Home Fiqih Fiqih Muamalah HUKUM CICIL EMAS SYARIAH DI PEGADAIAN SYARIAH

HUKUM CICIL EMAS SYARIAH DI PEGADAIAN SYARIAH

2

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi

 

Tanya :

Ustadz, bolehkah cicil emas di pegadaian syariah atau bank syariah? (Hamba Allah).

 

Jawab :

Pertama akan dijelaskan lebih dulu beberapa istilah dasar berikut ini yang terkait dengan muamalah cicil emas di pegadaian syariah atau bank syariah (yang secara prinsip sama), yaitu :

  • Pengertian cicilan emas.
  • Pengertian murabahah.
  • Pengertian rahn (gadai).

Tiga istilah ini akan diberi komentar kritis, dan setelah itu, baru akan disajikan contoh kasus fakta cicil emas di Pegadaian Syariah.

 

Pengertian Cicilan Emas, Murabahah, Dan Rahn Di Pegadaian/Bank Syariah

Cicil emas syariah adalah pembiayaan kepemilikan emas batangan dengan sistem cicilan yang sesuai prinsip syariah, seperti akad murabahah (jual beli) dan akad rahn (gadai). Layanan ini memungkinkan nasabah membeli emas tanpa pembayaran penuh di awal, dengan emas fisik disimpan sebagai jaminan oleh lembaga keuangan selama masa cicilan. Contoh penyedia layanan ini adalah Pegadaian Syariah,Bank Syariah Indonesia (BSI), dan Bank Muamalat. (dari berbagai sumber).

Akad murabahah adalah perjanjian jual beli syariah di mana penjual wajib memberitahukan harga pokok (harga modal) barang kepada pembeli, lalu keduanya sepakat mengenai keuntungan yang akan ditambahkan untuk penjual. Pembayaran dalam akad murabahah ini bisa dilakukan secara tunai atau cicilan dalam jangka waktu yang telah ditentukan. Akad ini sangat umum digunakan dalam pembiayaan syariah untuk barang konsumtif seperti rumah atau kendaraan (mobil, sepeda motor, dsb). (dari berbagai sumber).

Akad rahn adalah perjanjian gadai syariah di mana satu pihak (rahin) menggadaikan hartanya sebagai jaminan atas pinjaman yang diberikan oleh pihak lain (murtahin). Tujuan akad ini adalah sebagai solusi pembiayaan tanpa riba, di mana harta yang digadaikan akan digunakan untuk melunasi utang jika peminjam tidak dapat membayarnya. Kepemilikan barang tidak beralih selama masa gadai dan hanya beralih jika terjadi wanprestasi (dari berbagai sumber).

 

Komentar Kritis

Berikut ini komentar kritis kami untuk pengertian murabahah dan rahn yang dijelaskan sebelumnya, yang dipraktikkan di pegadaian syariah atau bank syariah. Intinya kita harus mewaspadai dan memahami, bahwa ada perbedaan antara murabahah dan rahn dalam kitab-kitab fiqih, dengan murabahah dan rahn yang secara konkret dipraktikkan saat ini di pegadaian syariah atau bank syariah.

Pengertian murabahah yang telah disebutkan di atas, sebenarnya adalah pengertian untuk murabahah kontemporer yang istilah Arabnya Al-Murabahah lil Amir bi Al-Syira’ (murabahah kepada pemesan pembelian).

Murabahah kontemporer ini tidak sama dengan akad murabahah klasik dalam fiqih Islam. Dalam murabahah kontemporer, pelakunya ada 3 (tiga) pihak, yaitu : (1) nasabah (pembeli), (2) bank, dan (3) penjual barang (supplier/dealer,dsb), dengan dua akad jual beli yang digabungkan jadi satu, yaitu : (1) akad jual beli antara bank dengan penjual barang (supplier/dealer, dsb), dan (2) akad jual beli antara bank dengan nasabah (pembeli).

Sedang murabahah yang klasik, hanya dilakukan oleh 2 (dua) pihak, bukan 3 (tiga) pihak, yaitu penjual dan pembeli saja, dengan ciri bahwa kedua pihak menyepakati harga pokok dan keuntungan dalam jual beli. Dan jumlah akad jual belinya dalam murabahah klasik hanya satu saja, bukan dua akad jual beli yang digabungkan menjadi satu, sebagaimana murabahah komtemporer yang dipraktikkan di pegadaian atau bank syariah.

Akad rahn di LKS (Lembaga keuangan Syariah) seperti Pegadaian Syariah, Bank Syariah, dsb, saat ini juga tidak sama dengan akad rahn yang terdapat dalam fiqih Islam. Akad rahn di LKS saat ini, menggabungkan akad rahn (gadai) dan ijarah (jasa penyimpanan), bukan akad tunggal yaitu akad rahn saja.

Adanya akad ijarah tersebut, tujuannya adalah untuk menggantikan komponen bunga (sewa modal) yang hakikatnya adalah riba. Dalam fiqih Islam, akad rahn adalah akad tunggal, tidak digabungkan dengan akad ijarah (jasa penyimpanan), sebagaimana rahn yang dipraktikkan di pegadaian atau bank syariah.

 

Studi Kasus Cicil Emas Di Pegadaian Syariah

Berikut ini akan dijelaskan bagaimana proses pengajuan cicil emas oleh nasabah di Pegadaian Syariah. Jadi ada dua cara, yaitu; (1) cicil emas melalui cabang Pegadaian; dan (2) cicil emas melalui aplikasi pegadaian digital.

Mekanisme cicil emas melalui cabang Pegadaian yang terjadi secara offline, adalah dengan langkah-langkah sebagai berikut :

1.Nasabah datang membawa KTP.

2.Nasabah mengisi Form Jual Beli Emas dan Form Gadai (MULIA).

3.Nasabah memilih denom dan tenor.

4.Nasabah membayar sejumlah uang.

5.Nasabah dan petugas Pegadaian menandatangani Bukti Pembelian Emas dan Akad Gadai (MULIA).

  1. Nasabah mendapatkan emas setelah cicilan lunas.

(Lihat : https://sahabat.pegadaian.co.id/produk-pegadaian/cicil-emas).

 

Adapun mekanisme cicil emas secara online, yakni melalui aplikasi pegadaian digital, langkah-langkahnya sebagai berikut :

1.Pilih menu Cicil Emas.

2.Pilih Cicil Emas Batangan.

3.Pilih jenis brand dan denom emas.

4.Pilih Outlet pengambilan terdekat.

5.Pilih jangka waktu cicilan.

6.Masukan nilai uang muka.

7.Pilih metode pembayaran.

8.Lakukan pembayaran.

  1. Nasabah mendapatkan emas setelah cicilan lunas.

(Lihat : https://sahabat.pegadaian.co.id/produk-pegadaian/cicil-emas).

Jika kita menganalisis fakta tersebut di atas, jelas bahwa pada pengajuan Cicil Emas Lewat Pegadaian (secara offline), tidak terjadi serah terima emas secara tunai dari Lembaga keuangan (pegadaian syariah) kepada pembeli (nasabah).

Jadi, pembeli hanya membayar sejumlah uang, lalu pihak Pegadaian mencatatnya, tetapi tidak menyerahkan emasnya secara fisik. Kemudian, pihak pembeli menjadikan emas yang dibelinya itu, sebagai barang jaminan (rahn).

Pengajuan Cicilan Emas lewat Aplikasi Pegadaian, intinya sama dengan cicil emas offline (langsung datang ke kantor Pegadaian), hanya saja tidak ada akad bahwa nasabah menjaminkan emas yang dibeli kepada pegadaian.

 

Hukum Cicilan Emas Di Pegadaian Syariah

Berdasarkan fakta (al-wāqi’) mekanisme cicilan emas di Pegadaian Syariah yang sudah disampaikan sebelumnya, bagaimanakah hukumnya dalam syariah Islam?

Jawabannya, cicilan emas tersebut hukumnya haram, berdasarkan 3 (tiga) alasan sebagai berikut :

Alasan pertama, karena dalam cicilan emas tidak terjadi “yadan bi yadin” atau serah terima emas secara tunai di majelis akad (al-taqābudh fī majlis al-‘aqad) ketika nasabah membeli emas baik secara offline maupun lewat aplikasi.

Tidak adanya serah terima secara tunai di majelis akad itu, menjadi cacat utama muamalah cicilan emas ini. Jual beli emas secara tidak tunai hukumnya haram, menurut pendapat jumhur ulama. Bahkan pendapat ini dapat dikatakan suatu ijma’ (kesepakatan ulama tanpa khilafiyah/perbedaan pendapat), menurut sebagian ulama. (Lihat : Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 24/165; Imam Ibnu Hajar Al-Asqalānī; Fathul Bārī, 3/380), Imam al-Nawawī; Syarah Shahīh Muslim, 11/10; Imam Ibnu ‘Abdil Bar; Al-Kāfī fī Fiqhi Ahl Al-Madīnah, hlm. 302, dan Imam Ibnu Hubairah, Al-Ifshāh, 1/212).

Dalil keharaman jual beli emas tidak tunai, antara lain sabda Rasulullah SAW :

اَلذَّهَبُ بِالذَّهَبِ، وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ، وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ، وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ، وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ، وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ، مِثْلًا بِمِثْلٍ، سَوَاءً بِسَوَاءٍ، يَدًا بِيَدٍ، فَإِذَا اِخْتَلَفَتْ هَذِهِ اَلْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ

”Emas ditukarkan dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum (al-burru bi al-burri), jewawut dengan jewawut (al-sya’īr bi al-sya’īr), kurma dengan kurma, garam dengan garam, harus sama takarannya (mitslan bi mitslin sawā`an bi sawā`in) dan harus dilakukan dengan kontan (yadan bi yadin). Dan jika berbeda jenis-jenisnya, maka juallah sesukamu asalkan dilakukan dengan kontan (yadan bi yadin).” (HR. Muslim, no. 1587).

Hadits ini menunjukkan bahwa :

لَا يَجُوزُ بَيْعُ الذَّهَبِ بِالذَّهَبِ أَوْ بِالْفِضَّةِ أَوْ بِمَا يَقُْوْمُ مَقَامَهُمَا مِنَ الْوَرَقِ النَّقْدِيِّ إِلَّا إِذَا تَمَّ التَّقَابُضُ فِي مَجْلِسِ الْعَقْدِ

“Tidak boleh menjual emas dengan emas, atau dengan perak, atau dengan sesuatu yang menggantikan kedudukan emas dan perak, yaitu dengan uang kertas (fiat money), kecuali jika terjadi serah terima di majelis akad (al-taqābudh fī majlis al-‘aqad).”

(https://islamqa.info/ar/answers/150841/).

 

Alasan kedua, alasan kedua keharaman cicilan emas ini, karena emas yang dibeli oleh nasabah kemudian dijadikan rahn (jaminan utang) yang diserahkan kepada Pegadaian. Akad rahn ini hukumnya haram, karena dua alasan sebagai berikut :

 Pertama, karena tidak boleh hukumnya menjadikan barang yang dibeli sebagai rahn (jaminan utang). Inilah pendapat ulama yang kami rajihkan.

 Kedua, karena akad rahn ini telah dijadikan syarat yang mengikat (mulzim) dalam jual beli emas secara cicilan.

Mengenai alasan pertama, Imam Ibnu Hajar Al-Haitami berkata :

لاَ يَصِحَّ الْبَيْعُ بِشَرْطِ رَهْنِ الْمَبِيْعِ

”Tidak boleh jual beli dengan syarat menjaminkan barang yang dibeli.” (Al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubra, 2/287).

 

Imam Ibnu Hazm berkata :

لاَ يَجُوزُ بَيْعُ سِلْعَةٍ عَلَى أَنْ تَكُونَ رَهْنًا ، عَنْ ثَمَنِهَا , فَإِنْ وَقَعَ فَالْبَيْعُ مَفْسُوخٌ

”Tidak boleh menjual suatu barang dengan syarat menjadikan barang itu sebagai jaminan atas harganya. Kalau jual beli sudah terlanjur terjadi, harus dibatalkan.” (Al-Muhalla, 3/427; masalah no. 1218).

 

Mengenai alasan kedua, akad rahn ini telah dijadikan syarat yang mengikat (mulzim) dalam jual beli emas secara cicilan. Hal tersebut tidak boleh, karena terjadi multiakad (hybrid contracs, al-‘uqud al-murakkabah) yang telah dilarang syariah Islam.

Dalil tidak bolehnya multiakad antara lain adalah hadits dari Ibnu Mas’ūd RA, bahwa dia telah berkata :

نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَفْقَتَيْنِ فِي صَفْقَةٍ وَاحِدَةٍ

“Nabi SAW telah melarang dua kesepakatan dalam satu kesepakatan.” (HR. Ahmad, no. 3783: Al-Bazzār, no. 2017; Al-Baihaqi, no. 10994, hadits shahih).

Menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani (w. 1977) yang dimaksud dengan “dua kesepakatan dalam satu kesepakatan” (shafqatayni fī shafqatin wahidatin) adalah “adanya dua akad dalam satu akad” (wujūdu ‘aqdayni fī ‘aqdin wāhidin), di mana satu akad mensyaratkan adanya akad yang lain secara mengikat (mulzim). (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islāmiyyah, Juz II, hlm. 308).

 

Alasan ketiga, alasan ketiga keharaman cicilan emas di pegadaian syariah ini, karena jika jual belinya menggunakan akad murabahah, maka murabahah ini adalah murabahah kontemporer (Al-Murabahah lil Amir bi Al-Syira`) yang tidak diperbolehkan alias diharamkan. Inilah pendapat yang kami rajihkan.

Murabahah yang dipraktikkan saat ini di berbagai Lembaga Keuangan Syariah (pegadaian/bank syariah) bukanlah murabahah (klasik) yang definisinya sebagai berikut :

اَلْمُرَابَحَةُ فِيْ اْلإصْطِلاَحِ هِيَ أَنْ يُعْرِضَ الْبَائِعُ سِلْعَتَهُ لِلْبَيْعِ بِقَدْرِ كُلْفَتِهَا عَلَيْهِ وَرِبْحٍ مَعْلُوْمٍ

“Murabahah adalah penjual menawarkan barangnya kepada pembeli dengan harga modalnya dan keuntungan yang tertentu. (‘Atha Abu Rasyta, Soal Jawab, 29/Mei/2013).

Adapun murabahah yang dipraktikkan saat ini, istilah lengkapnya adalah murabahah lil aamir bisy syira’ (murabahah kepada pemesan pembelian), yang terdiri dari tiga pihak dengan (nasabah/pembeli, bank, dan penjual/dealer) dengan tiga mekanisme utama sbb :

Pertama, bank dan nasabah menyepakati bahwa bank akan membelikan barang yang dikehendaki nasabah, dengan ketentuan nasabah akan membeli dari bank jika bank sudah membelinya.

Kedua, bank membeli barang dari pemilik barang (dealer/supplier, dsb)

Ketiga, bank menjual kepada nasabah, dengan harga kontan atau cicilan, dengan menambah keuntungan tertentu.

Pelanggaran syariah (al-mukhalafat al-syar’iyyah) pada murabahah kontemporer yang dipraktikkan saat ini, adalah pada tahapan pertama dari tiga tahapan di atas, yaitu ketika bank dan nasabah menyepakati bahwa bank akan membelikan barang yang dikehendaki nasabah, dengan ketentuan nasabah akan membeli dari bank jika bank sudah membelinya.

Pada faktanya, kesepakatan tersebut bersifat mengikat (mulzim), yaitu nasabah diharuskan membeli barang yang sudah dibeli bank, yang berarti menjadikan akad murabahah yang ada sebagai penggabungan dua akad jual beli menjadi satu akad jual beli; yaitu (1) akad jual beli bank dengan pemilik barang, digabung secara mengikat dengan (2) akad jual beli bank dengan nasabah. Penggabungan dua akad secara mengikat ini tidak diperbolehkan dalam syariah Islam.

Sungguh syariah Islam telah melarang penggabungan dua akad jual beli menjadi satu akad jual beli secara mengikat (mulzim), yaitu satu akad jual beli yang mensyaratkan akad jual beli yang lain. Ibnu Mas’ud RA telah mengatakan bahwa :

نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَفْقَتَيْنِ فِي صَفْقَةٍ وَاحِدَةٍ

“Rasulullah SAW telah melarang dua kesepakatan dalam satu kesepakatan.” (HR. Ahmad). (Lihat ‘Atha Abu Rasyta, Soal Jawab, 3/Juni/2013).

 

Kesimpulannya, jual beli emas secara cicilan di pegadaian syariah atau bank syariah hukumnya haram, berdasarkan tiga alasan sebagai berikut :

(1) karena akad jual beli emasnya tidak terjadi secara tunai, hal ini tidak boleh karena jual beli emas itu wajib dilakukan secara kontan (tunai) sesuai pendapat jumhur ulama;

(2) karena emas yang dibeli oleh nasabah kemudian dijadikan rahn (jaminan utang) yang diserahkan kepada Pegadaian, padahal tidak boleh hukumnya menjadikan barang objek jual beli sebagai jaminan utang (rahn); dan

(3) karena murabahah yang dipraktikkan bukan murabahah klasik yang dibolehkan oleh semua mazhab fiqih, melainkan murabahah kontemporer (Al-Murabahah lil Amir bi Al-Syira`) yang tidak diperbolehkan alias diharamkan menurut pendapat yang rajih.

 

Demikianlah pendapat yang kami rajihkan mengenai hukum jual beli cicil emas di pegadaian syariah atau bank syariah. Wallahu a’lam.

 

Yogyakarta, 14 November 2025

 Muhammad Shiddiq Al-Jawi