Home Afkar ANTARA ILMU DAN TSAQAFAH (NATURAL SCIENCES & SOCIAL SCIENCES)

ANTARA ILMU DAN TSAQAFAH (NATURAL SCIENCES & SOCIAL SCIENCES)

144

Oleh: M. Shiddiq Al-Jawi

Pengantar

Salah satu kekeliruan terbesar di kalangan umat Islam, adalah anggapan bahwa berbagai pengetahuan khas Barat seperti ilmu politik dan ekonomi sama universalnya dengan sains dan teknologi, yaitu bisa berlaku dimana saja, kapan saja, dan untuk siapa saja. Padahal, pemikiran politik dan ekonomi Barat amat sarat dengan nilai-nilai (values) khas dari ideologi kapitalisme, bukan pemikiran universal seperti halnya fisika, kimia, astronomi, dan kedokteran.

Kekeliruan anggapan itulah yang hendak dikoreksi oleh Taqiyuddin An-Nabhani dalam konsepnya tentang ilmu (natural sciences) dan tsaqafah (social sciences). Bagaimana penjelasannya? Telaah kitab kali ini akan mengupas masalah tersebut dari beberapa kitab An-Nabhani, seperti Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah Juz I (1994) dan At-Tafkir (1973), dan literatur-literatur lain yang relevan.

Latar Belakang

Sesungguhnya tidaklah mengherankan kalau umat Islam terkecoh menganggap ilmu-ilmu alam seperti fisika sama universalnya dengan ilmu-ilmu sosial seperti politik dan ekonomi. Mengapa? Sebab pandangan tersebut juga dominan di negara-negara Barat, setelah kuatnya pengaruh Positivisme yang dirintis oleh August Comte (1798-1857). Sistem pendidikan di Dunia Islam yang didasarkan pada paradigma sekularisme, akhirnya mengimbaskan pandangan yang sama itu kepada umat Islam (Butt, 1996:17 & 42).

Positivisme adalah paham yang menganggap bahwa yang dapat diselidiki atau dipelajari hanyalah ‘data-data yang nyata/empirik’, atau yang mereka namakan positif. Positivisme merupakan tradisi berpikir dalam ilmu-ilmu sosial Barat yang sebenarnya dipinjam dari pandangan, metode, dan teknik ilmu-ilmu alam dalam memahami dan menyelidiki fenomena alam.

Karena itu, Positivisme mempercayai universalisme dan generalisasi yang diperoleh dari prosedur metode ilmiah (scientific method), sehingga kesimpulan-kesimpulan yang dihasilkan dianggap bersifat universal, atau cocok (appropriate) untuk semua, kapan saja, dan di mana saja (Fakih, 2001:24).

Menurut Positivisme, berdasarkan metode ilmiah nilai-nilai politik dan sosial dapat digeneralisasikan berdasarkan fakta-fakta partikular yang diperoleh dari penyelidikan terhadap kehidupan masyarakat itu sendiri. Nilai-nilai politik dan sosial juga dapat dijelaskan secara ilmiah, dengan mengemukakan perubahan historis atasdasar cara berpikir induktif (Burhanuddin Salam, Logika Formal (Filsafat Berpikir), 1990:133).

Walhasil, dominasi positivisme dan metode ilmiah yang diterapkan dalam lapangan ilmu-ilmu sosial itulah yang mengakibatkan umat Islam menganggap ilmu-ilmu sosial bersifat universal, sebagaimana halnya ilmu-ilmu alam.

Maka tidak mengherankan, kalau ide demokrasi, kapitalisme, dan liberalisme dianggap sama universalnya dengan fisika atau kimia.

Demikian pula sosiologi dan psikologi, juga dianggap universal seperti halnya astronomi dan biologi.

Kenyataan itulah yang membuat Taqiyuddin An-Nabhani prihatin. Dari sinilah lalu An-Nabhani merumuskan gagasannya tentang klasifikasi pengetahuan menjadi ilmu dan tsaqafah, termasuk gagasan tentang metode berpikir untuk menghasilkan masing-masing pengetahuan itu. An-Nabhani menegaskan, ilmu-ilmu sosial bukanlah pemikiran universal, melainkan pemikiran khas yang dipengaruhi oleh pandangan hidup Barat.

Dengan kata lain, karakter ilmu sosial adalah terikat atau mengandung nilai (value-bound), berbeda dengan fisika atau kimia yang bebas nilai (value-free) (Agus, 1999:58). An-Nabhani memandang pula, ada perbedaan metodologi antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial.

Metode ilmiah menurut beliau hanya valid (sah) diterapkan dalam ilmu-ilmu alam, tidak berlaku secara universal untuk bidang ilmu-ilmu sosial seperti politik dan ekonomi (An-Nabhani, 1973:32-34).

Pengertian Ilmu dan Tsaqafah

Ilmu, menurut An-Nabhani, adalah pengetahuan (knowledge, ma‘rifah) yang diperoleh melalui metode pengamatan (observation), percobaan (experiment), dan penarikan kesimpulan dari fakta empiris (inference). Contohnya adalah fisika, kimia, dan ilmu-ilmu eksperimental lainnya. Adapun tsaqâfah adalah pengetahuan yang diperoleh melalui metode pemberitahuan (alikhbâr), penyampaian transmisional (attalaqqi), dan penyimpulan dari pemikiran (istinbâth). Contohnya adalah sejarah, bahasa, hukum, filsafat, dan segala pengetahuan non-eksperimental lainnya (An-Nabhani, 1994: 262-263).

Dalam khazanah pengetahuan kontemporer, istilah ilmu dalam klasifikasi An-Nabhani di atas identik dengan ilmu-ilmu alam (natural sciences), yang sering disingkat ‘sains’, sedangkan tsaqâfah kurang lebih identik dengan ilmu-ilmu sosial (social sciences).

Sebagian intelektual, seperti Jujun S. Suriasumantri (Kompas, 27/4/1983), mengklasifikasikan pengetahuan menjadi dua cabang besar, yaitu ilmu (science), (yang mencakup ilmu-ilmu alam dan sosial), dan humaniora (humanities). Humaniora, menurut Elwood (1975) adalah seperangkat sikap dan perilaku moral manusia terhadap sesamanya (L. Wilardjo dalam Suriasumantri, 1992: 237), yang meliputi filsafat, moral, seni, sejarah, dan bahasa.

Istilah lain dikemukakan oleh S. Waqar Ahmed Husaini dalam bukunya Islamic Sciences (2002: 34-57), yang mengklasifikasikan pengetahuan menjadi dua, yaitu ilmu-ilmu alam (natural sicencies) dan ilmu-ilmu sosial-humanistik (humanistic-social sciences). Yang terakhir ini adalah gabungan ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Istilah tsaqâfah menurut An-Nabhani tampaknya lebih tepat diterjemahkan sebagai humanistic-social sciences, dari pada sekadar social sciences.

Dari definisi ilmu dan tsaqâfah An-Nabhani di atas, dapat dianalisis bahwa kriteria dasar klasifikasinya adalah metode yang digunakan memperoleh pengetahuan, atau aspek epistemologisnya. Ilmu diperoleh melalui metode ilmiah yang asumsi dasarnya adalah netral atau bebas nilai. Sebaliknya, tsaqâfah tidak diperoleh melalui metode ilmiah, melainkan metode rasional (rational method), yaitu metode berpikir terhadap suatu fakta empiris dengan cara mengindera fakta tersebut lalu mentransfernya ke dalam otak melalui pancaindera, serta memberikan penafsiran atau keputusan (judgement) terhadap fakta tersebut dengan seperangkat informasi sebelumnya yang telah ada dalam memori otak (An-Nabhani, At-Tafkir, 1973: 28).

Kesimpulan yang diperoleh dari metode atau pendekatan rasional ini, dengan sendirinya, tidaklah universal, karena bergantung pada jenis informasi yang dikaitkan dengan fakta yang ada. Riba (baik disebut interest atau usury) sebagai suatu fakta akan ditafsirkan secara berbeda oleh seorang Muslim dan orang sekular. Orang Muslim akan menilai riba haram; orang kapitalis sekular akan menganggapnya baik, menguntungkan, dan bahkan menjadi tulang punggung sistem ekonomi Barat.

Kesimpulannya, dasar klasifikasi An-Nabhani sesungguhnya ada 2 (dua): Pertama, aspek epistemologisnya, yaitu metode berpikir yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan. Ilmu diperoleh melalui metode ilmiah, sedangkan tsaqâfah melalui metode rasional. Kedua, aspek nilainya, yaitu keterkaitan pengetahuan dengan pandangan hidup (wijhah an-nazhar, world-viewweltanschauung) atau apa yang sering disebut nilai (value), yang didefinisikan sebagai sesuatu yang mempunyai harga dan karenanya dianggap baik atau benar, atau sesuatu yang diharapkan atau ingin dimiliki oleh manusia (Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, 1992:13).

Jadi, ilmu adalah pengetahuan yang bebas nilai (value-free), sedangkan tsaqâfah adalah pengetahuan yang mengandung nilai (value-bound). Namun, patut dicatat, bahwa karakter bebas-nilai pada ilmu hanya ada pada dataran epistemologinya. Dalam dataran aksiologi, yaitu studi mengenai bagaimana menerapkan suatu pengetahuan, karakter ilmu tidaklah netral, tetapi bergantung pada pandangan hidup penggunanya. Internet sebagai contohnya, dapat dimanfaatkan sebagai sarana dakwah, tetapi juga dapat digunakan sebagai sarana penyebaran pornografi.

Dengan memahami dasar klasifikasi An-Nabhani di atas, kita akan dapat memahami mengapa An-Nabhani membuat beberapa pengecualian untuk beberapa cabang pengetahuan ketika diklasifikasikan, apakah masuk kategori ilmu atau tsaqâfah. Ada pengetahuan yang aslinya merupakan tsaqâfah, karena tidak eksperimental, namun kemudian digolongkan sebagai ilmu, karena tidak terkait dengan pandangan hidup dan bersifat universal. Contoh yang dikemukakan An-Nabhani, misalnya ilmu hisab (astronomi), perdagangan, pelayaran (al-milâhah), dan kerajinan tangan atau keahlian produksi barang (ash-shinâ’ât).

Mengenai astronomi, dalam sejarah Islam diketahui banyak dilakukan penerjemahan buku-buku astronomi berbahasa India dan Yunani. Muhammad A. Fajari (w. 161 H), seorang astronom Muslim, menerjemahkan buku astronomi berbahasa India, Shiddhanta Barahmagupta (ilmu bintang), ke dalam bahasa Arab. Astronom Muslim lainnya, Yakub Ibn Thariq (w. 162 H) menerjemahkan Shiddanta Aryabhrata dari bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Arab. Hunain Ibn Ishaq menerjemahkan Almagest (karya Ptolomeus) dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab (Sriyatin Shadiq, 1995: 61). Jadi, walaupun astronomi asalnya adalah tsaqâfah, karena dimiliki bangsa non-Muslim dan diperoleh secara non-eksperimental, namun kemudian dimasukkan ke dalam kategori ilmu, karena sifatnya yang universal dan bebas nilai.

Perbedaan dan Implikasi

Dari penjelasan di atas, paling tidak ada 3 (tiga) aspek yang membedakan ilmu dengan tsaqâfah. Pertama, aspek epistemologinya (metode memperoleh pengetahuan). Ilmu diperoleh dari metode ilmiah yaitu melalui observasi, eksperimen ilmiah, dan inferensi terhadap benda-benda material dalam laboratorium. Sebaliknya, tsaqâfah diperoleh bukan dari metode ilmiah, melainkan metode rasional berupa penyampaian informasi (misalnya dalam akidah Islam), penyampaian trasmisional (misalnya ilmu tarikh, riwayat hadis), dan penyimpulan dari pemikiran (misalnya fikih Islam). Kedua, aspek nilainya (kaitannya dengan nilai kehidupan). Ilmu bersifat bebas nilai dan universal, sedangkan tsaqâfah tidak bebas nilai dan juga tidak universal. Ketiga, aspek adopsi. Ilmu dapat diadopsi oleh umat Islam dari manapun sumbernya, walaupun dari bangsa non-Muslim. Sebaliknya, tsaqâfah tidak boleh diadopsi dari bangsa non-Muslim karena pasti mengandung pandangan hidup yang bertentangan dengan akidah dan syariat Islam.

Implikasi perbedaan ini sangat radikal dan fundamental, khususnya yang menyangkut tsaqâfah. Dalam hal ilmu, masyarakat Islam pada masa datang masih dapat memanfaatkan kemajuan sains dan teknologi semaksimal mungkin. Sebab, sains dan teknologi terkategori ilmu yang bersifat universal dan dapat diadopsi dari mana saja sumbernya.

Namun, dalam hal tsaqâfah, masyarakat Islam tidak boleh mengadopsi tsaqâfah Barat, yaitu segala konsep atau pengetahuan non-eksperimental yang lahir dari paradigma sekularisme, seperti sekularisme itu sendiri, sistem demokrasi, sistem ekonomi kapitalisme, HAM, feminisme, nasionalisme, pasar bebas, dan sebagainya. Tidak boleh pula umat Islam mengadopsi segala cabang ilmu-ilmu sosial dan humaniora Barat yang ada saat ini seperti ilmu politik, ekonomi, sosiologi, antropologi, psikologi, hukum, kriminologi, seni, dan sejarah. Semuanya telah dipengaruhi oleh pandangan hidup dan nilai-nilai ideologi Kapitalisme yang kufur sehingga tidak boleh diadopsi, dipraktikkan, dan disebarluaskan. Namun, dalam jenjang pendidikan tinggi, berbagai ide dan ideologi asing seperti itu tetap boleh dipelajari dalam rangka untuk dikritisi, bukan diadopsi.

Jadi, tatanan masyarakat Islam akan dapat dibayangkan, yaitu maju secara sains dan teknologi, namun tetap islami dalam pemikiran, perasaan, dan peraturannya. Tidak seperti sekarang, penguasaan sains dan teknologi umat Islam payah, sementara masyarakatnya rusak berat karena didominasi oleh paham sekular yang kufur, meski mereka adalah individu-individu Muslim. Ini tentu sangat menyedihkan dan menyakitkan.[]