Home Soal Jawab Fiqih HUKUM GADUH KAMBING

HUKUM GADUH KAMBING

21

Oleh : KH. Shiddiq Al-Jawi

 

Tanya :

Ustadz, saya Jalal mau menanyakan tentang gaduh hewan seperti kambing atau sapi bagaimana ketentuannya menurut syariat Islam? (Jalal, bumi Allah).

 

Jawab :

Gaduh adalah sistem pemeliharaan ternak (kambing, sapi, dsb) antara pemilik kambing dengan penggaduh (pemelihara kambing), di mana pemilik kambing menitipkan pemeliharaan kambingnya kepada pihak penggaduh, dengan perjanjian bagi hasil anak kambingnya. Misalnya, jika tahun ini kambing itu beranak, maka anak kambing itu menjadi miliknya pemelihara (penggaduh), dan jika tahun depan kambing itu beranak lagi, maka anak kambing itu menjadi miliknya pemodal/pemilik kambing.

Dalam fiqih Islam, gaduh tersebut termasuk kategori syirkah, yaitu salah satu jenis syirkah yang dinamakan syirkah mudhārabah, khususnya pada satu varian syirkah mudhārabah ketika ada dua pemodal (shahibul māl) yang berserikat, sementara yang menjadi pengelola modalnya (mudhārib/’ āmil) adalah salah satu dari kedua pemodal itu. Imam Taqiyuddin An-Nabhani telah berkata :

وَمِنَ الْمُضاَرَبَةِ أَنْ يَشْتَرِكَ ماَلاَنِ وَبَدَنُ أَحَدِهِماَ

”Termasuk syirkah mudhārabah,  adalah berserikatnya dua pemodal dengan pengelola modal salah satu dari keduanya.” (Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizhām Al-Iqtishādī fī Al-Islām, hlm. 155).

Terdapat khilāfiyah di kalangan ulama mengenai syirkah seperti yang ditanyakan di atas, yaitu syirkah yang bentuknya seseorang menyerahkan hewan ternaknya kepada orang lain untuk dipelihara dengan bagi hasil berupa anak yang akan dilahirkan dari hewan itu.

Syirkah seperti ini haram hukumnya menurut jumhur ulama, yakni ulama Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. Alasannya, jika akad tersebut dianggap syirkah, modalnya tidak sah karena berupa hewan, sebab modal syirkah itu seharusnya berupa uang tunai (al-nuqūd), tidak boleh berupa barang (al-‘urūdh).Jika akadnya dianggap ijārah (bekerja dengan upah), juga tidak sah karena imbalannya majhūl (tidak diketahui dengan jelas), yakni tidak jelas jumlahnya, dalam hal ini, anak kambing yang akan dilahirkan. Padahal imbalan (‘iwadh) dalam akad ijarāh itu seharusnya berupa uang/barang/manfaat yang jelas jumlahnya (ma’lūm), tidak boleh upahnya majhūl. (Muhammad Tāwīl, Al-Syarikāt wa Ahkāmuhā fī Al-Fiqh Al-Islāmī, Beirut : Dar Ibn Hazm, 2009, hlm. 75-76).

Sebagian ulama membolehkan model syirkah seperti yang ditanyakan di atas, seperti Imam Ahmad dalam salah satu riwayat darinya, Imam Ibnu Taimiyyah, dan Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah, karena diqiyaskan dengan musāqāt (bagi hasil merawat pohon) dan muzāra’ah (penyewaan lahan pertanian). (Ibnu Muflih, Al-Furū’, IV/395; Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah, I’lāmul Muwaqqi’īn, IV/150).

 

Pendapat yang rājih (lebih kuat) menurut kami, adalah pendapat jumhur ulama yang mengharamkan model syirkah seperti yang ditanyakan di atas, karena dalilnya lebih kuat. Sedang pendapat yang membolehkan, tidak dapat diterima karena qiyasnya lemah (marjūh).

Berikut ini kutipan-kutipan pendapat ulama yang mengharamkan :

Imam Al-Kamāl bin Al-Humām (ulama Hanafiyah) berkata :

إذَا دَفَعَ بَقَرَةً إلَى آخَرَ يَعْلِفُهَا لِيَكُونَ الْحَادِثُ بَيْنَهَا بِالنِّصْفِ فَالْحَادِثُ كُلُّهُ لِصَاحِبِ الْبَقَرَةِ

”Kalau seseorang menyerahkan sapi kepada orang lain untuk diberi pakan dengan ketentuan anak sapinya dibagi setengah setengah, maka semua anak sapi menjadi miliknya pemilik sapi [syirkahnya tidak sah].” (Imam Al-Kamāl bin Al-Humām, Fathul Qadīr, VI/121).

 

Imam Al-Māwardi (ulama Syafi’iyah) berkata :

وَلَوْ دَفَعَ إِلَى رَجُلٍ مَاشِيَةً لِيُعْلِفَهَا مُمْسِكًا لِرِقَابِهَا ، ثُمَّ يَقْتَسِمَانِ مَا يَدُرُّ مِنْ دُرِّهَا وَنَسْلِهَا لَمْ يَجُزْ

“Kalau seseorang menyerahkan hewan ternaknya [kepada orang lain] untuk diberi pakan…lalu keduanya berbagi hasil untuk air susunya atau anak hewan ternaknya, hukumnya tidak boleh.” (Imam Al-Mawardi, Al-Hāwi Al-Kabīr, VII/310).

 

Imam Ibnu Qudāmah (ulama Hanabilah) berkata :

وَلَوْ اسْتَأْجَرَ رَاعِيًا لِغَنَمٍ بِثُلُثِ دَرِّهَا وَنَسْلِهَا وَصُوفِهَا وَشَعْرِهَا ، أَوْ نِصْفِهِ ، أَوْ جَمِيعِهِ ، لَمْ يَجُزْ

”Kalau seseorang mempekerjakan penggembala untuk kambingnya dengan upah sepertiga dari air susunya, atau anak kambingnya, atau wol-nya…hukumnya tidak boleh.” (Imam Ibnu Qudamah, Al-Mughnī, V/252).

Adapun pendapat yang membolehkan dengan mengqiyaskan syirkah mudhārabah tersebut dengan musāqāt dan muzāra’ah, maka qiyas ini tidak dapat diterima, dengan dua alasan sebagai berikut:

 Pertama, karena dalam musāqāt (bagi hasil merawat pohon) yang menjadi modal (ra`sul māl) adalah pohon, dan ini memang dibolehkan dalam aqad musāqāt berdasarkan dalil khusus yang membolehkannya, yaitu hadits Nabi SAW yang melakukan musāqāt dengan kaum Yahudi di Khaibar. (HR Muslim, no. 2897).

Sedang dalam syirkah yang ditanyakan di atas, yang menjadi modal (ra`sul mal) adalah barang (al-‘urūdh), dalam hal ini hewan ternak. Padahal jumhur ulama berpendapat bahwa modal syirkah secara umum itu wajib berupa uang tunai (al-nuqūd), tidak boleh berupa barang (al-‘urūdh), seperti hewan ternak. (Syaikh Nizhāmuddīn Al-Balkhī, Al-Fatāwā Al-Hindiyyah, 4/285; Imam Malik, Al-Muwaththa`, II/689; Abu Ishaq Al-Syirazi, Al-Muhadzdzab, I/385; Ibnu Qudamah, Al-Mughnī, VII/123).

 Kedua, karena muzāra’ah –atau disebut juga sewa lahan pertanian (ijāratul ardh)– justru haram hukumnya, sebagaimana pendapat yang rājih menurut Imam Ibnu Hazm dan Imam Taqiyuddin An-Nabhani.

Imam Ibnu Hazm berkata :

لاَ تَجُوْزُ إِجَارَةُ اْلأَرْضِ أَصْلاً

”Tidak boleh menyewakan lahan pertanian sama sekali (lā tajūzu ijāratul ardhi ashlan).” (Ibnu Hazm, Al-Muhallā, VIII/190).

Imam Taqiyuddin An-Nabhani berkata :

لاَ يَجُوْزُ لِمَالِكِ اْلأَرْضِ أَنْ يُؤَجِّرَ أَرْضَهُ لِلزِّرَاعَةِ مُطْلَقاً

”Tidak boleh pemilik lahan pertanian menyewakan lahannya untuk keperluan pertanian secara mutlak.” (la yajūzu li mālik al-ardhi an yu`ajjira ardhahu li az-zirā’ah muthlaqan). (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizhām Al-Iqtishādī fī Al-Islām, hlm. 138).

 

Solusinya, dapat dilaksanakan dari beberapa alternatif akad yang dibolehkan syariah berikut ini, antara lain :

Pertama, akad gaduh menggunakan akad ijārah, yaitu pemilik kambing menjadi pemberi kerja (al-musta`jir), sedang pemelihara kambing menjadi pekerja (al-ajīr), dengan ketentuan :

(1) semua biaya pakan menjadi tanggungan pemberi kerja (al-musta`jir);

(2) upahnya berupa sejumlah uang yang fixed (tetap/flat), misalnya pemelihara mendapat upah Rp 1 juta per bulan.

Jadi upah yang diterima pemelihara/pekerja (al-ajīr), adalah berupa uang, bukan anak kambing yang akan dilahirkan. Jadi kalau pihak pemelihara menginginkan anak kambing yang dilahirkan, dia dapat membeli dari pihak pemberi kerja, namun akad jual beli ini sifatnya opsional atau tidak mengikat (ghairu mulzim) untuk dilaksanakan bagi pihak pemilik anak kambing.

Kedua, akad gaduh menggunakan akad syirkah amlāk, yaitu kepemilikan bersama oleh dua pihak atau lebih pada suatu barang (al-‘ain) yang sama. Jadi, misalnya ada dua orang yang iuran sejumlah uang untuk membeli satu ekor kambing. Misal A iuran sebesar Rp 3 juta, sedang B iuran sebesar Rp 1 juta. Uang yang terkumpul, sejumlah Rp 4 juta, lalu dibelikan satu ekor kambing. Maka satu ekor kambing ini artinya dimiliki secara bersama oleh A dan B, berdasarkan syirkah amlāk.

Kemudian, pihak A dan B sebagai sama-sama pemilik, lalu bersepakat bahwa pemeliharaan kambing dilaksanakan oleh B, dengan biaya ditanggung bersama oleh A dan B. Kemudian disepakati bagi hasil dan bagi ruginya, di antara dua pihak tersebut (A dan B). Bagi ruginya ditanggung sesuai persentase modal. Sedang bagi hasilnya, anak kambingnya dibagi dengan cara pembagian tertentu, misalkan jika tahun ini kambing itu beranak, maka anak kambing itu menjadi miliknya B (pihak kedua/pemelihara), dan jika tahun depan kambing itu beranak lagi, maka anak kambing itu menjadi miliknya A (pihak pertama). Bentuk gaduh dengan akad syirkah amlāk ini dibolehkan menurut syara’ (hukum Islam), sebagaimana penjelasan Syekh Muhammad Tāwīl dalam kitabnya Al-Syarikāt wa Ahkāmuhā fī Al-Fiqh Al-Islāmī, hlm. 75- dst.

 

Wallāhu a’lam.

 

Banjarmasin, 25 September 2021

 Muhammad Shiddiq Al-Jawi

= = =

 

Referensi :

Tāwîl, Muhammad, Al-Syarikāt wa Ahkāmuhā fî Al-Fiqh Al-Islāmî, Beirut : Dar Ibn Hazm, 2009

https://fissilmi-kaffah.com/frontend/artikel/detail_tanyajawab/439

https://fissilmi-kaffah.com/frontend/artikel/detail_tanyajawab/449