
Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi
Tanya :
Ustadz, apakah orang yang pikun wajib membayar fidyah? (Dhimas, Sleman)
Jawab :
Orang pikun dalam Bahasa Arab disebut dengan istilah al-kharif atau al-mukharrif, yang berasal dari kata al-kharaf (kepikunan), yang definisinya adalah kerusakan akal yang terjadi karena faktor lanjut usia. (Syekh Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughat Al-Fuqahā`, hlm. 172).
Dalam dunia medis, pikun seringkali menjadi gejala penyakit demensia dan Alzheimer, dengan gejala-gejala antara lain; sering menanyakan hal yang sama berulang kali (wudhu, sholat, dsb), sering tersesat di tempat yang sudah lama dikenalinya (di kampung sendiri, dsb), lupa tatacara makan, minum, mandi, pakai sepatu, dan berpakaian, dsb.
Syekh Ibnu ‘Utsaimin menjelaskan hukum puasa Ramadhan untuk orang pikun dengan berkata :
فَالْمَهْذَرِيُّ أَيْ: الْمُخَرِّفُ لَا يَجِبُ عَلَيْهِ صَوْمٌ، وَلَا إِطْعَامٌ بَدَلَهُ؛ لِفَقْدِ اَلْأَهْلِيَّةِ، وَهِيَ اَلْعَقْلُ
”Orang yang sudah pikun (al-mahdzarī), atau al-mukharrif, tidak diwajibkan berpuasa, dan tidak diwajibkan atasnya membayar penggantinya (fidyah), karena tiadanya ahliyyah (kemampuan/kapasitas) pada dirinya, yaitu akal.” (Ibnu ‘Utsaimin, Al-Syarah Al-Mumti’, 6/323).
Jadi, jelas bahwa orang yang pikun hukumnya tidak diwajibkan puasa Ramadhan dan dengan demikian tidak ada kewajiban membayar fidyah atasnya. Ini karena dia dianggap bukan mukallaf disebabkan orang pikun tersebut sudah kehilangan fungsi akalnya secara normal. Dalilnya sabda Rasulullah SAW :
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ : عَنْ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ ، وَعَنْ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ ، وَعَنْ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ
”Telah diangkat pena (taklif syariah) dari tiga golongan; (yaitu) dari orang tidur hingga dia bangun, dari anak kecil hingga dia bermimpi basah, dan dari orang gila hingga dia berakal.” (HR. Abu Dawud, no. 4403; Al-Tirmidzi, no. 1423; Al-Nasa`i, no. 3432; Ibnu Majah; no. 2041).
Dalam kitab Sunan Abu Dawud, ada tambahan riwayat sebagaimana kata Imam Abu Dawud,”Hadits ini diriwayatkan oleh dari Ibnu Juraij dari Al-Qāsim bin Yazīd bin ‘Ali, bahwa Rasulullah SAW bersabda :
وَالْخَرِفِ
”(diangkat pena pula dari) orang pikun.” (Arab : wa al-kharif). (Imam Syamsul Haq ‘Azhiem Abadi, ‘Aunul Ma’būd Syarah Sunan Abi Dawud, Juz XII, hlm. 78). Hadits ini dinilai shahih oleh Syekh Nashiruddin Al-Albani, dalam Shahīh Abu Dawud, nomor 4403.
Imam Syamsul Haq ‘Azhiem Abadi selanjutnya menjelaskan definisi orang pikun (وَالْخَرِفِ) lebih jauh, dengan berkata :
الخَرَفُ: فَسَادُ الْعَقْلِ مِنْ الْكِبَرِ قَالَ السُّبْكِيُّ: يَقْتَضِي إِنَّهُ زَائِدٌ عَلَى الثَّلَاثَةِ ، وَهَذَا صَحِيحٌ وَالْمُرَادُ بِهِ الشَّيْخُ الْكَبِيرُ الَّذِي زَالَ عَقْلُهُ مِنْ كِبَرٍ ، فَإِنَّ الشَّيْخَ الْكَبِيرَ قَدْ يَعْرِضُ لَهُ اخْتِلَاطُ عَقْلٍ يَمْنَعُهُ مِنْ التَّمْيِيزِ وَيُخْرِجُهُ عَنْ أَهْلِيَّةِ التَّكْلِيفِ وَلَا يُسَمَّى جُنُونًا
“Kepikunan (al-kharaf) adalah kerusakan akal karena tua. Imam As-Subki berkata,”Kondisi pikun ini, mestinya adalah tambahan (atau hal lain) di luar tiga golongan (yang diangkat pena dari mereka).” Ini adalah pendapat yang sahih, dan yang dimaksud dengan orang pikun (al-kharif) adalah orang yang sudah lanjut usia yang sudah hilang akalnya karena usia tua. Ini dikarenakan orang yang sudah lanjut usia itu seringkali mengalami kerancuan dalam akalnya yang menghalanginya untuk membedakan dan mengeluarkannya dari kapasitas menerima taklīf, namun dia tidak dinamakan orang gila (al-majnūn).” (Imam Syamsul Haq ‘Azhiem Abadi, ‘Aunul Ma’būd Syarah Sunan Abi Dawud, Juz XII, hlm. 78).
Namun hukum untuk orang pikun tersebut perlu dibedakan dengan orang yang sudah tua yang sudah tidak mampu berpuasa, tetapi masih berakal sehat. Orang tua yang masih berakal sehat ini, sesungguhnya masih mukallaf, tapi tidak kuat berpuasa. Untuk orang seperti ini dia mengganti puasanya dengan fidyah, sesuai firman Allah SWT :
وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍ
”Bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin.” (QS. Al-Baqarah : 184).
Ibnu Abbas menjelaskan maksud ayat tersebut dengan berkata :
ليسَتْ بمَنْسُوخَةٍ؛ هو الشَّيْخُ الكَبِيرُ والمَرْأَةُ الكَبِيرَةُ لا يَسْتَطِيعانِ أنْ يَصُوما، فيُطْعِمانِ مَكانَ كُلِّ يَومٍ مِسْكِينًا
”Ayat ini tidaklah dinasakh (mansūkh). Yang dimaksud dengan ayat ini adalah kakek yang sudah tua (al-syaikh al-kabīr), atau nenek yang sudah tua (al-mar`ah al-kabīrah), yang sudah tidak mampu berpuasa. Maka mereka berdua ini membayar fidyah untuk setiap harinya satu mud untuk satu orang miskin.” (HR. Al-Bukhari, no. 4505). (1 mud gandum = 544 gram gandum, lihat ‘Abdul Qadīm Zallūm, Al-Amwāl fī Dawlat Al-Khilāfah, hlm. 54).
Kesimpulannya, hukum berpuasa Ramadhan untuk orang yang sudah tua (lanjut usia) ada 3 (tiga);
Pertama, bagi orang lanjut usia yang masih kuat berpuasa, dengan akal yang berfungsi normal, mereka tetap diwajibkan berpuasa Ramadhan.
Kedua, bagi orang lanjut usia yang sudah tidak kuat berpuasa, dengan akal yang berfungsi normal, mereka tidak diwajibkan berpuasa Ramadhan, namun mereka wajib mengganti puasanya dengan membayar fidyah, yakni satu hari tidak berpuasa diganti sekitar 600 gram beras.
Ketiga, bagi orang lanjut usia yang sudah pikun (al-mukharrif), yakni yang akalnya tidak berfungsi normal, mereka tidak diwajibkan puasa Ramadhan, dan dengan demikian tidak wajib juga membayar fidyah. Wallāhu a’lam.
Yogyakarta, 3 Maret 2025
Muhammad Shiddiq Al-Jawi