Home News PAKAR FIQIH: ISLAM ITU MENGATUR SEGALA ASPEK KEHIDUPAN TERMASUK ASPEK POLITIK

PAKAR FIQIH: ISLAM ITU MENGATUR SEGALA ASPEK KEHIDUPAN TERMASUK ASPEK POLITIK

90
shiddiqaljawi.com – Pakar Fikih Kontemporer KH Muhammad Shiddiq al-Jawi menyatakan Islam adalah agama yang komprehensif atau kaffah mengatur aspek kehidupan termasuk politik.

“Islam itu adalah agama yang apa namanya komprehensif atau yang kaffah mengatur segala aspek kehidupan termasuk di dalamnya adalah aspek politik,” ujarnya dalam acara Perspektif: Menag Yaqut, Agama sebagai Alat Politik, Gak Bahaya Ta??!! di kanal YouTube Pusat Kajian dan Analisis Data, Selasa (5/9/23).

Sebab, lanjutnya, di dalam Al-Qur’an disebutkan ayat yang menyatakan bahwa Islam itu adalah agama yang kaffah atau menyeluruh. Misalnya, di dalam surah an-Nahl ayat 89, yang artinya:

“Dan Kami turunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu, sebagai petunjuk, serta rahmat dan kabar gembira bagi orang yang berserah diri (Muslim).”

Menjelaskan segala sesuatu itu artinya, menurutnya, termasuk menjelaskan bagaimana berpolitik. “Jadi kalau di dalam agama Islam itu, politik itu termasuk ya bagian dari kegiatan yang diatur oleh Islam, diatur oleh Qur’an gitu,” tuturnya.

Berbeda dengan paham sekuler, ungkapnya, orang yang berpaham sekuler itu akan memisahkan agama dari politik.

“Jadi, kalau orang yang berpaham sekuler yang memisahkan agama, ya dalam hal ini termasuk agama Islam dari aspek politik, ini tentu orang seperti ini akan anti terhadap penggunaan agama atau pengamalan agama dalam ranah politik,” jelasnya.

Contohnya, jelasnya, terkait pemimpin. Pemimpin dalam Islam itu tidak boleh non-Muslim dan hukumnya adalah haram. Dijelaskan di dalam Al-Qur’an surah an-Nisa ayat 59.

“Nah, kalau bagi orang-orang yang sekuler yang tidak menggunakan agama atau anti agama itu enggak boleh mengatur politik, dia (orang sekuler) akan menolak atas dasar argumen mungkin bisa jadi, jangan gunakan agama sebagai alat politik, karena begitu, surah an-Nisa ayat 59 atau mungkin ayat yang lainnya, surah al-Maidah itu yang dulu kasus Ahok itu digunakan dalam ranah politik itu mereka merasa terhambat,” ungkapnya.

Perbedaan

Kiai Shiddiq juga menjelaskan perbedaan antara politik Islam dengan politik orang Islam. Politik Islam mengutip dari kitab Afkar Siyasiyah, menurutnya, as-siyasah (politik) itu adalah riayahtussu’unil ummah bil Islam, yaitu mengatur berbagai macam urusan umat ini dengan Islam.

“Jadi berbagai urusan umat ini ketika diatur dengan Islam, pengaturan itulah yang disebut dengan siyasah islamiyyah atau siyasah syariah. Mengatur pendidikan dengan Islam, mengatur perekonomian dengan Islam. Nah, ketika itu dilakukan itulah yang disebut politik Islam,” tuturnya.

Berbeda dengan politik orang Islam, bebernya, kalau politiknya orang Islam itu adalah orangnya Islam tapi nilai-nilai atau standar-standarnya itu adalah politik sekuler, politik Barat.

“Jadi sekarang yang ada itu menurut saya seperti pernyataan Menteri Agama jangan memilih pemimpin yang menggunakan agama sebagai alat politik, ini tidak bisa disebut politik Islam, ini politiknya orang Islam, jadi beliau itu walaupun beragama Islam apalagi Menteri Agama tapi ini konteksnya politik, politiknya orang Islam, artinya pemikiran-pemikiran yang mendasari statement beliau itu tidak bisa disebut politik Islam,” ucapnya.

Siyasah Syar’iyah atau Pragmatis

Kiai Shiddiq juga menjelaskan, kalau seorang Muslim berpolitik menggunakan standar syariah maka dia telah bersiyasah syar’iyah.

Namun sekarang, ungkapnya, politik ini dikuasai oleh pragmatisme politik artinya berpolitik tetapi tidak menggunakan Islam sebagai standarnya.

“Yang diperhatikan adalah bermanfaat atau tidak bermanfaat, bisa mencapai tujuan atau tidak bisa mencapai tujuan, jadi ini yang kalau dalam istilah filsafat itu disebut dengan paham pragmatisme, yaitu paham yang mengukur benar dan salah itu hanya dari segi aspek manfaat,” tuturnya.

Jika orang itu sudah berpolitik pragmatis, lanjutnya, maka agama itu hanya sebagai alat legitimasi. “Karena dia sebenarnya tidak berpatokan pada halal haram tapi berpatokan pada manfaat bermanfaat atau tidak,” jelasnya.

Realitas Politik

Kiai Shiddiq membeberkan, realitas politik, pendidikan, ekonomi harus mendudukan Islam sebagai imam.

Gitu, ya imam, kemudian realitas itu makmum, mengikuti bagaimana ketentuan realitas, tidak boleh sebaliknya yaitu Islam itu hukumnya itu kemudian dibelok-belokkan dibengkok-bengkokkan mengikuti realitas itu tidak boleh, itu sangat berbeda sekali hasilnya,” tegasnya.

Kemudian ia mengutip Hadits Arbain, Rasulullah SAW bersabda, yang artinya, “Tidak beriman seorang dari kalian hingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa” (hadits hasan sahih).

Ia juga memberikan contoh ketika orang ingin berkuasa harus mengikuti ketentuan syariah. “Jadi kalau orang itu berkuasa tapi tidak menerapkan syariah itu berarti mengikuti hawa nafsu,” tuturnya.

Namun sekarang ini ujarnya, dalam sistem demokrasi yang terjadi adalah mendudukan orang Islam dalam pemerintahan bukan mendudukkan Islam dalam pemerintahan.

“Syariat sekarang yang perlu kita pikirkan itu adalah bagaimana mendudukkan Islam dalam pemerintahan ini tentu memerlukan sosok pemimpin yang tentunya Muslim tetapi dia membawa Islam bukan membawa selain syariah Islam,” jelasnya.

Jadi, tuturnya, jika ingin berkuasa tapi setelah nanti berkuasa menjalankan undang-undang yang dibuat lembaga legislatif itu tidak ada jaminan untuk menjalankan syariah Islam.

“Secara garis besar sebagian besar itu hukum yang tidak bersumber dari Islam berarti enggak bisa yang seperti itu enggak diterima sebagai bagian dari berpolitik secara Islam,” pungkasnya.[] Setiyawan Dwi – mediaumat.id