Home Soal Jawab Fiqih SAPI DIPIARA-LEPAS OLEH PEMILIKNYA LALU MERUSAK TANAMAN ORANG, BAGAIMANA SOLUSI SYARIAHNYA?

SAPI DIPIARA-LEPAS OLEH PEMILIKNYA LALU MERUSAK TANAMAN ORANG, BAGAIMANA SOLUSI SYARIAHNYA?

116
Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi | Pakar Fiqih Kontemporer

 

Tanya :

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Semoga tuan Guru dan keluarga serta seluruh santri senantiasa dilimpahkan kesehatan dan kebaikan urusan. Aamiin ya rabbal ‘aalamin. Afwan. Kalau boleh mohon bantuan penjelasan tuan Guru, tentang keadaan di tempat kami saat ini. Sekitar setahun yang lalu, ada seorang (sebut saja Fulan) membeli puluhan ekor sapi, ternyata tidak dikandang dan diikat dengan baik. Banyak sapinya yang lepas berkeliaran. Bahkan sudah tinggal di kebun orang lain dan di hutan-hutan, udah seperti hewan liar hutan, semisal rusa atau kijang. Sapinya tidak ada tanda khusus dan tidak juga ada tali yang mengikat di lehernya. Jaraknya dari tempat kami sekitar 5 km. Sudah banyak kasus tanaman sayur dan buah petani lainnya dimakan dan dirusak oleh sapi (entah sapi milik siapa).

 

Pertanyaannya :
  1. Apakah sapi tersebut tetap merupakan milik si Fulan, atau sudah diserupakan hewan liar lainnya (seperti rusa atau kijang)?
  2. Jika masih merupakan milik si Fulan, apakah para petani yang dirusak tanamannya berhak menuntut ganti rugi kepada si Fulan? Meski tidak jelas tanaman tersebut dirusak oleh sapi milik siapa? Hanya diketahui jenis yang merusak adalah sapi dari jejak tapak kakinya.
  3. Jika masih milik si Fulan, kalau ada yang berhasil menangkap dengan cara diburu atau dijerat, apakah pihak yang menangkap berhak meminta imbalan sejumlah uang tertentu kepada si Fulan? (Sapi tersebut diburu / dijerat karena sering merusak tanaman). Tetapi tidak jelas juga sebenarnya sapi yang tertangkap tersebut milik siapa, karena tidak ada tanda khusus dan tidak ada tali pengikat yang bisa dikenali. Hanya karena orang berfikir saja bahwa si Fulan banyak sapinya yang lepas sejak dari sekitar setahun yang lalu. Kalau aturan di desa tetangga, sapi yang berkeliaran merusak tanaman, dibolehkan untuk ditembak.
  4. Jika sudah diserupakan seperti hewan hutan liar lainnya, apakah setiap orang boleh untuk memburu, mengkonsumsi atau memilikinya? Di tempat kami, perkebunan sawit warga tapi masih banyak juga lahan-lahan yang masih berupa hutan. Syukran Katsir… (Hamba Allah, Kec. Bengalon, Kab. Kutai Timur, Kalimantan Timur).

Jawab :

Wa ‘alaikumus salam wa rahmatullahi wa barakatuhu.

Solusi syariah untuk masalah yang ditanyakan di atas menurut kami adalah sebagai berikut :

Si Fulan yang diduga memiliki sapi-sapi tersebut didatangi oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh sapi tersebut, misalnya pemilik tanaman sayur dan atau petani buah, dan si Fulan tersebut diminta untuk memberi tanda kepemilikan pada sapinya, misalnya sapinya diberi tanda khusus atau tali pengikat yang bisa dikenali pemiliknya siapa.

Di sini ada dua kemungkinan sikap yang akan diambil oleh si Fulan (pemilik sapi) sebagai respons atas permintaan para pihak yang merasa dirugikan oleh sapinya;

Pertama, jika pemilik sapi itu (si Fulan) bersedia memberi tanda kepemilikan pada sapi-sapinya, maka diberlakukan hukum syara’ mengenai siapa yang harus memberi jaminan (al-dhaman) jika hewan milik seseorang merusak tanaman milik orang lain. Rincian hukumnya ada dua kemungkinan hukum syara’ sebagai berikut :

(1) Jika sapi itu merusak tanaman orang di siang hari, maka pemilik sapi tidak dapat dimintai tanggung jawab (ganti rugi), karena biasanya di siang hari tanaman itu dijaga oleh pemilik tanaman. Maka jika di siang hari tanamannya dimakan oleh sapi, berarti yang bersalah adalah pemilik tanaman, bukan pemilik sapi, karena yang melakukan kelalaian adalah pemilik tanaman, bukan pemilik sapi.

(2) Jika sapi itu merusak tanaman orang di malam hari, maka pemilik sapi harus bertanggung jawab (membayar ganti rugi), karena biasanya di malam hari pemilik sapi mengandangkan sapinya ke dalam kandang. Maka jika di malam hari sapinya dilepaskan (yaitu tidak dikandangkan) dan memakan tanaman orang lain, berarti yang bersalah adalah pemilik sapi, bukan pemilik tanaman, karena yang melakukan kelalaian adalah pemilik sapi, bukan pemilik tanaman.

Dalil untuk hukum syara’ tersebut di atas, adalah hadits Al-Barrā’ bin ‘Āzib RA berikut ini:

عَنِ الْبَرَّاءِ بْنِ عَازِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( قَضَى أَنَّ عَلىَ أَهْلِ اْلأَمْوَالِ حِفْظُهَا بِالنَّهَارِ وَمَا أَفْسَدَتْ بِاللَّيْلِ مَضْمُوْنٌ عَلَيْهِمْ ) رواه أحمد وأبو داود وابن ماجه

Dari Al-Barrā’ bin ‘Āzib RA bahwa Nabi SAW telah memutuskan bahwa pemilik harta (pemilik kebun, sawah, pohon buah, dsb) wajib menjaga hartanya pada siang hari (dan jika dirusak maka pemilik kebun itu sendiri yang menanggung kerugiannya) dan apa yang dirusak (oleh hewan ternak orang lain) pada malam hari, maka mereka (pemilik hewan ternak) harus menanggung kerugiannya.” (HR. Ahmad, Al-Musnad, V/435, Abu Dawud, no. 3569; dan Ibnu Majah, no. 2332. Hadits ini dishahihkan oleh Imam Ibnu Hajar Al-’Asqalānī, Fathul Bāri, 12/270; juga dishahihkan oleh Syeikh Nāshiruddīn Al-Albānī, Irwā’ul Ghalīl, 5/362).

Hadits di atas diberi syarah (penjelasan) oleh Imam Al-Baghawi dalam kitabnya Syarah As-Sunnah sebagai berikut :

قاَلَ اْلإِمَامُ الْبَغَوِيُّ رَحِمَهُ اللهُ : ذَهَبَ أَهْلُ الْعِلْمِ إِلىَ مَا أَفْسَدَتْ بِاللَّيْلِ ضَمِنَهُ مَالِكُهَا لِأّنَّ فِي الْعُرْفِ أَنَّ أَصْحَابَ الْحَوَائِطِ وَالْبَسَاتِيْنِ يَحْفَظُوْنَهَا بِالنَّهَارِ وَأَصْحَابَ الْمَوَاشِيِّ يَحْفَظُوْنَهَا بِاللَّيْلِ فَمَنْ خَالَفَ هَذِهِ الْعَادَةَ كَانَ خَارِجاً عَنِ الْعُرْفِ هَذَا إِذَا لَمْ يَكُنْ مَالِكُ الدَّابَّةِ مَعَهَا هَذَا فَإِنْ كاَنَ مَعَهاَ فَعَلَيْهِ ضَماَنُ ماَ أَفْسَدَتْهُ. انتهى

Ahlul ‘ilmi (para ‘ulama) berpendapat bahwa apa saja yang dirusak (hewan ternak) pada malam hari, maka pemilik hewan ternak harus bertanggung jawab, karena menurut kebiasaan masyarakat (‘urf) bahwa para pemilik sawah dan kebun itu menjaga sawah dan kebun mereka pada siang hari, sedang para pemilik hewan ternak menjaga ternak mereka pada malam hari. Maka barangsiapa yang menyimpang dari kebiasaan (‘adat) ini, maka berarti itu sudah di luar kebiasaan masyarakat (‘urf). Ini jika pemilik hewan tidak bersama menyertai hewan mereka, adapun jika pemilik hewan bersama menyertai hewannya, maka pemilik hewan ini wajib menanggung kerugian dari apa yang dirusak oleh hewan miliknya.” (Dikutip dalam ‘Aunul Ma’būd, Syarah Sunan Abū Dāwūd, Juz IX, hlm. 483).

Kedua, jika si Fulan (pemilik sapi) tersebut tidak bersedia memberi tanda kepemilikan pada sapinya, maka diberlakukan hukum syara’ untuk dhālatul ibil (unta yang hilang atau tersesat), yang dapat juga diberlakukan untuk sapi yang hilang atau tersesat.

Ketentuan hukum syara’ untuk dhālatul ibil (unta yang hilang atau tersesat) sebagai berikut : bahwa sapi-sapi tersebut hendaklah dibiarkan saja, hingga dia bertemu kembali dengan pemiliknya. Jadi sapi-sapi tersebut tidak boleh diambil atau ditangkap oleh seseorang dengan niat untuk dimiliki oleh penangkapnya itu. Tidak boleh pula ditembak ketika merusak tanaman, tetapi cukup diusir dari kebun tanaman tersebut.

Dalil untuk hukum syara’ mengenai dhālatul ibil adalah sebagai berikut:

عَنْ زَيْدٍ بْنِ خَالِدٍ الْجُهْنِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  سُئِلَ عَنْ ضَالَّةُ الغَنَمِ : قَالَ: فَضَالَّةُ الغَنَمِ؟ قَالَ: هي لكَ أوْ لأخِيكَ أوْ لِلذِّئْبِ، قَالَ: فَضَالَّةُ الإبِلِ؟ قَالَ: ما لكَ ولَهَا؟! معهَا سِقَاؤُهَا وحِذَاؤُهَا، تَرِدُ المَاءَ، وتَأْكُلُ الشَّجَرَ حتَّى يَلْقَاهَا رَبُّهَا.

Dari Zaid bin Khalid Al-Juhni RA, bahwa Nabi SAW pernah ditanya tentang kambing yang hilang (tersesat), bahwa (penanya) bertanya,”Bagaimana dengan kambing yang hilang (tersesat)?” Nabi SAW menjawab,”Kambing yang hilang itu boleh menjadi milikmu, boleh juga menjadi milik saudaramu sesama muslim, atau boleh jadi akan dimakan serigala.”  Penanya bertanya,”Lalu bagaimana dengan unta yang hilang (tersesat)?” Nabi SAW menjawab,”Apa urusan kamu dan urusan unta itu? Unta itu hewan yang dapat menyimpan air minumnya sendiri (dalam tubuhnya), hewan yang kuat berjalannya, dapat mendatangi sumber air, serta dapat mencari makan dari pohon-pohon, hingga dia bertemu kembali dengan pemiliknya.” (HR. Bukhari, no. 2372; Muslim, no. 1772; Ibnu Majah, no. 2504. Hadits shahih).

Hadits di atas menjadi dalil bahwa unta yang hilang (dhalatul ibil) itu hukumnya berbeda dengan kambing yang hilang (dhālatul ghanam). Untuk kambing yang hilang, boleh hukumnya diperlakukan sebagai barang temuan (luqathah), yaitu kambing itu diambil seseorang, lalu diumumkan selama satu tahun hijriyah, dan jika tidak ada yang mengaku sebagai pemiliknya setelah berlalu satu tahun hijriyah, maka kambing itu boleh dimiliki oleh penemunya.

Adapun untuk unta yang hilang (dhālatul ibil) hukumnya ada khilāfiyah di kalangan ulama menjadi tiga pendapat sebagai berikut :

Pertama, menurut mazhab Hanafi dan sebagian ulama mazhab Syafi’i (sesuai pendapat yang ashahhu/lebih sahih dalam internal mazhab Syafi’i), boleh hukumnya diperlakukan sebagai barang temuan (luqathah).

Kedua, menurut mazhab Maliki, makruh hukumnya diperlakukan sebagai barang temuan (luqathah).

Ketiga, mazhab Syafi’i dan Hambali, tidak boleh hukumnya unta yang hilang (dhālatul ibil) diperlakukan sebagai barang temuan (luqathah). Jadi, unta yang hilang (dhālatul ibil) perlakuannya secara syariah adalah dibiarkan saja hingga ditemukan kembali oleh pemiliknya, sebagaimana hadits Nabi SAW di atas. Inilah pendapat ulama mazhab Syafi’i dan Hambali. (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islāmi wa Adillatuhu, Juz V, hlm. 772; Syekh ’Abdul Hakīm Hammādah, Al-Jāmi’ li Ahkām Al-Fiqh ‘Alā Al-Madzāhib Al-Arba’ah, hlm. 474-475).

Menurut kami, pendapat yang rājih (lebih kuat) adalah pendapat yang tidak memperbolehkan unta yang hilang (dhalatul ibil) diperlakukan sebagai barang temuan (luqathah), sesuai pendapat mazhab Syafi’i dan Hambali. Hal ini karena dalil yang melarangnya (hadits dari Zaid bin Khalid Al-Juhni RA di atas) sudah cukup jelas dan tegas (jāzim), dengan qarīnah (petunjuk) kemarahan Nabi SAW ketika ditanya mengenai unta yang hilang (dhalatul ibil) :

قَالَ: مَا لَكَ وَلَهَا؟!

Nabi SAW menjawab,”Apa urusan kamu dan urusan unta itu?” (Artinya, biarkan saja unta itu, jangan diperlakukan sebagai barang temuan (luqathah) layaknya kambing yang hilang). (HR. Bukhari, Muslim, Ibnu Majah).

Hewan unta disamakan hukumnya dengan sapi (al-baqar), kuda (al-khail), keledai (al-himār), dan peranakan kawin silang kuda dan keledai (al-baghāl). (Syekh ’Abdul Hakīm Hammādah, Al-Jāmi’ li Ahkām Al-Fiqh ‘Alā Al-Madzāhib Al-Arba’ah, hlm. 474).

Demikianlah jawaban kami secara global (ijmāl) untuk kasus yang ditanyakan di atas. Berdasarkan jawaban global ini, kami akan menjawab secara detail (tafshīl) namun ringkas, untuk beberapa pertanyaan yang diajukan di atas, sebagai berikut :

 

1.Tanya :

Apakah sapi tersebut tetap merupakan milik si Fulan, atau sudah diserupakan hewan liar lainnya (seperti rusa atau kijang)?

Jawab :

Hewan sapi tersebut tetap miliknya si Fulan, jika dia bersedia memberi tanda kepemilikan pada sapi-sapinya, misalnya diberi tanda khusus atau tali pengikat yang bisa dikenali pemiliknya siapa. Jika si Fulan tidak bersedia memberi tanda kepemilikan pada sapi-sapinya, sapi ini tidak menjadi hewan liar yang boleh diburu atau dibunuh, melainkan menjadi hewan tak bertuan yang wajib dibiarkan saja, yakni dihukumi sebagaimana hewan unta yang hilang (dhālatul ibil).

 

2.Tanya :

Jika masih merupakan milik si Fulan, apakah para petani yang dirusak tanamannya berhak menuntut ganti rugi kepada si Fulan? Meski tidak jelas tanaman tersebut dirusak oleh sapi milik siapa? Hanya diketahui jenis yang merusak adalah sapi dari jejak tapak kakinya.

Jawab :

Jika sapinya merupakan milik si Fulan, dengan syarat dia bersedia memberi tanda kepemilikan pada sapinya, maka para petani yang dirusak tanamannya, tidak berhak minta ganti rugi kepada pemilik sapi, jika perusakan tanaman oleh sapi itu terjadi pada siang hari. Jika perusakan tanaman oleh sapi itu terjadi pada malam hari, para petani berhak meminta ganti rugi kepada si pemilik sapi.

Jika si Fulan tidak bersedia memberi tanda kepemilikan untuk sapinya, maka jika sapi ini merusak tanaman milik petani, baik perusakan terjadi pada  siang hari maupun malam hari, maka petani tidak berhak meminta ganti rugi kepada si Fulan, karena si Fulan secara hukum Islam bukanlah pemilik sapi itu, dengan bukti dia tidak mau memberi tanda kepemilikan pada sapi tersebut.

 

3.Tanya :

Jika masih milik si Fulan, kalau ada yang berhasil menangkap dengan cara diburu atau dijerat, apakah pihak yang menangkap berhak meminta imbalan sejumlah uang tertentu kepada si Fulan?

Jawab :

Jika sapinya merupakan milik si Fulan, dengan syarat dia bersedia memberi tanda kepemilikan pada sapinya, lalu ada yang berhasil menangkap sapi itu, maka penangkap berhak mendapat dari si Fulan ajrul mitsli, yaitu upah yang semisal untuk orang yang bisa menjerat atau menangkap sapi yang hilang atau sapi yang mengamuk.

Tetapi jika sapinya bukan milik si Fulan, dengan bukti dia tidak bersedia memberi tanda kepemilikan pada sapinya, lalu ada yang berhasil menangkap sapi itu, maka penangkap tidak berhak mendapat ajrul mitsli dari si Fulan.

 

4.Tanya :

Jika sudah diserupakan seperti hewan hutan liar lainnya, apakah setiap orang boleh untuk memburu, mengkonsumsi atau memilikinya?

Jawab :

Jika si Fulan tidak bersedia memberi tanda kepemilikan pada sapinya, maka sapi itu secara hukum Islam diperlakukan dan dihukumi sebagaimana hewan unta yang hilang (dhālatul ibil), yaitu hendaknya orang-orang membiarkan sapi begitu saja, biarkan sapi itu mencari makan dan minum sendiri, hingga dia dipertemukan dengan pemiliknya. Jadi sapi tersebut tidak boleh diburu atau dibunuh atau dimakan, sebagaimana hewan liar seperti rusa atau kancil yang tidak ada tuannya sama sekali.

Demikianlah jawaban kami, berdasarkan apa yang kami pahami dari hukum-hukum Allah Ta’ala, semoga bermanfaat dan bisa menjadi solusi syariah untuk masalah ini. Wallāhu a’lam.

 

Bandung, 6 Maret 2024
Muhammad Shiddiq Al-Jawi