Home Pemikiran MUSYAWARAH SEBAGAI CARA PENGAMBILAN PENDAPAT DALAM ISLAM

MUSYAWARAH SEBAGAI CARA PENGAMBILAN PENDAPAT DALAM ISLAM

75

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi

 

Pendahuluan

Umat Islam perlu memahami musyawarah atau syura, sebagai mekanisme pengambilan keputusan atau pendapat yang diajarkan dalam agama Islam, dalam sebuah organisasi. Hal ini karena umat Islam faktanya banyak yang terlibat dalam sebuah organisasi, apa pun organisasi itu, misalnya, partai politik, organisasi masyarakat (ormas), organisasi di sekolah, organisasi kampus, organisasi RT, RW, dan sebagainya, bahkan termasuk organisasi pemerintahan seperti lembaga Majelis Ummat dalam negara Khilafah.

Hanya saja, pemahaman umat mengenai mekanisme musyawarah atau syura dalam berorganisasi itu kadang-kadang tidak jernih alias nge-blur, dalam beberapa aspek yang strategis terkait musyawarah. Misalnya, apa kriteria yang dipakai untuk mengambil pendapat dalam sebuah musyawarah menurut kaidah-kaidah dalam agama Islam? Apakah harus selalu menggunakan pendapat yang didukung oleh mayoritas suara? Ataukah ada pertimbangan yang lain?

Di sinilah tulisan ini hadir dengan tujuan untuk menjelaskan seputar hukum musyawarah atau syura tersebut secara lebih detail, dengan menjelaskan 3 (tiga) pokok bahasan sebagai berikut;

  1. Pengertian Musyawarah
  2. Hukum Musyawarah
  3. Kriteria Pengambilan Pendapat Dalam Musyawarah

 

Pengertian Musyawarah

Musyawarah (syurā) menurut makna Bahasa Arab (ma’na lughawī) antara lain mempunyai makna :

  • mengeluarkan madu dari sarang lilin [lebah] (istikhrāj al-‘asl min qursh al-syama’),
  • memeriksa tubuh hamba sahaya perempuan dan binatang ternak pada saat pembelian (tafahhush badan al-amah wa al-dābbah ‘inda al-syirā`),
  • menampakkan diri dalam medan perang (isti’rādh an-nafs fī maydān al-qitāl), dan sebagainya. (Mahmud Abdul Majid Al-Khalidi, Qawā’id Nizhām Al-Hukm fī Al-Islām, hlm.141).

Adapun musyawarah menurut makna syariah, definisinya adalah :

اَلشُّوْرَى هِيَ أَخْذُ الرَّأْيِ فِي اْلإسْلاَمِ

“Musyawarah  (syura) adalah pengambilan pendapat dalam Islam.” (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islāmiyyah, Juz I, hlm. 245).

Penjelasan definisi musyawarah (syura) tersebut adalah sebagai berikut :

  • Musyawarah (syura) itu dilakukan oleh setiap amir (pemimpin) dengan orang-orang yang dipimpinnya, untuk mengambil suatu pendapat. Pemimpin itu misalnya seorang khalifah, seorang komandan pasukan (qā`id), atau setiap orang yang mempunyai kewenangan/otoritas (shāhib al-shalāhiyyah), seperti kepala sekolah, direktur perusahaan, Amirul Hajj, Ketua Panitia, Ketua Takmir Masjid, dsb.
  • Musyawarah dapat dilakukan juga di antara suami isteri, misalnya untuk memusyawarahkan penyapihan anak mereka sebelum dua tahun, sebagaimana firman Allah SWT :

فَاِنْ اَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا ۗ

“Apabila keduanya ingin menyapih dengan persetujuan dan permusyawaratan antara keduanya, maka tidak ada dosa atas keduanya.” (QS Al-Baqarah : 233)

  • Dalam sistem Khilafah, Majelis Ummat merupakan kelembagaan formal untuk melaksanakan musyawarah dengan Khalifah.
  • Musyawarah (syura) merupakan hak kaum muslimin semata, bukan yang lain. Jadi musyawarah itu sama hukumnya dengan ibadah-ibadah yang khusus bagi kaum muslimin, seperti sholat, zakat, haji, berkurban, dsb. Jadi orang non muslim (kafir) tidak berhak dan tidak diperbolehkan menjadi peserta musyawarah atau syura, untuk mengambil suatu pendapat. Hal ini berdasarkan dalil QS Ali ‘Imran : 159; dan QS Al-Syura : 38, sebagaimana diuraikan oleh Imam Taqiyuddin An-Nabhani, dalam kitabnya Al-Syakhshiyyah Al-Islāmiyyah Juz I.

Dalam QS Ali ‘Imran : 159, jika ayatnya dibaca lengkap, akan jelas bahwa musyawarah (syura) yang diperintahkan oleh Allah kepada Rasulullah SAW adalah terbatas dengan orang-orang Islam saja, bukan dengan manusia secara umum baik muslim maupun  non muslim. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islāmiyyah, Juz I, hlm. 245-247).

Firman Allah SWT :

فَبِمَا رَحۡمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنۡتَ لَهُمۡ‌ۚ وَلَوۡ كُنۡتَ فَظًّا غَلِيۡظَ الۡقَلۡبِ لَانْفَضُّوۡا مِنۡ حَوۡلِكَ‌ ۖ فَاعۡفُ عَنۡهُمۡ وَاسۡتَغۡفِرۡ لَهُمۡ وَشَاوِرۡهُمۡ فِى الۡاَمۡرِ‌ۚ فَاِذَا عَزَمۡتَ فَتَوَكَّلۡ عَلَى اللّٰهِ‌ؕ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الۡمُتَوَكِّلِيۡنَ

“Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal.” (QS Ali ‘Imran : 159).

Menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani, firman Allah SWT yang berbunyi :

وَشَاوِرۡهُمۡ فِى الۡاَمۡرِ

“…dan bermusyawarahlah kamu (Muhammad) dengan mereka dalam urusan itu.” (QS Ali ‘Imran : 159)

maksudnya adalah perintah bermusyawarah dengan kaum muslimin saja, bukan dengan kaum yang lain. Ini karena yang dimaksud dengan “mereka” (hum), merujuk pada sifat-sifat tertentu dalam bunyi ayat sebelumnya, yang tidak mungkin ada sifat-sifat itu, kecuali bagi kaum muslimin saja. Sifat-sifat tertentu tersebut terdapat dalam bunyi ayat sebagai berikut :

فَاعۡفُ عَنۡهُمۡ وَاسۡتَغۡفِرۡ لَهُمۡ

“Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka.” (QS Ali ‘Imran : 159).

Padahal dalam Al-Qur`an, Allah SWT telah melarang Nabi SAW dan umat Islam untuk memohonkan ampunan bagi orang-orang kafir, sesuai firman Allah SWT dalam QS At-Taubah ayat 113 berikut :

مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَنْ يَّسْتَغْفِرُوْا لِلْمُشْرِكِيْنَ وَلَوْ كَانُوْٓا اُولِيْ قُرْبٰى مِنْۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ اَنَّهُمْ اَصْحٰبُ الْجَحِيْمِ

 “Tidak pantas bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memohonkan ampunan (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, sekalipun orang-orang itu kaum kerabat(nya), setelah jelas bagi mereka, bahwa orang-orang musyrik itu penghuni neraka Jahanam.” (QS At-Taubah : 113).

‌Adapun dalam QS Al-Syura : 38, bunyi ayatnya secara lengkap adalah :

وَٱلَّذِينَ ٱسْتَجَابُوا۟ لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَىٰ بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَٰهُمْ يُنفِقُونَ

“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka. Dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS Al-Syura : 38)

Ayat tentang musyawarah (syura) tersebut, biasanya hanya dikutip sebagian saja sebagai berikut :

وَأَمْرُهُمْ شُورَىٰ بَيْنَهُمْ

“Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka.” (QS Al-Syura : 38)

Padahal jika ayatnya dibaca secara lengkap, akan jelas maknanya, bahwa yang dimaksud dengan kalimat “urusan mereka”  (Arab : amruhum) adalah urusan di antara kaum muslimin saja. Dan yang dimaksud dengan kalimat “antara mereka” (Arab : baynahum) adalah antara kaum muslimin saja.

Makna tersebut menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani, akan jelas jika ayat tersebut (QS Al-Syura : 38) dibaca lengkap atau utuh, sehingga akan didapati kesimpulan yang sahih bahwa sifat-sifat orang yang melakukan syura itu, tidaklah ada, kecuali sifat kaum muslimin saja, yaitu orang-orang yang memenuhi seruan Tuhan mereka dan yang menegakkan sholat, sebagaimana bunyi awal ayat sebagai berikut ini :

وَٱلَّذِينَ ٱسْتَجَابُوا۟ لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ

“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat…” (QS Al-Syura : 38).

Jadi, jika ayat tersebut dibaca secara utuh, juga akan menunjukkan bahwa musyawarah itu hanyalah dilakukan dengan kaum muslimin saja, bukan dengan kaum non muslim (kafir).

  • Konsekuensinya, orang non Islam tidak berhak mengikuti syura, karena musyawarah itu khusus untuk kaum muslimin saja.
  • Maka dari itu, musyawarah itu tidaklah identik (sama) dengan demokrasi, karena peserta dalam musyawarah itu hanya terbatas kaum muslimin saja, berbeda dengan demokrasi yang membolehkah muslim dan non-muslim untuk bersama-sama terlibat dalam proses pengambilan pendapat.
  • Musyawarah mempunyai kriteria yang berbeda dengan demokrasi mengenai pendapat mana yang diambil. Dalam musyawarah, pendapat yang diambil tidak selalu menggunakan kriteria mayoritas. (Akan dijelaskan rinciannya di bawah). Sedang dalam demokrasi, mayoritas merupakan satu-satunya kriteria dalam pengambilan suara.
  • Hal-hal yang sudah jelas hukumnya dalam Islam, yaitu yang sudah ada ketentuannya secara jelas (sharīh) dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah, sifatnya sudah final dan tidak boleh lagi dimusyawarahkan. Misal haramnya riba, haramnya zina, haramnya khamr, haramnya LGBT, wajibnya berhijab/menutup aurat, wajibnya Khilafah, dsb. Hal ini berbeda dengan demokrasi, karena dalam demokrasi semua hal bica dibicarakan, akhirnya atas nama demokrasi riba dilegalkan, zina dilegalkan, khamr dibolehkan, LGBT dilegalkan, Khilafah diharamkan, dsb.

 

Hukum Musyawarah

Hukum melakukan musyawarah menurut Syekh Abdul Qadim Zallum adalah mandub (sunnah), tidak wajib. (Abdul Qadim Zallum, Nizhāmul Hukmi fī Al-Islām, hlm. 217-218).

Ini sejalan dengan pandangan para ahli tafsir terkemuka yang menyatakan perintah syura dalam Al-Qur`an surat Ali Imran : 159, adalah perintah mandub (sunnah), bukan perintah wajib. Mereka itu misalnya Imam Ath-Thabari (Jāmi’ Al-Bayān, IV/153), Imam Al-Alusi (Rūhul Ma’āni, IV/106-107), Imam Az-Zamakhsyari (Al-Kasysyāf, I/474), Imam Al-Qurthubi (Al-Jāmi’ li Ahkām Al-Qur`ān, IV/249-252), dan Imam Ibnul ‘Arabi (Ahkāmul Qur`ān, I/298).

Alasan mengapa musyawarah hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib, karena firman Allah SWT yang memerintah syura, tidak disertai qarīnah jāzim (indikasi yang tegas harus bermusyawarah).

Memang Allah SWT berfirman :

وَشاَوِرْهُمْ فِي اْلأَمْرِ

“Maka bermusyawarahlah kamu (Muhammad) dengan mereka dalam segala urusan.” (QS Ali ‘Imran : 159).

Tetapi Rasulullah SAW seringkali mengambil keputusan tanpa bermusyawarah dengan para shahabat, seperti dalam pengangkatan para wali (gubernur), pengangkatan para qadhi (hakim), para sekretaris (kuttāb), dan para pemimpin sariyah dan pasukan, juga penandatanganan gencatan senjata, dan sebagainya.

Ini menunjukkan syura adalah mandub, bukan wajib. Yang melakukannya akan mendapat pahala, sedang yang meninggalkannya tidak berdosa. (Abdul Qadim Zallum, Nizhāmul Hukmi fī Al-Islām, hlm. 217-218).

 

Kriteria Pengambilan Pendapat Dalam Musyawarah

Dalam musyawarah, kriteria pendapat yang diambil tergantung pada bidang permasalahan yang dimusyawarahkan.  Berikut ini disampaikan rinciannya sebagaimana uraian Abdul Qadim Zallum (1990) dalam Ad-Dīmuqrāthiyah Nizhām Kufr, adalah sebagai berikut :

 Pertama, dalam masalah penentuan hukum syara’ (at-tasyrī’), kriterianya tidak tergantung pada pendapat mayoritas atau minoritas, melainkan tergantung pada nash-nash syara’ (nash Al-Qur`an dan As-Sunnah). Sebab, yang menjadi Pembuat Hukum (Musyarri’ , The Law Giver) dalam Islam hanyalah Allah SWT, bukan umat atau rakyat.

Dalilnya adalah karena Rasulullah SAW pernah mengesampingkan pendapat mayoritas kaum muslimin yang menolak penetapan Perjanjian Hudaibiyah. Padahal pendapat kaum muslimin waktu itu merupakan pendapat mayoritas. Tetapi toh Rasulullah SAW tetap menolak pendapat mereka, dan tetap menyepakati Perjanjian Hudaibiyah, karena Rasululah SAW mendapat wahyu (nash) langsung dari Allah SWT berupa perintah untuk melakukan Perjanjian Hudaibiyah.  Rasulullah SAW bersabda kepada mereka :

إِنِّي عَبْدَ اللهِ وَ رَسُوْلَهُ وَ لَنْ أُخَالِفَ أَمْرَهُ

“Sesungguhnya aku ini adalah hamba Allah dan utusan-Nya. Dan sekali-kali aku tidak akan menyalahi perintah-Nya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kedua, dalam masalah yang berhubungan dengan aspek-aspek profesi dan ide yang membutuhkan keahlian, pemikiran, dan pertimbangan yang mendalam, maka yang dijadikan kriteria adalah ketepatan atau kebenarannya. Bukan berdasarkan suara mayoritas atau minoritas. Jadi masalah yang ada harus dikembalikan kepada para ahlinya yang berkompeten. Merekalah yang dapat memahami permasalahan yang ada dengan tepat.

Jadi, masalah-masalah kemiliteran dikembalikan kepada para pakar kemiliteran. Masalah-masalah fiqih dikembalikan kepada para fuqaha dan mujtahidin. Masalah-masalah medis dikembalikan kepada para dokter spesialis. Masalah-masalah teknik dikembalikan kepada para pakar insinyur teknik. Masalah-masalah ide/gagasan dikembalikan kepada para pemikir. Demikianlah seterusnya.

Dalil untuk ketentuan ini adalah peristiwa ketika Rasulullah SAW mengikuti pendapat Al-Hubab ibnul Mundzir pada Perang Badar –yang saat itu merupakan pakar dalam hal tempat-tempat strategi– yang mengusulkan kepada Rasulullah SAW agar meninggalkan tempat yang dipilih Nabi, kalau sekiranya ketentuan tempat itu bukan dari wahyu.

Al-Hubab ibnul Mundzir memandang tempat tersebut tidak layak untuk kepentingan pertempuran. Maka Rasulullah SAW mengikuti pendapat Al-Hubab ibnul Mundzir dan berpindah ke suatu tempat yang ditunjukkan oleh Al-Hubab ibnul Mundzir. Jadi Rasulullah SAW telah meninggalkan pendapatnya sendiri dan tidak meminta pertimbangan kepada para shahabat lainnya dalam masalah tersebut.

Ketiga, dalam masalah-masalah yang langsung menuju kepada amal/tindakan (bersifat praktis), yang tidak memerlukan pemikiran dan pertimbangan mendalam, maka yang menjadi patokan adalah suara mayoritas, sebab mayoritas orang dapat memahaminya dan dapat memberikan pendapatnya dengan mudah menurut pertimbangan kemaslahatan yang ada.

Masalah-masalah seperti ini contohnya, apakah kita akan memilih si A atau si B (sebagai kepala negara atau ketua organisasi misalnya), apakah kita akan keluar kota atau tidak, apakah kita akan menempuh perjalanan pada pagi hari atau malam hari, apakah kita akan naik pesawat terbang, kapal laut, atau kereta api.

Masalah-masalah seperti ini dapat dijangkau oleh setiap orang sehingga mereka dapat memberikan pendapatnya. Oleh karena itu, dalam masalah-masalah seperti ini suara mayoritas dapat dijadikan pedoman dan bersifat mengikat.

Dalil untuk ketentuan tersebut adalah peristiwa yang terjadi pada Rasulullah SAW ketika Perang Uhud. Rasulullah SAW dan para shahabat senior berpendapat bahwa kaum muslimin tidak perlu keluar dari kota Madinah. Sedang mayoritas shahabat –khususnya para pemudanya– berpendapat bahwa kaum muslimin hendaknya keluar dari kota Madinah guna menghadapi kaum Quraisy di luar kota Madinah.

Jadi pendapat yang ada berkisar di antara dua pilihan, keluar kota Madinah atau tidak. Dan dikarenakan mayoritas shahabat berpendapat untuk keluar kota Madinah, maka Rasulullah SAW mengikuti pendapat mereka dan mengabaikan pendapat para shahabat senior, serta berangkat menuju Uhud di luar kota Madinah untuk menghadapi pasukan Quraisy.

Demikianlah rincian mengenai kriteria pendapat yang diambil dalam musyawarah, yakni tergantung pada bidang permasalahan yang dimusyawarahkan, berdasarkan uraian Syekh Abdul Qadim Zallum dalam kitab Ad-Dīmuqrāthiyah Nizhām Kufr.

 

Penutup

Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa musyawarah atau syura itu sama sekali tidak identik dengan  demokrasi, khususnya dalam hal proses pengambilan pendapat. Musyawarah itu hanya diikuti oleh peserta yang muslim, sementara dalam demokrasi, proses pengambilan pendapat itu diikuti oleh peserta muslim dan non muslim.

Dalam musyawarah yang diajarkan Islam, kriteria pendapat yang diambil berbeda-beda sesuai bidang yang dimusyawarahkan, sebagaimana sudah diuraikan sebelumnya di atas. Jadi tidak selalu menggunakan suara mayoritas, kecuali untuk hal-hal teknis yang dapat dipahami atau dijangkau olah semua orang Sedangkan dalam demokrasi, kriteria pendapat yang diambil hanya satu saja, yaitu mengikuti suara yang terbanyak alias suara mayoritas.

Penggunaan suara mayoritas sebagai satu-satunya ukuran kebenaran inilah, yang menjadi salah satu sumber kerusakan demokrasi Barat, dan juga kerusakan demokrasi yang diamalkan di Dunia Islam yang secara hina bertaklid buta kepada Peradaban Barat yang kafir. Atas dasar suara mayoritas itulah, banyak ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya sudah baku dan final, akhirnya menjadi lumer dan mencair serta akhirnya hancur, gara-gara dinisbikan dan direlatifkan oleh demokrasi yang mempertuhankan suara mayoritas sebagai satu-satunya ukuran kebenaran yang absolut. Berdasarkan suara mayoritas ala demokrasi, akhirnya ajaran-ajaran Islam yang sudah baku dan final, dihancurkan seenaknya saja atas nama demokrasi, hingga riba dilegalkan, zina dilegalkan, khamr dibolehkan, LGBT dilegalkan, Khilafah diharamkan, hijab diharamkan, dsb.

Padahal Allah SWT sudah memperingatkan kita umat Islam agar selalu awas dan mewaspadai dengan yang mayoritas, karena kebanyakan atau mayoritas manusia itu akan menyesatkan kita umat Islam dari kebenaran yang hakiki yang berasal dari Allah. Firman Allah SWT :

وَاِنْ تُطِعْ اَكْثَرَ مَنْ فِى الْاَرْضِ يُضِلُّوْكَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۗاِنْ يَّتَّبِعُوْنَ اِلَّا الظَّنَّ وَاِنْ هُمْ اِلَّا يَخْرُصُوْنَ

“Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang di bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Yang mereka ikuti hanya persangkaan belaka dan mereka hanyalah membuat kebohongan.” (QS Al-An’am : 116). Wallāhu a’lam.

 

Bandung, 18 Oktober 2024

Muhammad Shiddiq Al-Jawi

 

= = =

 

Referensi :

 

SYURA BUKAN DEMOKRASI