
Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi | Pakar Fiqih Kontemporer
Tanya :
Izin bertanya kiyai @M. Shiddiq Al Jawi. Bolehkah seseorang atau pihak tertentu merobohkan masjid karena adanya sengketa tanah? Dan bagaimana solusi Islam atas kejadian tersebut? (Kasus Influencer Taqy Malik). (Chandra, Jakarta).
Jawab :
Sebelum kami menjelaskan hukum syariah untuk kasus Saudara Taqy Malik tersebut, perlu dipahami dulu duduk perkara atau pemahaman fakta (fahmul wāqi’) terhadap kasus ini.
Duduk Perkara (Fahmul Wāqi’)
Jadi, berdasarkan data Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Bogor, perkara ini bermula dari gugatan dua orang bernama Sirhan dan Sania Sanabel Bisyir terhadap Ahmad Taqiyuddin Malik (Taqy Malik) pada tanggal 31 Januari 2024. Gugatan tersebut terkait wanprestasi (ingkar janji) atas Akta Perjanjian Jual Beli (PJB) No. 5 tanggal 17 Juni 2022 dengan nilai total transaksi sekitar Rp9 miliar untuk 8 (delapan) kavling tanah seluas 1200 meter persegi.
Dalam perjalanannya, Saudara Taqy Malik baru membayar sekitar Rp2,2 miliar, sementara sisanya Rp6 miliar belum diselesaikan. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bogor melalui Putusan No. 31/Pdt.G/2024/PN Bgr pada tanggal 25 Juli 2024 menyatakan Saudara Taqy Malik wanprestasi, membatalkan perjanjian jual beli, dan memerintahkan pengosongan serta pengembalian seluruh lahan, kecuali 1 (satu) unit rumah yang ditempati Saudara Taqy Malik.
Putusan tersebut diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Bandung melalui Putusan No. 506/PDT/2024/PT BDG pada 10 Oktober 2024, dan akhirnya dikukuhkan oleh Mahkamah Agung RI lewat Putusan No. 1145 K/PDT/2025 tertanggal 22 Mei 2025.
Fani SH (kuasa hukum Saudara Taqy Malik) menyebut pengadilan telah secara adil menghitung nilai uang yang sudah dibayarkan oleh Saudara Taqy Malik, yaitu Rp2,2 miliar, setara dengan nilai kavling tempat rumah tinggalnya berdiri. Sementara 7 (tujuh) kavling lain, termasuk lahan yang telah dibangun masjid seluas 200 meter persegi, wajib dikosongkan sesuai amar putusan. (dari berbagai sumber).
Referensi (kanal Youtube dr. Richard Lee) :
https://www.youtube.com/watch?v=aNGg6zks-XU https://www.youtube.com/watch?v=OBSdWQz0bmE
Pada faktanya, Saudara Taqy Malik telah gagal bayar, yaitu tidak mampu membayar Rp9 miliar untuk 8 (delapan) kavling tanah seluas 1200 meter persegi, sesuai batas waktu yang disepakati. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bogor melalui Putusan No. 31/Pdt.G/2024/PN Bgr pada tanggal 25 Juli 2024 telah menyatakan Saudara Taqy Malik wanprestasi.
Wanprestasi adalah kondisi di mana salah satu pihak dalam suatu perjanjian gagal atau lalai memenuhi kewajibannya yang telah disepakati. Istilah ini juga dikenal sebagai ingkar janji dan merupakan bentuk pelanggaran kontrak dalam hukum perdata. Wanprestasi dapat berupa tidak melaksanakan janji, terlambat melaksanakan, melakukan hal yang dilarang dalam perjanjian, atau melakukan sesuatu yang tidak sesuai kesepakatan.
Wanprestasi tidak dibenarkan dalam hukum positif yang berlaku, karena dianggap tidak sesuai dengan isi Pasal 1243 KUH Perdata mengenai wanprestasi. Dalam pasal 1243 KUHP ini, setidaknya terdapat 3 unsur wanprestasi, yaitu:
- ada perjanjian;
- ada pihak yang ingkar janji atau melanggar perjanjian; dan
- telah dinyatakan lalai, namun tetap tidak melaksanakan isi perjanjian.
Konsekuensi yuridis wanprestasi adalah kreditur dapat memilih beberapa kemungkinan tuntutan kepada debitur antara lain: (1) Pembatalan perjanjian, (2) Pembatalan perjanjian disertai tuntutan ganti rugi, (3) Pemenuhan kontrak/akad, (4) Pemenuhan kontrak disertai tuntutan ganti rugi, dan (4) Menuntut penggantian kerugian saja. (https://www.hukumonline.com/klinik/a/bunyi-pasal-1243-kuh-perdata-tentang-wanprestasi-lt65dc608264499/).
Jadi, jika dapat disimpulkan secara ringkas, rumusan masalahnya adalah; ada seseorang bernama Taqy Malik membangun masjid di tanah yang sudah dibeli, tetapi belum lunas (atau masih ada utang kepada pihak penjual tanah). Dan ketika tanah tersebut belum lunas, pihak penjual tanah menggugat ke pengadilan lalu pengadilan memutuskan; (1) menyatakan Saudara Taqy Malik wanprestasi, (2) membatalkan perjanjian jual beli, dan (3) memerintahkan pengosongan serta pengembalian seluruh lahan (sebanyak 8 kavling), kecuali 1 (satu) unit rumah yang sudah ditempati Saudara Taqy Malik. Pengosongan 7 (tujuh) kavling tersebut, mencakup satu kavling seluas 200 meter persegi yang di atasnya sudah dibangun sebuah bangunan masjid oleh Saudara Taqy Malik yang bernama Masjid Malikal Mulki.
Fatwa-Fatwa Syariah Terhadap Kasus Saudara Taqy Malik
Setelah mendalami duduk perkara di atas, kami menetapkan 8 (delapan) fatwa syariah sebagai berikut ini :
Pertama, Fatwa Syariah Mengenai Kepemilikan Delapan Kavling.
Dalam pandangan syariah Islam, sudah sah kepemilikan Saudara Taqy Malik untuk 8 (delapan) kavling tanah seluas 1200 meter persegi yang dibeli dari pihak penjual (Sirhan dan Sania Sanabel Bisyir), yang disepakati dengan harga Rp9 miliar, walaupun Saudara Taqy Malik belum melunasi harga yang disepakati (Rp9 miliar) dan baru membayar Rp2,2 miliar dari total harga Rp9miliar.
Hal ini karena pemindahan hak milik (naqlul milkiyyah) dalam jual beli dalam Islam itu, ditandai dengan terjadinya akad jual beli, yakni ijab dan kabul dari penjual dan pembeli, bukan ditandai dengan lunasnya pembayaran dalam jual beli yang tidak tunai (misal jual beli secara angsuran) (al-bai’ bi al-taqsīth).
Dalam kitab Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah pada anak judul Akibat-Akibat Hukum Dari Akad Jual Beli (al-ātsār al-mutarattabatu ‘alā al-bai’), dijelaskan sebagai berikut :
يَمْلِكُ الْمُشْتَرِي الْمَبِيعَ، وَيَمْلِكُ الْبَائِعُ الثَّمَنَ، وَيَكُونُ مِلْكُ الْمُشْتَرِي لِلْمَبِيعِ بِمُجَرَّدِ عَقْدِ الْبَيْعِ الصَّحِيحِ…
“(Akibat-akibat hukum dari akad jual beli adalah) pembeli memiliki barang yang dijual, dan penjual memiliki harga. Kepemilikan pembeli atas barang yang dijual itu, terjadi hanya dengan akad jual beli yang sah…” (Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Juz IX, hlm. 36).
Berdasarkan penjelasan dalam kitab Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah tersebut, jelaslah bahwa dalam Islam, hanya dengan akad jual beli, berarti sudah terjadi perpindahan hak milik (intiqāl al-milki, transfer of property) dari penjual kepada pembeli.
Bahkan dalam kitab yang sama, ditegaskan bahwa walaupun jual belinya itu terjadi secara utang, yaitu pembayaran uangnya dilakukan secara tunda (tidak tunai), kepemilikan barang sudah berpindah dari milik penjual menjadi milik pembeli, hanya dengan akad jual beli. Disebutkan dalam kitab tersebut :
وَلَا يَمْنَعُ مِنْ انْتِقَالِ مِلْكِيَّةِ الْمَبِيعِ إِلَى الْمُشْتَرِي كَوْنُ الثَّمَنِ مُؤَجَّلًا
“Fakta bahwa harga ditangguhkan, tidak mencegah pemindahan kepemilikan barang yang dijual kepada pihak pembeli.” (Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Juz IX, hlm. 36).
Kedua, Fatwa Mengenai Keabsahan Pembangunan Masjid di Atas Tanah Yang Belum Lunas.
Berdasarkan fatwa pertama di atas, yaitu sudah terjadinya perpindahan hak milik tanah yang dibeli oleh Saudara Taqy Malik dari pihak penjual (Saudara Sirhan dan Saudara Sania Sanabel Bisyir), maka akibat hukumnya adalah Saudara Taqy Malik sesungguhnya sudah berhak membangun rumah atau masjid di atas tanah-tanah tersebut, walau pun pembayaran atas tanah tersebut belum lunas, karena tanah-tanah itu dalam pandangan hukum Islam sudah menjadi milik Saudara Taqy Malik.
Dalam kitab Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, mengenai akibat-akibat hukum dari perpindahan hak milik, dijelaskan sebagai berikut :
وَيَتَرَتَّبُ عَلَى انْتِقَالِ الْمِلْكِ… أَنْ تُنَفَّذَ تَصَرُّفَاتُ الْمُشْتَرِي فِي الْمَبِيعِ
“Perpindahan kepemilikan mengakibatkan pihak pembeli berhak melakukan berbagai tasharruf (perbuatan hukum) atas barang yang dibelinya.” (Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Juz IX, hlm. 36).
Berdasarkan penjelasan hukum Islam di atas, maka sebagai akibat hukum dari sudah terjadinya perpindahan hak milik tanah dari pihak penjual (Saudara Sirhan dan Saudara Sania Sanabel Bisyir) kepada pihak pembeli (Saudara Taqy Malik), maka pihak pembeli berhak dan sah menurut hukum Islam melakukan berbagai tasharruf (perbuatan hukum) atas barang yang dibelinya. Misalnya, membangun rumah atau masjid di atas lahan-lahan lavling yang sudah dibelinya itu, walau pun jual beli lahan itu belum lunas pembayarannya.
Ketiga, Fatwa Untuk Bangunan Masjid di Atas Tanah Yang Belum Lunas.
Berdasarkan fatwa kedua di atas, yakni sahnya pembangunan rumah atau bangunan masjid di atas lahan yang dibeli Saudara Taqy Malik, maka bangunan masjid yang dibangun itu apakah memang sudah memenuhi definisi syariah (al-ta’rīf al-syar’ī) untuk masjid atau belum, bergantung pada apakah tanah dan bangunannya sudah diwakafkan atau belum oleh Saudara Taqy Malik.
Definisi syariah (al-ta’rīf al-syar’ī) untuk masjid adalah :
المَسْجِدُ هوَ المَكانُ اَلْمُهَيَّأُ لِلصَّلَوَاتِ الخَمْسِ دَائِمًا ، والْمَوْقُوْفُ لِذَلِكَ . والْمَكانُ يَصيرُ مَسْجِدًا : بِالْإِذْنِ الْعَامِّ لِلنَّاسِ بِالصَّلَاةِ فِيه، سَواءٌ صَرَّحَ بِأَنَّهُ وَقْفٌ لِلهِ أَوْ لَمْ يُصَرِّحْ بِذَلِكَ ، عِنْدَ جُمْهورِ العُلَماءِ خِلَافًا لِلشَّافِعِيَّةِ. الموسوعة الفقهية الكويتية ج 37 ص 220
“Masjid adalah tempat yang disiapkan untuk sholat lima waktu (berjamaah) secara permanen dan diwakafkan untuk keperluan itu. Sebuah tempat menjadi masjid, karena adanya izin umum kepada masyarakat untuk sholat di tempat tersebut, baik dengan pernyataan eksplisit bahwa tempat itu adalah wakaf lillāhi ta’ālā, maupun dengan pernyataan implisit. Demikian menurut jumhur ulama, berbeda dengan ulama mazhab Syafi’i (yang mensyaratkan pernyataan eksplisit).” (Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 37/220).
Dari penjelasan definisi syar’i bagi masjid tersebut, sebuah tempat atau bangunan menjadi masjid menurut hukum Islam jika memenuhi 3 (tiga) kriteria, sebagai berikut;
Pertama, tempat itu digunakan untuk sholat lima waktu secara permanen.
Kedua, sudah terdapat izin kepada masyarakat umum untuk menggunakan tempat tersebut untuk sholat lima waktu.
Ketiga, tempat tersebut berstatus tanah wakaf, yaitu bukan lagi milik individu atau kelompok, melainkan menjadi milik umum (al-milkiyyah al-‘āmmah).
Maka dari itu, jika tanah dan bangunan masjid bernama Malikal Mulki itu sudah diwakafkan oleh Saudara Taqy Malik, maka berarti bangunan masjid itu sudah memenuhi definisi syariah (al-ta’rīf al-syar’ī) untuk masjid. Akibat hukum selanjutnya adalah, pada bangunan itu diberlakukan hukum-hukum syariah untuk masjid dan hukum-hukum syiar Islam untuk masjid itu.
Di antara hukum syariah untuk masjid adalah, karena statusnya sudah berupa tanah wakaf, maka tidak boleh dihibahkan, tidak boleh dijualbelikan, dan tidak boleh diwariskan. Dan karena masjid itu merupakan syiar Islam, maka keberadaannya secara fisik dan berbagai kegiatan keislaman di dalamnya, wajib hukumnya secara fardhu kifayah untuk tetap ditegakkan atau tetap dipertahankan. Jadi tidak boleh masjid itu dibongkar paksa yang akhirnya berakibat berhentinya berbagai kegiatan keislaman di dalamnya, seperti sholat lima waktu berjamaah, sholat Jum’at, kajian-kajian Islam, dan sebagainya.
Akan tetapi, jika tanah dan bangunannya itu belum diwakafkan oleh Saudara Taqy Malik, berarti bangunan tersebut tidak dapat dihukumi sebagai masjid menurut definisi syariah (al-ta’rīf al-syar’ī) untuk masjid. Maka akibat hukum dari itu, walau secara fisik bentuk bangunan dapat disebut “masjid”, namun secara hukum Islam, belum dapat diberlakukan pada bangunan itu hukum-hukum syariah untuk masjid dan hukum-hukum syiar Islam untuk masjid.
Lalu, apakah tanah dan bangunan masjid Malikul Malik itu, pada faktanya, sudah diwakafkan oleh Saudara Taqy Malik? Di sinilah kami belum mendapat informasinya, berupa pernyataan tegas (eksplisit) dari Saudara Taqy Malik bahwa dia mewakafkan masjid Malikal Mulki tersebut. Kami belum pernah mendengar pernyataan seperti ini, baik dari berbagai berita di media maupun dari wawancara Taqy Malik di kanalnya dr. Richard Lee (Youtube) yang kami saksikan.
Atas dasar itu, yaitu tidak adanya pernyataan eksplisit dari Taqy Malik bahwa dia sudah mewakafkan masjid Malikal Mulki tersebut, yang menyebabkan kami berada dalam posisi keraguan (syakk, doubt), maka kami mengeluarkan opini hukum Islam (fatwa) atas dasar dugaan kuat (ghalabat al-zhann), bahwa Taqy Malik belum mewakafkan masjid Malikal Mulki tersebut. Hal ini berdasarkan kaidah fiqih yang menegaskan bahwa jika kita ragu (syakk, doubt), mengenai ada tidaknya sesuatu, maka hukum asalnya adalah tidak adanya sesuatu itu, kecuali kemudian ada bukti bahwa sesuatu itu ternyata ada.
Dalam sebuah kaidah fiqih dinyatakan :
اَلْأَصْلُ اَلْعَدَمُ
Al-Ashlu al-‘adamu. Artinya, yang menjadi hukum asal, adalah tidak adanya segala sesuatu. (Syekh Ahmad bin Syekh Muhammad Az-Zarqa`, Syarah Al-Qawā’id A-Fiqhiyyah, hlm. 118).
Kesimpulannya, meskipun Saudara Taqy Malik berhak dan sah membangun bangunan masjid di atas lahan yang dibelinya (walau belum lunas), namun status bangunan masjid yang diberi nama Malikal Mulki itu belum dapat dikategorikan sebagai masjid menurut definisi syariah (al-ta’rīf al-syar’ī) untuk masjid. Dan dengan demikian belum dapat diberlakukan pada bangunan itu hukum-hukum syariah untuk masjid dan hukum-hukum syiar Islam untuk masjid.
Keempat, Fatwa Mengenai Gagal Bayar Oleh Taqy Malik.
Dalam uraian di subjudul Duduk Perkara (Fahmul Wāqi’) di atas, sudah kami jelaskan bahwa pada faktanya Taqy Malik telah gagal bayar, dan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bogor lalu menyatakan Taqy Malik wanprestasi, dengan berbagai konsekuensi hukum dari wanprestasi itu, di antaranya adalah pembatalan akad jual beli tanah.
Menurut kami, meskipun wanprestasi itu jelas perbuatan yang tidak dibenarkan juga oleh Islam, namun tidak dapat dipukul rata semua wanprestasi adalah pelanggaran syariah yang harus dijatuhi sanksi (al-‘uqūbāt). Dalam kasus wanprestasi yang dilakukan oleh Taqy Malik, kami berpendapat bahwa gagal bayar yang terjadi bukanlah karena niat jahat yang disengaja oleh Taqy Malik, melainkan karena kegagalan bisnis yang awalnya diprediksi akan berhasil, ternyata hasilnya tidak sesuai harapan berhubung ada kondisi Covid-19, dan sebagainya. (Lihat wawancara Taqy Malik dengan dr. Richard Lee di kanal Youtube, https://www.youtube.com/watch?v=aNGg6zks-XU https://www.youtube.com/watch?v=OBSdWQz0bmE).
Atas dasar itu, kami berpendapat bahwa keputusan majelis hakim bahwa Taqy Malik telah melakukan wanprestasi, adalah keputusan yang tidak tepat karena tidak sesuai dengan fakta yang ada. Dalam Islam, seseorang dianggap bersalah jika memang berniat jahat tidak mau membayar utang atau tidak menunjukkan itikad baik untuk membayar utang, misalnya tidak pernah mengangsur sama sekali. Adapun Saudara Taqy Malik, tidak berniat jahat untuk sengaja lalai membayar utang, dan bahkan yang bersangkutan menunjukkan itikad baik untuk membayar utang setiap bulannya, walau pun besarnya kurang dari besaran angsuran yang diperjanjikan, yaitu Rp 667 juta setiap bulan.
Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW menggolongkan perbuatan orang yang mampu membayar utang tapi dia tidak mau membayarnya, sebagai perbuatan zalim, sesuai sabda Rasulullah SAW :
مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ
“Menunda-nunda pembayaran utang oleh orang yang mampu, adalah suatu kezaliman.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Imam Nawawi memberi syarah (penjelasan) dari hadits di atas dengan berkata:
قَالَ الْقَاضِي وَغَيْرُهُ: الْمَطْلُ مَنْعُ قَضَاءِ مَا اسْتَحَقَّ أَدَاؤَهُ؛ فَمَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ وَحَرَامٌ، وَمَطْلُ غَيْرِ الْغَنِيِّ لَيْسَ بِظُلْمٍ وَلَا حَرَامٍ؛ لِمَفْهُومِ الْحَدِيثِ
“Telah berkata Qadhi (‘Iyādh) dan (ulama) yang lain, bahwa arti kata “al-mathlu” (الْمَطْلُ) adalah mencegah melunasi apa-apa yang berhak untuk dilunasi, maka perbuatan orang yang mampu (al-ghani) yang melakukan “al-mathlu” (الْمَطْلُ), adalah perbuatan zalim dan haram. Adapun jika perbuatan “al-mathlu” (الْمَطْلُ) dilakukan oleh orang yang tidak mampu (ghairu al-ghani), berarti itu bukan perbuatan zalim dan haram, berdasarkan mafhūm mukhālafah (pengertian implisit sebaliknya dari pengertian eksplisit, argumentum a contrario) dari hadits tersebut.” (Imam Nawawi, Syarah Shahīh Muslim, 10/227).
Jadi, ringkasnya, berdasarkan hadits tersebut, khususnya pengertian sebaliknya (mafhūm mukhālafah, argumentum a contrario) dari hadits tersebut, Saudara Taqy Malik tidak dapat dikategorikan sebagai orang yang melakukan wanprestasi.
Dan dikarenakan Saudara Taqy Malik tidak dapat dikategorikan sebagai orang yang melakukan wanprestasi, maka yang bersangkutan tidak dapat dijatuhi sanksi (al-‘uqūbāt), baik sanksi menurut Hukum Islam maupun apalagi sanksi menurut hukum positif non-syariah saat ini.
Sabda Rasulullah SAW :
لَيُّ الوَاجِدِ يُحِلُّ عِرْضَهُ وعُقُوْبَتَهُ
“Perbuatan menunda pembayaran utang oleh orang mampu, telah menghalalkan kehormatannya dan juga telah menghalalkan dijatuhkannya sanksi kepadanya.” (HR. Abu Dawud, no. 3628; Al-Nasa`i, no. 4689; Ibnu Majah, no. 2427; Ahmad, no. 17.946).
Hadits ini menunjukkan jika orang yang berutang itu berkemampuan membayar utang, tapi dia menunda-nunda pembayaran utangnya, berarti dia berhak mendapat kecaman dengan kata-kata, atau berhak mendapatkan sanksi (al-‘uqūbāt) dari hakim syariah (qadhi) setelah proses peradilan Islam (al-qadha` al-syar’i), misalnya dipenjara, sesuai putusan hakim syariah (qadhi).
Hadits ini mempunyai mafhūm mukhālafah (pengertian sebaliknya, argumentum a contrario), yaitu jika orang yang berutang itu tidak berkemampuan membayar utang, dan karenanya dia menunda-nunda pembayaran utangnya, berarti dia tidak berhak mendapat kecaman dengan kata-kata, dan tidak berhak pula mendapatkan sanksi (al-‘uqūbāt) dari hakim syariah (qadhi) setelah proses peradilan Islam (al-qadha` al-syar’i).
Imam Abdul Muhsin Al-‘Abbād dalam kitabnya Syarah Sunan Abī Dāwūd menjelaskan mafhūm mukhālafah (pengertian sebaliknya) dari hadits tersebut :
وَإِذَا كَانَ مُعْدَمًا فَقِيرًا، فَإِنَّهُ لَا يُحْبَسُ وَلَا يَسْتَحِقُّ الْحَبْسَ، وَإِنَّمَا الَّذِي يَسْتَحِقُّهُ مَنْ كَانَ قَادِرًا وَلَمْ يَقُمْ بِوَفَاءِ مَا وَجَبَ عَلَيْهِ.
“Jika orang yang berutang itu melarat dan miskin, maka dia tidak dapat dan tidak pantas dipenjara. Sebaliknya, yang berhak dipenjara adalah mereka yang mampu, tetapi tidak memenuhi apa yang menjadi kewajibannya (membayar utang).” (Imam Abdul Muhsin Al-‘Abbād, Syarah Sunan Abī Dāwūd, nomor hadits 411).
Kesimpulannya, Saudara Taqy Malik tidak dapat dikategorikan sebagai orang yang melakukan wanprestasi, dan tidak dapat pula dipersalahkan dalam kasus ini, atau sekurang-kurangnya tidak dapat dipersalahkan secara sepenuhnya. Karena yang dapat dipersalahkan adalah orang yang menunda pembayaran utang padahal dia berkemampuan membayar. Maka sebaliknya, jika seseorang itu tidak berkemampuan membayar utang, karena satu dan lain hal, seperti bangkrut, gagal bisnis, dsb, maka orang tersebut tidak dapat dipersalahkan dan tidak dapat pula dijatuhi sanksi dalam pandangan Syariah Islam.
Kelima, Fatwa Mengenai Pembatalan Akad Jual Beli Yang Dituntut Oleh Penjual Kepada Majelis Hakim.
Kami berpendapat, tidak sah putusan majelis hakim yang membatalkan perjanjian jual beli yang ada, dan yang memerintahkan pengosongan serta pengembalian seluruh lahan, kecuali 1 (satu) unit rumah yang ditempati Saudara Taqy Malik.
Ketidaksahan putusan tersebut, dikarenakan majelis hakim tidak berhak membatalkan perjanjian jual beli yang sudah terjadi, karena tidak memenuhi syarat-syarat bolehnya iqālah dalam Islam. Iqālah adalah pembatalan akad jual beli secara sukarela yang disepakati oleh kedua pihak, yaitu penjual dan pembeli. Islam memang telah membolehkan bahkan menganjurkan (mensunnahkan) penjual dan pembeli untuk ber- iqālah tersebut, sesuai hadis dari Abu Hurairah RA, bahwa Nabi SAW telah bersabda :
مَنْ أَقَالَ مُسْلِمًا أَقَالَهُ اللَّهُ عَثْرَتَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barang siapa yang menerima pembatalan akad jual beli (iqālah) dari seorang muslim, maka Allah akan mengampuni kesalahannya pada Hari Kiamat nanti.” (HR. Abu Dawud, no. 3460; Ibnu Majah, no. 2199; hadits shahih).
Akan tetapi, iqālah itu ada syarat-syaratnya, di antaranya adalah :
أَنْ يَكُونَ مَحَلُّ الْعَقْدِ قَائِمًا وَمُحْتَمَلًا لِلْفَسْخِ وَلَمْ يَتَغَيَّرْ بِزِيَادَةِ تَخَرُّجِهِ عَمَّا كَانَ عَلَيْهِ فِي الْأَوَّلِ
“Barang yang menjadi objek akad jual beli masih tetap ada dan masih memungkinkan untuk terjadinya fasakh (pembatalan jual beli) dan tidak mengalami perubahan dengan suatu tambahan yang mengeluarkannya dari kondisi awal.” (Prof. Al-Husain bin Muhammad Syawwath dan Dr. Abdul Haq Humaisy, Al-Iqālah, https://www.alukah.net/sharia/0/60494/).
Berdasarkan syarat tersebut, berarti untuk lahan yang dibeli Saudara Taqy Malik, yang tidak mengalami perubahan atau tambahan, misalnya masih utuh berbentuk kavling sebagaimana adanya seperti keadaaan saat dibeli, maka boleh hukumnya dilakukan pembatalan akad jual beli (iqālah) pada lahan-lahan tersebut. Akan tetapi jika kondisinya lahannya sudah tidak lagi seperti semula, misalnya sudah dibangun rumah di atasnya, atau sudah dibangun masjid di atasnya, maka tidak boleh hukumnya penjual dan pembeli melakukan pembatalan akad jual beli (iqālah) pada lahan-lahan tersebut, karena tidak memenuhi syarat pembatalan akad jual beli (iqālah) yang disebutkan di atas.
Jika penjual dan pembeli tidak boleh secara syariah melakukan pembatalan akad jual beli (iqālah) pada lahan-lahan tersebut yang sudah mengalami tambahan atau perubahan, maka hakim syariah (qadhi) dan demikian juga hakim dalam pengadilan saat ini, tidak boleh dan tidak berhak memutuskan membatalkan akad jual beli (iqālah) pada lahan-lahan yang sudah berubah kondisinya tersebut.
Berdasarkan penjelasan syarat iqālah tersebut, maka keputusan majelis hakim tersebut di atas terhadap 8 (delapan) kavling lahan yang menjadi objek jual beli, dapat diberi penilaian hukum (judgement) menurut Syariah Islam secara rinci (tafshīl) sebagai berikut;
(1) keputusan majelis hakim yang membatalkan jual beli untuk 6 (enam) kavling lahan milik Saudara Taqy Malik, yang belum mengalami perubahan, hukumnya sah menurut Syariah Islam, karena telah memenuhi syarat pembatalan akad jual beli (iqālah) dalam Hukum Islam.
(2) keputusan majelis hakim yang tidak membatalkan jual beli untuk 1 (satu) kavling lahan milik Saudara Taqy Malik, yang sudah mengalami perubahan menjadi rumah yang ditempati Saudara Taqy Malik saat ini, yang kemudian dihargai Rp2,2 miliar dari total angsuran yang masuk dari Saudara Taqy Malik, hukumnya sah menurut Syariah Islam, asalkan kedua pihak saling ridho.
(3) keputusan majelis hakim yang membatalkan jual beli 1 (satu) kavling lahan milik Saudara Taqy Malik, yang sudah mengalami perubahan karena sudah ada bangunan masjid di atasnya (Masjid Malikal Mulki), hukumnya tidak sah menurut Syariah Islam, karena tidak memenuhi syarat pembatalan akad jual beli (iqālah) dalam Hukum Islam.
Keenam, Fatwa Tidak Sahnya Pembongkaran Bangunan Masjid, Meskipun Bangunan itu Belum Sah Menjadi Masjid.
Sebagai konsekuensi dari fatwa kelima, yaitu tidak sahnya keputusan pembatalan jual beli untuk 1 (satu) kavling lahan milik Saudara Taqy Malik, karena lahannya sudah mengalami perubahan disebabkan oleh adanya bangunan Masjid Malikal Mulki di atasnya, maka perintah pembongkaran Masjid Malikal Mulki itu juga tidak sah menurut Syariah Islam.
Jadi, sekali lagi, perintah pembongkaran bangunan masjid itu tidak sah dalam Islam, meskipun pembongkaran ini tidak dihukumi pembongkaran masjid (yang telah memenuhi definisi masjid), namun dianggap pembongkaran bangunan biasa yang belum sah menjadi masjid, karena lahan dan bangunannya belum diwakafkan oleh Saudara Taqy Malik.
Ketujuh, Fatwa Mengenai Kepemilikan Tanah Yang Di Atasnya Pernah Ada Bangunan Masjid.
Kami berpendapat, kavling ini sesungguhnya tetap sah menjadi miliknya Saudara Taqy Malik, walaupun pembayaran oleh Saudara Taqy Malik belum lunas, bukan lagi miliknya pihak penggugat (penjual), yaitu Saudara Sirhan dan Saudara Sania Sanabel Bisyir.
Jika pihak penjual Saudara Sirhan dan Saudara Sania Sanabel Bisyir, tetap ingin meneruskan akad jual beli kavling tersebut dengan Saudara Taqy Malik, maka kedua pihak (penjual dan pembeli) dapat memusyawarahkan penyelesaian sisa utang yang menjadi kewajiban Saudara Taqy Malik untuk kavling tersebut dengan harga yang sudah disepakati sebelumnya, tidak boleh bertambah dari harga awal, yakni harga yang disepakati saat melakukan akad jual beli kavling tersebut untuk pertama kalinya.
Jika pihak penjual Saudara Sirhan dan Saudara Sania Sanabel Bisyir, tidak ingin meneruskan akad jual beli kavling tersebut dengan Saudara Taqy Malik, dan menginginkan kavling tersebut kembali menjadi milik mereka berdua, maka jalan untuk itu melalui pembatakan akad melalui iqālah sudah tertutup, karena kavling tersebut sudah mengalami perubahan atau tambahan. Satu-satunya jalan adalah buy-back, yaitu Saudara Sirhan dan Saudara Sania Sanabel Bisyir membeli kembali tanah itu dari Saudara Taqy Malik, dengan akad jual beli baru dan dengan harga yang baru. Harga baru ini boleh sama, boleh lebih rendah, boleh lebih tinggi, dibandingkan dengan harga awal ketika terjadi akad jual beli kavling tersebut untuk pertama kalinya.
Kedelapan, Fatwa Bahwa Saudara Taqy Malik Berhak Mendapat Ganti Rugi Untuk Bangunan Masjid Yang Dibongkar.
Dalam hal ketika bangunan Masjid Malikal Mulki sudah terlanjur dibongkar, padahal perintah pengadilan untuk pembongkaran Masjid Malikal Mulki itu tidak sah menurut Hukum Islam, maka kami berpendapat Saudara Taqy Malik berhak mendapatkan ganti rugi yang senilai dengan biaya yang telah dia keluarkan untuk membangun Masjid Malikal Mulki tersebut. Ganti rugi ini menjadi kewajiban atau tanggungan Majelis Hakim PN Bogor, karena merekalah yang memerintahkan pembongkaran masjid, padahal mereka tidak berhak memerintahkan hal itu, menurut Hukum Islam.
Hal ini didasarkan pada kewajiban untuk memberikan pengganti kerugian (ta’wīdh al-dharar) yang menjadi kewajiban bagi pihak yang menimbulkan kerugian, sesuai sabda Rasulullah SAW :
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
“Tidak boleh menimbulkan bahaya untuk diri sendiri (dharar) maupun bahaya bagi orang lain (dhirār).” (HR. Ibnu Majah, no. 2340; Al-Baihaqi, no. 11.999; Al-Daraquthni, 3/77; Al-Hakim, no. 2345. Hadits shahih).
Kesimpulan dan Penutup
Demikianlah jawaban kami untuk pertanyaan seputar perobohan masjid karena adanya sengketa tanah dan bagaimana solusi Islam atas kejadian tersebut, sebuah kasus yang terjadi pada Saudara Taqy Malik. Kami tidak mengenal secara pribadi siapa Taqy Malik itu, juga tidak mengenal siapa Sirhan dan Sania Sanabel Bisyir itu. Kami hanya berusaha menegakkan keadilan berdasarkan Syariah Islam dengan seadil-adilnya dan selurus-lurusnya, karena Allah SWT semata, dengan tetap bertawakkal kepada Allah dan tetap membuka diri terhadap masukan atau kritik bila fatwa kami ada yang salah, baik salah karena keliru memahami fakta maupun keliru karena tidak sesuai dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Dan kami menjawab masalah ini murni berdasarkan Syariah Islam (Hukum Islam), bukan berdasarkan sistem hukum yang lainnya.
Kesimpulannya, terdapat 8 (delapan) butir fatwa syariah yang menjadi pendapat kami untuk kasus Saudara Taqy Malik ini, yaitu sebagai berikut;
Pertama, menurut Hukum Islam sudah sah kepemilikan Saudara Taqy Malik untuk 8 (delapan) kavling tanah seluas 1200 meter persegi yang dibeli dari pihak penjual (Sirhan dan Sania Sanabel Bisyir), yang disepakati dengan harga Rp9 miliar, walaupun Saudara Taqy Malik belum melunasi harga yang disepakati (Rp9 miliar) dan baru membayar Rp2,2 miliar dari total harga Rp9miliar.
Kedua, konsekuensi dari fatwa pertama di atas, yaitu sudah terjadinya perpindahan hak milik tanah yang dibeli oleh Saudara Taqy Malik dari pihak penjual, maka Saudara Taqy Malik berhak membangun rumah atau masjid di atas tanah-tanah tersebut, walau pun pembayaran atas tanah tersebut belum lunas.
Ketiga, konsekuensi dari fatwa kedua di atas, yakni sahnya pembangunan rumah atau bangunan masjid di atas lahan yang dibeli Saudara Taqy Malik, maka pembangunan masjid yang dibangun itu sah hukumnya menurut Hukum Islam, meskipun belum memenuhi definisi syariah (al-ta’rīf al-syar’ī) untuk masjid, berdasarkan asumsi dasar bahwa tanah dan bangunannya belum diwakafkan oleh Saudara Taqy Malik, sehingga bangunan itu belum sah dianggap masjid menurut definisi syariah untuk masjid.
Keempat, Saudara Taqy Malik tidak dapat dikategorikan sebagai orang yang melakukan wanprestasi, dan tidak dapat pula dipersalahkan dalam kasus ini, atau sekurang-kurangnya tidak dapat dipersalahkan secara sepenuhnya. Ini karena yang dapat dipersalahkan adalah orang yang menunda pembayaran utang padahal dia berkemampuan membayar. Maka sebaliknya, jika seseorang itu tidak berkemampuan membayar utang, karena satu dan lain hal, seperti bangkrut, gagal bisnis, dsb, maka orang tersebut tidak dapat dipersalahkan dan tidak dapat pula dijatuhi sanksi dalam pandangan Syariah Islam.
Kelima, fatwa syariah untuk putusan majelis hakim untuk 8 (delapan) kavling lahan yang menjadi objek jual beli, adalah sebagai berikut :
(1) putusan untuk membatalkan jual beli untuk 6 (enam) kavling lahan milik Saudara Taqy Malik, yang belum mengalami perubahan, hukumnya sah menurut Syariah Islam.
(2) putusan untuk jual beli untuk 1 (satu) kavling lahan milik Saudara Taqy Malik, yang sudah mengalami perubahan menjadi rumah yang ditempati Saudara Taqy Malik saat ini, yang kemudian dihargai Rp2,2 miliar dari total angsuran yang masuk dari Saudara Taqy Malik, hukumnya sah menurut Syariah Islam, asalkan kedua pihak saling ridho.
(3) putusan untuk membatalkan untuk 1 (satu) kavling lahan milik Saudara Taqy Malik, yang sudah mengalami perubahan karena sudah ada bangunan Masjid Malikal Mulki di atasnya, hukumnya tidak sah menurut Syariah Islam.
Keenam, konsekuensi dari fatwa kelima, yaitu tidak sahnya keputusan pembatalan jual beli untuk 1 (satu) kavling lahan milik Saudara Taqy Malik, yang sudah mengalami perubahan karena sudah ada bangunan Masjid Malikal Mulki di atasnya, maka perintah pembongkaran Masjid Malikal Mulki itu juga tidak sah menurut Syariah Islam.
Ketujuh, kavling yang pernah ada bangunan masjid di atasnya, sesungguhnya tetap sah menjadi miliknya Saudara Taqy Malik, walaupun pembayaran oleh Saudara Taqy Malik belum lunas, bukan lagi miliknya pihak penggugat (penjual), yaitu Saudara Sirhan dan Saudara Sania Sanabel Bisyir.
Kedelapan, dalam hal ketika bangunan Masjid Malikal Mulki sudah terlanjur dibongkar, Saudara Taqy Malik berhak mendapatkan ganti rugi yang senilai dengan biaya yang telah dia keluarkan untuk membangun Masjid Malikal Mulki tersebut. Biaya ganti rugi dibebankan atau diwajibkan kepada Majelis Hakim dari Pengadilan Negeri Bogor, yang telah mengeluarkan perintah pembongkaran. Wallāhu a’lam.
Yogyakarta, 22 Oktober 2025
Muhammad Shiddiq Al-Jawi
www.fissilmi-kaffah.com
www.shiddiqaljawi.com