Home Fiqih Fiqih Muamalah SETELAH BAGI HASIL SYIRKAH, TERNYATA MASIH ADA KELEBIHAN ASET, BAGAIMANAKAH CARA PEMBAGIANNYA?

SETELAH BAGI HASIL SYIRKAH, TERNYATA MASIH ADA KELEBIHAN ASET, BAGAIMANAKAH CARA PEMBAGIANNYA?

25

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi

 

Tanya :

Ustadz, mohon penjelasan mengenai adanya kelebihan aset setelah bagi hasil syirkah. Jadi fakta syirkahnya sebagai berikut. A dan B mengelola proyek perumahan dengan akad syirkah mudhārabah dimana A bertindak sebagai pemodal (shāhibul māl), sedang B juga menjadi pemodal (shāhibul māl) sekaligus menjadi pengelola modal (mudhārib/’ āmil). Modal total syirkah awalnya sebesar Rp 2 miliar dengan rincian; modal dari A sebesar Rp 1,4 miliar, dan modal dari B sebesar Rp 600 juta. Setelah proyek syirkah selesai, diperoleh total omzet sebesar Rp 10 miliar. Setelah modal dikembalikan kepada masing-masing pihak, dan setelah dikurangi beban-beban, seperti biaya tenaga kerja, biaya material bangunan, dsb, profit (laba) yang diperoleh besarnya Rp 7 miliar. Profit ini juga sudah dibagi sesuai persentase (nisbah) bagi hasil yang disepakati pada saat akad syirkah, yaitu A mendapat 70% dari profit dan B mendapat 30% dari profit. Maka bagi hasilnya, A mendapat 70% dari total profit yang besarnya Rp 7 miliar (Rp 4,9 miliar), sedangkan B mendapat 30% dari profit yang besarnya Rp 7 miliar itu (Rp 2,1 miliar). Nah, ternyata masih ada sisa aset berupa tanah yang luasnya 1000 meter persegi. Bagaimanakah cara pembagian aset ini? Apakah ketika dilakukan penilaian (taqwīm/valuation) terhadap aset ini, dihitung dari harga jual atau dari harga belinya? (Dadi Abdul Qahhar, Bandung).

 

Jawab :

Sebelum kami menjelaskan hukum syara’ mengenai pembagian kelebihan aset berupa tanah tersebut, kami perlu jelaskan lebih dulu 2 (dua) poin berikut ini :

Pertama, keabsahan mengenai syirkah mudharabah yang diamalkan oleh penanya di atas.

Kedua, proses liquidasi terhadap semua yang dimiliki syirkah (laba, aset, utang, dsb) ketika syirkah berakhir, yang dalam fiqih Islam disebut dengan istilah al-tashfiyyah (اَلتَّصْفِيَّةُ) atau al-tandhīdh (اَلتَّنْضِيْضُ).

 

Keabsahan Syirkah Mudharabah Yang Diamalkan

Jadi syirkah mudharabah yang diamalkan oleh penanya di atas, bukanlah model dasar dari syirkah mudharabah, yaitu pihak pertama adalah pemodal (shāhibul māl), sedang pihak kedua adalah pengelola modal (mudhārib/’ āmil) murni, yakni maksudnya pihak kedua ini tidak berkontribusi modal. Syirkah mudharabah yang diamalkan di atas adalah pihak pertama bertindak selaku pemodal (shāhibul māl), sedangkan pihak kedua, bertindak selaku pengelola modal (mudhārib/’ āmil) dan sekaligus juga sebagai pemodal (shāhibul māl).

Bolehkah syirkah mudharabah dengan model seperti itu? Jawabannya, boleh. Imam Ibnu Qudamah, rahimahullāh, dalam kitabnya Al-Mughnī ketika menjelaskan macam-macam syirkah, menjelaskan :

 اَلْقِسْمُ الرَّابِعُ مِنَ الشِرْكاَتِ، أَنْ يَشْتَرِكَ مَالاَنِ وَبَدَنُ صَاحِبِ أَحَدِهِماَ. فَهَذَا يَجْمَعُ شِرْكَةً وَمُضَارَبَةً، وَهُوَ صَحِيْحٌ. فَلَوْ كاَنَ بَيْنَ رَجُلَيْنِ ثَلاَثَةُ آلاَفِ دِرْهَمٍ، لِأَحَدِهِمَا أَلْفٌ، وَلِلْآخَرِ أَلْفاَنِ، فَأَذِنَ صَاحِبُ اْلأَلْفَيْنِ لِصَاحِبِ اْلأَلَفِ أَنْ يَتَصَرَّفَ فِيْهَا عَلىَ أَنْ يَّكُوْنَ الرِّبْحُ بَيْنَهُماَ نِصْفَيْنِ، صَحَّ. الإمام ابن قدامة، المغني، ج 7 ص 134.

“Jenis keempat dari macam-macam syirkah, adalah berserikatnya dua orang pemodal, dan pengelola modalnya adalah salah satu dari kedua pemodal tersebut. Bentuk ini menggabungkan antara syirkah (‘inān) dan mudharabah, dan ini benar (menurut syariah). Jadi kalau misalnya ada dua orang (yang bersyirkah) dengan modal total sebesar 3000 dirham, yang terdiri dari modal pihak pertama sebesar 1000 dirham, dan modal pihak kedua sebesar 2000 dirham, kemudian pemilik modal 2000 dirham mengizinkan pihak kedua (pemilik modal 1000 dirham) untuk mentasharrufkan modal 2000 dirham tersebut, dengan kesepakatan bagi hasil fifty-fifty (masing-masing mendapat 50% dari laba), hukumnya sah (menurut syariah).” (Imam Ibnu Qudamah, Al-Mughnī, Juz 7, hlm. 134).

 

Imam Taqiyuddin An-Nabhani, rahimahullāh, yang pendapatnya sejalan dengan pendapat Imam Ibnu Qudamah tersebut, juga membenarkan model syirkah mudharabah yang demikian dalam kitabnya Al-Nizhām Al-Iqtishādī fī Al-Islām :

وَمِنَ الْمُضَارَبَةِ أَنْ يَشْتَرِكَ مَالاَنِ وَبَدَنُ أَحَدِهِماَ. الإمام تقي الدين النبهاني، النظام الإقتصادي في الإسلام، ص 155.

“Termasuk syirkah mudharabah, adalah berserikatnya dua orang pemodal (shāhibul māl), dengan pengelola modal (mudhārib/’ āmil) salah satu dari orang pemodal itu.” (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizhām Al-Iqtishādī fī Al-Islām, hlm. 155).

 

Proses Liquidasi Syirkah (Al-Tandhīdh)

Ketika sebuah syirkah berakhir, terdapat suatu proses yang disebut dengan istilah al-tashfiyyah (اَلتَّصْفِيَّةُ) atau al-tandhīdh (اَلتَّنْضِيْضُ) dalam fiqih Islam yang tunjuannya adalah untuk memastikan apakah syirkah berakhir dengan mendapat laba (profit) dan jika ada labanya berapakah nilai labanya. Dalam Bahasa Inggris, istilah al-tandhīdh (اَلتَّنْضِيْضُ) diterjemahkan menjadi liquidation. (Lihat : AAOIFI [Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions], Shari’ah Standards, 1439 H/2017 M, hlm. 998; AAOIFI, Al-Ma’āyīr Al-Syar’iyyah, Edisi 1439 H/2017 M, hlm.1014).

Liquidasi atau al-tandhīdh (اَلتَّنْضِيْضُ) ini ada dua macam :

Pertama, liquidasi hakiki (de facto), atau actual liquidation. Bahasa Arabnya (اَلتَّنْضِيْضُ الْحَقِيْقِيُّ) atau al-taandhidh al-haqiqi.

Kedua, liquidasi hukmi (de jure), atau constructive liquidation. Bahasa Arabnya (اَلتَّنْضِيْضُ الْحُكْمِيُّ) atau al-tandhidh al-hukmi. (‘Abdullah Al-Thayyar, Al-Fiqh Al-Muyassar, Riyadh : Dar Al-Wathan li Al-Nasyr, 1433 H/2012 M, Juz 10, hlm. 75-76).

 

Definisinya masing-masing menurut Syekh ‘Abdullah Al-Thayyar dalam kitabnya Al-Fiqh Al-Muyassar, adalah sebagai berikut :

Pertama, definisi liquidasi hakiki (de facto)

اَلتَّنْضِيْضُ الْحَقِيْقِيُّ هُوَ بَيْعُ الْمَوْجُوْداَتِ وَتَحْصِيْلُ الدُّيُوْنِ بِحَيْثُ تَتِمُّ التَّصْفِيَّةُ النِّهاَئِيَّةُ لِلْمنِشآتِ وَالصَّنَادِيْقِ اْلإِسْتِثِماَرِيَّةِ وَغَيْرِهاَ

“Liquidasi hakiki (de facto) atau actual liquidation (اَلتَّنْضِيْضُ الْحَقِيْقِيُّ) adalah penjualan segala sesuatu yang ada (dalam syirkah) dan pengumpulan semua utang-utang, sedemikian sehingga terjadi liquidasi atau penyelesaian (اَلتَّصْفِيَّةُ) yang bersifat final terhadap segala aset, dana-dana investasi, dan lain-lain.” (‘Abdullah Al-Thayyar, Al-Fiqh Al-Muyassar, Riyadh : Dar Al-Wathan li Al-Nasyr, 1433 H/2012 M, Cetakan I, Juz 10, hlm. 75-76).

Real/actual liquidation is the sale of assets and the collection of debts so that the establishments, investment funds, etc. are finally liquidated.”

Kedua, definisi liquidasi hukmi (de jure)

اَلتَّنْضِيْضُ الْحُكْمِيُّ هُوَ تَقْوِيْمُ الْمَوْجُوْدَاتِ مِنْ عُرُوْضٍ وَدُيُوْنٍ بِقِيْمَتِهَا النَّقْدِيَّةِ لِتَحْدِيْدِ أَوْ تَوْزِيْعِ أَرْباَحِ الْمُضَارَبَةِ الْمُشْتَرَكَةِ أَوْ الشَّرِكاَتِ بِوَجْهٍ عَامٍّ

“Liquidasi hukmi (de jure) atau constructive liquidation (اَلتَّنْضِيْضُ الْحُكْمِيُّ) adalah penilaian (valuasi, taqwīm) terhadap segala sesuatu yang ada (dalam syirkah) baik itu yang berupa aset-aset maupun utang-utang, ke dalam nilainya menurut suatu mata uang tertentu (misal rupiah, US dolar, dsb) untuk menentukan atau membagikan laba syirkah mudharabah atau syirkah-syirkah lainnya secara umum.” (‘Abdullah Al-Thayyar, Al-Fiqh Al-Muyassar, Riyadh : Dar Al-Wathan li Al-Nasyr, 1433 H/2012 M, Cetakan I, Juz 10, hlm. 75-76).

“Judgmental/constructive liquidation is the valuation of assets, including debts, at their cash value to determine or distribute the profits of shirkah mudharabah or other shirkahs in general.”

Jadi, proses yang sedang dilakukan oleh penanya di atas, ketika syirkah hendak berakhir, dengan cara melakukan perhitungan untuk nilai aset, dsb, dalam fiqih Islam disebut dengan istilah al-tashfiyyah (اَلتَّصْفِيَّةُ) atau al-tandhīdh (اَلتَّنْضِيْضُ).

Para ulama terdahulu, ketika membahas proses ini al-tandhīdh (اَلتَّنْضِيْضُ) ini, hanya mengamalkan liquidasi hakiki (de facto) saja. Tidak ada khilāfiyah di antara ulama mengenai keabsahan atau kebolehan liquidasi hakiki (de facto). Adapun liquidasi hukmi (de jure), merupakan masalah baru yang hukumnya ada perbedaan pendapat di kalangan ulama kontemporer; sebagian ulama tidak membolehkan, sedang sebagian ulama lainnya membolehkan.

Menurut Syekh ‘Abdullah Al-Thayyar dalam kitabnya Al-Fiqh Al-Muyassar (hlm. 76), pendapat yang lebih kuat (rājih) adalah pendapat yang membolehkan, dengan dalil bahwa dalam syariah Islam itu dibolehkan adanya penilaian suatu barang secara de jure. Misalnya menilai barang yang dicuri oleh seorang pencuri apakah nilainya sudah mencapai seperempat dinar atau belum mencapai seperempat dinar. Rasulullah SAW bersabda :

لَا تُقْطَعُ يَدُ سَارِقٍ إِلَّا فِي رُبُعِ دِينَارٍ فَصَاعِدًا

“Tidak ada hukum potong tangan bagi seorang pencuri, kecuali pada (barang curian yang nilainya) seperempat dinar atau lebih.” (HR. Muslim, no. 1684).

 

Seperempat dinar itu adalah seperempat dari satu dinar (sama dengan 4,25 gram emas, dengan kadar 24 karat). Maka seperempat dinar itu adalah 1,0625 gram emas, dengan kadar 24 karat. Jika 1 gram emas 24 karat saat ini (14/12/2024) menurut ANTAM Jakarta, adalah = Rp 1.540.000, maka 1,0625 gram emas jika dirupiahkan sama dengan  = 1,0625 X Rp 1.540.000 = Rp 1.636.250.

 

Penilaian barang curian seperti itu, dengan mengkonversi nilai barang curian ke dalam satuan mata uang tertentu, misalnya rupiah atau dolar AS, atau ringgit Malaysia, dan sebagainya untuk konteks waktu dan tempat tertentu, hakikatnya adalah penilaian secara de jure. Jika boleh hukumnya penilaian de jure untuk barang curian, berarti boleh juga atas dasar qiyas melakukan penilaian barang-barang lain secara de jure, seperti dalam kasus liquidasi hukmi (de jure) (at-tandhīdh al-hukmī) untuk kasus liquidasi aset-aset syirkah. Jadi untuk mengetahui nilai barang yang dicuri itu apakah sudah mencapai seperempat dinar atau lebih, tidak perlu melakukan penilaian secara de facto, dengan cara menukar barang curian itu dengan barang lain atau dengan mata uang tertentu, tetapi cukup dengan menilainya secara de jure. (‘Abdullah Al-Thayyar, Al-Fiqh Al-Muyassar, hlm. 76).

 

Hukum Syara’ Terhadap Aset Tambahan Berupa Tanah

Adapun aset berupa tanah yang ditanyakan (seluas 1000 meter persegi), bagaimanakah pandangan syariah mengenainya? Jawabannya, tanah itu dianggap sebagai profit (keuntungan/laba). Ini karena keberadaan tanah di dalam syirkah mudharabah yang berjalan tersebut, sesuai dengan definisi dari profit/laba (al-ribhu), yaitu sebagai berikut :

اَلرِّبْحُ هُوَ مَا يَحْصُلُ بِالتِّجَارَةِ زِيَادَةً عَنْ رَأْسِ الْماَلِ

“Laba (keuntungan) adalah apa-apa yang merupakan kelebihan (ziyādah) dari modal sebagai hasil dari kegiatan usaha/bisnis (tijārah) yang dilakukan.” (Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughat Al-Fuqahā`, Beirut : Dar Al-Nafa`is, 1416 H/1996 M, Cetakan I, hlm. 195).

Maka dari itu, cara pembagian tanah tersebut, adalah mengikuti cara bagi hasil untuk laba (al-ribhu) yang sudah disepakati oleh dua pihak pada saat akad syirkah, sesuai kaidah fiqih mengenai bagi hasil syirkah yang berbunyi :

الوَضِيْعَةُ عَلَى الْمَالِ والرِّبْحُ عَلَى مَا اصْطَلَحُوا عَلَيْهِ

“Kerugian ditanggung oleh pemilik modal, sedangkan keuntungan (laba, al-ribhu, profit) dibagi sesuai kesepakatan di antara mereka.” (Imam ‘Abdur Razāq, Al-Muṣannaf, VIII, hlm. 248, no. 15087;  Imam Syaukani, Naylul Awthār, Juz V, hlm. 318).

Dengan demikian, pembagian tanah tersebut dilaksanakan sesuai dengan nisbah (persentase) bagi hasil yang sudah disepakati sebelumnya, yaitu : 70% dari laba untuk pihak pertama (pemodal), dan 30% dari laba untuk pihak kedua (pengelola modal sekaligus pemodal).

Pembagian tanah tersebut dapat dilakukan dengan dua cara; pertama, pembagian secara de facto, yaitu tanahnya dijual terlebih dahulu, kemudian uang hasil penjualannya dibagi kepada kedua pihak sesuai nisbah (persentase) bagi hasil yang disepakati di antara dua pihak. Kedua, pembagian secara de jure, yaitu tanah itu secara faktual tidak dijual, namun dijadikan milik bersama berdasarkan syirkah amlāk, sehingga tanah itu menjadi milik bersama dengan persentase saham kepemilikan mengikuti nisbah (persentase) bagi hasil yang disepakati di antara dua pihak. Tanah milik bersama ini untuk selanjutnya dapat di-tasharruf-kan lagi oleh kedua belah pihak untuk kegiatan-kegiatan bisnis berikutnya sesuai syariah, misalnya dijual, disewakan, dan sebagainya.

Yang terakhir, kami mengingatkan kepada masing-masing pihak, untuk jangan lupa membayar zakat perdagangan (zakāt ‘urūdh al-tijārah) atas rumah-rumah yang dijual dalam proyek perumahan yang sudah dilaksanakan. Zakatnya adalah 2,5 persen dari harga jual rumah, jika sudah memenuhi 2 (dua) kriteria zakat perdagangan, yaitu :

(1) nilai barang dagangan sudah mencapai nishāb, dan

(2) barang dagangan tersebut sudah melalui jangka waktu satu tahun (haul), terhitung sejak waktu ketika progres pembangunan rumah itu mencapai progres pembangunan minimal yang sudah dibolehkan untuk diperjualbelikan, yaitu minimal 51 persen dari progres pembangunan, sesuai kaidah fiqih :

لِلْأَكْثَرِ حُكْمُ الْكُلِّ

Li al-aktsari hukmu al-kulli. “Bagi sebagian besar (dari sesuatu) (yakni minimal 51%), hukumnya sama dengan keseluruhan dari sesuatu itu (100%).” (Muhammad Shidqi Al-Burnu, Mausū’ah Al-Qawā’id Al-Fiqhiyyah, Juz II, hlm. 254). Wallāhu a’lam.

 

Bandung, 14 Desember 2024

Muhammad Shiddiq Al-Jawi