Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi
Pendahuluan
Definisi berpikir (al-fikr, al-’aql, al-idrâk), atau proses berpikir (‘amaliyyat al-tafkîr, Eng : thinking), merupakan sebuah persoalan yang banyak diabaikan oleh para pemikir, padahal dari aktivitas berpikir itulah, telah dihasilkan berbagai buah yang bermanfaat bagi manusia, misalnya berbagai pengetahuan (ma’rifah, knowledge) dalam sains dan teknologi yang sangat bermanfaat bagi manusia.
Memang sejak jaman dahulu, sudah ada yang mencoba mendefinisikan apa itu berpikir, tetapi belum mencapai definisi yang sahih dan memuaskan. Imam Taqiyuddîn An-Nabhânî dalam kitabnya Al-Syakhshiyyah Al-Islâmiyyah (1/120) menyebut beberapa definisi berpikir tersebut. Sebagian ulama mencoba mendefinisikan berpikir (atau akal) sebagai berikut :
إِنَّ العَقْلَ هُوَ قوَّةٌ لِلنَّفْسِ وَالْإِدْرَاكَاتِ
“Sesungguhnya akal [atau berpikir] adalah satu kekuatan bagi jiwa dan kekuatan untuk [mencapai berbagai] pemahaman (comprehension).” Ada ulama yang mendefinisikan berpikir dengan definisi berikut :
العَقْلُ هُوَ غَرِيْزَةٌ يَتْبَعُهَا العِلْمُ بِالضَّرُورِيَّاتِ عِنْدَ سَلامَةِ الآلَات
“[Akal] adalah suatu naluri yang diikuti oleh pengetahuan terhadap hal-hal yang bersifat dharûrî (tanpa dipikirkan) pada saat sehatnya berbagai indera manusia.” (Taqiyuddîn An-Nabhânî, Al-Syakhshiyyah Al-Islâmiyyah,1/120). Ada pula yang mendefinisikan sbb :
إِنَّ العَقْلَ هُوَ جَوْهَرٌ تُدْرَكُ بِهِ الغَائِبَاتُ بِاَلْوَسَائِطِ وَاَلْمَحْسُوْسَاتِ بِالْمُشَاهَدَةِ
“Sesungguhnya akal adalah suatu substansi yang dengannya akan dapat dijangkau hal-hal yang gaib dengan perantara-perantara dan penginderaan-penginderaan terhadap hal-hal yang dapat dipersaksikan.” Ada yang secara ringkas mendefinisikan :
إِنَّ العَقْلَ هُوَ النَّفْسُ بِعَيْنِهَا
“Sesungguhnya akal [atau berpikir] adalah jiwa manusia itu sendiri.”
Berbagai definisi itu, menurut Imam Taqiyuddîn An-Nabhânî belum menunjukkan definisi akal atau berpikir yang tepat. Definisi yang paling dekat dengan fakta berpikir, menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani, sebagaimana dalam kitab At-Tafkîr (1973), adalah justru definisi menurut kaum komunis, yaitu :
إِنَّ الفِكْرَ هوَ انْعِكاسُ الواقِعِ عَلَى الدِّمَاغِ
“Sesungguhnya akal adalah refleksi realitas ke dalam otak.”
Namun demikian, definisi ini pun tidak luput dari kritikan beliau, yaitu dalam proses berpikir itu yang terjadi sebenarnya bukanlah refleksi, melainkan penginderaan (suatu objek), dan mustahil proses berpikir terjadi otomatis tanpa informasi sebelumnya. Lalu bagaimana definisi berpikir yang sahih? Ikuti uraian selanjutnya.
Definisi Berpikir Menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani
Dalam kitabnya At-Tafkîr (1973), Imam Taqiyuddîn An-Nabhânî mendefinisikan berpikir sebagai berikut :
فَالْعَقْلُ أَوْ اَلْفِكْرُ أَوْ الإِدْراكُ هوَ نَقْلُ الحِسِّ بِالْوَاقِعِ بِوَاسِطَةِ الحَوَاسِّ إِلَى الدِّمَاغِ ، وَوُجودُ مَعْلوماتٍ سابِقَةٍ يُفَسَّرُ بِوَاسِطَتِهَا هَذَا الواقِعُ
“Akal, atau berpikir, atau pemahaman (comprehension) adalah transfer penginderaan terhadap realitas melalui pancaindera ke dalam otak, dan dengan adanya informasi sebelumnya, realitas ini ditafsirkan / dijelaskan.” (“The mind, thought or perception is the transfer of the sense of reality through the senses to the brain, and the presence of previous information by which this reality is explained.”)
Jadi, berpikir itu suatu aktivitas yang hanya dapat berlangsung jika ada 4 (empat) komponen berpikir secara lengkap sebagai berikut :
Pertama, ada suatu realitas (objek)
Kedua, terjadi penginderaan oleh indera yang sehat
Ketiga, terdapat otak yang sehat
Keempat, terdapat informasi sebelumnya yang berkaitan dengan realitas (objek) tersebut.
Dengan demikian, jika salah satu atau lebih dari empat komponen tersebut tidak ada, maka sesungguhnya tidak mungkin terjadi suatu proses berpikir (al-‘amaliyat al-’aqliyyah) pada diri manusia. (Taqiyuddîn An-Nabhânî, At-Tafkir, hlm. 50).
Beberapa Signifikansi Definisi Berpikir Menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani
Sesungguhnya definisi berpikir temuan Imam Taqiyuddîn An-Nabhânî tersebut, mempunyai signifikansi (arti penting) yang sangat strategis, yang ditandai dengan dua hal utama :
Pertama, aspek kebaruan (novelty) yang belum pernah ditemukan oleh para pemikir sebelumnya.
Kedua, aspek implikasinya yang berguna dan luas spektrumnya dalam berbagai bidang keilmuan.
Setelah melakukan studi terhadap berbagai kitab karya Imam Taqiyuddîn An-Nabhânî, kami menemukan setidak-tidaknya terdapat 10 (sepuluh) signifikansi sebagai berikut :
Pertama, dengan diketahuinya definisi berpikir ini, dapat diketahui bagaimana asal usul (the origin) berbagai macam pengetahuan manusia. (At-Tafkîr, 1973).
Dengan jelasnya definisi berpikir, menjadi jelas kemudian apa itu proses berpikir (‘amaliyyat at-tafkîr), jelas pula dua metode berpikir, yaitu metode rasional (al-tharîqah al-‘aqliyyah, rational method) dan metode ilmiah (al-tharîqah al-’ilmiyyah, scientific method), yang dengan keduanya, dihasilkan berbagai pengetahuan manusia, baik ilmu-ilmu sosial-humaniora )social sciences-humanities( maupun ilmu-ilmu alam (natural sciences).
Kedua, dengan diketahuinya definisi berpikir ini, dapat diketahui bagaimana metode pembentukan persepsi (mafâhîm) pada manusia. (Taqiyuddîn An-Nabhânî, Al-Syakhshiyyah Al-Islâmiyyah, I/12-13).
Persepsi (mafâhîm) atau al-idrâk, dapat terbentuk dengan integrasi dua komponen berpikir, yaitu mempertemukan realitas yang terindera (al-wâqi’ al-mahsûs) dengan informasi sebelumnya (al-ma’lûmât al-sâbiqah).
Pembentukan persepsi ini sangat diperlukan dalam proses pendidikan agar peserta didik memahami materi ajar secara mendalam, bukan sekedar hafalan atau taqlid.
Proses penyampaian materi ajar dengan mempertemukan realitas yang terindera (al-wâqi’ al-mahsus) dengan informasi sebelumnya (al-ma’lûmât al-sâbiqah), disebut dengan talaqqiyan fikriyyan (menerima materi melalui proses berpikir). (Usus Al-Ta’lîm Al-Manhajî fî Daulat Al-Khilâfah, hlm. 14).
Ketiga, dengan diketahuinya definisi berpikir ini, dapat diketahui bagaimana metode pembentukan kepribadian manusia (takwîn al-syakhshiyyah) yang dimulai dengan pembentukan pola pikir (‘aqliyyah) sebagai basis pembentukan pola sikap atau pola perilaku (nafsiyyah). (Taqiyuddîn An-Nabhânî, Al-Syakhshiyyah Al-Islâmiyyah, I/21-24).
Signifikansi ini terkait dengan ilmu psikologi yang banyak membahas konsep kepribadian manusia (personality, syakhshiyyah).
Dengan penemuan definisi berpikir, dapat dijelaskan bahwa pola pikir (‘aqliyyah) sebenarnya adalah proses berpikir yang berjalan sesuai definisi berpikir itu sendiri, yaitu proses berpikir dengan mempertemukan realitas yang terindera (al-wâqi’ al-mahsûs) dengan informasi sebelumnya (al-ma’lûmât al-sâbiqah), berdasarkan kaidah-kaidah berpikir yang diyakini sebagai standar berpikir (qâ’idah fikriyyah) bagi seseorang.
Keempat, dengan diketahuinya definisi berpikir ini, dapat diketahui mana rukun iman yang dalilnya aqli dan mana yang dalilnya naqli.
Dalam kitab Al-Syakhshiyyah Al-Islâmiyyah, Juz I/30-31, Imam Taqiyuddîn An-Nabhânî menjelaskan dengan teramat gamblang (crystal clear) apa saja rukun-rukun iman yang berdalil aqli, dan apa saja rukun iman yang berdalil naqli.
Prinsipnya, adalah mengikuti kaidah : mâ lâ yudrikuhu al-hissu lâ yudrikuhu al-’aqlu, artinya apa saja yang tidak dapat dijangkau pancaindera, maka ia tidak dapat dijangkau oleh akal, yakni tidak dapat dijangkau oleh dalil aqli, sehingga wajib menggunakan dalil naqli. Karena itu, iman akan adanya Allah, iman bahwa Muhammad adalah utusan Allah, dan iman bahwa Al Qur`an itu kalamullah, dalilnya aqli. Sedangkan iman kepada Hari Kiamat, iman kepada surga dan neraka, dalilnya naqli.
Kelima, dengan diketahuinya definisi berpikir ini, dapat diketahui bahwa banyak pembahasan ilmu kalam pada zaman dahulu, telah melampaui batas kemampuan akal.
Dalam kitab Al-Syakhshiyyah Al-Islâmiyyah, Juz I/116-118, Bab Shifâtullâh, Imam Taqiyuddîn An-Nabhânî menjelaskan bahwa Mu’tazilah berpendapat zat Allah dan sifat Allah itu satu kesatuan. Sedangkan menurut Ahlus Sunnah (Asy’ariyah), zat Allah dan sifat Allah itu adalah dua entitas yang berbeda.
Padahal, objek pembahasannya, yaitu zat Allah dan sifat Allah, sebenarnya di luar kemampuan akal manusia, karena tak dapat diindera. Dasarnya kaidah : mâ lâ yudrikuhu al-hissu lâ yudrikuhu al-’aqlu, (apa saja yang tidak dapat dijangkau pancaindera, maka ia tidak dapat dijangkau oleh akal), sehingga akal manusia sudah pasti tak akan dapat menjangkau apakah zat Allah dan sifat Allah itu satu kesatuan atau dua entitas yang berbeda.
Keenam, dengan diketahuinya definisi berpikir ini, dapat diketahui batas kemampuan akal, yaitu akal hanya dapat berfungsi pada objek-objek empiris yang dapat diindera (al- wâqi’ al-mahsûs).
Signifikansi ini terkait dengan studi ilmu filsafat dalam arti studi terhadap apa-apa yang tidak dapat diindera manusia, atau mâ warâ`al-mâddah (sesuatu di balik materi). Dalam kitab At-Tafkîr, Imam Taqiyuddin An-Nabhani mengkritik berbagai filsafat yang mengkaji apa yang ada di balik materi (objek tak terindera), misalnya tentang konsep filsafat Emanasi, yang menjelaskan proses penciptaan alam semesta atau tata surya, melalui akal pertama, akal kedua, akal ketiga, dan seterusnya. Menurut Imam Taqiyuddîn An-Nabhânî filsafat Emanasi hanyalah khayalan atau fantasi belaka. (at-takhayyullât wa al-furûdh). (At-Tafkîr, 1973).
Ketujuh, dengan diketahuinya definisi berpikir ini, dapat diketahui bahwa dalam kajian Ushul Fiqih, baik buruknya perbuatan manusia dari segi pahala dan dosa dari Allah, atau dari segi pujian atau celaan dari Allah, tidaklah mungkin dijangkau oleh akal manusia, sehingga akhirnya kita harus merujuk kepada wahyu Allah, untuk mengetahui apakah suatu perbuatan itu dipuji Allah atau dicela Allah. (Taqiyuddîn An-Nabhânî, Al-Syakshiyyah Al-Islâmiyyah, 3/17-18).
Sebagai contoh, bahwa zina itu buruk karena dicela Allah, atau sholat itu baik karena dipuji Allah, tidaklah mungkin dijangkau oleh akal manusia. Pujian atau celaan Allah terhadap suatu perbuatan manusia, merupakan hal gaib yang di luar jangkauan kemampuan akal. Maka dari itu, dalam masalah ini, kita wajib merujuk kepada wahyu Allah, yaitu Al-Qur`an dan As-Sunnah.
Kedelapan, dengan diketahuinya definisi berpikir ini, dapat diketahui bahwa metode rasional (al-tharîqah al-’aqliyah) adalah metode paling mendasar untuk melahirkan berbagai pengetahuan (At-Tafkîr, 1973). Hal itu karena, setelah kita mengetahui definisi berpikir, maka akan diketahui pula bahwa metode rasional itu merupakan basis bagi adanya metode ilmiah.
Ada dua alasan mengapa metode rasional itu basis bagi metode ilmiah :
Pertama, karena cakupan objek metode rasional lebih luas daripada objek kajian metode ilmiah.
Kedua, karena untuk melaksanakan metode ilmiah, seperti eksperiman di laboratorium, mutlak diperlukan metode rasional lebih dulu, yaitu mendapat informasi sebelumnya mengenai berbagai hal di laboratorium (seperti kegunaan bahan, alat, prosedur percobaan, dsb).
Kesembilan, dengan diketahuinya definisi berpikir ini, dapat diketahui bahwa metode ilmiah adalah cabang dari metode aqliyah. (At-Tafkîr, 1973).
Metode ilmiah tidak dapat menafikan metode rasional, karena penafian ini berarti sesuatu yang cabang membatalkan sesuatu yang asasi (mendasar) yang justru melahirkannya. Maka dari itu, kita tidak boleh menolak konsep Nabi Adam AS sebagai manusia pertama yang langsung diciptakan oleh Allah (sebagai hasil metode rasional), dengan alasan hal tersebut bertentangan dengan Teori Darwin yang menyatakan bahwa manusia itu hanya satu mata rantai dari evolusi organisme (sebagai hasil metode ilmiah) yang ada sebelumnya. Maha benar Allah SWT yang menjelaskan bahwa Nabi Adam AS memang diciptakan oleh Allah secara langsung dari bahan tanah, jadi Nabi Adam adalah benar-benar manusia pertama, bukan bukan bagian dari rangkaian evolusi organisme (makhluk hidup) yang ada sebelumnya sebagaimana Teori Darwin. Firman Allah SWT :
وَبَدَاَ خَلْقَ الْاِنْسَانِ مِنْ طِيْنٍ ثُمَّ جَعَلَ نَسْلَهٗ مِنْ سُلٰلَةٍ مِّنْ مَّاۤءٍ مَّهِيْنٍ ۚ
“Dia (Allah) memulai penciptaan manusia (Adam AS) dari tanah, kemudian Dia menjadikan keturunannya dari sari pati air yang hina (air mani).” (QS As-Sajdah : 7-8)
Kesepuluh, dengan diketahuinya definisi berpikir ini, dapat diketahui kebatilan paham materialisme, yang menjadi dasar bagi ideologi Sosialisme.
Materialism is the view that all that exist is matter and depends on matter for its existense. (Materialisme adalah paham bahwa segala sesuatu yang ada adalah materi, dan bergantung pada materi untuk eksistensinya). (Andi Muawiyah Ramly, Peta Pemikiran Karl Marx, Yogyakarta : LKIS, 2004).
Dari materialisme ini, dibangun Dialektika Materialisme dan Historis Materialisme. Padahal Materialisme itu keliru, karena mengikuti definisi akal versi komunisme, yang telah menafikan hal yang gaib (Hari Kiamat, surga, neraka, dsb) atau menafikan non-materi, sehingga non-materi dianggap tidak ada, hanya karena tak dapat diindera. Jadi, kekeliruan materialisme itu berakar pada kekeliruan perumusan definisi akal versi komunisme, yaitu :
إِنَّ الفِكْرَ هوَ انْعِكاسُ الواقِعِ عَلَى الدِّمَاغِ
“Sesungguhnya akal (berpikir) adalah refleksi realitas ke dalam otak.”
Definisi akal (atau berpikir) menurut komunisme itu keliru, karena dua alasan :
Pertama, karena yang terjadi dalam proses berpikir adalah penginderaan, bukan refleksi;
Kedua, proses berpikir itu mutlak memerlukan informasi sebelumnya, tidak mungkin proses berpikir berjalan otomatis tanpa informasi sebelumnya, sebagaimana dalam proses refleksi. (Taqiyuddîn An-Nabhânî, Nizhâmul Islâm, hlm. 41).
Wallâhu a’lam.