Home Soal Jawab Fiqih APAKAH NEBULIZER MEMBATALKAN PUASA?

APAKAH NEBULIZER MEMBATALKAN PUASA?

124
Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi | Pakar Fiqih Kontemporer

 

Tanya :

Assalamualaikum. Kiyai Shiddiq, afwan ada yang bertanya ke ana perihal nebu saat puasa. Mohon pencerahannya Kiyai. (Ahmad Latif, Lebak, Banten).

 

Jawab :

Wa ‘alaikumus salam wa rahmatullahi wa barakatuh.

Sebelum dijawab, akan dijelaskan lebih dulu fakta nebulizer itu seperti apa. Jadi nebulizer itu merupakan sejenis alat yang memiliki fungsi seperti inhaler untuk mengubah dan memasukkan obat berbentuk cairan yang langsung dimasukkan menuju ke saluran pernapasan. Alat nebulizer ini gunanya adalah untuk membantu kondisi pernapasan bagi pengidap asma, juga bagi penderita masalah batuk dan pilek.

Beberapa obat cair (liquid medicine) dapat digunakan dengan alat nebulizer, seperti : (1) bronkodilator yang membantu membuka atau memperlebar saluran pernapasan; (2) larutan garam hipertonik (larutan air garam kelas medis) yang dapat mengurangi kekentalan lendir di saluran udara dan membuatnya menjadi lebih mudah untuk dikeluarkan; dan (3) antibiotik untuk mengobati dan mencegah infeksi. (Lihat https://hellosehat.com/pernapasan/pilek/manfaat-nebulizer-untuk-batuk-pilek/).

Demikianlah sekilas fakta (manāth) dari nebulizer itu. Apakah penggunaan nebulizer bagi seorang muslim yang sedang berpuasa itu membatalkan puasanya? Jawaban kami, wallāhu a’lam, penggunaan nebulizer tidak membatalkan puasanya. (Al-Jam’iyyah Al-‘Ilmiyyah Al-Su’ūdiyyah li Al-Dirāsah Al-Fiqhiyyah Al-Thibbiyyah, Al-Fiqh Al-Thibbiy, 2010, hlm. 112-113;  Muhammad Sulayman Nashrullah Al-Farrā`, Al-Tsalātsūna Hadītsan Al-Ramadhāniyyah, hlm. 86).

Terdapat 3 (tiga) alasan mengapa nebulizer tidak membatalkan puasa, sebagai berikut :

Pertama, obat cair yang dimasukkan oleh alat nebulizer itu dihukumi seperti udara, yang hanya akan sampai pada batas-batas dari organ paru-paru  (al-ri`atāni, lungs). Jadi zat yang dimasukkan itu tidak sampai masuk ke dalam lambung (al-ma’idah, stomach). Jadi orang yang menggunakan nebulizer tidak dapat disebut makan atau minum yang membatalkan puasa. Kalau pun ada obat cair yang masuk ke kerongkongan (al-marī`, esophagus) lalu masuk ke dalam lambung (al-ma’idah, stomach), itu sangat sedikit sekali jumlahnya.

Dalam kitab Al-Fiqh Al-Thibbiy (2010) diuraikan sebesar sedikit/kecil obat cairan yang masuk lewat nebulizer itu :

اَلْعُبُوَّةُ الصَّغِيْرَةُ تَشْتَمِلُ عَلىَ 15 مِلِيْلِتْرٍ مِنِ الدَّوَاءِ السَّائِلِ، وُضِعَتْ لِمِئَتَيْ بَخَّةٍ. فَالْبَخَّةُ الْوَاحِدَةُ تَسْتَغْرِقُ نِصْفَ عُشْرِ مِلِيْلِتْرٍ. وَهَذَا شَيْءٌ يَسِيْرٌ جِداَّ

“Satu kemasan kecil dari obat cair (liquid medicine) itu berisi 15 mililiter obat cair (seperti bronkodilator, antibiotik, dsb), yang didesain untuk 200 kali semprotan. Jadi satu semprotan itu berarti mengandung setengah dari sepersepuluh mililiter (= 0,05 mililiter). Ini jumlah yang sedikit sekali.” (Al-Jam’iyyah Al-‘Ilmiyyah Al-Su’ūdiyyah li Al-Dirāsah Al-Fiqhiyyah Al-Thibbiyyah, Al-Fiqh Al-Thibbiy, 2010, hlm. 112-113).

Maka dari itu, jumlah yang sedikit sekali ini dapat diabaikan, atau dalam istilah fiqih, dapat di-ma’fu (dimaafkan), yakni dianggap tidak ada. Kaidah fiqih menyebutkan :

اَلنَّادِرُ لاَ حُكْمَ لَهُ

An-Nādir lā hukma lahu. “Sesuatu yang jarang (sangat sedikit) tidak ada hukumnya (dianggap tidak ada).” (Muhammad Shidqi Al-Burnu, Mausū’ah Al-Qawā’id Al-Fiqhiyyah, Qism III & IV, Entry Huruf “Ḥa”, hlm. 306).

Kedua, zat yang dimasukkan oleh nebulizer itu dihukumi sama dengan sisa air dalam rongga mulut bagi orang yang berpuasa yang berkumur-kumur (al-madhmadhah) atau ber-istinsyāq (menyedot air ke dalam hidung). Artinya, orang yang berpuasa tidak batal puasanya, kalaupun ada sisa air yang masuk ke dalam lambung bersamaan dengan air liur yang tertelan, setelah dia berkumur-kumur atau setelah ber-istinsyāq, asalkan orang yang berwudhu itu tidak berlebihan (mubālaghah), yakni tidak berlebihan dalam menyampaikan air wudhu ke bagian dalam hidung supaya air tidak masuk rongga tubuh (al-jauf).

Dari shahabat Nabi SAW bernama Laqith bin Shabrah RA terdapat riwayat hadits berikut ini :

عَنْ لَقِيْطٍ بْنِ صَبْرَةَ رَضِيَ اللهَ عَنْهُ قاَلَ ياَ رَسُوْلَ اللَّهِ أخْبِرْنِيْ عَنِ اْلوُضُوْءِ قاَلَ أَسْبِغِ الْوُضُوْءَ وَخَلِّلْ بَيْنَ اْلأَصَابِعِ وَباَلِغْ فَي اْلاِسْتِنْشَاقِ إلَّا أَنْ تَكُوْنَ صاَئِمًا

Dari Laqith bin Shabrah RA, dia berkata,”Wahai Rasulullah SAW, beritahukan kepada saya mengenai berwudhu?” Rasulullah SAW bersabda,“Sempurnakanlah wudhu, dan bersihkan sela-sela jemari serta kuatkanlah waktu kamu ber-istinsyāq (memasukkan air ke hidung) kecuali ketika kamu dalam kondisi berpuasa.” (HR. Tirmidzi dan Abu Dawud).

Hadits tersebut menunjukkan bahwa orang yang berpuasa tidak apa-apa (tidak batal puasanya) memasukkan air ke dalam hidung (ber-istinsyaq), walau pun ada sedikit air sisa yang masuk ke dalam lambung, asalkan dia tidak berlebihan (mubalaghah). Jika tidak batal puasanya orang yang berwudhu karena memasukkan air ke dalam hidung (ber-istinsyaq), demikian juga, tidak batal puasanya orang yang menggunakan nebulizer. (Al-Jam’iyyah Al-‘Ilmiyyah Al-Su’ūdiyyah li Al-Dirāsah Al-Fiqhiyyah Al-Thibbiyyah, Al-Fiqh Al-Thibbiy, 2010, hlm. 112-113).

Ketiga, masuknya cairan obat dengan nebulizer ke dalam kerongkongan (al-marī`, esophagus) lalu masuk ke dalam lambung (al-ma’idah, stomach), merupakan hal yang masih diragukan, atau tidak dapat dipastikan. Sebaliknya, hal yang yakin (pasti) yang menjadi pegangan adalah tidak masuknya cairan obat ke dalam lambung (al-ma’idah, stomach), kecuali dalam jumlah yang sangat sedikit sekali yang dapat diabaikan (di-ma’fu). Kaidah fiqih menyebutkan :

اَلْيَقِيْنُ لاَ يَزُوْلُ بِالشَّكِّ

Al-Yaqīn lā yazūlu bi al-syakk. “Sesuatu yang yakin (pasti), tidak dapat dihilangkan dengan adanya keraguan (syakk).” (Muhammad Shidqi Al-Burnu, Mausū’ah Al-Qawā’id Al-Fiqhiyyah, Qism VIII, Entry Huruf  “Fā`” & “Qāf”, hlm. 1015).(Al-Jam’iyyah Al-‘Ilmiyyah Al-Su’ūdiyyah li Al-Dirāsah Al-Fiqhiyyah Al-Thibbiyyah, Al-Fiqh Al-Thibbiy, 2010, hlm. 113).

Kesimpulannya, penggunaan nebulizer tidak membatalkan puasa. Wallāhu a’lam.

 

Bandung, 15 Maret 2024
Muhammad Shiddiq Al-Jawi