Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi
Tanya :
Ustadz, akhir-akhir ini terdapat beberapa fenomena sepasang pengantin yang memilih mahar (mas kawin) dengan sesuatu yang tak lazim berupa binatang, seperti ikan cupang dan ular. Bagaimana pandangan Islam terkait hal itu? Syukran wa jazaakallah khairan. (Liza Burhan, Karawang)
Jawab :
Mahar nikah yang berupa ikan cupang hukumnya boleh. Adapun mahar yang berupa ular hukumnya tidak boleh (haram). Namun demikian, akad nikah yang menggunakan mahar berupa ular itu tetap sah, hanya saja maharnya yang berupa ular itu wajib diganti dengan mahar lain berupa harta yang dihalalkan syariah.
Jawaban kami tersebut didasarkan pada suatu kaidah fiqih mengenai mahar yang dirumuskan oleh Imam Ibnu Qudamah sebagai berikut :
كل ما جاز أن يكون ثمنا جاز أن يكون صداقا
“Kullu ma jaaza an yakuna tsamanan jaza an yakuna shadaqan.” (segala sesuatu yang boleh menjadi harga dalam jual beli, boleh pula hukumnya menjadi mahar). (Ibnu Qudamah, Al Mughni, Juz VIII, hlm. 4; Wahbah Az Zuhaili, Mausu’ah Al Fiqh Al Islami wa Al Qadhaya Al Mu’ashirah, Juz VIII, hlm. 246; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, Juz XXXIX, hlm. 255-256).
Kaidah fiqih tersebut berarti bahwa apa saja yang halal diperjualbelikan, berarti halal dijadikan mahar dalam pernikahan. Sebaliknya, apa saja yang haram diperjualbelikan, berarti haram dijadikan mahar dalam pernikahan.
Nah, dalam kasus yang ditanyakan, ikan cupang (Betta sp) merupakan ikan hias yang secara syariah boleh dijual belikan, karena tidak terdapat dalil yang mengharamkannya. Maka dari itu, boleh menjadikan ikan cupang sebagai mahar dalam pernikahan. Adapun ular, haram dijadikan mahar dalam pernikahan, karena terdapat dalil yang mengharamkan jual beli ular.
Dalil-dalil keharaman mahar berupa ular ini agak panjang penalarannya. Maka akan kami sajikan penjelasannya mengikuti urutan (tertib) istinbath hukumnya, dalam tiga tahapan istinbath sebagai berikut.
Pertama, sesungguhnya telah terdapat dalil berupa hadits-hadits shahih yang memerintahkan membunuh ular, di antaranya hadits riwayat Ibnu Umar RA sebagai berikut:
عنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّه سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ عَلَى الْمِنْبَرِ يَقُولُ : (اقْتُلُوا الْحَيَّاتِ) .قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ: فَلَبِثْتُ لَا أَتْرُكُ حَيَّةً أَرَاهَا إِلَّا قَتَلْتُهَا. رواه البخاري 3299، ومسلم 3233
Dari Ibnu Umar RA, bahwa dia telah mendengar Nabi SAW berkhutbah di atas mimbar seraya bersabda.”Bunuhlah ular-ular!”. Berkatalah Ibnu Umar, ”Maka setiap kali aku melihat ular, pasti aku membunuhnya.” (HR Bukhari, no. 3299; Muslim, no. 3233)
Hadits lain yang semakna telah diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud RA :
عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ( اقْتُلُوا الْحَيَّاتِ كُلَّهُنَّ ، فَمَنْ خَافَ ثَأْرَهُنَّ فَلَيْسَ مِنِّي ) رواه ألو داود، 5249
Dari Ibnu Mas’ud RA, dia berkata,”Telah bersabda Rasulullah SAW,’Bunuhlah ular-ular semuanya. Maka barangsiapa yang takut akan adanya balas dendam dari ular-ular itu, maka dia bukanlah golonganku.” (HR Abu Dawud, no. 5249).
Berdasarkan dalil-dalil yang memerintahkan membunuh ular ini, berarti ular itu haram dimakan, sesuai kaidah fiqih yang dirumuskan oleh Imam Nawawi :
ما أُمر بقتله من الحيوانات فأكله حرام
“Maa umira bi-qatlihi mina al hayawanat fa-akluhu haram.” “Apa saja binatang yang diperintahkan untuk membunuhnya, maka memakannya haram.” (Imam Nawawi, Al Majmu’ Syarah Al Muhadzdzab, Juz IX, hlm. 22; Imam Syaukani, Nailul Authar, Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000/1421, hlm. 1688; Sulaiman bin Shalih Al Kharasyi; Al Hayawanat Ma Yajuzu Akluhu minha wa Ma La Yajuzu, Riyadh : Darul Qasim, 1420, hlm. 24).
Kedua, selanjutnya, dikarenakan ular itu haram dimakan, maka ular itu pun haram diperjual belikan, sesuai kaidah fiqih yang dirumuskan oleh Imam Syaukani dan Imam An Nabhani :
كل ما حرم على العباد فبيعه حرام
“Kullu maa hurrima ‘ala al ‘ibaad fa-bai’uhu haraam.” (setiap-tiap benda yang telah diharamkan syara’ atas para hamba, maka menjual-belikannya haram pula hukumnya). (Imam Syaukani, Nailul Authar, Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000/1421, hlm. 1028; Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 2/287).
Ketiga, selanjutnya, dikarenakan ular itu haram diperjualbelikan, maka ular itu pun haram hukumnya dijadikan mahar dalam akad nikah, sesuai kaidah fiqih yang dirumuskan oleh Imam Ibnu Qudamah, yang telah kami sebut di atas, yaitu :
كل ما جاز أن يكون ثمنا جاز أن يكون صداقا
“Kullu ma jaaza an yakuna tsamanan jaza an yakuna shadaqan.” (segala sesuatu yang boleh menjadi harga dalam jual beli, boleh pula hukumnya menjadi mahar). (Ibnu Qudamah, Al Mughni, Juz VIII, hlm. 4). Wallahu a’lam.
Yogyakarta, 30 Januari 2021
Muhammad Shiddiq Al Jawi