Home Afkar SENI DAN PLURALISME AGAMA DALAM PERSPEKTIF ISLAM

SENI DAN PLURALISME AGAMA DALAM PERSPEKTIF ISLAM

72
Oleh : KH. M. Shiddiq al-Jawi
Pendahuluan: Fungsi Seni

Seni memiliki beberapa fungsi yang berbeda yang secara umum dapat dibagi menjadi 3 (tiga) fungsi; yaitu fungsi fisik (physical function), fungsi personal (personal function), dan fungsi sosial (social function). Fungsi fisik seni merupakan fungsi langsung yang secara spesifik terdapat pada suatu karya seni (artwork). Misalnya, masyarakat dalam awal sejarah seringkali menghiasi dan mendesain senjata-senjata dan berbagai peralatan mereka secara artistik. Karya seni yang terdapat pada senjata atau peralatan tersebut secara langsung memiliki fungsi yang spesifik. Contoh lain fungsi fisik seni adalah arsitektur dan desain bangunan yang dibuat dengan fungsi-fungsi fisik yang tertentu. (www.reference.com, source : arthistory.about.com).

Fungsi personal seni merupakan fungsi yang paling sulit dijelaskan karakternya, karena sangat bergantung pada pengalaman dan sejarah hidup seniman yang unik dan subjektif. Jadi variasi fungsi personal ini akan sangat luas sekali. Bisa jadi ada dua orang seniman menghasilkan karya seni yang sejenis, semisal lagu atau lukisan,  tetapi dua karya seni itu boleh jadi memiliki fungsi personal yang berbeda untuk masing-masing seniman. (www.reference.com, source : arthistory.about.com).

Fungsi sosial seni merupakan fungsi seni yang paling umum. Fungsi ini berperan untuk mengekspresikan pesan (message) tertentu yang hendak disampaikan seniman kepada masyarakat. Contohnya adalah karya lagu atau lukisan yang mengandung pesan religius atau pesan politik yang menjadi pendirian sang seniman. (www.reference.com, source : arthistory.about.com).

Berdasarkan tiga fungsi seni tersebut, boleh jadi seni memainkan fungsi untuk menyampaikan pesan-pesan religius tertentu seperti wacana pluralisme agama (religion pluralism, al-ta’addudiyyah al-diniyyah), yang sesungguhnya tidak sederhana dan memerlukan kehati-hatian, khususnya bagi seniman muslim. Mengapa? Karena wacana wacana pluralisme agama ini seringkali menjerumuskan muslim untuk berpandangan inklusivisme (menganggap benar semua agama), yang diyakini sebagai syarat mutlak untuk mewujudkan toleransi.  Selanjutnya toleransi ini konon diharapkan akan menimbulkan harmoni sosial di masyarakat yang plural agama. Pandangan inklusivisme ini dianggap antitesis dari pandangan eksklusivisme (menganggap agama sendiri yang benar), yang konon diyakini sebagai awal dari intoleransi, yang berujung pada sikap anti-sosial dan anti-harmoni dalam masyarakat yang berbentuk konflik di tengah masyarakat berdasarkan motif agama. Di sinilah kita perlu sejenak membicarakan wacana pluralisme agama.

Pluralisme Agama

Konsep pluralisme agama bermula dari fenomena alamiah di tengah manusia, yaitu adanya bermacam-macam agama di masyarakat. Masing-masing agama meyakini agamanya sendiri yang benar sedang agama yang lain batil. Dari sinilah kemudian muncul persoalan cabangnya, yaitu persoalan keselamatan (salvation), atau pencerahan (enlightenment), atau surga (al jannah) di Hari Kiamat. Artinya, ketika seseorang yakin agamanya sendiri yang benar, maka implikasinya penganut agama itulah yang akan masuk surga dan penganut agama lain masuk neraka. Keyakinan seperti ini tidak hanya terdapat pada level antar-agama misalnya antara Islam dan Kristen, tapi juga pada level intra-agama seperti halnya antara Katolik dan Kristen Protestan, juga antara Hinayana dan Mahayana dalam agama Budha. (Anis Malik Thoha, al-Ta’addudiyah al-Diniyyah Ru`yah Islamiyyah, 2001).

Sementara itu, di sisi lain kita jumpai banyak konflik yang bernuansa agama dalam sejarah, meski bisa jadi perbedaan agama bukan satu-satunya faktor pencetusnya. Misalnya konflik muslim versus Kristen di Bosnia Herzegovina awal 90-an, demikian pula di Philipina Selatan dan Sudan Selatan. Di Timur Tengah ada konflik muslim versus Yahudi di Palestina dan Israel, di Kashmir ada konflik muslim versus Hindu, di Irlandia Utara ada konflik Katolik versus Kristen Protestan, dan seterusnya.

Dari dua sisi tersebut, yakni fenomena keberagaman agama dan konflik antar agama, muncullah tawaran-tawaran pemikiran untuk mengatasi konflik-konflik antar agama tersebut, agar bisa terwujud suasana hidup berdampingan secara damai antar agama. Tawaran pemikiran inilah yang secara umum disebut dengan terminologi Pluralisme Agama (religion pluralism, al-ta’addudiyyah al-diniyyah).

Menurut Anis Malik Thoha (2001), terdapat 4 (empat) tren dalam ide-ide Pluralisme Agama, yang meskipun berbeda-beda idenya, tetapi bertemu pada satu titik, yaitu menyamakan semua agama (tasaawiy al-adyaan). Keempat tren ide-ide Pluralisme Agama adalah;(1) humanisme sekular (secular humanism); (2) teologi global (global theology); (3) sinkretisme atau ekletisisme (syncretism or ecleticism); (4) kebijakan abadi (perennial wisdom or shopia perennis).

Tren pertama, yaitu Humanisme Sekular, bertumpu pada dua ide utama, yakni ide antropocentrisme yang memandang bahwa manusialah yang menjadi pusat segala sesuatu, dan ide sekularisme yang memandang pemisahan agama dari politik sebagai prasyarat untuk kehidupan damai antar agama. Tren pertama ini banyak dianut oleh para politisi seperti Benjamin Franklin dan Harvey Cox.

Tren kedua, yakni Teologi Global, terwujud misalnya pada ide W.C. Smith dan John Hick. Jika W.C. Smith menghendaki peninjauan ulang terminologi “agama” maka John Hick memandang urgensinya mengubah sentral/fokus kajian agama. Fokus kajian yang semula tertuju pada “agama”, harus diubah menjadi berfokus pada “tuhan” menurut John Hick.

Tren ketiga, yaitu Sinkretisme atau Ekletisisme, diwakili antara lain oleh Brahma Samaj, Swami Vivekananda, Ramakrishna, dan Mahatma Gandhi. Tren ini memandang bahwa kebernaran bukan monopoli satu agama, karena kebenaran itu milik bersama semua agama-agama. Agama yang satu menyempurnakan agama yang lain. Bentuk nyata dari tren sinkretisme atau ekletisisme ini adalah agama baru bernama Sikh, yang dibuat oleh Sultan Kabir Nanak yang mencoba mencampuradukkan agama Islam, Hindu, dan Budha.

Tren keempat, yaitu tren perennial wisdom atau philosophy, antara lain terwujud dalam pemikiran Fritsjhof Schuon dan Seyyed Hossen Nasr. Inti dari pandangan ini, bahwa di balik fenomena lahiriah berupa agama-agama yang bermacam-macam, terdapat suatu realitas transenden yang tunggal yang menjadi milik bersama semua agama. Tren ini basis idenya adalah pembedaan dua hal, yaitu trancendent reality sebagai aspek batiniah yang tidak dapat dijangkau oleh siapa pun, dengan religious reality sebagai aspek lahiriah yang nampak dalam agama-agama yang bermacam-macam.

 

Bahaya Ide Pluralisme Agama

Anis Malik Thoha dalam disertasinya berjudul al-Ta’addudiyah al-Diniyyah Ru`yah Islamiyyah (2001) memberikan 2 (dua) kritik tajam terhadap ide Pluralisme Agama:

Pertama, ide Pluralisme Agama dengan empat tren tersebut, alih-alih dapat mengatasi konflik antar agama, sesungguhnya malah menimbulkan persoalan baru yang tidak kalah gawatnya dibanding konflik antar agama. Apa persoalan baru itu? Kata Anis Malik Thoha, ide Pluralisme Agama akan menghancurkan agama-agama (al-qadha` ‘ala al-adyan). Sebab substansi ide Pluralisme Agama yang menyamakan semua agama, atau menganggap semua agama benar, akan menyuburkan dua buah ide, yaitu; (1) sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan dan politik, dan (2) ide yang meragukan atau mengabaikan agama, yang terdapat pada ide atheisme (al-ilhadiyah) dan agnoticisme (al-laa-adriyyah). Jika kedua ide ini tumbuh subur dalam masyarakat yang menganggap benar semua agama, maka pada gilirannya akan dapat menghancurkan agama-agama, atau mempunahkan agama-agama dari muka bumi.

Keduaide Pluralisme Agama akan melahirkan pluralisme formalitas (al-ta’addudiyyah al-syakliyyah), yakni suatu kondisi adanya beraneka ragam agama, tetapi penganut agama tidak menjalankan agama secara sesungguhnya, melainkan menjalankan agama secara formalitas belaka. Beragama tidaklah mengikuti tuntunan yang asli (genuine) lagi tapi justru menjalankan kepalsuan yang kosong dari nilai-nilai hakiki suatu agama. Munculnya pluralisme formalitas ditandai dengan adanya dua ide; (1) tamaatsuliyyah, yakni anggapan bahwa agama lain sama saja dengan agama sendiri. (2) munculnya agama-agama baru (al-adyaan al-jadiidah), yakni agama-agama yang dibuat manusia sendiri dengan maksud untuk mewujudkan perdamaian dunia.

Terhadap substansi ide Pluralisme Agama itu sendiri, yaitu menyamakan semua agama (tasaawiy al-adyaan), Anis Malik Thoha mengatakan bahwa ide ini yang seakan-akan menghormati agama lain, namun sesungguhnya justru sebaliknya, yakni bersikap keras (al-qasry) dan intoleran (ghairu al-tasaamuh) terhadap agama lain. Mengapa? Karena ide ini berarti telah menghilangkan keyakinan unik pada masing-masing agama (bahwa agamanya saja yang benar) dan memaksakan satu keyakinan baru (bahwa semua agama benar). Dengan kata lain, terdapat kontradiksi pada ide Pluralisme Agama itu sendiri (self contradiction), yaitu alih-alih melestarikan keyakinan agama masing-masing, tetapi faktanya malah menafikan keberagaman antar agama itu sendiri.

Dari penjelasan ini, jelaslah bahwa ide Pluralisme Agama dapat dikatakan bukan hanya akan gagal mengatasi konflik antar agama, tetapi lebih dari itu akan menimbulkan persoalan-persoalan baru yang tidak kalah gawatnya dan dahsyatnya dibanding konflik antar agama, yatu hancurnya agama-agama itu sendiri serta munculnya agama-agama baru buatan manusia dan suburnya sikap-sikap ateistik dan agnostik dalam beragama.

Maka dari itu, jelaslah bahwa ide Pluralisme Agama tidak mungkin diterima oleh Islam, karena ide tersebut termasuk dalam upaya untuk menghapuskan agama Islam yang sudah pasti harus ditolak oleh umat Islam. Firman Allah SWT :

يُرِيدُونَ أَنْ يُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللَّهُ إِلاَّ أَنْ يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ

Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan- ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahayaNya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai.” (QS At-Tawbah, 9:32).

 

Kemajemukan Agama dalam Perspektif Islam

Islam dengan tegas tanpa tedeng aling-aling menganggap hanya agama Islam sajalah yang benar (QS Ali ‘Imran 3:19), dan selain agama Islam tidak diterima oleh Allah SWT (QS Ali ‘Imran, 3:85). Namun keyakinan eksklusif ini di dalam masyarakat Islam yang menerapkan hukum Islam, tidak otomatis boleh menjadi alasan untuk memusuhi atau menganiaya penganut agama non-Islam (ahludz dzimmah), selama penganut agama lain itu tidak memerangi umat Islam. Firman Allah SWT :

لا يَنْهَاكُمْ اللَّهُ عَنْ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS Al-Mumtahanah, 60:8).

Dalam masyarakat Islam tersebut, penganut agama non-Islam (ahludz dzimmah) diberi hak untuk menganut agamanya yang non Islam, tidak dipaksa masuk Islam (QS Al-Baqarah, 2:256). Selain itu, mereka yang non-islam itu dibolehkan melaksanakan urusan ibadah, pernikahan, makanan, minuman, dan pakaian, menurut agama mereka dalam koridor pengaturan kehidupan umum dalam syariah Islam. Intinya, mereka hanya diwajibkan tunduk pada syariah Islam dalam ranah kehidupan umum (publik). Sedangkan dalam ranah kehidupan pribadi, seperti keyakinan beragama, ibadah, pernikahan, dan sebagainya, mereka tetap dibolehkan menjalankan agamanya masing-masing dan tidak dipaksa masuk Islam atau dipaksa mengikuti ketentuan syariah Islam. Banyak kitab para ulama menjelaskan bagaimana hak dan kewajiban non-muslim dalam masyarakat Islam, seperti Ahkam Ahlidz Dzimmah karya Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyyah.

Dalam konteks hubungan internasional dan hukum perang, memang Islam dengan tegas mengajarkan adanya kewajiban jihad fi sabilillah kepada kaum kafir dalam rangka dakwah kepada Islam (QS At-Tawbah, 9:29). Ini disebut jihad hujumi atau jihad thalabi, yaitu perang dalam rangka dakwah Islam, sebagai kebalikan dari jihad difa’i, yakni perang defensif untuk mempertahankan diri ketika musuh kafir menyerang sebuah negeri Islam. Namun demikian, jihad hujumi atau jihad thalabi ini pun juga tidak boleh dilakukan secara semena-mena karena ada rambu-rambu syariah yang wajib diikuti. Di antaranya adanya tahap mendakwahkan Islam secara damai yang wajib dilakukan terlebih dahulu, dan kemudian ada tawaran agar mereka membayar jizyah dan tunduk kepada hukum Islam, sebagaimana dijelaskan dalam hadits-hadits Nabi SAW. Penjelasan detailnya dapat dibaca dalam kitab-kitab tentang jihad, di antaranya kitab Al-Jihad wa Al-Qital fi al-Siyasah al-Syar’iyyah karya Syekh Muhamad Khair Haykal.

 

Penutup

Salah satu fungsi seni adalah fungsi sosial, yaitu sebagai sarana ekspresi seniman untuk menyampaikan pesan (message) dalam karya seninya (artwork) kepada masyarakat luas. Di antara pesan (message) yang adalah persoalan kemajemukan agama yang ada di tengah masyarakat.

Konsep Pluralisme Agama harus disikapi dengan sangat hati-hati oleh seniman, karena ide ini sekalipun terlihat indah dan menjanjikan kedamaian dan perdamaian hidup antar agama, tetapi mengandung bahaya destruktif yang tak kalah dahsyat dibanding konflik antar agama. Ide Pluralisme Agama yang menyamakan semua agama berpotensi menghancurkan agama-agama, menyuburkan sikap ateisik dan agnostik, serta memunculkan agama-agama baru buatan manusia.

Seniman muslim sudah seharusnya tidak menggunakan seni untuk menyebarkan paham Pluralisme Agama yang sesat dan destruktif tersebut. Yang harus disebarkan oleh seniman adalah bagaimana Islam dengan Syariahnya yang adil dan indah dapat menaungi dan mengelola masyarakat plural agama dalam koridor syariah Islam. Wallahu a’lam.

= = =

*Makalah disampaikan dalam Diskusi Seni yang diselenggarakan oleh KHAT (Khilafah Arts Network), pada Arts Presentation & Buka Bersama dengan tema “Plur Tak Blur”,  Dalem Caritogomo, Bantul, Yogyakarta, Rabu 7 Juni 2017.

**Penasehat KHAT (Khilafah Arts Network). Pimpinan Pesantren Hamfara, Yogyakarta. Mahasiswa Doktoral Program Dirasah Islamiyah UIN Sunan Ampel Surabaya.

Tahun Penulisan 2020
Sumber : https://tsaqofah.id/seni-dan-pluralisme-agama-dalam-perspektif-islam/