Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi
Pendahuluan
Ketika terjadi musibah yang menimpa sebagian umat Islam di suatu tempat, sebagian umat Islam ada yang langsung menyatakan bahwa musibah itu adalah hukuman atau azab (al-’uqūbāt/al-’iqāb) bagi umat di tempat tersebut. Namun ada yang membantah pernyataan tersebut, seraya menyatakan bahwa musibah itu bukanlah hukuman, melainkan ujian (al-ibtilā’). Artinya, musibah itu tidak ada hubungannya dengan dosa atau maksiat yang dilakukan umat Islam di lokasi musibah.
Bagaimanakah sebenarnya mendudukkan musibah yang terjadi di antara dua kemungkinan, yaitu apakah musibah itu hukuman ataukah sekedar ujian dari Allah SWT? Tulisan ini berusaha menjawab pertanyaan tersebut dengan mengkaji dan menganalisis sejumlah nash-nash syara’ dari Al-Qur`an dan As-Sunnah mengenai musibah dalam kaitannya dengan dosa atau maksiat yang dilakukan manusia, sehingga akan diketahui bahwa musibah itu hukuman atau ujian.
Definisi Musibah
Para ulama mendefinisikan musibah sebagai berikut :
اَلْمُصِيْبَةُ هِيَ كُلُّ مَكْرُوْهٍ يَحُلُّ بِالْإِنْسَانِ
“Musibah adalah segala sesuatu yang dibenci yang terjadi pada manusia.” (kullu makrūhin yaḥullu bi al-insān).” (Ibrahim Anis dkk, Al-Mu’jam al-Wasīṭ, hlm. 527).
Berbagai bencana yang sering terjadi di Indonesia akhir-akhir ini, seperti gempa bumi dan banjir misalnya, adalah musibah. Ini dikarenakan fenomena tersebut telah melahirkan berbagai hal yang dibenci oleh umumnya manusia, seperti kematian anggota keluarga, robohnya rumah, rusaknya perabotan, dsb.
Dua Macam Sebab Musibah
Berdasarkan studi terhadap nash-nash Al-Qur`an dan As Sunnah yang terkait dengan musibah, secara garis besar ada dua sebab terjadinya musibah :
Pertama, musibah yang disebabkan oleh dosa atau maksiat yang dilakukan oleh manusia. Dengan kata lain, musibah ini adalah hukuman (al-’uqūbāt/al-’iqāb) atas perbuatan dosa yang dilakukan manusia. Contohnya adalah musibah banjir kepada kaum Nabi Nuh AS yang tidak mau beriman kepada beliau, sesuai firman Allah SWT :
وَلَقَدْ اَرْسَلْنَا نُوْحًا اِلٰى قَوْمِهٖ فَلَبِثَ فِيْهِمْ اَلْفَ سَنَةٍ اِلَّا خَمْسِيْنَ عَامًا ۗفَاَخَذَهُمُ الطُّوْفَانُ وَهُمْ ظٰلِمُوْنَ
“Dan sungguh, Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka dia tinggal bersama mereka selama seribu tahun kurang lima puluh tahun. Kemudian mereka dilanda banjir besar, sedangkan mereka adalah orang-orang yang zalim.” (QS Al-‘Ankabut : 14).
Kedua, musibah yang terjadi bukan karena dosa atau maksiat yang dilakukan manusia. Dengan kata lain, musibah ini merupakan ujian (al-ibtilā’) kepada manusia, bukan sebagai hukuman (al-’uqūbāt/al-’iqāb). Contohnya berbagai bencana alam yang menjadi ujian kepada manusia, seperti firman Allah SWT :
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوْعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْاَمْوَالِ وَالْاَنْفُسِ وَالثَّمَرٰتِۗ وَبَشِّرِ الصّٰبِرِيْنَ اَلَّذِيْنَ اِذَآ اَصَابَتْهُمْ مُّصِيْبَةٌ ۗ قَالُوْٓا اِنَّا لِلّٰهِ وَاِنَّآ اِلَيْهِ رٰجِعُوْنَۗ
“Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata “Inna lillahi wa inna ilaihi raji‘un” (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali).” (QS Al-Baqarah : 155-156).
Contoh-Contoh Nash Bahwa Musibah Adalah Hukuman
Berikut ini akan disajikan contoh-contoh nash yang menunjukkan musibah adalah hukuman (al-’iqāb) atas perbuatan dosa :
(1) Firman Allah SWT :
وَلَقَدْ اَرْسَلْنَا نُوْحًا اِلٰى قَوْمِهٖ فَلَبِثَ فِيْهِمْ اَلْفَ سَنَةٍ اِلَّا خَمْسِيْنَ عَامًا ۗفَاَخَذَهُمُ الطُّوْفَانُ وَهُمْ ظٰلِمُوْنَ
“Dan sungguh, Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka dia tinggal bersama mereka selama seribu tahun kurang lima puluh tahun. Kemudian mereka dilanda banjir besar, sedangkan mereka adalah orang-orang yang zalim.” (QS Al-’Ankabut : 14).
(2) Firman Allah SWT :
وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰٓى اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ وَلٰكِنْ كَذَّبُوْا فَاَخَذْنٰهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ
“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.” (QS Al-A’raf : 96)
(3) Firman Allah SWT :
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).“ (QS Al-Ruum : 41)
(4) Firman Allah SWT :
وَمَآ اَصَابَكُمْ مِّنْ مُّصِيْبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ اَيْدِيْكُمْ وَيَعْفُوْا عَنْ كَثِيْرٍۗ
“Dan musibah apa pun yang menimpa kamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS Al-Syuura : 30)
(5) Firman Allah SWT :
ومَآ اَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللّٰهِ ۖ وَمَآ اَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَّفْسِكَ ۗ وَاَرْسَلْنٰكَ لِلنَّاسِ رَسُوْلًا ۗ وَكَفٰى بِاللّٰهِ شَهِيْدًا
“Kebaikan apa pun yang kamu peroleh, adalah dari sisi Allah, dan keburukan apa pun yang menimpamu, itu dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS An-Nisa : 79).
(6) Hadits Rasulullah SAW :
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، قَالَ: ” أَقْبَلَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا مَعْشَرَ الْمُهَاجِرِينَ! خَمْسٌ إِذَا ابْتُلِيتُمْ بِهِنَّ، وَأَعُوذُ بِاللَّهِ أَنْ تُدْرِكُوهُنَّ:
لَمْ تَظْهَرِ الْفَاحِشَةُ فِي قَوْمٍ قَطُّ، حَتَّى يُعْلِنُوا بِهَا، إِلَّا فَشَا فِيهِمُ الطَّاعُونُ، وَالْأَوْجَاعُ الَّتِي لَمْ تَكُنْ مَضَتْ فِي أَسْلَافِهِمُ الَّذِينَ مَضَوْا.
وَلَمْ يَنْقُصُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ، إِلَّا أُخِذُوا بِالسِّنِينَ، وَشِدَّةِ الْمَئونَةِ، وَجَوْرِ السُّلْطَانِ عَلَيْهِمْ.
وَلَمْ يَمْنَعُوا زَكَاةَ أَمْوَالِهِمْ، إِلَّا مُنِعُوا الْقَطْرَ مِنَ السَّمَاءِ، وَلَوْلَا الْبَهَائِمُ لَمْ يُمْطَرُوا.
وَلَمْ يَنْقُضُوا عَهْدَ اللَّهِ، وَعَهْدَ رَسُولِهِ، إِلَّا سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ عَدُوًّا مِنْ غَيْرِهِمْ، فَأَخَذُوا بَعْضَ مَا فِي أَيْدِيهِمْ.
وَمَا لَمْ تَحْكُمْ أَئِمَّتُهُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ، وَيَتَخَيَّرُوا مِمَّا أَنْزَلَ اللَّهُ، إِلَّا جَعَلَ اللَّهُ بَأْسَهُمْ بَيْنَهُمْ
رواه ابن ماجة بالرقم 4019 و الحاكم، وحسنه الألباني في السلسلة الصحيحة ج 1 ص 218
(6) Hadits Rasulullah SAW :
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar RA, dia berkata,”Rasulullah SAW menghadap kepada kami lalu bersabda,”Wahai golongan Muhajirin, ada lima perkara yang kamu akan diberi ujian dengannya, dan aku berlindung kepada Allah agar kamu [tidak] menjumpainya :
[1] Tidaklah terjadi perbuatan keji (zina) terjadi secara terang-terangan di suatu kaum, sampai-sampai mereka mempublikasikannya, kecuali akan menyebar luas di antara mereka wabah tha’un, serta berbagai penyakit yang tidak pernah terjadi pada generasi-generasi sebelumnya,
[2] Tidaklah mereka mengurangi takaran dan timbangan, kecuali mereka akan ditimpa paceklik, susahnya penghidupan dan kezaliman penguasa atas mereka,
[3] Tidaklah mereka menahan zakat harta mereka (tidak membayar zakat mal), kecuali hujan akan ditahan dari langit (hujan tidak turun), dan kalau bukan karena hewan-hewan, niscaya manusia tidak akan diberi hujan,
[4] Tidaklah mereka melanggar perjanjian mereka dengan Allah dan Rasul-Nya, kecuali Allah akan menjadikan musuh mereka (dari kalangan selain mereka; yakni dari kalangan orang kafir) berkuasa atas mereka, lalu musuh tersebut akan mengambil sebagian dari apa yang mereka miliki,
[5] Dan selama pemimpin-pemimpin mereka (kaum muslimin) tidak berhukum dengan Kitabullah (al-Qur’an) dan mengambil sikap pilih-pilih dari apa-apa yang diturunkan oleh Allah (syariat Islam), maka niscaya Allah akan menjadikan permusuhan di antara mereka (sesama umat Islam).” (HR Ibnu Majah & Al Hakim, dihasankan oleh Al-Albani).
(7) Hadits Rasulullah SAW :
عَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدِهِ الْخَيْرَ عَجَّلَ لَهُ الْعُقُوبَةَ فِي الدُّنْيَا ، وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدِهِ الشَّرَّ أَمْسَكَ عَنْهُ بِذَنْبِهِ حَتَّى يُوَافِيَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ. رواه الترمذي (2396) وحسنه ، وصححه الألباني في صحيح الترمذي
Dari Anas RA, da berkata, Rasulullah SAW telah bersabda,’Jika Allah berkehendak kepada seorang hamba-Nya untuk mendapat kebaikan, maka Allah akan mempercepat hukuman baginya di dunia. Dan jika Allah berkehendak kepada seorang hamba-Nya untuk mendapat keburukan, maka Allah akan menahan dia dengan dosanya [tidak dihukum di dunia], hingga Allah akan memberi balasan kepadanya pada Hari Kiamat kelak [dibalas dengan siksa neraka di Akhirat].” (HR Tirmidzi, no. 2396, hadits shahih).
Nash-nash yang telah dicontohkan di atas, dengan jelas menunjukkan bahwa musibah itu disebabkan oleh dosa atau maksiat yang dilakukan oleh manusia. Musibah karena dosa ini, adalah hukuman (al-’uqūbāt/al-’iqāb) atas perbuatan dosa manusia.
Dalam konteks ini, Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah berkata :
” قالوا : وقد دل الكتاب والسنة في أكثر من مائة موضع على أن الجزاء من جنس العمل في الخير والشر ، كما قال تعالى ( جَزَاءً وِفَاقًا ) أي : وفق أعمالهم ، وهذا ثابت شرعا وقدرا ” انتهى من “) عون المعبود مع حاشية ابن القيم” (12 / 176.
“Mereka [para ulama] mengatakan bahwa Al-Qur`an dan As-Sunnah menunjukkan di lebih dari seratus nash, bahwa balasan itu sejenis dengan amal, baik itu amal yang baik maupun yang buruk, sebagaimana firman Allah (جَزَاءً وِفَاقًا) artinya, manusia akan mendapat pembalasan yang setimpal, yakni sesuai dengan amal-amal perbuatan mereka. Dan ini telah ditetapkan secara syara’ dan secara qadar dari Allah.” (‘Aunul Ma’bud Ma’a Hasyiyah Ibnul Qayyim, 12/176).
Contoh-Contoh Nash Bahwa Musibah Adalah Ujian
Selain nash-nash yang menunjukkan bahwa musibah adalah hukuman, sebagaimana disajikan sebeljumnya, ternyata ada nash-nash yang menunjukkan bahwa musibah adalah ujian (al-ibtilā’) yang tidak terkait dengan perbuatan dosa. Nash-nash tersebut menunjukkan bahwa musibah yang terjadi terkait dengan hal-hal di luar hukuman sebagai hikmah-hikmahnya, seperti pemberian ampunan (maghfirah), pengguguran dosa (takfīr al-ẓunūb), peningkatan derajat (tarfī’ al-darajah), penambahan pahala (ta’ẓīm al-ajr) dengan kesabaran, dan sebagainya.
Dalam konteks ini, Imam Ibnu Taimiyyah berkata :
قال شيخ الإسلام ابن تيمية: «المصائب المُقدَّرة في النفس والأهل لا تخلو من ثلاثة أحوال: إما أن تكون كفارة، وإما أن تكون زيادة في الأجر والثواب، وإما أن تكون عقابًا وانتقامًا»، الصارم المسلول على شاتم الرسول 1/432
“Berbagai macam musibah yang telah ditetapkan Allah pada jiwa atau keluarga, tidak lepas dari tiga keadaan; pertama, musibah itu sebagai kaffarah atau penggugur dosa; kedua, musibah itu sebagai penambah pahala, dan ketiga, musibah itu menjadi hukuman dan siksa.” (Ibnu Taimiyyah, Al-Ṣarim Al-Maslūl ‘Ala Shātim Al-Rasūl, Juz I, hlm. 432).
Berikut ini contoh nash-nash yang menunjukkan bahwa musibah itu ada kalanya bukan hukuman untuk pelaku dosa, namun sebagai ujian, dengan berbagai macam hikmahnya masing-masing sebagai berikut :
(1) Firman Allah SWT yang mengaitkan musibah dengan ampunan (maghfirah/ghufran) :
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوْعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْاَمْوَالِ وَالْاَنْفُسِ وَالثَّمَرٰتِۗ وَبَشِّرِ الصّٰبِرِيْنَ اَلَّذِيْنَ اِذَآ اَصَابَتْهُمْ مُّصِيْبَةٌ ۗ قَالُوْٓا اِنَّا لِلّٰهِ وَاِنَّآ اِلَيْهِ رٰجِعُوْنَۗ
“Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar,(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata “Inna lillahi wa inna ilaihi raji‘un” (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali).” (QS Al-Baqarah : 155-156).
Dua ayat tersebut kemudian disambung dengan ayat berikutnya, yang mengaitkan kesabaran menghadapi musibah itu dengan pemberian ampunan (maghfirah) dari Allah SWT :
اُولٰۤىِٕكَ عَلَيْهِمْ صَلَوٰتٌ مِّنْ رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ ۗوَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُهْتَدُوْنَ
“Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS Al-Baqarah : 157).
Menurut Tafsir Al-Qurthubi, bahwa orang yang sabar itu mendapat (صَلَوٰتٌ مِّنْ رَّبِّهِمْ) maksudnya adalah mendapatkan (الغفران والثناء الحسن), yakni ampunan dan pujian baik dari Allah.
(2) Sabda Rasulullah SAW yang mengaitkan musibah dengan pengguguran dosa (takfir al-dzunub) seorang hamba yang terjena musibah :
مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ وَلاَ هَمٍّ وَلاَ حَزَن وَلاَ أَذًى وَلاَ غمٍّ، حتَّى الشَّوْكَةُ يُشَاكُها إِلاَّ كفَّر اللَّه بهَا مِنْ خطَايَاه متفقٌ عَلَيهِ.
“Tidaklah seorang muslim itu ditimpa musibah baik berupa rasa lelah, rasa sakit, rasa khawatir, rasa sedih, gangguan atau rasa gelisah bahkan sampai duri yang melukainya melainkan dengannya Allah akan mengampuni dosa-dosanya.” (HR. Al-Bukhari, no. 5641 dan Muslim, no. 2573).
(3) Sabda Rasulullah SAW yang mengaitkan musibah dengan peningkatan derajat (tarfi’ ad-darajah) bagi seorang hamba :
إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا سَبَقَتْ لَهُ مِنْ اللَّهِ مَنْزِلَةٌ لَمْ يَبْلُغْهَا بِعَمَلِهِ ابْتَلَاهُ اللَّهُ فِي جَسَدِهِ أَوْ فِي مَالِهِ أَوْ فِي وَلَدِهِ ثُمَّ صَبَّرَهُ عَلَى ذَلِكَ حَتَّى يُبْلِغَهُ الْمَنْزِلَةَ الَّتِي سَبَقَتْ لَهُ مِنْ اللَّهِ تَعَالَى. رواه أبو داود (3090) ، وصححه الألباني في “السلسلة الصحيحة” (رقم/2599)
Sesungguhnya seorang hamba jika telah ditakdirkan baginya suatu tingkatan [di surga] yang belum bisa dia capai dengan sebab amalnya, maka Allah akan menimpakan kepadanya musibah pada dirinya, hartanya atau anaknya, kemudian Allah menjadikan dia bersabar atas musibah tersebut sehingga dengan sebab tersebut Allah menjadikan dia bisa mencapai tingkatan [di surga] yang telah Allah takdirkan untuknya.” (HR. Abu Daud, no. 3090, dengan sanad yang shahih).
(4) Sabda Rasulullah SAW yang mengaitkan musibah dengan dua hikmah sekaligus, yaitu pengguguran dosa (takfir al-dzunub) dan peningkatan derajat (tarfi’ ad-darajah) :
مَا يُصِيبُ الْمُؤْمِنَ مِنْ شَوْكَةٍ فَمَا فَوْقَهَا إِلَّا رَفَعَهُ اللَّهُ بِهَا دَرَجَةً ، أَوْ حَطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةً ). رواه البخاري (5641) ، ومسلم (2573(
“Tidaklah seorang mukmin itu tertusuk duri atau yang lebih daripada itu, kecuali dengannya Allah akan mengangkat derajatnya dan akan mengampuni dosanya.” (HR. Bukhari no. 5641, Muslim no. 2573).
(5) Sabda Rasulullah SAW yang mengaitkan musibah dengan penambahan pahala (ta’zhim al-ajr) bagi hamba yang mendapat musibah :
إِنَّ عِظَمَ الجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ البَلاَءِ ، وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ ، فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا ، وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ. رواه الترمذي 2396
“Sesungguhnya besarnya pahala itu sesuai dengan besarnya ujian. Dan sesungguhnya Allah jika mencintai suatu kaum, maka Allah akan memberikan ujian kepada mereka. Maka barangsiapa yang ridho [terhadap ujian itu], maka dia mendapat ridho Allah, dan barangsiapa yang marah [tidak ridho], maka dia mendapat kemarahan dari Allah.” (HR. Tirmidzi, no. 2396, dengan sanad yang shahih).
Kondisi Khusus
Terdapat nash-nash yang menunjukkan kondisi khusus, yaitu kondisi perkecualian dari penjelasan sebelumnya, bahwa musibah itu boleh jadi terkait dengan hukuman dan boleh jadi terkait dengan ujian. Paling tidak terdapat 4 (empat) kondisi khusus sebagai berikut :
Pertama, boleh jadi Allah memaafkan dan tidak menjatuhkan musibah kepada pelaku dosa, sebagaimana firman Allah SWT :
وَمَآ اَصَابَكُمْ مِّنْ مُّصِيْبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ اَيْدِيْكُمْ وَيَعْفُوْا عَنْ كَثِيْرٍۗ
“Dan musibah apa pun yang menimpa kamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS Al-Syuura : 30)
Kedua, boleh jadi Allah tidak menjatuhkan hukuman di dunia kepada pelaku dosa, tetapi menunda pemberian hukumannya di neraka di Akhirat kelak, sesuai dalil hadits Nabi SAW sebagai berikut:
عَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدِهِ الْخَيْرَ عَجَّلَ لَهُ الْعُقُوبَةَ فِي الدُّنْيَا ، وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدِهِ الشَّرَّ أَمْسَكَ عَنْهُ بِذَنْبِهِ حَتَّى يُوَافِيَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ. رواه الترمذي (2396) وحسنه ، وصححه الألباني في “صحيح الترمذي
Dari Anas RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Jika Allah berkehendak kepada hamba-Nya untuk mendapatkan kebaikan, maka Allah SWT akan mempercepat hukuman untuknya di dunia. Namun jika Allah berkehendak kepada hamba-Nya untuk mendapatkan keburukan, maka Allah akan menahan hamba itu dengan dosanya [tidak menjatuhkan hukuman di dunia] hingga Allah akan memberinya hukuman kelak pada Hari Kiamat.” (HR Tirmidzi, hadits hasan shahih).
Ketiga, boleh jadi Allah akan memberikan hukuman secara umum (merata) baik kepada pelaku dosa ataupun bukan pelaku dosa, ketika orang yang kuat (pemimpin, ulama, tokoh, dsb) tidak menjalankan kewajibannya beramar ma’ruf nahi munkar, sesuai sabda Nabi SAW:
مَا مِنْ قَوْمٍ يُعْمَلُ فِيهِمْ بِالْمَعَاصِي هُمْ أَعَزُّ وَأَكثَرُ مِمَّنْ يَعمَلُهُ، ثُمَّ لَمْ يُغَيِّرُوا إِلَّا عَمّهُمُ اللهُ بِعِقَابٍ.
”Tidaklah satu kaum yang di dalamnya dikerjakan satu perbuatan maksiat, dimana mereka yang tidak mengerjakan kemaksiatan itu lebih kuat dan lebih banyak daripada yang mengerjakannya, namun mereka tidak mengubah kemaksiatan tersebut; niscaya Allah akan menimpakan hukuman adzab secara merata kepada mereka semua.” (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ath-Thabarani, Ibnu Hibban dan Al-Baihaqi, hadits shahih)
Keempat, boleh jadi Allah akan memberikan hukuman secara umum (merata) kepada suatu kaum, sedangkan di antara mereka ada yang pelaku dosa dan bukan pelaku dosa, dan mereka nanti akan dibangkitkan sesuai niat mereka masing-masing, sesuai sabda Nabi SAW:
يغزو جَيْشٌ الْكَعْبَةَ فَإِذَا كَانُوا ببيْداءَ مِنَ الأَرْضِ يُخْسَفُ بأَوَّلِهِم وَآخِرِهِمْ”. قَالَتْ: قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ، كَيْفَ يُخْسَفُ بَأَوَّلِهِم وَآخِرِهِمْ وَفِيهِمْ أَسْوَاقُهُمْ وَمَنْ لَيْسَ مِنهُمْ،؟ قَالَ: ” يُخْسَفُ بِأَوَّلِهِم وَآخِرِهِمْ، ثُمَّ يُبْعَثُون عَلَى نِيَّاتِهِمْ” مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
“Nanti akan ada sekelompok pasukan yang akan menyerang Ka’bah. Kemudian ketika mereka sampai di suatu tanah lapang, mereka semua dari orang yang berada paling depan sampai paling belakang dibinasakan yakni ditenggelamkan ke perut bumi. ‘Aisyah berkata: “Aku bertanya, Ya Rasulullah, bagaimana mereka dibinasakan semua, orang yang berada dibarisan terdepan sampai yang paling belakang, padahal di tengah-tengah mereka terdapat pasar-pasar mereka, dan orang-orang yang bukan dari golongan mereka?”. Beliau menjawab: “Mereka di binasakan semua, yang berada di baris terdepan sampai yang paling belakang, kemudian nanti mereka akan dibangkitkan sesuai dengan niat masing-masing dari mereka”. (HR Bukhari no. 2118, Muslim no. 2884).
Kesimpulan
Berdasarkan kajian terhadap nash-nash syara’ yang terkait musibah, apakah musibah itu hukuman ataukah ujian, dapat diambil 4 (empat) poin kesimpulan sebagai berikut :
Pertama, jika suatu musibah menimpa muslim pelaku dosa dan maksiat, maka ada dugaan kuat (ghalabatuzh zhann) bahwa musibah itu adalah hukuman atau azab dari Allah bagi orang tersebut.
Kedua, jika suatu musibah menimpa muslim yang taat dan shaleh, maka musibah itu sekedar ujian dari Allah, yakni bukan hukuman dari Allah bagi orang tersebut, melainkan boleh jadi musibah itu menjadi pemberian ampunan, penggugur dosa, peningkatan derajat, atau penambahan pahala bagi muslim tersebut.
Ketiga, jika suatu musibah menimpa suatu kaum yang bercampur keadaannya, ada muslim pelaku dosa dan ada pula muslim yang taat, maka bagi pelaku dosa musibah itu azab, dan bagi muslim yang taat musibah itu ujian, bukan azab.
Keempat, terdapat perkecualian di luar tiga kondisi yang teah disebutkan sebelumnya, yaitu : (1) boleh jadi Allah memaafkan dan tidak menjatuhkan musibah kepada pelaku dosa; (2) boleh jadi Allah tidak menjatuhkan hukuman di dunia kepada pelaku dosa, tetapi menunda pemberian hukumannya di Akhirat; (3) boleh jadi Allah akan memberikan hukuman secara umum (merata) baik kepada pelaku dosa ataupun bukan pelaku dosa, ketika orang yang kuat (pemimpin, ulama, tokoh, dsb) tidak menjalankan kewajibannya beramar ma’ruf nahi munkar; dan (4) boleh jadi Allah akan memberikan hukuman secara umum (merata) kepada suatu kaum, baik yang taat maupun yang berbuat maksiat. Wallāhu a’lam.
Jakarta, 14 Desember 2022
M.Shiddiq Al-Jawi
= = =
Referensi :
قراءة في بحث علاقة المصائب بالذنوب وعقوباتها الإلهية، للدكتور سعود العريفي
علامات التمييز بين الابتلاء عقوبة أو لرفعة الدرجات
https://islamweb.net/ar/fatwa/359071
كيف يعرف المصاب إن كانت مصيبته عقوبة أو ابتلاء لرفع درجاته ؟
https://islamqa.info/ar/answers/112905/كيف-يعرف-المصاب-ان-كانت-مصيبته-عقوبة-او-ابتلاء-لرفع-درجاته