Home Soal Jawab Fiqih HUKUM CUTTING PADA IKAN KOI

HUKUM CUTTING PADA IKAN KOI

3

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi

 

Tanya :

Assalamualaikum Ustadz. Ijin bertanya tentang boleh tidaknya melakukan “cutting” pada ikan koi. Tujuan dari “cutting” ini adalah untuk memperbaiki pola atau membentuk pola yang unik pada ikan koi, agar nilai jualnya naik. Proses “cutting” ini dilakukan dengan cara :

  1. Mencabut sisik ikan koi yang bersisik.
  2. Mengerik kulit luar ikan koi yang tidak bersisik.

“Cutting” ini menimbulkan bekas luka pada ikan koi, ada yang kering dan cepat hilang. Tapi ada yang menimbulkan bekas merah yang agak lama hilangnya, ataupun bisa menimbulkan luka permanen yang tidak bisa sembuh (disebut gagal “cutting”). Berikut ini dua foto ikan koi yang setelah gagal cutting menimbulkan bekas luka yang permanen pada ikan koi tersebut.

Keterangan : bekas luka permanen pada ikan koi akibat gagal cutting.

Berikut ini di bawah contoh-contoh “cutting” yang membentuk pola pada ikan koi, yang awalnya ikan koi warnanya polos, lalu dibentuk pola seperti di atas melalui proses “cutting”, sehingga banyak kulit koi yang dibuang.

Keterangan : kiri, adalah gambar ikan koi yang riil (sebelum dilakukan cutting). Kanan : gambar ikan koi editan yang menggambarkan bagian-bagian mana yang akan dicutting, yang ditandai dengan warna putih.

Dengan proses “cutting” ini harga ikan koi akan semakin mahal. Kalau sebelum cutting ikan koi terjual di harga Rp 400-500 ribu per ekor, sedang setelah cutting bisa laku Rp 2 juta per ekor. Bagaimanakah hukumnya dalam Islam melakukan “cutting” pada ikan koi ini? (Ibu Miftah, Kediri).

 

Jawab :

Wa ‘alaikumus salam wa rahmatullahi wa barakatuhu.

 

Hukum melakukan cutting pada ikan koi tersebut adalah boleh (mubah) dalam syariah Islam dengan syarat wajib memperlakukan dengan baik ikan koi yang mengalami proses cutting tersebut.

Dalil bolehnya proses cutting pada ikan koi tersebut adalah 2 (dua) dalil syar’i sebagai berikut:

Pertama, telah terdapat dalil-dalil umum bahwa Allah SWT telah melakukan taskhīr (penundukan) segala sesuatu di alam semesta untuk manusia, termasuk di dalamnya adalah hewan. Ketika Allah menundukkan (men-taskhīr) segala sesuatu di alam semesta bagi manusia, artinya pada dasarnya Allah telah membolehkan segala sesuatu itu untuk dimanfaatkan oleh manusia. Di antara dalil-dalil umum itu adalah firman Allah SWT :

أَلَمْ تَرَ أَنَّ ٱللَّهَ سَخَّرَ لَكُم مَّا فِى ٱلْأَرْضِ

”Apakah kamu tiada melihat bahwasanya Allah telah menundukkan bagimu apa yang ada di bumi.” (QS Al-Hajj : 65).

 

Imam Taqiyuddin An-Nabhani, rahimahullāh, menafsirkan ayat ini dengan berkata :

وَمَعْنَى تَسْخِيرِاللَّهِ لِلْإِنْسَانِ جَمِيعًا مَا فِي الْأَرْضِ إِبَاحَتَهُ لِكُلِّ مَا فِي الْأَرْضِ

”Makna bahwa Allah telah menundukkan (men-taskhīr) bagi manusia semua yang ada di bumi, adalah Allah telah membolehkan bagi manusia setiap-tiap apa yang ada di bumi.” (wa ma’nā taskhīrillāh lil insāni jamī’a mā fī al ardhi ibāhatuhu li-kulli mā fi alardhi). (Taqiyuddīn An-Nabhānī, Al-Syakhshiyyah Al-Islāmiyyah (Ushūl Al-Fiqh), Juz III, hlm. 27).

 

Kedua, terdapat dalil-dalil hadis Nabi SAW yang membolehkan membunuh hewan asalkan ada tujuan yang dibenarkan syariah (al-gharadh al-syar’i), yaitu demi mendapatkan suatu kemanfaatan yang sifatnya mubah bagi manusia. Jadi tujuannya bukan untuk sekedar iseng atau main-main yang tidak memberikan manfaat mubah bagi manusia. Jika membunuh saja boleh, maka perlakuan yang tidak sampai membunuh, berarti juga boleh. Di antaranya sabda Rasulullah SAW :

مَنْ قَتَلَ عُصْفُورًا عَبَثًا عَجَّ إِلَى اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَقُولُ يَا رَبِّ إِنَّ فُلَانًا قَتَلَنِي عَبَثًا وَلَمْ يَقْتُلْنِي مَنْفَعَةً

”Barangsiapa yang membunuh seekor burung kecil (‘ushfūr) secara sia-sia (‘abatsa), maka burung itu akan berteriak kepada Allah pada Hari Kiamat dengan berkata,”Wahai Tuhanku, sesungguhnya Fulan telah membunuhku secara sia-sia, dan tidak membunuhku untuk suatu kemanfaatan (wa lam yaqtulnī manfa’atan).” (HR Al-Nasa`i, no. 4446; Ibnu Hibbān, no. 5894; Ahmad, no. 19.470. Imam Al-Mundziri menjelaskan status hadis ini dengan berkata,”Isnadnya shahih atau hasan, atau mendekati shahih dan hasan”). (Imam Al-Mundziri, Al-Targhīb wa Al-Tarhīb, 2/162).

Hadis tersebut secara manthūq (makna tersurat) mengharamkan membunuh hewan secara sia-sia (‘abatsan) dan tanpa ada manfaatnya bagi manusia. Maka mafhūm mukhālafah (makna tersirat kebalikannya) dari hadis itu, boleh hukumnya membunuh hewan jika ada manfaatnya untuk manusia.

Dalam riwayat lain dari hadits yang sama, Rasulullah SAW bersabda :

مَا مِنْ إِنْسَانٍ يَقْتُلُ عُصْفُوْرًا فَمَا فَوْقَهَا بِغَيْرِ حَقِّهَا، إلَّا سَأَلهُ اللهُ عَنْهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ قَيْلَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ ! وَمَا حَقُّهَا ؟ قَالَ : حَقُّهَا أَنْ يَذْبَحَهَا فَيأكُلَهَا، وَلاَ يَقْطَعَ رَأْسَهَا فَيَرْمِيَ بِه

“Tidaklah seorang manusia membunuh seekor burung kecil (‘ushfūr) atau yang lebih besar daripada itu, tanpa memberikan hak kepada burung itu, kecuali Allah akan bertanya mengenai hal itu kepada orang itu pada hari Kiamat kelak.” Ada yang bertanya,”Wahai Rasulullah, apa yang menjadi hak bagi burung itu?” Rasulullah SAW menjawab,”Hak burung itu adalah hendaknya manusia itu menyembelihnya lalu memakannya, bukan memotong kepalanya lalu membuangnya (tanpa manfaat).” (HR. Al-Nasa`i, no. 4349; Al-Hakim, no. 7574; Al-Baihaqi, no. 18594. Hadits hasan, lihat Syekh Nāshiruddīn Al-Albānī, dalam kitabnya Shahīh Al-Targhīb, nomor hadits 2266).

Hadits di atas semakna dengan hadits sebelumnya, yang secara manthūq (makna tersurat) mengharamkan membunuh hewan secara tanpa memnberikan hak kepada hewannya, yaitu maksudnya adalah membunuh suatu hewan tanpa ada manfaatnya bagi manusia, atau hanya sekedar iseng atau main-main saja. Dengan demikian, mafhūm mukhālafah (makna tersirat kebalikannya) dari hadits itu, boleh hukumnya membunuh suatu hewan jika ada manfaatnya untuk manusia.

Berdasarkan dua dalil syar’i di atas, boleh (mubah) hukumnya menurut syara’ untuk melakukan proses cutting pada ikan koi, sebagaimana ditanyakan di atas, karena ada manfaat yang sifatnya mubah dari proses cutting itu.

Hanya saja, disyaratkan bagi pelaksana yang melakukan cutting pada ikan koi itu, agar dia wajib memperlakukan dengan baik ikan koi yang mengalami proses cutting tersebut. Misalnya, setelah terjadi luka akibat cutting, khususnya cutting yang gagal, ikan koi diberi pengobatan supaya lukanya cepat sembuh. Misalnya ikan koi itu dibersihkan lukanya, diberikan antibiotik, diperhatikan kondisi kolamnya, diberi nutrisi yang tepat, dan sebagainya. (Lihat https://kumparan.com/seputar-hobi/cara-mengobati-ikan-koi-yang-luka-agar-cepat-pulih-22qYt8ZzXOU/3).

 

Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW :

إِنَّ اللهَ كَتَبَ الإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ. فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوْا اْلقِتْلَةَ، وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوْا الذِّبْحَةَ، وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ، وَلْيُرِحْ ذَبِيْحَتَهُ. رواه مسلم عن شداد بن أوس رضي الله عنه

“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kalian untuk berlaku baik pada segala sesuatu. Maka jika kalian membunuh (orang/binatang yang boleh dibunuh dalam Islam), hendaklah kalian membunuh dengan cara yang baik, dan jika kalian menyembelih hendaklah kalian menyembelih dengan cara yang baik. Dan hendaklah salah satu dari kalian menajamkan pisaunya (jika hendak menyembelih) dan hendaklah dia menenangkan hewan yang akan disembelihnya.” (HR. Muslim, dari Syadād bin Aus RA).

Perlu kami tambahkan untuk menyempurnakan jawaban, bahwa penjual ikan wajib jujur kepada pembeli ikan koi, yaitu tidak boleh mengatakan bahwa pola warna ikan koi yang dijual itu asli atau alami padahal ikannya sudah mengalami proses cutting. Islam tidak membenarkan klaim yang bohong pada barang dagangan seperti itu, sesuai sabda Rasulullah SAW :

مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّيْ

“Barangsiapa yang menipu (curang) maka dia tidak termasuk golonganku.” (HR. Muslim).

 

Dalam hadits lain, Rasulullah SAW telah bersabda :

اَلْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا – أَوْ قَالَ: حَتىَّ يَتَفَرَّقَا – فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا، بُوْرِكَ لَهُمَا فِيْ بَيْعِهِمَا، وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا، مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا. رواه البخاري ومسلم

“Penjual dan pembeli mempunyai hak khiyār (memilih) selama belum berpisah, maka jika keduanya jujur dan menerangkan (cacat barang), maka mereka akan diberkahi dalam jual belinya. Tetapi jika mereka menyembunyikan (cacat barang) dan berdusta, maka hilangkah keberkahan jual belinya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

 

Demikianlah jawaban kami, semoga bermanfaat, wallāhu a’lam bi al-shawāb.

 

Yogyakarta, 13 November 2025

 Muhammad Shiddiq Al-Jawi

 

= = =

Referensi (Al-Marāji’) :

https://www.dar-alifta.org/ar/fatwa/details/12938/ حكم-القيام-بتجارب-حيوانية-يستخدم-فيها-أنسجة-من-الخنزير

https://fissilmi-kaffah.com/frontend/artikel/detail_tanyajawab/365