Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi
Tanya :
Ustadz, bolehkah kedua mempelai yang sudah menikah berfoto bersama kedua orang tua (ayah dan ibu) masing-masing dari kedua belah pihak? Bukankah itu termasuk ikhtilat? (Hamba Allah).
Jawab :
Kondisi yang ditanyakan di atas, yaitu berfotonya kedua mempelai yang sudah menikah, bersama dengan kedua orang tua (ayah dan ibu) masing-masing dari kedua belah pihak, hukumnya boleh, tidak haram, karena kondisi tersebut termasuk dalam perkecualian dari haramnya ikhtilat, yaitu dapat dianggap bersilaturahim, sebagai salah satu alasan bolehnya ikhtilat.
Imam Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitabnya Al-Nizhām Al-Ijtimā’i fi Al-Islām menjelaskan perkecualian tersebut sebagai berikut :
فَاجْتِمَاعُ الرِّجَالِ الْأَجَانِبِ بِالنِّسَاءِ فِي الْحَيَاةِ الْخَاصَّةِ حَرَامٌ مُطْلَقًا، إِلَّا فِي الْحَالَاتِ الَّتِي اسْتَثْنَاهَا الشَّارِعُ كَالطَّعَامِ وَصِلَةِ الْأَرْحَامِ، عَلَى أَنْ يَكُونَ مَعَ الْمَرْأَةِ ذُو مَحْرَمٍ لَهَا، وَأَنْ تَكُونَ سَاتِرَةَ جَمِيعِ عَوْرَاتِهَا). الإمام تقي الدين النبهاني، النظام الإجتماعي في الإسلام، ص 37(
“Jadi pertemuan para laki-laki asing (non-mahram) dengan para perempuan dalam kehidupan khusus (al-hayāt al-khāshshah) hukumnya haram secara mutlak, kecuali dalam kondisi-kondisi yang dikecualikan oleh Asy-Syāri’, seperti, menghadiri undangan makan, melakukan silaturahim (dengan kerabat yang ahli waris maupun non ahli waris), dengan syarat perempuan itu wajib disertai mahramnya (atau suaminya), dan wajib menutup seluruh auratnya.” (Imam Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizhām Al-Ijtimā’i fi Al-Islām, hlm. 37).
Berdasarkan penjelasan Imam Taqiyuddin An-Nabhani tersebut, dapat dipahami bahwa dalam kehidupan khusus (al-hayāt al-khāshshah), seperti di rumah, asrama, atau kos-kosan, atau juga dalam tempat walimah, hukum asalnya adalah haram secara mutlak adanya ikhtilat antara laki-laki dan perempuan.
Namun sebagai perkecualian, dibolehkan ada ikhtilat dalam kehidupan khusus (al-hayāt al-khāshshah) seperti itu, asalkan memenuhi 3 (tiga) syarat yang telah dijelaskan oleh Imam Taqiyuddin An-Nabhani, yaitu sebagai berikut :
Pertama, ada dalil syar’i yang membolehkan terjadinya pertemuan (ijtima’) dalam kondisi-kondisi tertentu dalam kehidupan khusus, seperti bersilaturahim dengan kerabat, memenuhi undangan makan (al-ijtimā’ li ath-tha’ām), dan sebagainya.
Kedua, perempuan tersebut wajib disertai mahramnya atau suaminya.
Ketiga, perempuan tersebut wajib menutupi seluruh auratnya. (Imam Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizhām Al-Ijtimā’i fi Al-Islām, hlm. 37).
Dalil untuk syarat pertama, yaitu wajib ada dalil syar’i yang membolehkan terjadinya pertemuan (al-ijtimā’) dalam kondisi-kondisi tertentu dalam kehidupan khusus, seperti memenuhi undangan makan, atau bersilaturahim, karena hukum asal ikhtilat itu secara umum adalah haram. Maka keharaman ikhtilat yang berlaku umum ini terus berlaku umum sebagai hukum asal, kecuali ada dalil-dalil tertentu yang menjadi takhshish (pengkhususan/pengecualian) dari hukum umum tersebut. Kaidah ushuliyah dalam masalah ini menegaskan :
الْعَمَلُ بِالْعَامِّ وَاجِبٌ حَتَّى يَقُومَ دَلِيلُ الْخُصُوصِ
“Mengamalkan dalil yang umum itu wajib, hingga terdapat dalil yang mengkhususkan [mengecualikan].” (Muhammad Shidqi Al-Burnu, Mausū’ah Al-Qawā’id Al-Fiqhiyyah, Qism V, VI,VIII, hlm. 460).
Contohnya, terdapat dalil khusus yang mewajibkan silaturahim antara seseorang dengan kerabatnya, baik kerabat yang termasuk mahram maupun bukan mahram. Maka adanya dalil ini, berarti membolehkan terjadinya ikhtilat antara seorang laki-laki dengan wanita-wanita yang menjadi kerabatnya dalam rangka bersilaturahim Sabda Rasulullah SAW :
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ، أَوْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Barangsiapa yang suka untuk dilapangkan rizkinya dan dipanjanhgkan umurnya, maka hendaklah dia menyambung silaturahim.” (HR Bukhari, no 1961; An-Nasā`i, As-Sunan Al-Kubra, no. 11429).
Yang dimaksud silaturahim di sini bukanlah silaturahim dalam arti luas, yaitu menjalin hubungan baik antar sesama umat Islam, melainkan silaturahim dalam makna syar’i-nya yang lebih khusus, yaitu menjalin hubungan yang baik dengan kerabat (al-‘aqārib), yaitu kerabat dalam lingkup keluarga, baik kerabat yang mempunyai hak waris, yakni Ash-hābul Furūdh wa al-‘Ashābāt, misalnya ayah kandung, ibu kandung, adik kandung, kakak kandung, dsb, maupun kerabat yang tidak mempunyai hak waris, atau disebut dengan istilah Ūlūl Arhām (Dzawil Arhām), yaitu kerabat dalam keluarga yang tidak tergolong Ash-hābul Furudh wa al-‘Ashābāt, seperti saudara laki-laki ibu (al-khāl), saudara laki-laki ayah (al-‘amm), dan sebagainya. (Imam Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizhām Al-Ijtimā’i fi Al-Islām, hlm. 190).
Contoh lainnya, terdapat dalil yang membolehkan adanya ijtimā’ (pertemuan) antara laki-laki dan perempuan dalam rangka memenuhi undangan makan. Misalnya, hadits dari ‘A`isyah RA, yang berkata :
كُنْتُ آكُلُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ حَيْسًا فِي قَعْبٍ فَمَرَّ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَدَعَاهُ فَأَكَلَ…
“Aku pernah makan bersama Nabi SAW dalam satu wadah, lalu Umar lewat, kemudian Nabi SAW memanggil Umar. Lalu Umar pun ikut makan…” (HR. An-Nasā`i, As-Sunan Al-Kubrā, no. 11.419).
Dalil untuk syarat kedua, yaitu perempuan harus disertai mahramnya atau suaminya, adalah hadis dari Ibnu Abbas RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda :
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَ وَمَعَهَا ذُوْ مَحْرَمٍ وَلاَ تُسَافِرُ الْمَرْأَةُ إِلاَ مَعَ ذِيْ مَحْرَمٍ فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَ امْرَأَتِيْ خَرَجَتْ حَاجَةً وَإِنِيْ اكْتُتِبْتُ فِيْ غَزْوَةِ كَذَا وَكَذَا قَالَ انْطَلِقْ فَحُجَّ مَعَ امْرَأَتِكَ
”Janganlah sekali-kali seorang laki-laki bersepi-sepi (berkhalwat) dengan seorang perempuan, kecuali [perempuan itu] disertai mahramnya.” Lalu seorang laki-laki berdiri lalu berkata,”Wahai Rasulullah, sesungguhnya istriku telah berangkat untuk menunaikan haji sedangkan aku telah ditetapkan untuk mengikuti perang ini dan ini.” Rasulullah SAW bersabda,”Kalau begitu pergilah kamu dan berhajilah bersama istrimu.” (HR. Muslim, no. 1341).
Dalil untuk syarat ketiga, bahwa perempuan wajib menutupi seluruh auratnya, adalah hadis dari Qatadah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda :
إنَ الْجَارِيَةَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ يَصْلُحْ أَنْ يُرَ مِنْهَا إِلاَ وَجْهَهَا وَكَفَّيْهَا إِلَى الْمِفْصَلِ
”Seorang perempuan jika telah haid maka tidak boleh dilihat darinya kecuali wajahnya dan tangannya hingga pergelangan tangan.” (HR. Abu Dawud, Al-Marāsil ma’a Al-Asānīd, Kitābul Libās, hlm. 215).
Demikianlah penjelasan mengenai 3 (tiga) syarat untuk kondisi perkecualian dari haramnya ikhtilat, yaitu dibolehkannya terjadinya ikhtilat dalam kehidupan khusus (al-hayāt al-khāshshah), asalkan memenuhi tiga syarat, yaitu : (1) ada dalil syar’i yang membolehkan terjadinya pertemuan (ijtima’) dalam kondisi-kondisi khusus, (2) perempuan tersebut wajib disertai mahramnya atau suaminya, dan (3) perempuan tersebut wajib menutupi seluruh auratnya. (Imam Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizhām Al-Ijtimā’i fi Al-Islām, hlm. 37).
Kesimpulannya, boleh hukumnya kedua mempelai yang sudah menikah, berfoto bersama dengan kedua orang tua (ayah dan ibu) masing-masing dari kedua belah pihak, karena kondisi tersebut termasuk dalam aktivitas silaturahim yang dikecualikan dari haramnya ikhtilat. Wallāhu a’lam.
Jakarta, 30 September 2023
Muhammad Shiddiq Al-Jawi