Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi
Tanya :
Ustadz, mohon dijelaskan hukumnya jika ada ormas yang mengelola tambang? (Hamba Allah, Jakarta).
Jawab :
Barang yang termasuk dalam kepemilikan umum adalah milik bersama dan tidak boleh dimiliki/dikuasai oleh seseorang (swasta). Dalilnya sabda Nabi Muhammad SAW yang menyatakan :
اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ في ثلَاَثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْماَءِ وَالنَّارِ
“Kaum muslimin berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga perkara yaitu: padang rumput, air dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
Diqiyaskan dengan tiga barang tersebut, adalah semua barang yang menjadi hajat hidup orang banyak (min marāfiq al-jamā’ah) berdasarkan alasan hukum (‘illat) sebagai berikut :
كُلُّ مَا كَانَ مِنْ مَرَافِقِ الْجَمَاعَةِ كَانَ مِلْكِيَّةً عَامَةً
“Setiap apa saja yang keberadaannya dibutuhkan oleh masyarakat umum maka statusnya adalah milik umum (al-milkiyyah al-’āmmah).” (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizhām Al-Iqtishādī fī Al-Islām, hlm. 219).
Maka dari itu, yang menjadi milik umum tidak terbatas hanya tiga barang yang tersebut dalam hadits di atas –yakni air, padang rumput (termasuk hutan) dan api (termasuk energi seperti minyak, gas, listrik, batubara, dll)– melainkan juga semua barang tambang seperti emas, perak, tembaga, nikel, dll.
Semua yang termasuk milik umum ini haram dimiliki atau dikuasai oleh individu, baik swasta nasional apalagi swasta asing. Tidak boleh pula penguasaannya diserahkan kepada ormas, dengan dalil hadits Rasulullah SAW yang melarang individu untuk mengelola tambang dengan deposit yang besar, yaitu hadits Abyadh bin Hammal RA berikut ini :
عَنْ أَبْيَضَ بْنِ حَمَّالٍ أَنَّهُ وَفَدَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ-صلى الله عليه وسلم فَاسْتَقْطَعَهُ الْمِلْحَ فَقَطَعَ لَهُ فَلَمَّا أَنْ وَلَّى، قَالَ رَجُلٌ مِنَ الْمَجْلِسِ: أَتَدْرِى مَا قَطَعْتَ لَهُ؟ إِنَّمَا قَطَعْتَ لَهُ الْمَاءَ الْعِدَّ. قَالَ: فَانْتَزَعَهُ مِنْهُ.
Dari Abyadh bin Hammal RA, bahwa dia pernah mendatangi Rasulullah SAW dan meminta beliau agar memberikan tambang garam kepada dirinya. Rasulullah SAW lalu memberikan tambang itu kepada Abyadh bin Hammal. Ketika Abyadh bin Hammal RA telah pergi, ada seseorang di majelis itu yang berkata, “Tahukah Anda, apa yang telah Anda berikan kepada dia? Sungguh Anda telah memberi dia sesuatu yang seperti air mengalir (al-mā’ al-‘idd).” Ibnu Al-Mutawakkil berkata, “Lalu Rasulullah SAW menarik kembali pemberian tambang garam itu dari dirinya (Abyadh bin Hammal RA).” (HR. Abu Dawud dan Al-Timidzi).
Selain alasan itu, Islam telah mengharamkan bahaya (dharar) dalam segala bentuknya, termasuk bahaya atau dharar yang kemungkinan besar akan muncul dari pengelolaan tambang oleh ormas. Sabda Rasulullah SAW :
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
“Tidak boleh menimbulkan bahaya bagi diri sendiri (dharar) dan bahaya bagi orang lain (dhirār).” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan Ad-Daraquthni).
Ada 3 (tiga) bahaya (dharar) yang kemungkinan besar akan muncul dari pengelolaan tambang oleh ormas, sebagai berikut :
Pertama, keikutsertaan ormas mengelola tambang, akan melegitimasi pengelolaan tambang selama ini yang menyimpang dari syariah.
Selama ini, tambang dikelola secara kapitalistik, yang oleh negara diserahkan kepada oligarki, baik oligarki nasional maupun oligarki internasional, sedemikian hingga hanya menguntungkan korporasi (pemilik modal) dan penguasa, sedangkan rakyat tidak mendapat apa-apa, kecuali dampak buruk dari penambangan, baik dampak buruk berupa kerusakan lingkungan maupun dampak buruk berupa konflik sosial (konflik tanah, dsb).
Seharusnya, pengelolaan tambang ala kapitalisme yang destruktif selama ini dikritisi oleh ormas, bukan malah dilegitimasi oleh ormas dengan cara ikut-ikutan mengelola tambang. Sabda Rasululullah SAW :
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَستَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَستَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيْمَانِ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
“Barangsiapa di antara kamu yang melihat sembarang kemungkaran, ubahlah itu dengan tangannya. Jika dia tidak mampu, ubahlah dengan lisannya. Jika dia tidak mampu, ingkarilah dengan hatinya, dan itulah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim).
Kedua, keikutsertaan ormas mengelola tambang, akan memadamkan atau minimal meredupkan kritik (amar makruf nahi mungkar) oleh ormas kepada penguasa.
Contoh kemungkaran yang tidak dikritisi ormas, adalah ketika Presiden Jokowi memberikan hak pengelolaan tambang kepada ormas. Seharusnya ormas mengkritik kebijakan Jokowi ini, karena Jokowi sebagai presiden tidak berhak menetapkan kebijakan itu, yakni negara tidak boleh memberikan sesuatu yang menjadi milik umum menjadi milik individu (swasta), sesuai dengan kaidah syariah yang berlaku umum :
ماَ كاَنَ داَخِلاً فِي الْمِلْكِيَّةِ الْعَامَّةِ لاَ يَجُوْزُ لِلدَّوْلَةِ أَنْ تُعْطِيَ أَصْلَهُ لِأَحَدٍ
“Setiap barang apa saja yang termasuk ke dalam milik umum (al-milkiyyah al-’āmmah), tidak boleh bagi negara untuk memberikan zat asalnya kepada seorang pun (menjadi milik individu/swasta).” (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizhām Al-Iqtishādī fī Al-Islām, hlm. 223).
Jadi, ketika Presiden Jokowi menawarkan atau memberikan hak pengelolaan tambang kepada ormas, seharusnya ormas mengkritik kebijakan Jokowi ini, karena Jokowi tidak berhak melakukannya. Tapi sayangnya, alih-alih mengkritik, ormas malah menerima tawaran batil dari Jokowi tersebut.
Padahal bukankah ormas mendapat amanah dari Allah SWT untuk melakukan amar makruf nahi mungkar, termasuk amar makruf nahi mungkar kepada penguasa? Firman Allah SWT :
وَلۡتَكُنۡ مِّنۡكُمۡ اُمَّةٌ يَّدۡعُوۡنَ اِلَى الۡخَيۡرِ وَيَاۡمُرُوۡنَ بِالۡمَعۡرُوۡفِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ الۡمُنۡكَرِؕ وَاُولٰٓٮِٕكَ هُمُ الۡمُفۡلِحُوۡنَ
“Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS Ali ‘Imran : 104).
Ketiga, keikutsertaan ormas mengelola tambang, akan memperbesar ketimpangan ekonomi di tengah masyarakat dan menyuburkan kecemburuan sosial, karena yang akan menikmati hasil tambang hanya petinggi dan jamaah ormas tertentu itu, bukan seluruh masyarakat. Padahal tambang adalah milik masyarakat secara umum, bukan milik ormas tertentu secara khusus.
Islam dengan tegas telah melarang beredarnya harta kekayaan hanya pada orang-orang kaya saja yang secara eksklusif mempunyai akses untuk mendapat kekayaan, seperti hak pengelolaan tambang. Firman Allah SWT :
كَيْ لَا يَكُوْنَ دُوْلَةً ۢ بَيْنَ الْاَغْنِيَاۤءِ مِنْكُمْۗ
“Agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.” (QS Al Hasyr : 7).
Kesimpulannya, haram hukumnya ormas ikut mengelola tambang. Uang yang dihasilkan adalah harta haram, bukan harta halal yang berkah dan diridhai Allah SWT. Dengan demikian, berlaku hukum-hukum Islam untuk harta haram tersebut, sebagai hasil pengelolaan tambang yang tidak sah oleh ormas, misalnya harta itu tidak boleh dimiliki, tidak boleh dimanfaatkan, tidak sah untuk dizakati, tidak sah disedekahkan, tidak sah diwakafkan, dan seterusnya, sesuai dengan hukum-hukum Islam yang berlaku untuk harta haram. (lihat ‘Abbās Ahmad Muhammad Al-Bāz, Ahkām Al-Māl Al-Harām, hlm. 283-337).
Sabda Rasulullah SAW :
مَنْ جَمَعَ ماَلًا حَراَمًا ثُمَّ تَصَدَّقَ بِهِ لَمْ يَكُنْ لَهُ فِيْهِ أَجْرٌ ، وَكاَنَ إِصْرُهُ عَلَيْهِ
“Barangsiapa mengumpulkan harta yang haram, kemudian dia mensedekahkan harta haram itu, maka tidak ada pahala baginya, dan bahkan dia mendapatkan dosanya.” (HR. Ibnu Hibban, Al-Hakim, dan Al-Baihaqi).
Wallāhu a’lam.
Yogyakarta, 2 Agustus 2024
Muhammad Shiddiq Al-Jawi