Home Fiqih Fiqih Muamalah HUKUM HADIAH BAGI KARYAWAN YANG SUDAH MENDAPAT GAJI

HUKUM HADIAH BAGI KARYAWAN YANG SUDAH MENDAPAT GAJI

160

 

 

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi

 

Tanya :

Ustadz, misalkan ada karyawan sebuah lembaga filantropi yang sudah mendapat gaji, melakukan distribusi Al-Qur’an ke lokasi distribusi. setelah Al-Qur’an diterima oleh penerima manfaat (pesantren, majelis taklim, masjid, dll) penerima manfaat memberikan hadiah berupa makanan/minuman/kue/madu/hasil pertanian kepada karyawan tersebut. Apakah yang diterima karyawan tersebut halal atau haram ? (Hamba Allah, Jakarta)

 

Jawab :

Hukum asalnya haram karyawan/pekerja tersebut menerima hadiah tersebut, baik hadiah yang berupa barang maupun yang berupa fasilitas. Dalil keharamannya adalah beberapa hadits Nabi SAW yang mengharamkan karyawan (al-ajīr/ al-’āmil) yang sudah digaji oleh pihak pemberi kerja (al-musta`jir) untuk menerima hadiah (al-hadiyyah) atau tips (al-ikrāmiyāt) dari pihak rekanan (bukan dari pihak pemberi kerja).

Pertama, hadits dari Abu Humaid As-Sa’idi RA :

عن أبي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ رضي الله عنه قَالَ : اسْتَعْمَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلا مِنْ بَنِي أَسْدٍ يُقَالُ لَهُ ابن اللُّتْبِيَّة عَلَى صَدَقَةٍ فَلَمَّا قَدِمَ قَالَ : هَذَا لَكُمْ وَهَذَا أُهْدِيَ لِي ، فَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ : ( مَا بَالُ الْعَامِلِ نَبْعَثُهُ فَيَأْتِي يَقُولُ : هَذَا لَكَ وَهَذَا لِي ، فَهَلا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ فَيَنْظُرُ أَيُهْدَى لَهُ أَمْ لا ؟ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لا يَأْتِي بِشَيْءٍ إِلا جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى رَقَبَتِهِ إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى رَأَيْنَا عُفْرَتَيْ إِبْطَيْهِ أَلا هَلْ بَلَّغْتُ ثَلاثًا.رواه مسلم برقم 3413.

Dari Abu Humaid As-Sa’idi RA, bahwa Rasulullah SAW telah mempekerjakan seorang laki-laki dari Bani Asad bernama Ibnu Luthbiyah untuk mengumpulkan zakat (dari Bani Sulaim). Ketika dia menyetorkan zakat yang dipungutnya, dia berkata kepada Rasulullah SAW, “Zakat ini kuserahkan kepada Anda, dan ini hadiah orang kepadaku.” Abu Humaid berkata, “Rasulullah SAW lalu berdiri di atas mimbar, kemudian beliau memuji dan menyanjung Allah, serta bersabda,“Bagaimana bisa ada seorang petugas zakat yang sudah aku tugaskan memungut zakat, lalu dia berkata, ‘Zakat ini kuberikan kepada Anda, dan ini hadiah dari orang untukku.’ Mengapa dia tidak duduk-duduk saja di rumah ibunya atau bapaknya menunggu orang mengantarkan hadiah kepadanya? Demi Allah yang jiwa Muhammad berada di tangannya, tidak ada seorangpun di antara kalian yang mengambil harta secara khianat, melainkan kelak dia akan memikul harta itu di atas lehernya pada hari Kiamat, jika harta itu berupa unta, unta itu akan menguak, atau jika sapi maka sapi itu akan melenguh, atau jika kambing maka kambing itu akan mengembik.” Kemudian Rasulullah SAW mengangkat kedua tangannya sehingga kami dapat melihat warna putih pada kedua ketiaknya, kemudian Rasulullah SAW bersabda,’Ya Allah, telah aku sampaikan.’ Beliau mengatakan itu tiga kali. (HR Muslim, no. 3413).

Imam Nawawi memberi syarah (penjelasan) hadits tersebut dengan berkata :

وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ بيانُ أنَّ هَدَايَا الْعُمَّالِ حَرَامٌ وَغُلُولٌ ؛ لِأَنَّه خَانَ فِي وِلَايَتِهِ وَأَمَانَتِه ، وَلِهَذَا ذَكَرَ فِي الْحَدِيثِ فِي عُقُوبَتِهِ وحَمْلِهِ مَا أُهْدِيَ إلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، شرح مسلم للنووي ج 12 ص 219.

“Dalam hadits ini terdapat penjelasan bahwa hadiah yang diterima oleh karyawan (pekerja) adalah haram dan khianat (ghulūl), karena dia telah berkhianat dalam tugasnya dan amanatnya. Karena itulah, disebutkan dalam hadits ini hukumannya, yaitu memikul harta yang dihadiahkan kepadanya itu di lehernya pada Hari Kiamat.” (Imam Nawawi, Syarah Shahih Muslim, 12/219).

Kedua, hadits dari dari Abu Humaid As-Saidi RA :

عن أبي حميد الساعدي أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال هَدَايَا الْعُمَّالِ غُلُوْلٌ . مسند الإمام أحمد ج 5 ص 424 برقم 23090 وصحَّحه الألباني في ارواء الغليل 2622

Dari Abu Humaid As-Sa’idi RA, bahwa Rasulullah SAW telah bersabda,”Hadiah-hadiah yang diterima oleh para karyawan, adalah harta khianat (ghulūl).” (HR Ahmad, dalam Al-Musnad, 5/424, nomor 23090, dinilai sahih oleh Syekh Nashiruddin al-Albani, dalam kitab Irwa`ul Ghalil, no. 2622).

Ketiga, hadits dari Buraidah RA :

عن بُرَيدَةَ رَضِيَ اللهُ عنه، عنِ النبيِّ صلَّى الله عليه وسلَّم أنَّه قال: مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلىَ عَمَلٍ فَرَزقْنَاهُ رِزْقًا؛ فَمَا أَخَذَهُ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُوْلٌ. رواه أبو داود برقم 2943 وابن خزيمة ج 4 ص 70 برقم 2369، والحاكم ج 1 ص 563 ، والبيهقي ج 6 ص 355 برقم 13401.وقال الشوكاني في نيل الأوطار ج 4 ص 232: رجال إسناده ثقات، وصحَّحه الألباني في صحيح سنن أبي داود برقم 2943.

Dari Buraidah RA, bahwa Rasulullah SAW telah bersabda,“Barangsiapa yang telah kami berikan pekerjaan kepadanya, lalu kami sudah memberikan gaji kepadanya, maka apa saja yang dia ambil sesudah gaji itu, maka itu adalah harta khianat (ghulūl).” (HR Abu Dawud, no 2943; Ibnu Khuzaimah, 4/70; Al-Hakim, 1/563, Al-Baihaqi, 6/355; hadits ini sahih menurut Imam Syaukani dan Syekh Nashiruddin al-Albani).

Keempat, hadits dari ‘Adiy bin ‘Amirah al-Kindi RA:

عن عَديِّ بنِ عَمِيرةَ الكِنديِّ، قال: سمعتُ رسولَ الله صلَّى الله عليه وسلَّم يقول« مَنْ اسْتَعْمَلْنَاهُ مِنْكُمْ عَلَى عَمَلٍ فَكَتَمَنَا مِخْيَطًا فَمَا فَوْقَهُ كَانَ غُلُولًا يَأْتِي بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ » ، قَالَ: « فَقَامَ إِلَيْهِ رَجُلٌ أَسْوَدُ مِنْ الْأَنْصَارِ كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَيْهِ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ اقْبَلْ عَنِّي عَمَلَكَ، قَالَ: ((وَمَا لَكَ؟)) ، قَالَ: سَمِعْتُكَ تَقُولُ كَذَا وَكَذَا، قَالَ:  وَأَنَا أَقُولُهُ الْآنَ، مَنْ اسْتَعْمَلْنَاهُ مِنْكُمْ عَلَى عَمَلٍ فَلْيَجِئْ بِقَلِيلِهِ وَكَثِيرِهِ فَمَا أُوتِيَ مِنْهُ أَخَذَ وَمَا نُهِيَ عَنْهُ انْتَهَى» رواه البخاري ومسلم

Dari dari ‘Adiy bin ‘Amirah al-Kindi RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda,“Barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), lalu dia menyembunyikan dari kami sebatang jarum atau lebih dari itu, maka itu adalah harta khinat (ghulūl) yang akan dia bawa pada hari kiamat.” (‘Adiy) berkata.”Maka ada seorang lelaki hitam dari Anshar berdiri menghadap Nabi SAW seolah-olah aku melihatnya, lalu dia berkata,”Wahai Rasulullah, copotlah jabatanku yang engkau tugaskan.” Nabi SAW bertanya,”Ada apa gerangan?” Dia menjawab,”Aku mendengar engkau berkata demikian dan demikian (maksudnya perkataan di atas).” Nabi SAW pun berkata,”Aku katakan sekarang, (bahwa) barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), maka hendaklah dia membawa (seluruh hasilnya), sedikit maupun banyak. Kemudian, apa yang diberikan kepadanya [dari kami], dia (boleh) mengambilnya. Sedangkan apa yang dilarang [oleh kami], maka tidak boleh [dia mengambilnya].” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadits-hadits di atas menunjukkan haramnya seorang karyawan (al-ajīr/ al-’āmil) yang sudah digaji oleh pihak pemberi kerja (al-musta`jir) untuk menerima hadiah (al-hadiyyah) atau tips (al-ikrāmiyāt) dari pihak rekanan (pihak lain yang bukan pihak pemberi kerja). (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Shakhṣiyyah al-Islāmiyyah, 2/337).

Dikecualikan dari hukum asal haramnya karyawan yang sudah digaji oleh pemberi kerja, yakni boleh hukumnya karyawan menerima hadiah dari pihak lain di luar pihak pemberi kerja dalam 2 (dua) kondisi sebagai berikut :

Pertama, jika hadiah itu berasal dari pihak yang sudah terbiasa memberi hadiah kepada karyawan itu, misalnya keluarganya atau sahabatnya.

Kedua, jika pihak pemberi kerja (al-musta`jir) memberi izin kepada karyawan untuk menerima hadiah itu.

 

Perkecualian Pertama:

Boleh hukumnya karyawan menerima hadiah, jika hadiah itu berasal dari pihak yang sudah terbiasa memberi hadiah kepada karyawan itu, misalnya keluarganya atau sahabatnya. Imam Taqiyuddin An-Nabhani menjelaskan :

إلَّا أَنْ الْهَدِيَّةَ لِهَؤُلَاءِ تَكُوْنُ حَرَاماً إذَا لَمْ يَكُنْ مِنْ عَادَةِ الْمُهْدِي أَنْ يُهْدِيَ لَهُم ، أمَّا إنْ كَانَ مِنْ عَادَتِهِ أَنْ يُهْدِيَ لَهُمْ سَوَاءٌ أَكَانُوا يَتَوَلَّوْنَ قَضَاءَ مَصَالِحَ أَمْ لَا ، فَإِنَّهُ تَجُوْزُ الْهَدِيَّةُ لَهُمْ وَلَا شَيْءَ فِيهَا ، لِأَنَّ الرَّسُوْلَ ﷺ يَقُولُ فِي الْحَدِيْثِ : فَهَلَّا جَلَسْتَ فِي بَيْتِ أبِيكَ وَأُمِّكَ ، حتَّى تَأْتِيَكَ هَدِيَّتُكَ إنْ كُنْتَ صَادِقًا . وَمَفْهُومُهُ أَنَّ الْهَدِيَّةَ الَّتِيْ تُهْدَى لَهُ وَهُوَ جَالِسٌ فِي بَيْتِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ دُونَ أَنْ يَكُونَ عاملاً جَائِزَةٌ.

“Namun, hadiah kepada mereka ini (karyawan/pekerja) hukumnya haram, jika bukan merupakan kebiasaan pemberi hadiah untuk memberi hadiah kepada karyawan itu. Adapun jika pemberi hadiah sudah terbiasa sebelumnya memberi hadiah kepada karyawan itu, sama saja apakah pemberi hadiah itu berwenang mengurus urusan publik atau tidak, boleh hukumnya karyawan itu menerima hadiah, karena Rasulullah SAW bersabda,”Jadi mengapa Anda tidak duduk saja di rumah ayah dan ibu Anda sampai Anda menerima hadiah Anda, jika Anda jujur?” Mafhūm mukhālafah (pengertian sebaliknya) dari hadits ini, jika hadiah yang diberikan kepada karyawan itu datang saat dia sedang duduk di rumah ayah dan ibunya tanpa dia menjadi pekerja, maka hukumnya boleh.” (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Shakhṣiyyah al-Islāmiyyah, 2/337).

 

Perkecualian Kedua :

Boleh hukumnya karyawan (pekerja) menerima hadiah, jika pihak pemberi kerja (al-musta`jir) sudah mengetahui dan memberi izin kepada karyawan untuk menerima hadiah tersebut. Imam Taqiyuddin An-Nabhani menjelaskan :

وَلَيْسَ مِنَ السَّمْسَرَةِ مَا يَفْعَلُهُ بَعْضُ الْأُجَرَاءِ ، وَهُوَ أَنْ يُرْسِلَ التَّاجِرُ رَسُوْلاً عَنْهُ لِيَشْتَرِيَ لَهُ بِضَاعَةً مِنْ آخَرَ ، فَيُعْطِيْهِ الْآخَرُ مَالاً مُقَابِلَ شِرَائِهِ مِنْ عِنْدِهِ فَلَا يَحْسِبَهُ مِنْ الثَّمَنِ بَلْ يَأْخُذُهَا لَهُ بِاعْتِبَارِه سَمْسَىرَةً مِنَ التَّاجِرِ ، وَهُوَ مَا يُسَمَّى عِنْدَهُم الْقَامِسِيُّوْنَ . فَهَذَا لَا يُعْتَبَرُ سَمْسَرَةً ، لِأَنَّ الشَّخْصَ وَكِيْلٌ عَنِ التَّاجِرِ الَّذِيْ يَشْتَرِيْ لَهُ ، فَمَا يَنْقُصُ مِنَ الثَّمَنِ هُوَ لِلْمُشْتَرِي ، وَلَيْس لِلرَّسُوْلِ . وَلِذَلِكَ يَحْرُمُ عَلَيْهِ أَخْذُهُ ، بَلْ هُوَ لِلْمُرْسِلِ الَّذِيْ أَرْسَلَهُ إلَّا أَنْ يُسَامِحَ بِهِ الْمُرْسِلُ فَيَجُوْزُ

“Tidak termasuk samsarah (perantara jual beli),  apa yang dilakukan oleh sebagian karyawan (pekerja), yaitu seorang pedagang mengirim seorang utusan untuk membeli suatu barang dari orang lain untuknya, kemudian orang lain ini memberi harta kepada utusan tersebut sebagai imbalan karena dia telah membeli barang kepadanya, maka orang lain itu memberikan potongan harga kepadanya, lalu karyawan mengambil potongan harga itu sebagai fee samsarah dari pedagang. Ini tidak dapat dianggap samsarah, karena utusan tadi hakikatnya adalah wakil dari pihak pedagang untuk membeli barang atas nama dia (pihak yang mengutus). Maka potongan harga tadi sebenarnya adalah haknya pihak yang mengutus, bukan haknya utusan. Jadi, haram hukumnya utusan tadi mengambil potongan harga itu, dan potongan harga itu sebenarnya adalah hak pihak yang mengutus, kecuali pihak yang mengutus membolehkan potongan harga itu diambil oleh utusan.”  (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Niẓām al-Iqtiṣādi fi al-Islām, hlm. 70). Wallāhu a’lam.

 

Jakarta, 6 Maret 2023

M. Shiddiq Al-Jawi