Home Fiqih Fiqih Muamalah BOLEHKAH SYIRKAH DIBATASI JANGKA WAKTUNYA?

BOLEHKAH SYIRKAH DIBATASI JANGKA WAKTUNYA?

38

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi

 

Tanya :

Ustadz, bolehkah syirkah mudharabah dibatasi jangka waktunya? Misal, disepakati bahwa jangka waktunya satu tahun. Dan setelah itu dilakukan akad baru. (Hero Ridwanto, Bandung).

 

Jawab :

Jawabannya, ada ikhtilāf (perbedaan pendapat) di kalangan ulama mengenai bolehkah syirkah ada jangka waktunya, menjadi dua pendapat: Pertama, boleh, ini pendapat ulama Hanafiyah dan ulama Hanabilah. Kedua, tidak boleh, ini pendapat ulama Malikiyyah dan Syafi’iyyah. (Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 38/64).

Alasan ulama Hanafiyah dan Hanabilah yang membolehkan, antara lain karena syirkah adalah akad jā`iz, artinya akad yang tidak mengikat (ghayru lāzim), yaitu masing-masing pihak berhak melakukan fasakh (pembatalan) akad kapan saja, secara sepihak, seperti halnya akad wakālah. Padahal dalam akad wakalah dibolehkan ada ta’qīt (penetapan jangka waktu tertentu). (Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 38/64).

Maka dari itu, ulama Hanafiyah dan Hanabilah membolehkan syirkah berjangka waktu, misalnya pemodal (shāhibul māl) mengucapkan ijab kepada pengelola modal (mudhārib) dengan redaksi sebagai berikut :

ضَارَبْتُكَ عَلىَ هَذِهِ الدَّرَاهِمِ أَوِ الدَّناَنِيْرِ سَنَةً

“Saya mudharabahkan kepada Anda modal saya sekian dirham atau sekian dinar, dalam jangka waktu satu tahun.” (Al-Mausā’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 38/64).

Adapun ulama Syafi’iyyah dan Malikiyyah yang tidak membolehkan, beralasan antara lain karena syirkah yang berbatas waktu dianggap bertentangan dengan sifat syirkah sebagai akad jā`iz, yang artinya merupakan akad yang masing-masing pihak berhak melakukan fasakh (pembatalan) akad kapan saja, secara sepihak. Jadi, selama jangka waktu syirkah belum berakhir, berarti hak fasakh (pembatalan akad) yang seharusnya menjadi hak para pihak, ditiadakan, ini tidak boleh. (Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 38/64).

Maka dari itu, ulama Malikiyah dan Syafi’iyyah tidak membolehkan syirkah berjangka waktu, sebagaimana pendapat mereka bahwa :

فَلَوْ أُجِّلَ الْعَمَلُ فِيْهَا ابْتِدَاءً أَوْ انْتِهَاءً ، كَاعْمَلْ فِيْهاَ سَنَةً مِنَ اْلآنَ… فَسَدَتِ الْمُضَارَبَةُ

 “Kalau ditentukan jangka waktu bekerja dalam syirkah, ada permulaan dan ada akhirnya, misal pemilik modal berkata kepada pengelola modal, ’Bekerjalah dengan modal itu selama satu tahun sejak sekarang… maka syirkah mudharabahnya fasad.” (Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 38/64).

Pendapat yang rājih (lebih kuat dalilnya) menurut kami adalah pendapat ulama Hanafiyah dan Hanabilah yang membolehkan syirkah berjangka waktu, sebagaimana pendapat Imam Ibnu Qudamah, rahimahullāh, berikut ini :

وَيَصِحُّ تَأْقِيْتُ الْمُضاَرَبَةِ، مِثْلُ أَنْ يَقُوْلَ: ضَارَبْتُكَ عَلىَ هَذِهِ الدَّرَاهِمِ سَنَةً، فَإِذَا انْقَضَتْ، فَلاَ تَبِعْ، وَلاَ تَشْتَرِ

 “Boleh hukumnya penetapan jangka waktu syirkah mudharabah, misalnya (shahibul mal) berkata (kepada pengelola modal),”Saya mudharabahkan kepada Anda modal sekian dirham selama satu tahun, maka jika jangka waktunya berakhir, jangan Anda menjual atau membeli.” (Ibnu Qudamah, Al-Mughnī, 5/70; Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 2/27).

 

Alasan pentarjihan pendapat ini adalah karena akad syirkah mudharabah itu dasarnya adalah akad wakālah, padahal dalam akad wakālah, diperbolehkan ada “al-ta`qīt” (التأقيت) atau penetapan jangka waktunya. Dalam kitab Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah dijelaskan bahwa :

يَصِحُّ تَأْقِيْتُ الْوَكاَلَةِ بِأَجَلٍ عَنْدَ جَمِيْعِ الْفُقَهاَءِ

 “Boleh hukumnya penetapan jangka waktu dalam tempo tertentu untuk akad wakalah, menurut semua fuqoha`.” (Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 2/27).

Hanya saja, ada dua syarat untuk bolehnya penetapan jangka waktu syirkah ini, yaitu :

Pertama, disyaratkan ada keridhoan para pihak untuk melepaskan haknya melakukan fasakh sebelum jangka waktu syirkah berakhir, dan

Kedua, penetapan jangka waktu syirkah ini tidak menimbulkan mudharat (seperti kerugian usaha, dsb) bagi para pihak yang bersyirkah.

Demikianlah kami cenderung pada fatwa nomor 10.670 dari www.islamweb.net yang berbunyi sbb :

وَالَّذِيْ يَتَرَجَّحُ عِنْدَنَا – وَاللهُ أَعْلَمُ – هُوَ الْمَذْهَبُ اْلأَخِيْرُ ماَ دَامَ التَّقْيِيْدُ بِزَمَنٍ يُمَثِّلُ رَغْبَةَ صاَحِبِ الْماَلِ، مَعَ انْتِفَاءِ الضَّرَرِ عَنِ اْلآخَرِ وَحُصُوْلِ الرِّضاَ مِنْهُ

“Dan pendapat yang rājih bagi kami, wallāhu a’lam, adalah mazhab terakhir (yang membolehkan penetapan jangka waktu syirkah), selama keterikatan dengan jangka waktu tertentu itu mencerminkan kehendak (keridhoan) dari pihak pemodal (shāhibul māl), dengan syarat tidak boleh terjadi dharar (bahaya) dari pihak lainnya dan terwujudnya keridhoan (juga) dari pihak lain itu.” (Lihat : https://www.islamweb.net/ar/fatwa/10670/حكم-تحديد-مدة-المضاربة).

Dalil syarat pertama, yaitu adanya keridhoan para pihak, didasarkan pada ayat :

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ اِلَّآ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِّنْكُمْۗ

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta di antara sesama kamu dengan cara yang batil (tidak halal), kecuali berupa perniagaan atas dasar suka sama suka (saling ridho) di antara kamu.” (QS. An-Nisā` [4] : 29).

Syarat keridhoan para pihak tersebut, juga didasarkan pada hadits Rasulullah SAW yang shahih berikut ini :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:( الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ ) رواه أبو داود (3594 ) ، ورواه الترمذي (1352)

Dari Abu Hurairah RA, dia berkata,’Rasulullah SAW telah bersabda,’Kaum muslimin (bermuamalah) menurut syarat-syarat (yang disepakati di antara) mereka.” (HR. Abu Dawud, no 3594; dan Al-Tirmidzi, no. 1352).

Adapun dalil syarat kedua, yaitu tidak boleh menimbulkan dharar (bahaya) seperti kerugian usaha dsb bagi para pihak dalam syirkah, adalah hadits sbb :

عنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ سَعْدِ بنِ مَالِكٍ بْنِ سِنَانٍ الخُدْرِيِّ رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: (لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ). رواه ابن ماجة (2341)، ورواه أحمد (1/313)، ورواه الحاكم (2/66)، ورواه الدارقطني (3/77)، ورواه اليهقي في السنن الكبرى، (6/69).

Dari Abu Sa’id Al-Khudri RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Tidak boleh menimbulkan bahaya bagi diri sendiri (dharar) dan bahaya bagi orang lain (dhirār).” (HR. Ibnu Majah, no. 2341; Ahmad, 1/313; Al-Hakim, dalam Al-Mustadrak, 2/66; Al-Daraquthni, 3/77; Al-Baihaqi, dalam As-Sunan Al-Kubra, 6/69). Wallāhu a’lam.

 

Jakarta, 30 November 2024

Muhammad Shiddiq Al-Jawi