Home Fiqih Fiqih ibadah YANG DIMAKSUD HARI KETUJUH DALAM MELAKSANAKAN AQIQAH

YANG DIMAKSUD HARI KETUJUH DALAM MELAKSANAKAN AQIQAH

38

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi

 

Tanya :

Yang dimaksud hari ketujuh dalam pelaksanaan aqiqah itu bagaimana ya menghitungnya? Kalau ada bayi yang lahir hari Selasa siang sebelum Zhuhur, misalnya, apakah hari ketujuhnya itu Senin ataukah Selasa pada pekan depannya? (Hamba Allah, Yogyakarta).

 

Jawab :

Para ulama sepakat bahwa anak yang dilahirkan, sunnah hukumnya dilaksanakan aqiqah baginya, pada hari ketujuhnya, meskipun ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai bagaimana cara menghitung hari yang ketujuh itu.

Imam Ibnu Qudamah menjelaskan kesepakatan ulama tersebut, yakni pelaksanaan aqiqah adalah pada hari ketujuh :

قاَلَ ابْنُ قُداَمَةَ رَحِمَهُ اللهُ : قاَلَ أَصْحاَبُناَ : اَلسُّنَّةُ أَنْ تُذْبَحَ يَوْمَ السَّابِعِ… وَلاَ نَعْلَمُ خِلاَفاً بَيْنَ أَهْلِ الْعِلْمِ الْقاَئِلِيْنَ بِمَشْرُوْعِيَّتِهاَ فَي اسْتِحْباَبِ ذَبْحَهاَ يَوْمَ الساَّبِعِ

Imam Ibnu Qudamah –rahimahullāh— berkata,”Para sahabat kami (ulama Hanabilah) berpendapat,’Sunnah hukumnya disembelihkan (aqiqah) pada hari ketujuh… Dan kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama yang menyatakan keabsahan aqiqah, bahwa disunnahkan menyembelihnya adalah pada hari ketujuh.” (Ibnu Qudamah, Al-Mughnī, 9/364).

Pelaksanaan sembelihan aqiqah pada hari ketujuh itu didasarkan pada sabda Rasuullah SAW :

كُلُّ غُلَامٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى ) رواه أبو داود (2455) وصححه الشيخ الألباني

“Setiap-tiap anak (yang dilahirkan) tergadai dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuhnya, dicukur rambutnya, dan diberi nama.” (HR. Abu Dawud, nomor 2455, dishahihkan oleh Syekh Nashiruddin Al-Albani).

Hanya saja, para ulama berbeda pendapat mengenai bagaimana cara menghitung hari yang ketujuh itu. Ada dua pendapat di kalangan ulama sebagai berikut ;

Pertama, pendapat jumhur ulama (mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali), yakni hari kelahiran dihitung sebagai hari pertama, sehingga hari ketujuhnya adalah satu hari sebelum hari kelahiran. Misal bayi lahir hari Sabtu, maka hari ketujuhnya adalah hari Jumat. Bayi yang lahir hari Kamis, maka hari ketujuhnya adalah hari Rabu. Demikian seterusnya.

Kedua, pendapat mazhab Maliki, yang berpendapat bahwa hari kelahiran tidak dihitung sebagai hari pertama, sehingga hari ketujuhnya adalah hari yang sama dengan hari kelahiran bayi. Misal bayi lahir hari Sabtu, maka hari ketujuhnya adalah hari Sabtu berikutnya. Bayi yang lahir hari Kamis, maka hari ketujuhnya adalah hari Kamis berikutnya. Demikian seterusnya. (Lihat : Imam Nawawi, Al-Majmū’ Syarah Al-Muhadzdzab, 8/411; Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 30/279; Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, Al-Syarh Al-Mumti’, 7/493).

Pendapat yang rajih adalah pendapat jumhur ulama, sebagaimana pentarjihan Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Majmū’ Syarah Al-Muhadzdzab sebagai berikut :

قَالَ النَّوَوِيُّ رَحِمَهُ اللهُ : وَهَلْ يُحْسَبُ يَوْمُ الْوِلَادَةِ مِنْ السَّبْعَةِ ؟ فِيْهِ وَجْهاَنِ أَصَحُّهُماَ يُحْسَبُ فَيُذْبَحُ فِي الساَّدِسِ مِماَّ بَعْدَهُ وَالثَّانِيُّ لاَ يُحْسَبُ فَيُذْبَحُ فِي السَّابِعِ مِماَّ بَعْدَهُ.

Imam Nawawi —rahimahullāh –berkata,”Apakah hari kelahiran dihitung termasuk tujuh hari (yakni dihitung sebagai hari pertama)? Dalam masalah ini ada dua pendapat, (pertama) dan yang paling shahih dari keduanya, hari kelahiran itu dihitung (dalam tujuh hari), maka disembelihkan aqiqah pada hari keenam setelah hari kelahiran. Kedua, hari kelahiran itu tidak dihitung, sehingga disembelihkan aqiqah pada hari ketujuh setelah hari kelahiran.” )Imam Nawawi, Al-Majmū’ Syarah Al-Muhadzdzab, 8/411. (

 

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam kitabnya Al-Syarh Al-Mumti’ lalu memperjelas pendapat jumhur yang dirajihkan oleh Imam Nawawi sebagai berikut :

يُسَنُّ أَنْ تُذْبَحَ فِي الْيَوْمِ السَّابِعِ ، فَإِذَا وُلِدَ يَوْمَ السَّبْتِ فَتُذْبَحُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ يَعْنِيْ قَبْلَ يَوْمِ الْوِلاَدَةِ بِيَوْمٍ ، هَذِهِ هِيَ الْقاَعِدَةُ ، وَإِذَا وُلِدَ يَوْمَ الْخَمِيْسِ فَهْيَ يَوْمُ اْلأَرِبِعاَءُ وَهَلَّمَ جَرًّا

“Disunnahkan untuk disembelih aqiqah itu pada hari ketujuh, maka jika bayi lahir hari pada Sabtu, disembelih aqiqahnya pada hari Jumat, yakni satu hari sebelum hari kelahiran. Inilah yang menjadi qaidahnya. Dan jika bayi pada hari Kamis, maka aqiqahnya pada hari Rabu, demikianlah seterusnya.” (Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, Al-Syarh Al-Mumti’, 7/493).

Kesimpulannya, jika bayi lahir hari Selasa siang sebelum Zhuhur, hari ketujuhnya adalah hari Senin, bukan hari Selasa, pada pekan depannya. Demikian menurut pendapat jumhur yang lebih kuat (rājih) sesuai pentarjihan Imam Nawawi, rahimahullāh. Wallāhu a’lam.

 

Yogyakarta, 20 Juni 2024

Muhammad Shiddiq Al-Jawi