
Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi | Pakar Fiqih Mu’amalah & Kontemporer
Tanya :
Ustadz, bagaimana hukum bertepuk tangan, misalnya dalam suatu forum? (Idham, Majene)
Jawab :
Hukum bertepuk tangan dalam suatu forum, misalnya saja tabligh akbar, adalah mubah. Sebab, bertepuk tangan termasuk perbuatan jibiliyah (al-af’āl al-jibiliyyah) yang hukum asalnya mubah, sepanjang tidak ada dalil yang mengharamkan. (Taqiyuddin an-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islāmiyah, III/85).
Perbuatan jibiliyah adalah perbuatan yang secara alamiah (fitrah) dilakukan oleh manusia sejak penciptaannya dan menjadi bagian integral (tak terpisahkan) dari sifat kemanusiaannya. Misalnya berpikir, berbicara, berjalan, berlari, melompat, duduk, makan, minum, mendengar, melihat, membaui, mengecap, dan seterusnya. Termasuk menggerakkan anggota tubuh (tasharruf al-a’dhā`) (Imam Asy-Syaukani, Irsyādul Fuhūl, hlm.35). Misalkan menggerakkan tangan (seperti bertepuk tangan), menggerakkan kaki (seperti berjalan dengan berjingkat/jinjit), menggerakkan kepala (seperti menggelengkan kepala), dan seterusnya.
Perbuatan jibiliyyah itu hukum asalnya mubah, selama tidak ada dalil yang mengharamkan. Jika ada dalil tertentu yang mengharamkan suatu perbuatan jibiliyah, barulah hukumnya haram. Melihat, hukum asalnya boleh. Tapi melihat aurat, hukumnya haram, karena ada dalil yang mengharamkannya, misalnya firman Allah SWT :
قُلْ لِّلْمُؤْمِنِيْنَ يَغُضُّوْا مِنْ اَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوْا فُرُوْجَهُمْۗ ذٰلِكَ اَزْكٰى لَهُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا يَصْنَعُوْنَ
“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu, lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (QS an-Nuur [24] : 31)
Jadi, bertepuk tangan hukumnya mubah. Karena merupakan perbuatan jibiliyah dan tidak terdapat dalil yang mengharamkannya. Namun, hukumnya bisa menjadi haram, apabila diduga kuat menjadi sarana (wasīlah) kepada yang haram. Ini sesuai kaidah fiqih : “Al-wasīlah ilā al-harām harām” (Segala sesuatu yang dapat mengantarkan kepada yang haram, hukumnya haram). Misalnya, bertepuk tangan dalam pertunjukan dangdut yang mengumbar aurat atau menyajikan nyayian yang haram. Ini akan mengokohkan, menyemangati, atau mendukung sesuatu yang jelas telah diharamkan.
Ada pihak yang tidak membolehkan bertepuk tangan, berdalil firman Allah SWT :
وَمَا كَانَ صَلَاتُهُمْ عِنْدَ الْبَيْتِ اِلَّا مُكَاۤءً وَّتَصْدِيَةًۗ فَذُوْقُوا الْعَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْفُرُوْنَ
“Dan salat mereka di sekitar Baitullah itu, tidak lain hanyalah siulan dan tepuk tangan. Maka rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu.” (QS al-Anfaal [8] : 35)
Namun, ayat tersebut sebenarnya tidak melarang tepuk tangan itu sendiri, melainkan tepuk tangan yang dimaksudkan sebagai ibadah. Ini dapat diketahui dari sababun nuzul dari ayat tersebut, yang berkaitan dengan kaum kafir Quraisy yang bertawaf mengelilingi Ka’bah seraya bersiul dan bertepuk tangan. (Imam Jalaluddin as-Suyuthi, Tafsīr al-Jalālayn, hlm. 133).
Jadi, yang diharamkan bukanlah tepuk tangan itu sendiri, melainkan bertepuk tangan yang diniatkan sebagai ibadah. Adapun tepuk tangan yang tidak diniatkan sebagai cara beribadah kepada Allah, melainkan hanya dimaksudkan untuk mendukung, setuju, atau sepakat terhadap sesuatu, hukumnya tetap mubah dan tidak mengapa. Kaidah fiqihnya : “Al-umūr bi maqāshidihā.” (Segala perkara itu hukumnya bergantung pada tujuan-tujuannya). (‘Abdul Hamid Hakim, Al-Mabādi` Al-Awwaliyah, hlm. 22). Wallāhu a’lam.
Yogyakarta, 14 April 2007 Muhammad Shiddiq Al-Jawi