بسم الله الرحمن الرحيم
TOLERANSI ISLAMI VS TOLERANSI LIBERAL :
MENGKRITIK PERAYAAN NATAL BERSAMA KEMENAG
Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi
RINGKASAN (ABSTRAK)
Toleransi adalah sikap menahan diri dari seseorang untuk tidak menggunakan kekuasaan atau otoritasnya untuk mengintervensi pendapat atau perbuatan orang lain, padahal diketahui bahwa pendapat atau perbuatan orang lain itu berbeda dengan pendapat atau perbuatan seseorang tadi. Konsep toleransi yang selama ini dipropagandakan kepada umat Islam, sebenarnya adalah konsep Toleransi Liberal dari negara-negara Barat yang kafir, bukan konsep Toleransi Islam yang bersumber dari Al-Qur`an dan As-Sunnah. Konsep Toleransi Liberal dari negara-negara Barat tersebut didasarkan pada 3 (tiga) gagasan dasar dari pemikiran Barat, yaitu; (1) sekularisme (al-‘ilmāniyyah / fashluddīn ‘an al-hayāh); (2) relativisme (al-nisbiyyah), dan (3) pluralisme (al-ta’addudiyyah). Terdapat perbedaan tajam antara konsep Toleransi Liberal dengan konsep Toleransi Islami, dalam 3 (tiga) aspek/parameter; yaitu : (1) perbedaan dari segi aqidah yang menjadi dasar gagasan; (2) perbedaan dari segi pandangan terhadap kebenaran agama, dan (3) perbedaan dari segi pengaturan hubungan antar umat beragama. Fenomena muslim yang menganut konsep Toleransi Liberal dari Barat yang Kristiani, merupakan fenomena kerusakan akhir zaman yang sangat tercela, yang sudah pernah dikabarkan oleh Rasulullah SAW dalam salah satu haditsnya. Rencana Menteri Agama Prof. Nasarudin Umar mengadakan Perayaan Natal Bersama Desember 2025 ini wajib ditolak karena merupakan agenda Toleransi Liberal, bukan agenda Toleransi Islami.
Kata kunci : Toleransi, Toleransi Liberal, Toleransi Islami.
Pendahuluan
Kita sadari atau tidak, konsep toleransi yang dikembang di Indonesia saat ini, demikian juga yang berkembang di berbagai belahan dunia yang lain di Dunia Islam, adalah konsep Toleransi yang berasal dari Eropa yang Kristen. Konnsep ini dapat disebut dengan istilah Toleransi Liberal.
Contoh konkret Toleransi Liberal misalnya Perayaan Natal Bersama antara umat Kristiani dengan umat Islam yang baru-baru ini digagas oleh Menteri Agama Prof. Nasarudin Umar, yang konon tujuannya adalah untuk mewujudkan toleransi beragama. Menteri Agama mengklaim bahwa Perayaan Natal Bersama ini akan menjadi yang pertama kalinya sejak Indonesia Merdeka. (Kompas.com, 23 November 2025, 09:26 WIB).
Konsep Toleransi Liberal ini sebenarnya tidak universal, yakni berlaku untuk semua manusia dan di semua waktu, melainkan konsep dengan konteks historis dan sosiologis yang khusus dari masyarakat Eropa yang Kristen.
Tentu saja, konsep toleransi yang tumbuh dan berkembang dalam konteks masyarakat Eropa yang Kristen, tidak boleh dipaksakan kepada umat Islam yang mempunyai Aqidah Islam dan hukum-hukum syariah yang sangat berbeda dengan Masyarakat Eropa yang Kristiani. Jika konsep Toleransi Ala Eropa ini dipaksakan kepada umat Islam, sebenarnya ini adalah bentuk intoleransi Barat kepada Umat Islam. Bagaimana mungkin Barat menawarkan konsep Toleransi dengan cara yang Intoleran?
Dan yang lebih aneh lagi adalah konsep Toleransi Liberal ala Eropa ini, ternyata justru diinisiasi dan dipelopori oleh seorang muslim, bukan orang Kristen, di negeri muslim terbesar di Dunia Islam ini di Indonesia. Bagaimana mungkin ada muslim yang justru mempropagandakan dan melaksanakan konsep Toleransi Liberal dari Barat?
Tulisan kami ini bertujuan menjelaskan asal usul konsep toleransi dan perbedaan antara konsep Tolerenasi Liberal dengan konsep Toleransi Islami. Di akhir tulisan, akan kami komentari fenomena muslim yang secara membabi buta menjadi pengikut kaum Kristiani dari Barat.
Pengertian Toleransi
Makna Bahasa (Etimologi)
Toleransi (Ingg: toleration) secara makna bahasa (etimologi) berasal dari Bahasa Latin tolerare yang berarti “menanggung”, “menerima dengan sabar”, atau “membiarkan“. (https://id.wikipedia.org/wiki/Toleransi)
Dalam Kamus The American Heritage Dictionary (hlm. 135), disebutkan banyak arti tolerate, di antaranya adalah :
-able to withstands or endure an adverse of the environmental condition (mampu menahan atau menanggung kondisi alam yang buruk/tidak sesuai).
-to allow without prohibiting or opposing (membiarkan tanpa melarang atau melawan/menentang).
Makna Istilah (Terminologi)
Toleransi dalam arti luas adalah suatu perilaku atau sikap manusia yang “tidak menyimpang dari hukum yang berlaku” di suatu negara, di mana seseorang menghormati atau menghargai setiap tindakan yang dilakukan orang lain selama masih dalam batasan-batasan tertentu. (https://id.wikipedia.org/wiki/Toleransi)
Toleransi adalah sikap menahan diri dari seseorang untuk tidak menggunakan kekuasaan atau otoritasnya untuk mengintervensi pendapat atau perbuatan orang lain, padahal diketahui bahwa pendapat atau perbuatan orang lain itu berbeda dengan pendapat atau perbuatan orang tadi. (Muhammad Ahmad Mufti, Naqd Al-Tasāmuh Al-Librālī, hlm. 11)
Menurut Prof. Muhammad Ahmad Mufti, seorang ahli fiqih siyasah dari Arab Saudi, dalam kitabnya Naqd Al-Tasāmuh Al-Librālī tersebut, pada halaman 12, substansi toleransi adalah sebagai berikut:
جَوْهَرُ التَّسَامُحِ يَعْنِيْ قَبُوْلَ الْمَرْءِ لاِخْتِلاَفِ اْلآخَرِيْنَ وَعَدَمَ الْعَمَلِ عَلىَ مَنْعِ اْلآخَرِيْنَ مِنْ أَنْ يَكُوْنَ آخَرِيْنَ
“Intisari dari toleransi adalah sikap seseorang menerima perbedaan dengan orang lain (dalam hal pendapat, perilaku, keyakinan, dsb) dan tidak melarang orang lain itu untuk menjadi orang lain (tetap dengan pendapat, perilaku, keyakinan dsb yang berbeda).” (Muhammad Ahmad Mufti, Naqd Al-Tasāmuh Al-Librālī, hlm. 12).
Sejarah Toleransi
Istilah toleransi lahir dalam konteks sejarah peradaban Barat, akibat perang-perang agama antara penganut Katholik di bawah kepemimpinan Paus, dengan para penentang agama Katholik, utamanya adalah kaum Protestan.
Perang agama antara Katholik dan Protestan tersebut paling sering terjadi pada abad ke-16 dan ke-17 M, yang dimulai setelah Reformasi Protestan (1517). Contoh konflik antar agama Katolik dan Protestan tersebut misalnya Perang Agama Prancis (1562–1598) dan mencapai puncaknya dalam perang paling dahsyat seperti Perang 30 Tahun (1618–1648) di Kekaisaran Romawi Suci, yang melibatkan hampir seluruh kekuatan Eropa dengan alasan agama dan politik.
Perang Tiga Puluh Tahun (1618-1648) tersebut diakhiri oleh serangkaian perjanjian damai yang dikenal sebagai Perjanjian Westphalia (Peace of Westphalia), yang ditandatangani pada tahun 1648 di kota-kota Osnabrück dan Münster di wilayah Westphalia, Jerman. Perjanjian ini tidak hanya mengakhiri konflik besar di Eropa antara Katholik dan Protestan, tetapi juga meletakkan dasar bagi gagasan sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan) dan gagasan toleransi agama.
Namun demikian, sebelum abad ke-16 M itu, sebenarnya sudah ada akar-akar konflik antara Katholik dan Protestan. Penganut Katholik sebelum abad ke-16 M sudah mempunyai Mahkamah Inkuisisi, yakni institusi resmi Gereja Katholik untuk mengusut dan menyiksa setiap orang Kristen yang dianggap bidat (menyimpang, Ing: heresy) dari ajaran resmi Gereja Katholik.
Mahkamah Inkuisisi ini pertama kali didirikan oleh Paus Gregorius IX di masa Raja Perancis bernama Louis IX pada tahun 1123 M. Kemudian Paus Innocensius IV pada tahun 1252 mengukuhkan Mahkamah Inkuisisi tersebut dengan memberinya hak melakukan Religious Persecution, atau persekusi agama, (Arab : اَلإضْطِهَادُ الدِّيْنِيِّ, al-idhthihād al-dīnī).
Salah satu contoh konflik berdarah antara Gereja Katholik dengan kaum Protestan, adalah peristiwa Pembantaian Hari Santo Bartolomeus, yang terjadi di Perancis mulai tanggal 23-24 Agustus tahun 1572 hingga beberapa minggu sesudahnya. Jumlah korban yang meninggal (dari kalangan Protestan) hitungannya bervariasi dari 5.000 hingga 30.000 orang.
Peristiwa ini intinya adalah pembunuhan yang dilakukan oleh kaum Katholik (diwakili Raja Charles IX) terhadap kaum Kristen Protestan (disebut kelompok Huguenot). Pemicunya adalah pernikahan Margaret (penganut Katholik), saudari Raja Charles IX, yang menikah dengan Raja Henri III (penganut Protestan) dari Navarra (wilayah Spanyol sebagai basis masyarakat Protestan) pada tanggal 18 Agustus 1572.
Kondisi konflik-konflik berdarah dan bahkan perang antara penganut Katholik Roma dengan Kristen Protestan di Eropa seperti itulah, akhirnya menimbulkan dua kubu dalam masyarakat Eropa pada abad ke-17 Masehi, yaitu;
Pertama, satu kubu yang menganggap sangat sulit menyatukan kembali agama Katholik dan agama Protestan, dan mengusulkan ada “Gereja Universal” dengan ajaran-ajaran Kristiani mendasar yang disepakati bersama antara Katholik dan Protestan, namun membiarkan perbedaan-perbedaan dalam ajaran cabang Kristiani.
Kedua, pihak ini menolak usulan “Gereja Universal” dan menyerukan apa yang disebut toleransi. Pendapat pihak kedua mendapat kedudukan yang kuat pada akhir abad ke-17 Masehi di Eropa. Inilah asal usul sejarah kemunculan istilah toleransi. (Muhammad Ahmad Mufti, Naqd Al-Tasāmuh Al-Librālī, hlm. 17).
Berdasarkan penjelasan sejarah di atas, jelaslah bahwa konsep toleransi itu asal-usulnya bukan dari masyarakat Islam, melainkan muncul di Masyarakat Eropa yang Kristen, khususnya ketika terjadi konflik atau perang agama antara penganut agama Katholik dan penganut kaum Protestan.
Tiga Ide Dasar Toleransi Liberal
Prof. Muhammad Ahmad Mufti, dalam kitabnya Naqd Al-Tasāmuh Al-Librālī (halaman 15-41), menjelaskan bahwa konsep toleransi liberal berkembang di Eropa pasca abad ke-17 Masehi tersebut, didasarkan pada 3 (tiga) gagasan dasar dari Barat, yaitu; (1) sekularisme (al-‘ilmāniyyah / fashluddīn ‘an al-hayāh); (2) relativisme (al-nisbiyyah), dan (3) pluralisme (al-ta’addudiyyah). Rinciannya sebagai berikut;
Pertama, sekularisme (al-‘ilmāniyyah / fashluddīn ‘an al-hayāh), yaitu konsep pemisahan agama dari kehidupan, yang secara otomatis atau alamiah, akan menghasilkan pemisahan agama dari negara atau pemerintahan (fashluddin ‘an al-dawlah). Konsep sekularisme ini menjadi tuntutan yang rasional di Eropa karena ketika terjadi penyatuan antara negara dan agama (Katholik) dalam sebuah religious regime (pemerintahan agama) sebagaimana dalam Sejarah Eropa, dalam wujud pemerintahan kerajaan (monarki) yang didukung oleh Gereja Katholik seperti yang terjadi di Perancis abad ke-16, ternyata menjadi sumber konflik antara penganut agama Katholik dan Protestan yang mengerikan. Terbukti puluhan ribu manusia tewas karena perang agama antara penganut Katholik dan penganut Protestan.
Kedua, relativisme (al-nisbiyyah), yaitu konsep bahwa pandangan filosofis yang menyatakan bahwa kebenaran, pengetahuan, moralitas, atau penilaian itu tidaklah bersifat absolut, melainkan relatif dalam arti bergantung pada individu, budaya, konteks historis, atau kerangka acuan tertentu. Artinya, apa yang dianggap benar atau salah bisa berbeda-beda tergantung perspektifnya, tanpa ada standar tunggal yang berlaku universal.
Jadi, berdasarkan paham relativisme itu, kebenaran agama-agama itu bersifat relatif, bukan absolut. Agama Katholik, agama Protestan, agama Islam, dan semua agama kebenarannya dinilai bersifat relatif, tidak mutlak. Maka berdasar paham relativisme ini, tidak dibenarkan orang mengeluarkan klaim kebenaran (truth claim) untuk suatu agama, dengan mengatakan misalnya,”Agama saya saja yang benar, agama kamu salah.” Konsep relativisme ini menjadi keharusan agar seorang penganut agama tidak fanatik, karena fanatisme agama inilah yang menurut orang Eropa menjadi pemicu adanya konflik atau perang antar agama.
Ketiga, pluralisme (al-ta’addudiyyah), yaitu konsep bahwa masyarakat yang plural (heterogen) dengan berbagai identitasnya, haruslah mendapat hak yang sama tanpa ada diskriminasi. Jadi masyarakat yang plural dengan identitas etnis (suku) yang berbeda-beda, atau dengan identitas warna kulit yang berbeda-beda, atau juga identitas agama yang berbeda-beda, ada yang Katholik, ada yang Protestan, dsb, di dalam satu masyarakat, harus mempunyai hak yang sama tanpa diskriminasi antara yang satu dengan yang lainnya.
Konsep pluralisme ini menurut penggagasnya hanya dapat diwujudkan dalam sistem demokrasi, sehingga istilah yang sering disebut adalah pluralisme-demokrasi (al-ta’addudiyyah al-dimuqrathiyyah). Inilah tiga unsur gagasan dasar Toleransi Liberal sebagaimana dijelaskan oleh Prof. Muhammad Ahmad Mufti, dalam kitabnya Naqd Al-Tasāmuh Al-Librālī (hlm. 15-41).
Toleransi Liberal VS Toleransi Islami
Berdasarkan penjelasan Prof. Muhammad Ahmad Mufti mengenai tiga gagasan dasar Toleransi Liberal yang berkembang di Barat tersebut, kami mengajukan gagasan dasar Toleransi Islami sebagai kontranya. Dengan tujuan, sebagaimana kata Imam Taqiyuddin An-Nabhani ketika dilakukan studi perbandingan, agar tampak dengan jelas mana yang “lurus” dan mana yang “bengkok”.
Gagasan Toleransi Islami ini akan ditunjukkan dengan 3 (tiga) parameter, dan akan langsung dibandingkan secara kontras dan diametral dengan konsep Toleransi Liberal dari Eropa.
Pertama, perbedaan dari segi Aqidah (Dasar Gagasan).
Yang dimaksud dengan Aqidah di sini adalah Aqidah dalam arti umum, yaitu pemikiran mendasar mengenai alam semesta, manusia, dan kehidupan, dan mengenai apa yang ada sebelum kehidupan dunia serta apa yang ada sesudah kehidupan dunia, dan hubungan kehidupan dunia ini dengan apa yang ada sebelum kehidupan dunia, serta hubungan kehidupan dunia ini dengan apa yang ada sesudah kehidupan dunia. (Muhammad Muhammad Ismail, Al-Fikr Al-Islāmī, hlm. 11-12).
Aqidah Toleransi Liberal yang aqidahnya adalah sekularisme, yaitu suatu paham bahwa agama harus dipisahkan dari kehidupan, khususnya dari negara/politik/kekuasaan.
Sedangkan Toleransi Islami, aqidahnya adalah Aqidah Islam, yang sama sekali tidak mengenal pemisahan agama dari kehidupan. Bahkan semua aspek kehidupan, baik itu politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, dan sebagainnya tidak ada satu pun aspek kehidupan yang luput dari pengaturan Syariah Islam yang menjelaskan segala sesuatu, dan yang mengatur segala aspek kehidupan secara kāffah (keseluruhan). Firman Allah SWT :
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ ٱلْكِتَٰبَ تِبْيَٰنًا لِّكُلِّ شَىْءٍ
“Dan telah Kami turunkan kepadamu (Muhammad) Al-Qur`an untuk menjelaskan segala sesuatu.” (QS. Al-Nahl : 89)
Firman Allah SWT :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱدْخُلُوا۟ فِى ٱلسِّلْمِ كَآفَّةً
“Wahai orang-orang yang beriman masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan (kāffah).” (QS Al-Baqarah : 208)
Kedua, perbedaan dari segi Pandangan Terhadap Kebenaran Agama.
Toleransi Liberal memandang kebenaran agama lain berdasarkan ide relativisme, yaitu kebenaran agama-agama itu adalah relatif alias nisbi. Konsekuensinya, tidak boleh ada klaim kebenaran (truth claim) mengenai kebenaran agama, seperti perkataan, “Agama saya benar, agama lain tidak benar”.
Sedang Toleransi Islami, memandang bahwa hanya Islamlah agama satu-satunya yang benar, dan bahwa semua agama selain Islam, seperti agama Kristen atau Yahudi, adalah agama yang tidak benar dan penganut semua agama selain Islam itu akan masuk neraka Jahannam.
Islam adalah satu-satunya agama yang benar, sesuai firman Allah SWT :
اِنَّ الدِّيۡنَ عِنۡدَ اللّٰهِ الۡاِسۡلَامُ
“Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah (hanyalah) Islam.” (QS Ali ‘Imran : 19)
Firman Allah SWT :
وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ ٱلْإِسْلَٰمِ دِينًا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِى ٱلْءَاخِرَةِ مِنَ ٱلْخَٰسِرِينَ
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS Ali Imran : 85)
Firman Allah SWT :
قَاتِلُوا الَّذِيۡنَ لَا يُؤۡمِنُوۡنَ بِاللّٰهِ وَلَا بِالۡيَوۡمِ الۡاٰخِرِ وَلَا يُحَرِّمُوۡنَ مَا حَرَّمَ اللّٰهُ وَ رَسُوۡلُهٗ وَلَا يَدِيۡنُوۡنَ دِيۡنَ الۡحَـقِّ مِنَ الَّذِيۡنَ اُوۡتُوا الۡـكِتٰبَ حَتّٰى يُعۡطُوا الۡجِزۡيَةَ عَنۡ يَّدٍ وَّهُمۡ صٰغِرُوۡنَ
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, mereka yang tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan Allah dan Rasul-Nya dan mereka yang tidak beragama dengan agama yang benar (agama Islam), (yaitu orang-orang) yang telah diberikan Kitab (Ahli Kitab), hingga mereka membayar jizyah (pajak) dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (QS At-Taubah : 29).
Firman Allah SWT :
إِنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ مِنْ أَهْلِ ٱلْكِتَٰبِ وَٱلْمُشْرِكِينَ فِى نَارِ جَهَنَّمَ خَٰلِدِينَ فِيهَآ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ هُمْ شَرُّ ٱلْبَرِيَّةِ
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab (Yahudi dan Nashrani) dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (Al-Bayyinah : 6).
Rasulullah SAW bersabda :
وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بيَدِهِ، لاَ يَسْمَعُ بِيَّ أحَدٌ مِنْ هَذِهِ اْلأُمَّةِ يَهُوْدِيٌّ، وَلاَ نَصْرَانِيٌّ، ثُمَّ يَمُوْتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالََّذِيْ أُرْسِلْتُ بِهِ، إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
“Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, tidaklah mendengar tentang aku seseorang dari umat ini, tidak orang Yahudi dan tidak pula orang Nashrani, kemudian dia mati dalam kondisi tidak beriman dengan risalah (Islam) yang aku bawa, niscaya dia pasti termasuk penghuni neraka.” (HR. Muslim, Shahih Muslim, no. 153).
Ketiga, perbedaan dari segi Pengaturan Hubungan Antar Umat Beragama.
Toleransi Liberal memandang bahwa pengaturan hubungan antar umat beragama, diatur berdasar ide pluralisme, dengan ide pokoknya demokrasi, di mana aturan yang mengatur antar umat beragama itu bukan diambil dari agama, termasuk tidak diambil dari Islam, melainkan dari aspirasi masing-masing kelompok masyarakat. Misalnya, pernikahan antar agama, seperti antara laki-laki Kristen dengan wanita Muslimah misalnya, menurut paham pluralisme atau demokrasi, tentu boleh-boleh saja dan tidak ada halangan sama sekali.
Sedang Toleransi Islami memandang, bahwa pengaturan hubungan antar umat beragama, diatur hanya berdasar Syariah Islam, untuk mengatur mengatur interaksi antara umat Islam dengan umat-umat agama lain. Dalam pernikahan antar agama, misalnya antara laki-laki Kristen dengan wanita Muslimah misalnya, diberlakukan Syariah Islam yang terdapat dalam Al-Qur`an dalam QS Al-Mumtahanah ayat 10, bukan bebas menikah antar agama seperti dalam Toleransi Liberal. Menurut QS Al-Mumtahanah ayat 10, haram hukumnya laki-laki non-muslim menikahi wanita Muslimah. Firman Allah SWT :
لَا هُنَّ حِلٌّ لَّهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ ۖ
“Mereka (wanita beriman) tiada halal bagi laki-laki kafir itu dan laki-laki kafir itu tiada halal pula bagi mereka (wanita beriman).” (QS Al-Mumtahanah : 10).
Contoh-Contoh Kasus Toleransi Liberal VS Toleransi Islami
Berikut ini akan kami sajikan sejumlah studi kasus yang menunjukkan perbedaan yang tajam dan kontras antara Toleransi Liberal dengan Toleransi Islam dalam beberapa persoalan.
Kasus Ke-1 : Pernikahan Antar Agama.
Menurut konsep Toleransi Liberal : orang beragama apa pun boleh menikah dengan orang beragama apapun, termasuk laki-laki Katholik/Kristen yang menikah dengan Wanita Muslimah. Ini dibolehkan oleh Toleransi Liberal. Adapun menurut konsep Toleransi Islami : Laki-laki kafir (baik beragama Kristen atau selain Kristen) haram hukumnya menikah dengan wanita beragama Islam. (Dasar : QS Al-Mumtahanah ayat 10).
Dalil haramnya laki-laki kafir menikah dengan wanita muslimah, adalah firman Allah SWT :
يآايُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا جَاۤءَكُمُ الْمُؤْمِنٰتُ مُهٰجِرٰتٍ فَامْتَحِنُوْهُنَّۗ اَللّٰهُ اَعْلَمُ بِاِيْمَانِهِنَّ فَاِنْ عَلِمْتُمُوْهُنَّ مُؤْمِنٰتٍ فَلَا تَرْجِعُوْهُنَّ اِلَى الْكُفَّارِۗ لَا هُنَّ حِلٌّ لَّهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّوْنَ لَهُنَّۗ
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila perempuan-perempuan mukmin datang berhijrah kepadamu, hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih tahu tentang keimanan mereka. Jika kamu telah mengetahui (keadaan) mereka bahwa mereka (benar-benar sebagai) perempuan-perempuan mukmin, janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir (suami mereka). Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal pula bagi mereka.” (QS Al-Mumtahanah : 10).
Kasus Ke-2 : Menyikapi Penganut Agama Lain.
Menurut konsep Toleransi Liberal : orang beragama apa pun tidak boleh men-judge penganut aagama lain akan masuk neraka. Semuanya akan masuk surga karena semua agama itu sama-sama benar, dan semua penganut agama sama-sama dianggap beriman. Adapun menurut konsep Toleransi Islami : Hanya muslim yang masuk surga, orang Yahudi dan Nashrani adalah orang kafir yang akan masuk neraka Jahannam. (Dasar : QS Al-Bayyinah ayat 6; HR. Muslim, no. 153).
Dalil dari Al-Qur`an bahwa kaum Yahudi dan Nashrani adalah kafir, bukan orang yang beriman, dan dalil bahwa kaum Yahudi dan Nashrani akan masuk neraka Jahannam, tidak akan masuk surga, adalah firman Allah SWT :
اِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ اَهْلِ الْكِتٰبِ وَالْمُشْرِكِيْنَ فِيْ نَارِ جَهَنَّمَ خٰلِدِيْنَ فِيْهَاۗ
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir dari golongan Ahli Kitab (kaum Yahudi dan Nashrani) dan orang-orang musyrik (akan masuk) neraka Jahanam. Mereka kekal di dalamnya.” (QS Al-Bayyinah : 6).
Dalil dari hadits bahwa kaum Yahudi dan Nashrani akan masuk neraka, sabda Rasulullah SAW :
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لاَ يَسْمَعُ بِي رَجُلٌ مِنْ هٰذِهِ اْلأُمَّةِ وَلاَ يَهُوْدِيٌّ وَلاَ نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ لَمْ يُؤْمِنْ بِي إِلاَّ كَانَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ .
“Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, tidaklah mendengar tentang aku seseorang dari umat ini, tidak orang Yahudi dan tidak pula orang Nashrani, kemudian dia mati dalam kondisi tidak beriman dengan risalah (Islam) yang aku bawa, niscaya dia pasti termasuk penghuni neraka.” (HR. Muslim, Shahih Muslim, no. 153).
Kasus Ke-3 : Salam Antar Agama.
Menurut konsep Toleransi Liberal : salam tidak boleh hanya Assalamu’alaikum saja jika audience-nya ada yang beragama lain, misalnya beragama Kristen, Protestan, Hindu, Budha, dan sebagainya. Menurut Toleransi Liberal, salam yang benar jika audience-nya bermacam-macam penganut agama, adalah : Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh (Islam), Salam sejahtera bagi kita semua (Kristen dan Katolik), Shalom (Kristen), Om Swastiastu (Hindu), Namo Buddhaya (Buddha), dan Salam Kebajikan (Konghucu). Adapun menurut konsep Toleransi Islami : redaksi salam hanya Assalamu alaikum wa rahmatullahi wa barakutuhu saja yang menjadi salam untuk audience yang terdiri dari beragam agama. (Dasar : HR. Bukhari, nomor 5899).
Dalil bahwa Rasulullah SAW mengucapkan Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakutuhu (salam Islam) kepada audience yang bermacam-macam agamanya (ada muslim ada non muslim), adalah hadits dari Usamah bin Zaid RA :
عَنْ أُسامَةَ بْنِ زَيْدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ عَلَى مَجْلِسٍ فِيه أَخْلاَطٌ مِنَ المُسْلِمِينَ وَالمُشْرِكِينَ عَبَدَةَ الأَوْثَانِ والْيَهودِ فَسَلَّمَ عَلَيْهِمُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dari Usamah bin Zaid RA, bahwa Nabi SAW pernah melintasi suatu majelis yang di dalamnya ada campuran (akhlāth) orang-orang muslim dengan orang-orang musyrik para penyembah berhala, dan orang-orang Yahudi, lalu Nabi SAW mengucapkan salam kepada mereka. (HR. Bukhari, no. 5899).
Kasus Ke-4 : Menyikapi Orang Murtad.
Menurut konsep Toleransi Liberal : orang murtad (keluar dari agama Islam) menjadi penganut Kristen dsb itu sah-sah saja, karena murtad itu merupakan bagian dari kebebasan beragama dan bagian dari HAM (Hak Asasi Manusia). Adapun menurut konsep Toleransi Islami : Murtad itu hukumnya haram dan dalam pidana Islam hukumannya adalah hukuman mati. (Dasar : QS Al-Baqarah : 217. HR. Bukhari, no. 3017).
Dalil bahwa murtad itu haram dan dosa besar, adalah firman Allah SWT :
وَمَنْ يَّرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِيْنِهٖ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَاُولٰۤىِٕكَ حَبِطَتْ اَعْمَالُهُمْ فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِۚ وَاُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ النَّارِۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ
“Siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya lalu dia mati dalam kekafiran, sia-sialah amal mereka di dunia dan akhirat. Mereka itulah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.” (QS Al-Baqarah : 217).
Sabda Rasulullah SAW bahwa murtad itu sanksi pidananya adalah hukuman mati dalam Islam :
مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوْهُ
“Barangsiapa yang mengganti agamanya (murtad dari Islam), maka bunuhlah dia.” (HR. Bukhari, no. 3017).
Kasus Ke-5 : Muslim Ikut Merayakan Hari Natal
Menurut konsep Toleransi Liberal : orang muslim bagus kalau bisa ikut perayaan hari Natal, agar dia bisa lebih menghayati maknanya dan akhirnya, akan lebih toleran dan menghormati agama Kristen. Adapun menurut konsep Toleransi Islami : Haram hukumnya seorang muslim ikut merayakan Hari Natal. (Dasar : QS Al-Furqan : 72. HR. Abu Dawud, no. 3017).
Dalil haramnya seorang muslim ikut merayakan Hari Natal, adalah firman Allah SWT :
وَالَّذِيْنَ لَا يَشْهَدُوْنَ الزُّوْرَۙ
“Dan (di antara ciri-ciri ‘Ibadurrahman), adalah orang-orang yang tidak menyaksikan kebohongan (az-zūr).” (QS Al-Furqan : 72)
Dalam Tafsir Al-Qurthubi disebutkan tafsir Ibnu ‘Abbas RA mengenai makna kebohongan (az-zūr) dalam ayat itu sbb :
وَفِيْ رِوَايَةٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ أَعْيَادُ الْمُشْرِكِيْنَ
“Dalam satu riwayat dari Ibnu ‘Abbas, kebohongan (az-zur) itu maksudnya adalah hari-hari raya kaum musyrikin (kafir).” (Tafsir Al-Qurthubi, 7/54).
Dalil lain haramnya seorang muslim ikut merayakan Hari Natal, karena perbuatan itu merupakan tasyabbuh bil kuffār (menyerupai kaum kafir) yang telah diharamkan dalam Islam, sesuai sabda Rasulullah SAW :
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ. أَخْرَجَهُ أَبُوْ دَاوُدَ
“Barangsiapa yang menyerupai (meniru-niru) suatu kaum, maka dia termasuk ke dalam golongan mereka.” (HR. Abu Dawud, no. 4031)
Kasus Ke-6 : Menyikapi Konsep Negara Islam (Khilafah).
Menurut konsep Toleransi Liberal : negara agama itu dalam Sejarah Barat sangatlah buruk dampaknya bagi masyarakat. Banyak orang mati di Perancis akibat kekuasaan disatukan dengan agama Katolik (ingat pembantaian Santo Bartolomeus tahun 1572 di Perancis). Adapun menurut konsep Toleransi Islami : Khilafah sebagai sistem pemerintahan Islam adalah bagian dari ajaran Islam, bahkan dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. (Dasar : QS Al-Baqarah : 208. HR. Muslim, no. 1851).
Khilafah wajib hukumnya demi terwujudnya penerapan Islam secara kāffah (menyeluruh) yang mustahil tanpa ada Khilafah, firman Allah SWT :
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ادْخُلُوْا فِى السِّلْمِ كَاۤفَّةًۖ
“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam (kedamaian) secara menyeluruh.” (QS Al-Baqarah : 208).
Sabda Rasulullah SAW :
وَمَن مَاتَ وَليسَ في عُنُقِهِ بَيْعَةٌ، مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa yang mati sedangkan tidak ada di lehernya baiat (kepada Khalifah) maka matinya adalah mati jahiliyyah.” (HR. Muslim, no. 1851).
Muslim Kok Menganut Toleransi Liberal Ala Kristiani Barat?
Nah, sekarang kita akan mendiskusikan fenomena adanya muslim yang justru mempropagandakan konsep Toleransi Liberal dari Barat. Bagaimana kita memandang fenomena ini? Jawabannya, kita tidak usah heran, karena fenomena tersebut sudah pernah dikabarkan oleh Rasulullah SAW kepada kita. Perhatikan hadits dari Abu Sa’id Al-Khudri RA berikut ini :
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ ، وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِي جُحْرِ ضَبٍّ لَاتَّبَعْتُمُوهُمْ ، قُلْنَا : يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى ، قَالَ : فَمَنْ .أخرجه البخاري (7320) ، مسلم (2669)
Dari Abu Sa’īd Al-Khudriy RA, dia berkata, ”Rasulullah SAW telah bersabda “Sungguh kamu (umat Islam) akan benar-benar mengikuti kebiasaan orang-orang sebelum kamu, sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga kalau pun mereka masuk ke dalam lubang biawak, kamu pasti akan tetap mengikuti mereka.” Kami bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah mereka itu kaum Yahudi dan Nasrani?” Rasulullah SAW menjawab, “Lalu siapa lagi (kalau bukan mereka)?” (HR. Bukhari, no. 7320; Muslim, no 2669).
Jadi, fenomena orang muslim yang mengikuti Yahudi atau Nashrani, sudah pernah dikabarkan oleh Rasulullah SAW kepada kita. Tentu fenomena akhir zaman ini bukan sesuatu yang terpuji, melainkan sesuatu yang tercela, karena Rasulullah SAW menyebutkan bahkan orang muslim itu akan tetap mengikuti kaum Yahudi atau Nashrani, walau pun mereka masuk ke lubang biawak, artinya sudah masuk dalam kondisi yang sangat buruk dan penuh dengan bahaya (mudharat).
Yang dimaksud “mereka mengikuti Yahudi dan Nashrani sampai ikut-ikutan masuk ke lubang biawak” adalah sbb :
ضَرَبَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَثَلَ بِجُحْرِ الضَّبِّ لِشِدَّةِ ضِيقِهِ وَرَدَاءَتِهِ، وَنَتْنِ رِيحِهِ وَخَبَاثَتِهِ ، وَفِيهِ دَلِيلٌ عَلَى تَمَامِ الِاتِّبَاعِ وَكَمَالِهِ، وَشِدَّةِ مُوَافَقَتِهِمْ وَتَقْلِيدِهِمْ، حَتَّى لَوْ كَانَ مِنْ وَرَاءِ هَذَا التَّقْلِيدِ السُّوءُ وَالشَّرُّ …، وَحَتَّى لَوْ كَانَ مِنْ وَرَائِهِ سُوءُ النَّتَائِجِ، وَوَخِيمُ الْعَوَاقِبِ، وَفَسَادُ الْأُسَرِ وَالْمُجْتَمَعَاتِ، وَضَيَاعُ الدِّينِ وَالْمَبَادِي وَالْأَخْلَاقِ.
“Nabi SAW membuat perumpamaan dengan “lubang biawak” karena lubang biawak itu sangat sempit dan sangat buruk, busuk baunya, dan banyak kotorannya. Ini adalah dalil yang menunjukkan akan ada Muslim yang mengikuti Yahudi dan Nashrani secara totalitas, sangat sesuai dan sangat bertaqlid (mengikuti) kepada mereka, bahkan walaupun di balik taqlid itu ada keburukan dan kejahatannya… Jadi walau di balik sikap taqlid itu ada hasil-hasil yang buruk, atau ada akibat-akibat yang negatif, atau ada kerusakan keluarga dan masyarakat, hilangnya agama dan prinsip-prinsp (agama), dan akhlak, (akan ada muslim yang tetap mengikuti Yahudi dan Nashrani itu).“ (https://www.islamweb.net/ar/article/235492)
Penutup dan Kesimpulan
Berdasarkan seluruh uraian di atas, dapat diambil 5 (lima) kesimpulan penting, yaitu:
Pertama, konsep toleransi yang selama ini dipropagandakan kepada umat Islam, sebenarnya adalah konsep Toleransi Liberal dari negara-negara Barat yang kafir, bukan konsep Toleransi Islam yang bersumber dari Islam (Al-Qur`an dan As-Sunnah).
Kedua, konsep Toleransi Liberal dari negara-negara Barat itu didasarkan pada 3 (tiga) gagasan dasar dari pemikiran Barat, yaitu; (1) sekularisme (al-‘ilmāniyyah / fashluddīn ‘an al-hayāh); (2) relativisme (al-nisbiyyah), dan (3) pluralisme (al-ta’addudiyyah).
Ketiga, terdapat perbedaan tajam antara konsep Toleransi Liberal dengan konsep Toleransi Islami, dalam 3 (tiga) aspek/parameter; yaitu : (1) perbedaan dari segi aqidah yang menjadi dasar gagasan; (2) perbedaan dari segi pandangan terhadap kebenaran agama, dan (3) perbedaan dari segi pengaturan hubungan antar umat beragama.
Keempat, fenomena adanya muslim yang menganut konsep Toleransi Liberal dari Barat yang Kristiani, merupakan fenomena kerusakan umat Islam pada akhir zaman yang sangat tercela, sesuatu yang tidak usah terlalu diherankan karena sudah pernah dikabarkan oleh Rasulullah SAW. Akan selalu ada manusia-manusia muslim yang hina seperti itu yang hanya menjadi agen-agen kaum kafir dari Yahudi atau Nashrani, yang tujuannya adalah merusak agama Islam dan menyesatkan umat Islam dari jalannya yang lurus.
Kelima, rencana Menteri Agama Prof. Nasarudin Umar yang hendak mengadakan Perayaan Natal Bersama pada Desember 2025 ini, yang akan dilakukan antara umat Kristiani dengan umat Islam, sungguh harus ditolak, karena bukan praktik Toleransi Islami, melainkan praktik Toleransi Liberal yang asal usulnya dari negara-negara Barat yang kafir yang dipropagandakan di Dunia Islam untuk membengkokkan agama Islam dan menyesatkan umat Islam. Wallāhu a’lam.
Yogyakarta, 16 Desember 2025
Muhammad Shiddiq Al-Jawi




















