Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi | Pakar Fiqih Muamalah & Kontemporer
Tanya :
Yai mau tanya. Alhamdulillah bapak sukses operasi bypass jantung dan kini lagi recovery. Masih banyak kabel-kabel di badan. Tidak bisa bertayamum. Sholatnya bagaimana jadinya yai? (Hamba Allah).
Jawab :
Kasus di atas dalam kitab-kitab fiqih Islam disebut dengan sholatnya orang Fāqidu Al-Thahūrain, yaitu orang yang tidak dapat berwudhu atau bertayammum. Alasannya ada dua kemungkinan;
Pertama, orang itu tidak menemukan sama sekali air untuk berwudhu atau debu untuk bertayammum.
Kedua, orang itu tidak dapat menggunakan air untuk berwudhu atau debu untuk bertayammum, karena suatu halangan syara’ (al-māni’), misalnya seorang muslim mengalami luka-luka (misal luka bakar) di sekujur tubuh, yang tidak memungkinkan dia untuk berwudhu atau bertayammum. Atau misalnya karena seorang muslim ditahan di suatu tahanan atau penjara yang lantainya ada najis (misal air kencing, dsb) yang merata di seluruh lantai. Atau misalnya pada badan seorang muslim itu ada najis yang tidak dapat dipisahkan dari badannya, dan sebagainya. Atau misalnya seorang muslim sedang berada di atas pesawat terbang, lalu tidak mendapat air atau debu untuk bersuci (untuk wudhu atau tayammum). (‘Ali Rāghib, Ahkāmus Sholāt, hlm. 9-10; Al-Khathīb Al-Syarbini, Mughni Al-Muhtāj, 1/274; Manshūr bin Yūnus Al-Bahūti, Kasysyāful Qinā’, 1/71; Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 32/190-191).
Lalu bagaimanakah muslim melaksanakan sholatnya, jika dia berada dalam dua kondisi tersebut? Di sini terdapat perbedaan pendapat (ikhtilāf) di kalangan ulama mengenai tatacara sholat wajib bagi muslim tersebut. Dalam masalah ini ada 3 (tiga) pendapat ulama;
Pertama, muslim itu tidak perlu sholat. Ini adalah pendapat ulama Malikiyyah.
Kedua, muslim itu sholat dalam kondisi apa adanya dia, dan mengulangi sholatnya setelah dia terlepas dari dua kondisi di atas. Ini adalah pendapat ulama Hanafiyyah dan Syafi’iyyah.
Ketiga, muslim itu sholat dalam kondisi apa adanya, dan tidak wajib mengulangi sholatnya. Ini pendapat ulama Hanabilah. (https://islamqa.info/ar/answers/325602/هل-يصلي-فاقد-الطهورين-النوافل; Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 32/190-191).
Pendapat yang rājih (kuat) dan dipilih oleh Imam Taqiyuddin An-Nabhani, rahimahullah, adalah pendapat ketiga, yaitu muslim yang tidak mendapati air untuk berwudhu, atau tidak mendapati debu untuk bertayammum, maka dia wajib sholat dalam kondisi apa adanya dia, dan tidak wajib mengulangi sholatnya, ketika dia mendapati (atau mampu menggunakan) air untuk berwudhu dan debu untuk bertayammum. Imam Taqiyuddin An-Nabhani, rahimahullah, berkata :
وَإِذَا لَمْ يَجِدْ الْمُكَلَّفُ لَا مَاءً وَلَا تُرَابًاً بِأَنْ حُبِسَ فِي مَوْضِعٍ نَجِسٍ، أَوْ حُبِسَ فِي مَوْضِعٍ كُلِّهِ بَلَاطٌ، أَوْ كَانَ فِي أَرْضٍ ذَاتِ وَحْلٍ، فَإِنَّهُ يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يُصَلِّيَ فِي الْحَالِ عَلَى حَسَبِ حَالِهِ وَلَا تَجِبُ عَلَيْهِ الْإِعَادَةُ إِذَا وَجَدَ الْمَاءَ
“Jika seorang mukallaf tidak mendapat air atau debu, misalkan dia dikurung di tempat yang bernajis, atau dikurung di tempat yang seluruhnya tertutup ubin (tidak ada debunya), atau (dikurung) di tanah yang penuh lumpur (tidak ada debunya), maka wajib baginya shalat dengan segera saat itu sesuai dengan kondisinya yang ada, dan tidak wajib baginya mengulanginya jika ia menemukan air.” (‘Ali Rāghib, Ahkāmus Sholāt, hlm. 9).
Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW yang memerintahkan kita untuk melaksanakan perintah syara’ semaksimal mungkin sesuai kemampuan yang ada :
وَإذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Dan jika aku perintahkan kamu untuk melakukan suatu perkara, maka laksanakanlah perintah itu sekuat kemampuanmu.” (HR. Bukhari, no. 7288; Muslim, no. 1337).
Dalil lainnya adalah hadits dari ‘A`isyah RA sebagai berikut :
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا اسْتَعَارَتْ مِنْ أَسْمَاءِ قِلَادَةٍ ، فَضَلَّتْهَا، فَبَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رِجَالًا فِي طَلَبِهَا، فَوَجَدُوهَا، فَأَدْرَكَتْهُمْ الصَّلَاةُ، وَلَيْسَ مَعَهُمْ مَاءٌ، فَصَلَّوْا بِغَيْرِ وُضُوءٍ، فَشَكَوْا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ آيَةَ التَّيَمُّمِ
Dari ‘Aisyah RA bahwa dia pernah meminjam dari Asma` sebuah kalung, lalu ‘A’isyah RA menghilangkan kalung itu. Maka Rasulullah SAW kemudian mengutus beberapa orang laki-laki untuk mencari kalung tersebut. Merekapun akhirnya menemukan kalung itu, lalu mereka mendapati waktu sholat telah tiba, tetapi mereka tidak mendapatkan air (untuk berwudhu). Maka mereka pun sholat tanpa berwudhu. Mereka kemudian mengadukan peritiwa tersebut kepada Nabi SAW, lalu turunlah ayat tentang tayammum.” (HR. Bukhari, no. 334; Muslim, no. 367; Abu Dawud, no. 317; An-Nasa’i, 1/163-165; Ibnu Khuzaimah, no. 261).
Imam Taqiyuddin An-Nabhani, rahimahullah, menyimpulkan bahwa dari hadits tersebut, boleh hukumnya sholat tanpa berwudhu dan tidak wajib mengulangi sholat jika mendapat air. Imam Taqiyuddin An-Nabhani berkata :
فَهَؤُلَاءِ صَلُّوْا مِنْ غَيْرِ وُضُوءٍ وَلَمْ يَأْمُرْهُمُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْإِعَادَةِ
“Maka mereka ini (beberapa laki-laki yang mencari kalung ‘A`isyah RA), telah melakukan sholat tanpa berwudhu, dan Nabi SAW pun tidak memerintahkan mereka untuk mengulangi sholatnya (jika mendapati air).” (‘Ali Rāghib, Ahkāmus Sholāt, hlm. 9).
Kesimpulannya, terhadap kasus yang ditanyakan di atas, jawaban kami adalah : ayah tersebut boleh sholat dalam kondisi apa adanya, tanpa berwudhu, karena kondisinya yang tidak memungkinkan pasca operasi jantung by pass, dan tidak wajib atas beliau mengulangi sholatnya jika kondisinya sudah normal atau sehat. Wallāhu a’lam.
Yogyakarta, 11 Oktober 2023 Muhammad Shiddiq Al-Jawi