman Allah SWT yang telah mengharamkan segala bentuk perjudian (al-maysir) :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamr (minuman keras), berjudi, (berkurban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah najis (kotor) termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah segala sesuatu najis (kotor) itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS Al-Mā`idah [5] : 90).
Untuk dapat memahami mengapa kompetensi memancing ikan di atas termasuk judi, perlu dijelaskan pengertian judi dan unsur-unsur perbuatan yang dikategorikan judi.
Judi dalam Bahasa Arab disebut dengan istilah al–Maysir atau al–Qimār. Definisi judi (al–qimār) dalam kitab Mu’jam Lughat Al-Fuqahā’ adalah :
اَلْقِمَارُ هُوَ كُلُّ لَعِبٍ يَشْتَرِطُ فِيْهِ أَنْ يَأْخُذَ الْغَالِبُ مِنَ الْمَغْلُوْبٍ شَيْئًا
“Judi adalah setiap permainan yang mensyaratkan pihak pemenang mengambil sesuatu [harta] dari pihak yang kalah.” (Prof. Rawwas Qal’ahjie, Mu’jam Lughat Al-Fuqahā’, hlm. 281).
Ada definisi lain dari judi (al–qimār) yang melengkapi definisi yang disebut sebelumnya, yaitu :
اَلْقِمَارُ هُوَ كُلُّ لَعِبٍ فِيْهِ مُرَاهَنَةٌ
“Judi adalah setiap-tiap permainan yang mensyaratkan adanya taruhan (murāhanah) [harta dari para pesertanya].” (Ibrahim Anies dkk, Al-Mu’jam Al-Wasīth, hlm. 150).
Dari dua definisi judi (al–qimār) tersebut, akhirnya akan kita dapati ada 3 (tiga) unsur aktivitas yang disebut judi, yaitu :
Pertama, ada suatu permainan (la’ibun), yang fungsinya untuk menentukan siapa yang menjadi pemenang, misalnya main kartu remi, kartu domino, sepak bola, adu jago, catur, tinju, dsb.
Kedua, ada taruhan (murāhanah), yaitu suatu harta (bisa uang, atau bisa barang) yang berasal dari para peserta.
Ketiga, ada pengambilan harta oleh pihak pemenang dari pihak yang kalah.
Jadi suatu aktivitas yang memenuhi 3 (tiga) unsur tersebut, walaupun bermacam-macam bentuknya atau namanya, semuanya terkategori judi yang diharamkan dalam Islam. Contoh-contoh judi sebagai berikut :
(1) Main Remi / Domino Dengan Taruhan. Misal ada empat orang bermain kartu remi (atau domino) dengan mengumpulkan taruhan masing-masing Rp 1000,- . Pihak yang menang mengambil semua uang yang dikumpulkan sejumlah Rp 4000,-.
(2) Judi Sabung Ayam. Misal, masing-masing peserta ada taruhan sejumlah uang, lalu pemenang ditentukan oleh ayam yang menang ketika diadu.
(3) Judi Adu Domba. Masing-masing peserta ada taruhan lalu pemenang ditentukan oleh domba yang menang ketika diadu.
(4) Main Catur Dengan Taruhan. Masing-masing peserta ada taruhan, dan pemenang taruhan ditentukan oleh yang menang dalam permainan catur tersebut.
Semua contoh-contoh di atas adalah judi yang diharamkan dalam Islam, walaupun bentuknya bisa bermacam-macam. Yang penting, aktivitas yang dikategorikan judi itu harus memenuhi 3 (tiga) unsur atau kriteria judi, yaitu : (1) ada permainan; (2) ada taruhan; dan (3) ada pengambilan harta oleh yang menang dari yang kalah.
Judi dalam segala bentuknya hukumnya haram dalam Islam, dan merupakan dosa besar (kabā`ir). Dalilnya firman Allah SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamr (minuman keras), berjudi, (berkurban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah najis (kotor) termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah segala sesuatu najis (kotor) itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS Al-Maa`idah [5] : 90).
Ayat di atas menunjukkan haramnya judi, walaupun dalam ayat tersebut tidak ada kalimat “telah diharamkan judi bagimu” (hurrima ‘alaikumul maysir). Mengapa demikian? Karena terdapat qarīnah-qarīnah (indikasi/petunjuk) dalam ayat tersebut, bahwa hukum judi itu tidak ada kemungkinan selain haram. Haramnya judi dapat dilihat dari banyak qarīnah (indikasi/petunjuk) dalam ayat tersebut, antara lain :
Pertama, ayat itu diawali dengan taukīd (kata penegas) “innama” (yang berarti : sesungguhnya).
Kedua, perbuatan judi disetarakan dengan perbuatan menyembah berhala (‘ibādatul ashnām), yaitu menyembelih hewan kurban yang ditujukan untuk berhala.
Ketiga, perbuatan judi diberi predikat rijsun (najis), yaitu najis maknawi (bukan najis dzati). Sesuatu yang disebut rijsun (najis), pastilah tidak baik dalam Islam.
Ketiga, perbuatan judi disebut perbuatan syaitan (min ‘amalisy syaithan). Padahal syaitan itu tidak melakukan perbuatan, kecuali perbuatan yang buruk (syarr).
Keempat, ada perintah untuk menjauhi judi.
Kelima, ada harapan keberuntungan bagi yang menjauhi judi. (Abdurrahman Al-Maliki, Nizhāmul ‘Uqūbāt, hlm. 12, Bab “Al-Hudūd”).
Nah, tiga unsur judi yang telah diterangkan di atas, ternyata dapat ditemukan pada fakta kompetisi memancing ikan yang ditanyakan. Buktinya adalah sebagai berikut :
Pertama, unsur judi berupa permainan untuk menentukan pemenang, jelas ada. Permainan ini berupa aktivitas memancing ikan dengan kriteria peserta yang dapat memancing ikan terbanyak, atau ikan tertentu (dengan tanda atau ciri khusus), maka dialah yang menjadi pemenang.
Kedua, unsur judi berupa taruhan, juga jelas ada. Bentuknya adalah uang pendaftaran atau uang tiket yang dibayarkan oleh para peserta kompetisi memancing. Walaupun dinamakan “uang pendaftaran” atau “uang tiket”, namun hakikatnya adalah taruhan, yaitu uang yang berasal dari para peserta yang nanti akan diambil oleh sang pemenang.
Ketiga, unsur judi berupa pengambilan harta oleh pemenang dari pihak yang kalah, juga ada. Terbukti bahwa dalam kompetisi ini, semua uang pendaftaran yang berasal dari seluruh peserta, hanya diberikan kepada juara 1 saja, yaitu yang menjadi pemenang. Sedang yang lain, adalah para pihak yang kalah, karena sudah membayar uang tiket, tapi tidak mendapat apa-apa. Kalaupun mendapat sesuatu, nilainya tidak sebanding dengan uang pendaftaran.
Kesimpulannya, kompetisi memancing ikan yang ditanyakan di atas, haram hukumnya dalam Islam karena termasuk judi yang sudah jelas diharamkan dalam Islam. Solusinya, jangan ada uang pendaftaran dari peserta. Para penyelenggara dapat mencari biaya penyelenggaraan kompetisi dari pihak sponsor. Wallāhu a’lam.
Yogyakarta, 7 September 2023 Muhammad Shiddiq Al-Jawi