Home Fiqih Fiqih ibadah UMAT ISLAM SEDUNIA BERHARI RAYA PADA HARI YANG SAMA.

UMAT ISLAM SEDUNIA BERHARI RAYA PADA HARI YANG SAMA.

187

Oleh: KH Muhammad Abbas Aula, Lc., MHi

Topik ini pasti mengundang perdebatan seru. Dengan teori Rukyat Global dan Rukyat Lokal, otomatis akan lahir dua pendapat yang berbeda.

Mestinya tidak perlu diperdebatkan lagi. Perdebatan ini seperti sudah final, tinggal pilih, mau memilih yang mana dari dua pendapat yang berbeda ini.

Para Ulama dengan bijak telah mewariskan khazanah ilmu kepada generasi sesudahnya untuk diamalkan dan bukan untuk diperdebatkan.

Maka jika ada dua pendapat yang berbeda seharusnya disikapi dengan bijak, dan bukan dengan mencibirkan atau mempertontonkan sikap yang sungguh tak bijak.

Teori tentang Rukyat Global dan Rukyat Lokal, kembali mengemuka, tapi bukanlah barang baru.

Meskipun muncul dengan narasi yang berbeda, dibumbui dengan segala pernak perniknya, namun jika ditarik jauh kebelakang sejarah perkembangan madzhab, pada hakikatnya kedua pendapat ini telah ada dan berkembang sejak akhir abad pertama Hijrah hingga abad 3-4 H.

Ketika itu terjadi dialog antara dua Sahabat mulia Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma dengan Kuraib ra, ( dikenal dengan Hadits Kuraib.)

Dialog tentang Rukyatul Hilal dan Tauhidur Ru’yah, lalu kini berubah menjadi Penyatuan Awal Ramadhan dan Penyatuan Hari Raya (Tauhidul A’yad) yakni Idul Fitri dan Idul Adha.

Dialog saat itu tentang Tauhidur Ru’yah, yakni Penyatuan Rukyat antara umat Islam di kawasan Suriah, Yordania, Palestina dan Iraq yang dahulu dikenal dengan Wilayah Syam.
Dan umat Islam di kawasan Hijaz khususnya kota Madinah.

Diakhir dialog, Kuraib mengajukan pertanyaan singkat : Mengapa kita tidak cukupkan mengikuti rukyat Muawiyah dan shaumnya penduduk Syam ?

Jawab Ibnu Abbas : Hakadza amaranaa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikianlah perintah Rasulullah kepada kita.
Perintah Rasulullah saw yang dimaksud adalah : Puasalah kamu karena melihat bulan dan berhari rayalah kamu karena melihat bulan (HR.Ahmad, Muslim, Turmudzi). (lihat Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 1/325).

Istinbath hukum dari dialog ini, ditetapkan bahwa masing-masing negri mempunyai rukyat sendiri-sendiri yang bernama Rukyat Lokal.

Tetapi kemudian pendapat ini berkembang menjadi permanen bahwa tidak mungkin umat Islam berhari raya pada satu hari yang sama. Dan tidak mungkin mengawali puasa Ramadhan pada hari yang sama. Perbedaan Rukyat Hilal tidak dapat dihindari karena adanya perbedaan mathla’ (tempat terbit bulan).

Dan perbedaan mathla’ adalah sunnatullah fil kaun, hukum Allah dalam ciptaan alam raya, yang tidak mungkin dirubah.

Sebaliknya pendapat yang kedua, dengan tegas menyatakan sangat memungkinkan.

Pendapat yang kedua adalah pendapat Jumhur Ulama, pendapat mayoritas Ulama Mujtahidin.

Dalam alam bebas berpendapat seperti sekarang ini, suara terbanyak (suara mayoritas) bisa memaksakan kehendak walaupun yang terbanyak itu hanya berjumlah separuh lebih satu suara.

Al-‘Allamah, Syeikh Abdurrahman al-Jazairi, menuturkan bahwa Jumhur Ulama Ahli Fiqh berpendapat : Apabila bulan sudah terlihat di suatu negri dan berita telah menyebar sampai ke negri yang lain, wajib shaum bagi seluruh negri tersebut tanpa membedakan jarak dekat dan jauh. Menurut pendapat ini perbedaan mathla’, mutlak tidak menjadi patokan, alasan dan pertimbangan.

Pendapat ini dianut oleh tiga Imam Madzhab Fiqh, Hanafi, Maliki, dan Hambali. (Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah,1/446)

Imam Syafi’i Rahimahullah, justeru tampil berbeda pendapat dengan Jumhur Ulama. Dengan dasar hasil dialog Ibnu Abbas dan Kuraib tersebut, Imam Syafii menegaskan bahwa masing-masing negri mempunyai rukyat sendiri-sendiri.

Fakta menunjukkan bahwa selama berabad-abad seluruh umat Islam tak terkecuali pengikut tiga Imam Madzhab yakni Hanafi, Maliki dan Hambali juga sama mengikuti pendapat Madzhab Syafii.

Belakangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga memfatwakan bahwa masing-masing negri mempunyai rukyat sendiri.

Bahkan Fatwa Lajnah Da’imah Arab Saudi yang bermadzhab resmi Hambali, menjawab pertanyaan para aktivis da’wah di beberapa negara Afrika, seperti Pantai Gading, Gana, Mali, dan Sinegali tentang Rukyat Hilal Ramadhan dan 1 Syawal.

Fatwa Lajnah Daimah No.313 ini menganjurkan agar mereka mengikuti rukyat yang ditetapkan oleh pemerintah di negrinya masing-masing.(Fatawa 10/98)

Sebagai penganut resmi Madzhab Hambali dan juga menjadi Madzhab Resmi Kerajaan Saudi Arabia, dengan bijak Lajnah mengembalikan permasalahan ini kepada pemerintah negara masing-masing tanpa memaksakan kehendak.

Sementara pendapat tiga tokoh Imam Madzhab Hanafi, Maliki, Hambali, yang banyak berkembang di benua Afrika dan Timur Tengah, termasuk India dan Pakistan, walaupun merupakan pendapat mayoritas, dalam istilah Fiqh disebut Jumhur Ulama, praktis pada masa awal perkembangan Madzhab Fiqh, pendapat ini hanya teori diatas kertas.

Pendapat Jumhur Ulama ini tidak dapat diterapkan, dan tidak mungkin dipaksakan untuk diterapkan karena tidak memiliki daya dukung material berupa alat komunikasi dan transportasi secanggih yang dialami dan dirasakan oleh penghuni bumi di dunia modern hari ini.

Memasuki perayaan Idul Adha 1443 H tahun ini, perdebatan tentang Kesatuan Rukyat Hilal (Rukyat Global atau Rukyat Lokal) kembali mewarnai penentuan Idul Adha, Hari wukuf dan Puasa Arafah.

Lalu masing-masing berupaya membangun argumentasinya dan memperkuatnya dengan dalil dan argumen yang sama seperti dalam penentuan awal Ramadhan dan Idul Fitri.

Prof.Dr. Wahbah az-Zuhaili salah seorang anggota al-Majaami’ al-Fiqhiyah al- ‘Alamiyah, sebuah Lembaga Riset Fiqh Dunia, mentarjih (mengunggulkan) pendapat Jumhur Ulama tiga Imam Madzhab tentang Kesatuan Rukyat dan Hari Raya.

Bagi Zuhaili, Tauhidul Ibadah dan menghindari perpecahan lebih diutamakan mengingat perintah Nabi saw, untuk penentuan awal Ramadhan dengan metode Rukyat Hilal tidak memilah dan memisahkan antara satu negri dengan negri lain.

Lalu dengan sangat hati-hati untuk tidak mencampuri urusan dalam negri di negri-negri Islam lainnya Zuhailiy memberi saran bahwa Tauhidul A’yaad, batas Kesatuan Hari Raya minimal dari perbatasan negara-negara Arab, dimulai dari Oman di Timur Jazirah Arabiyah hingga Maghribil Aqsha, Barat Jauh di ujung benua Afrika. (al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuh, 2/537).

Konferensi Islam Internasional (OKII) dimana Indonesia sebagai salah satu anggota, dalam sidang tahunannya di Istambul Turki pada tahun 1978, telah menghasilkan sebuah kesepakatan :

Ditetapkannya Makkah Al-Mukarramah Sebagai Kiblat Penetuan Hari Wukuf dan Idul Adha

OKI menghimbau semua negara anggota untuk memenuhi seruan ini.

Kesepakatan ini bukan tanpa landasan Syar’iy. Beberapa Fatwa Ulama bertaraf Internasional telah dikeluarkan mendahului kesepakatan tersebut.

Fatwa Dr.Abdul Halim Mahmud, Syaikhul Azhar (1973-1978) dalam bentuk press release tahun 1975 menyatakan bahwa :

Penentuan bulan Dzulhijjah hendaknya semua negara berpedoman kepada Hasil Rukyat Saudi Arabia dan agar kaum muslimin satu pendapat dalam persoalan Wukuf di Arafah.(Sumber, Majalah An-Nadwah, Makkah 20 Desember 1975).

Konon Fatwa ini dikeluarkan menjawab pertanyaan seorang Tokoh Islam yang dikenal luas di Timur Tengah, Allah Yarham M.Natsir.(Syamsul Bahri, Makalah diskusi DD).

Sebelum itu, sudah ada Fatwa Syaikhul Azhar (1967) tentang seruan menjadikan standar Wukuf di Arafah sebagai penetapan Idul Adha sesuai pandangan Jumhur Ulama dan Keputusan Majma’ al-Islamiyah (1386H/1966M) (Sumber Fatawa Darul Ifta al-Mishriyah, al-Majlis al-A’la Li asy-Syu’un al-Islamiyah)

Menyusul dukungan dari Rabitha Alam Islami yang berpusat di Makkah Al-Mukarramah (1975) terhadap Fatwa Syaikhul Azhar, Abdul Halim Mahmud, berupa surat resmi yang ditandatangani oleh Syeikh Muhammad Shalih Qazzaz Sekretaris Jendral Rabitha, tertanggal 25 Juli 1975, Perihal Penetapan Hari Idul Adha.

Kemudian Fatwa Majma’ Fiqh ad-Dawli (30 Negara) Makkah, 8-13 Shafar 1407H/ 11-16 November 1986 menyatakan “Standar Wukuf di Arafah seyogyanya diikuti”.

Fatwa yang datang dari Asia Tenggara, Dr. Ismail Luthfi Fathony, Rektor Universitas Yala Thailand, Anggota Akademi Fiqh Antar Bangsa Jeddah dan Anggota Majlis Ta’sisi Rabitha Alam Islami, menulis buku “Idul Adha Mengikuti Hari Arafah (2012), Beliau menyimpulkan bahwa ” Idul Adha mengikuti Hari Arafah adalah Syariat Allah yang Membawa Kesatuan Umat.”

Fatwa Darul Ifta’ al-Mish riyah, 26 Maret 2005, (No.724) bahwa : Ketentuan Wukuf di Arafah seyogyanya diikuti dalam Penentuan Hari Idul Adha.

Demikian pula Fatwa Lajnah Da’imah Arab Saudi No.4052 : “Hari Arafah adalah hari dimana para jamaah haji wukuf di Arafah” (Fatawa 10/393).

Dalam Kitab Sunan Abu Daud hal.278 dari Husain bin Harits al-Jadaliy (dari Jadilah Qais) dia berkata :

ان أمير مكة خطب ثم قال : عهد إلينا رسول الله أن ننسك للرؤية ، فإن لم نره و شهد شاهدا عدل نسكنا بشهادتهما

Amir (penguasa) Makkah (Al-Harits bin Hathib) berkhutbah, kemudian dia berkata : bahwasanya Rasulullah saw berpesan kepada kita menjalankan manasik haji berdasarkan Rukyat Hilal. Jika kita tidak melihat bulan, dan kemudian datang dua orang saksi yang adil bersaksi bahwa keduanya telah melihat bulan, maka kita akan menjalankan manasik haji berdasarkan kesaksiany keduanya” (HR.Abu Daud, Hadits No.2338.)

Hadits Rasulullah saw ini sudah cukup menjadi bukti bahwa ada tuntunan langsung dari Rasulullah saw berkaitan dengan otoritas penentuan Hari Wukuf di Arafah.

Beberapa fatwa para Ulama, sengaja dikutip dalam tulisan ini, meskipun fatwa mereka lebih bersifat himbauan dan anjuran, selain ditujukan kepada seluruh kaum muslimin, wa bil khusus kepada para penguasa muslim di negrinya masing-masing. Mengingatkan kepada mereka akan kesepakatan OKI di Istambul Turki Th 1978.

Indonesia sebagai salah satu negara anggota OKI semestinya mensponsori dihidupkan kembali semangat kebersamaan dan persatuan ini walaupun hanya dalam bentuk ibadah ritual.

Memang banyak tantangan menuju jalan ke surga tetapi Allah Azza Wa Jalla tak pernah diam membiarkan agama-Nya menjadi permainan orang-orang yang tidak suka.

“Mereka hendak memadamkan cahaya (Agama) Allah, dengan mulut-mulut (ucapan-ucapan) mereka tetapi Allah menolaknya, malah berkehendak menyempurnakan cahaya-Nya walapun orang-orang kafir itu tidak suka (QS.9:32 )”

Yaum Tarwiyah
8 Dzulhijjah 1443H

🌐 CHANNEL OFFICIAL USAJ 🌐
▪️Telegram: t.me/shiddiqaljawi
▪️IG: Instagram.com/shiddiqaljawi.id
▪️Twitter: twitter.com/shiddiqjawi
▪️FB: facebook.com/shiddiqaljawi
▪️Web Fiqih: fissilmi-kaffah.com
www.shiddiqaljawi.id

©️ MEDIA OFFICIAL KH. M. SHIDDIQ AL JAWI