Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi | Pakar Fiqih Mu’amalah & Kontemporer
Tanya :
Ustadz afwan, saya sedang menggalang dana untuk pembangunan masjid dan juga untuk beberapa program kebaikan, seperti Nasi Berbuka. Saya mengajak beberapa orang untuk menjadi relawan penggalang dana (fundraiser) dan merekrut 1 orang karyawan sebagai koordinator fundraiser merangkap sebagai pengajar ngaji. Bagaimana hukumnya jika saya memberikan fee % atas pendapatan wakafnya dan infaqnya? Jika diperbolehkan, berapa % range yang diperbolehkan? (Hesti, Jakarta).
Jawab :
Untuk menjawab pertanyaan di atas, pertama-tama harus kita ketahui lebih dulu 2 (dua) hal; yaitu pertama, apakah jenis akad yang ada dalam kegiatan penggalangan dana tersebut? Kedua, jika sudah diketahui jenis akadnya, bagaimanakah penentuan imbalan (fee) dalam akad tersebut?
Jawaban untuk pertanyaan pertama, jenis akad yang ada dalam kasus ini ialah akad ijārah, yaitu akad bekerja dengan imbalan (fee, ujrah), atau lebih khusus disebut ijārah al-ajīr. Dalam akad ijārah al-ajīr ini, ada dua pihak;
Pertama, pihak yang disebut ajīr (pekerja/worker), yaitu pihak yang bekerja memberikan jasanya untuk melayani pihak kedua, yaitu pemberi kerja (musta`jir).
Kedua, pihak yang disebut musta`jir (pemberi kerja), yaitu pihak yang meminta pekerja untuk bekerja dan memberikan imbalan (fee, ujrah) kepada pihak ajīr (pekerja/worker) atas kerja yang dilakukannya. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizhām Al-Iqtishādi fi Al-Islām, hlm. 85).
Dalam kasus yang ditanyakan, pihak ajīr (pekerja/worker) adalah sejumlah orang yang bekerja melakukan penggalangan dana (fundraising) dari masyarakat. Sedangkan pihak kedua, yaitu musta`jir (pemberi kerja), adalah publik atau masyarakat umum, yang menyumbangkan dananya agar disalurkan untuk kegiatan tertentu sesuai kesepakatan antara masyarakat dengan para fundraiser tersebut. Pihak ajīr (pekerja/worker) yang bekerja untuk publik ini mempunyai istilah khusus dalam fiqih Islam, disebut ajīr ‘ām atau ajīr musytarak (pekerja publik/public worker). Istilah ini untuk membedakan dengan pekerja yang bekerja secara khusus untuk melayani user (musta`jir/pemberi kerja) tertentu, bukan bekerja untuk publik, yang disebut dengan istilah ajīr khash (pekerja khusus/private worker). (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizhām Al-Iqtishādi fī Al-Islām, hlm. 85; Al-Syakshshiyyah Al-Islāmiyyah, 2/320).
Adapun untuk pertanyaan kedua, setelah jenis akad sudah diketahui dengan jelas sebagai akad ijārah al-ajīr, lalu bagaimanakah penentuan imbalan (fee, ujrah) dalam akad ijārah al-ajīr tersebut? Jawabannya, imbalan (fee, ujrah) wajib hukumnya ditetapkan secara jelas (ma’lūm) ketika terjadi akad antara ajīr (pekerja) dengan musta`jir (pemberi kerja). Misalnya, disepakati antara dua pihak tersebut, seorang fundraiser, digaji Rp 5 juta per bulan. Imbalan atau upah yang disepakati dengan jelas jumlah nominalnya ini, disebut dalam fiqih Islam dengan istilah al-ajru al-musammā.
Namun ada jenis upah (ujrah) yang kedua, yang disebut ajrul mistli, yaitu upah yang semisal. Ajrul mistli dalam akad ijārah al-ajīr dijadikan patokan untuk menentukan besaran upah, dalam dua keadaan, yaitu : (1) ketika akad ijārah al-ajīr terjadi, tidak disebutkan dengan jelas berapa nominal gajinya, atau (2) ketika terjadi perselisihan (sengketa/dispute) antara ajīr (pekerja) dengan musta`jir (pemberi kerja) mengenai berapa besarnya upah untuk pekerja. Imam Taqiyuddin An-Nabhani dalam masalah ini menjelaskan :
فَإِذَا لَمْ يُسَمَّ اْلأَجْرُ عِنْدَ عَقْدِ اْلإِجَارَةِ، أَوِ اخْتَلَفَ اْلأَجِيْرُ وَالْمُسْتَأْجِرُ فِي اْلأَجْرِ الْمُسَمَّى، فَإِنَّهُ يَرْجِعُ إِلىَ أَجْرِ الْمِثْلِ
“Maka jika besarnya upah tidak disebutkan pada saat akad ijārah al-ajīr, atau ketika ajīr (pekerja) dengan musta`jir (pemberi kerja) berselisih mengenai berapa besarnya upah, maka besarnya upah ditentukan dengan mengacu pada ajrul mitsli (upah yang semisal).” (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizhām Al-Iqtishādi fī Al-Islām, hlm. 101).
Yang dimaksud ajrul mitsli (upah yang semisal) ada dua kemungkinan; pertama, upah yang besarnya semisal untuk pekerjaan yang sama (yang dikerjakan oleh pekerja lain di lembaga/perusahaan lain), jika akad ijārah al-ajīr yang ada mengacu pada manfaat pekerjaan (tanpa melihat siapa pekerjanya). Kedua, upah yang besarnya semisal untuk pekerja yang sama, jika akad ijārah al-ajīr yang ada mengacu pada manfaat pekerja (dengan melihat siapa pekerjanya). (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizhām Al-Iqtishādi fī Al-Islām, hlm. 102).
Sebagai contoh, seorang fundraiser di sebuah lembaga filantropi yang baru, ternyata tidak tahu berapa gajinya karena tidak ada perjanjian khusus dengan yang memperkerjakan dia, yaitu pihak publik. Maka besaran gaji untuknya dapat mengacu pada fundraiser dari lembaga filantropi lain yang sudah ada, yang deskripsi pekerjaannya kurang lebih sama dengan pekerjaan fundraiser di lembaga baru tersebut. Dalam bahasa manajemen modern, besarnya gaji fundraiser lembaga baru tersebut, hendaklah mengacu pada lembaga filantropi lain yang sudah ada lebih dulu, yang menjadi benchmark (acuan contoh).
Demikianlah cara penentuan besarnya gaji bagi fundraiser, dalam kondisi ketika besarnya gaji sejak awal memang tidak disebutkan oleh pihak publik yang mempekerjakan dia.
Wajib kami tambahkan hal yang tak kalah pentingnya, yaitu cara penetapan upah untuk ajīr (pekerja), tidak boleh menggunakan persentase dari output yang dia hasilkan. Misalnya, seorang buruh tani yang bekerja memanen padi, diberi upah berupa 30% dari hasil padi yang berhasil dia panen. Hal ini tidak diperbolehkan, karena mengandung unsur ketidakjelasan (al-jahālah) yang mengakibatkan akad ijārah-nya menjadi tidak sah. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizhām Al-Iqtishādi fī Al-Islām, hlm. 91).
Jadi penetapan besarnya upah dalam akad ijārah al-ajīr itu wajib dalam bentuk jumlah nominal yang tertentu, misal Rp 5 juta per bulan, dsb, agar terwujud kejelasan (al-ma’lūmiyyah) yang dituntut oleh syara’, sesuai sabda Rasulullah SAW :
مَنْ اسْتَأْجَرَ أَجِيْرًا فَلْيُعْلِمْهُ أَجْرَهُ
”Barangsiapa mempekerjakan seorang pekerja, maka hendaklah dia memberitahukan kepadanya berapa upahnya.” (manista`jara ajīran falyu’limhu ajrahu). (HR. Al-Daraquthni, lihat Imam Ibnu Hajar Al-Asqalāni, Al-Talkhīsh Al-Habīr,1/168). (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizhām Al-Iqtishādi fī Al-Islām, hlm. 90-91).
Kesimpulannya, terhadap pertanyaan,”Bagaimana hukumnya jika saya memberikan fee % atas pendapatan wakafnya dan infaqnya?” jawabannya, tidak boleh memberikan fee % atas pendapatan wakafnya dan infaqnya, karena dalam hukum ijārah al-ajīr, fee wajib berupa jumlah nominal yang jelas (ma’lūm), tidak boleh dalam bentuk persentase dari hasil kerja (output) yang bersifat majhūl (tidak jelas).
Jika fee tidak disebutkan atau ditentukan pada saat akad ijārah al-ajīr, penentuan besarnya fee menggunakan standar ajrul mitsli (upah yang semisal), yaitu mengacu pada pekerja yang serupa pekerjaannya dari lembaga filantropi lain yang lebih dulu ada yang menjadi benchmark (acuan contoh). Wallāhu a’lam.
Yogyakarta, 31 Oktober 2023 Muhammad Shiddiq Al-Jawi