بسم الله الرحمن الرحيم
MUHAMMAD SAW SEBAGAI NABI DAN PEMIMPIN
Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi | Pakar Fiqih Kontemporer
Dua Kedudukan Nabi Muhammad SAW
Nabi Muhammad SAW sesungguhnya tidak hanya seorang nabi yang bertugas menerima wahyu dari Allah dan menyampaikannya kepada manusia, melainkan juga seorang pemimpin atau penguasa yang memegang kekuasaan dalam sebuah sistem pemerintahan Islam. Pemahaman yang utuh (komprehensif) mengenai dua kedudukan Nabi SAW tersebut, sangat perlu dimiliki oleh umat Islam, sebagai landasan yang kokoh bagi umat Islam untuk kembali mengamalkan ajaran Islam yang sebenarnya, yaitu Islam yang tak seperti agama ritual yang bersifat sekuler, melainkan agama sempurna yang mempunyai konsep kehidupan bernegara dan bermasyarakat dalam segala aspeknya secara menyeluruh (kāffah).
Dalam kitab Nizhām Al-Hukmi fī Al-Islām Syekh Taqiyuddin An-Nabhani dan Syekh Abdul Qadim Zallum menjelaskan dua kedudukan Nabi Muhammad SAW tersebut :
فَكَانَ يَتَوَلَّى النُّبُوَّةَ وَالرِّساَلَةَ، وَكَانَ فِي نَفْسِ الْوَقْتِ يَتَوَلَّى مَنْصِبَ رِئَاسَةِ الْمُسْلِمِينَ فِي إِقَامَةِ أَحْكَامِ الْإِسْلَامِ
“Jadi dulu (Muhammad SAW) memegang kedudukan kenabian dan kerasulan, dan pada saat yang sama beliau memegang kedudukan kepemimpinan umat Islam dalam menegakkan hukum-hukum Islam.” (Taqiyuddin An-Nabhani & Abdul Qadim Zallum, Nizhām Al-Hukm fī Al-Islām, hlm. 116-117).
Berdasarkan kutipan tersebut, Nabi Muhammad SAW itu mempunyai dua kedudukan (اَلمَْنْصِبُ), yaitu;
Pertama, kedudukan sebagai nabi dan rasul, atau disebut manshib al-nubuwwah wa al-risālah (مَنْصِبُ النُّبُوَّةِ وَالرِّساَلَةِ).
Kedua, kedudukan sebagai pemimpin (atau penguasa( kaum Muslimin, atau disebut manshib ri`āsat al-muslimīn (مَنْصِبُ رِئَاسَةِ الْمُسْلِمِينَ)
Jika dua kedudukan tersebut dikaitkan dengan para nabi dan rasul yang terdahulu sebelum Nabi Muhammad SAW, maka akan kita dapati 2 (dua) kategori nabi atau rasul ditinjau dari segi apakah seorang nabi itu mempunyai kekuasaan atau tidak, sebagai berikut :
Pertama, ada nabi atau rasul yang hanya menjadi nabi, tetapi tidak memegang kepemimpinan/kekuasaan. Seperti Nabi Musa AS dan Nabi Isa AS.
Kedua, ada nabi atau rasul yang selain menjadi nabi, sekaligus memegang kepemimpinan/kekuasaan. Seperti Nabi Dawud AS dan Nabi Sulaiman AS. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islāmiyyah, Juz II, hlm. 76-77).
Jadi di manakah posisi Nabi Muhammad SAW itu, apakah beliau hanya seorang nabi tanpa memegang kekuasaan, ataukah nabi yang memegang kekuasaan? Jawabannya, Nabi Muhammad SAW itu nabi yang bertugas menyampaikan wahyu dari Allah kepada manusia, namun tak hanya itu, pada saat yang sama beliau juga berkedudukan sebagai Pemimpin/Penguasa, yang bertugas menerapkan hukum-hukum Islam.
Jadi, Nabi Muhammad SAW itu kategorinya termasuk golongan yang kedua, yaitu golongan para nabi yang selain menjadi nabi, mereka sekaligus juga memegang kepemimpinan/kekuasaan. Maka posisi Nabi Muhammad SAW adalah satu kategori dengan Nabi Dawud AS dan Nabi Sulaiman AS yang memegang kekuasaan. Posisi Nabi Muhammad SAW bukanlah di dalam golongan pertama seperti Nabi Musa AS atau Nabi Isa AS yang tidak memegang kekuasaan, meskipun mereka semua adalah para nabi dan rasul.
Dengan perkataan lain, dalam agama Islam, antara agama (al-dīn) dan kekuasaan (as-sulthān), adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Agama dan kekuasaan itu adalah bagaikan dua saudara kembar (al-tau`amāni) (التوأمان), sebagaimana perkataan Imam Ghazali dalam kitabnya Al-Iqtishād fī Al-I’tiqād sebagai berikut :
اَلدِّيْنُ وَالسُّلْطاَنُ تَوْأَمَانِ ، اَلدِّيْنَ أُسٌّ وَالسُّلْطاَنُ حاَرِسٌ وَمَا لَا أُسَّ لَهُ فَمَهْدُوْمٌ ، وَمَا لَا حاَرِسَ لَهُ فَضائِعٌ
“Agama dan kekuasaan seperti dua saudara kembar, agama adalah asas dan kekuasaan adalah penjaganya. Apa saja yang tidak mempunyai asas maka dia akan runtuh, dan apa saja yang tidak mempunyai penjaga maka dia akan hilang.” (Imam Al-Ghazali, Al-Iqtishād fī Al-I’tiqād, hlm. 292-293).
Dalil-Dalil Dua Kedudukan Nabi SAW
Dalam kitab Nizhām Al-Hukm fī Al-Islām, Syekh Taqiyuddin An-Nabhani dan Syekh Abdul Qadim Zallum, menjelaskan dalil-dalil dua kedudukan Nabi SAW sebagai berikut:
Pertama, ada nash-nash Al-Qur`an yang menunjukkan Nabi Muhammad itu bertugas menyampaikan wahyu dari Allah SWT kepada manusia. Ini menunjukkan kedudukan Nubuwwah (Kenabian).
Kedua, ada nash-nash Al-Qur`an yang menunjukkan Nabi Muhammad itu bertugas menerapkan hukum-hukum Islam yang sudah turun sebelumnya. Ini menunjukkan kedudukan Ri`asah (Kepemimpinan/Kekuasaan). (Taqiyuddin An-Nabhani & Abdul Qadim Zallum, Nizhām Al-Hukm fī Al-Islām, hlm. 118)
Contoh nash Al-Qur`an yang menunjukkan Nabi Muhammad itu bertugas menyampaikan wahyu dari Allah kepada manusia :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلرَّسُولُ بَلِّغْ مَآ أُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ ۖ وَإِن لَّمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُۥ
“Hai Rasul (Muhammad), sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya.” (QS. Al-Ma`idah : 67).
Contoh nash Al-Qur`an yang menunjukkan Nabi Muhammad SAW itu bertugas menerapkan hukum-hukum Islam, yang sudah turun kepada beliau sebelumnya. Firman Allah SWT :
فَٱحْكُم بَيْنَهُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَآءَهُمْ عَمَّا جَآءَكَ مِنَ ٱلْحَقِّ ۚ
“Maka putuskanlah (Muhammad) perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan oleh Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (QS. Al-Ma`idah : 48).
Berikut ini akan ditunjukkan beberapa contoh ayat Al-Qur`an yang turun kepada kepada Nabi Muhammad SAW, dan akan ditunjukkan pula bagaimana sebagai penguasa Nabi SAW menerapkan ayat yang sudah turun tersebut di tengah masyarakat.
Contoh pertama, terdapat nash ayat Al-Qur`an yang turun kepada Nabi SAW mengenai kewajiban menjatuhkan qishash (hukuman mati) kepada pelaku pembunuhan. Firman Allah SWT :
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا كُتِبَ عَلَيۡكُمُ الۡقِصَاصُ فِى الۡقَتۡلٰى
“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu (melaksanakan) qishash berkenaan dengan orang yang dibunuh.” (QS. Al-Baqarah : 178).
Kemudian Nabi SAW sebagai penguasa menerapkan hukum Islam dalam ayat tersebut dengan melaksanakan qishash kepada seorang laki-laki Yahudi yang membunuh seorang perempuan Anshar.
عن أنس بن مالك أنَّ يَهُودِيًّا رَضَّ رَأْسَ جارِيَةٍ بيْنَ حَجَرَيْنِ، قيلَ مَن فَعَلَ هذا بكِ، أفُلانٌ، أفُلانٌ؟ حتَّى سُمِّيَ اليَهُودِيُّ، فأوْمَأَتْ برَأْسِها، فَأُخِذَ اليَهُودِيُّ، فاعْتَرَفَ، فأمَرَ به النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ فَرُضَّ رَأْسُهُ بيْنَ حَجَرَيْنِ
Dari Anas bin Malik RA bahwa seorang laki-laki Yahudi telah memecahkan kepala seorang perempuan di antara dua batu. Lalu ditanyakan kepadanya siapa yang telah melakukan perbuatan ini kepadamu, apakah si Fulan, apakah si Fulan? Hingga akhirnya disebut laki-laki Yahudi itu (oleh yang bertanya) dan perempuan itu memberi isyarat dengan kepalanya (bahwa benar laki-laki Yahudi itu yang membunuhnya). Lalu (laki-laki Yahudi itu dipanggil), dan dia mengakui. Maka Nabi SAW lalu memerintahkan agar laki-laki Yahudi itu dipecahkan kepalanya dengan dua batu.” (HR. Al-Bukhari, no 2413; Muslim, no 1672). (Abdurrahman Al-Maliki, Nizhāmul ’Uqūbāt, hlm. 46).
Contoh kedua, terdapat nash Al-Qur`an yang turun kepada Nabi SAW mengenai batasan maksimal jumlah wanita yang dapat diperistri oleh seorang muslim, yaitu maksimal 4 (empat) orang istri. Firman Allah SWT :
فَانْكِحُوۡا مَا طَابَ لَـكُمۡ مِّنَ النِّسَآءِ مَثۡنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ
“Maka nikahilah perempuan yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.” (QS. Al-Nisa` : 3).
Kemudian Nabi SAW sebagai penguasa menerapkan hukum Islam dalam ayat tersebut dengan memerintahkan Ghailan bin Salamah Al-Tsaqafi yang baru masuk Islam, untuk memilih empat istri saja dari sepuluh istri yang dia miliki.
عَنْ سَالِمٍ عَنْ أَبِيهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ غَيْلَانَ بْنَ سَلَمَةَ أَسْلَمَ وَلَهُ عَشْرُ نِسْوَةٍ، فَأَسْلَمْنَ مَعَهُ فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَتَخَيَّرَ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا؛ رَوَاهُ أَحْمَدُ وَالتِّرْمِذِيُّ، وَصَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانَ وَالْحَاكِمُ
Dari Salim dari ayahnya RA bahwa Ghailan bin Salamah telah masuk Islam, dan dia mepunyai sepuluh orang istri. Dan masuk Islam pula bersamanya sepuluh orang istrinya itu. Lalu Nabi SAW memerintahkan kepada Ghailan bin Salamah untuk memilih empat orang dari sepuluh istrinya tersebut. (HR. Ahmad, Al-Tirmidzi, dan Ibnu Hibban. Hadits ini shahih menurut Imam Ibnu Hibban dan Imam Al-Hakim).
Contoh ketiga, terdapat nash Al-Qur`an yang turun kepada Nabi SAW mengenai jaminan (rahn) dalam utang piutang. Firman Allah SWT :
وَاِنۡ كُنۡتُمۡ عَلٰى سَفَرٍ وَّلَمۡ تَجِدُوۡا كَاتِبًا فَرِهٰنٌ مَّقۡبُوۡضَةٌ
“Dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak mendapat seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang.” (QS. Al-Baqarah : 283).
Kemudian Nabi SAW sebagai penguasa menerapkan hukum Islam dalam ayat tersebut ketika beliau membeli bahan makanan berupa jewawut (sya’īr) dari orang Yahudi secara utang di Madinah, dengan menggadaikan baju besinya kepada orang Yahudi itu.
عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِيٍّ إِلَى أَجْلِ ورَهَنَهُ دِرْعًا مِن حَدِيدٍ
Dari ‘A`isyah Ummul Mukminin RA, bahwa Nabi SAW telah membeli bahan makanan dari seorang laki-laki Yahudi secara utang hingga tempo tertentu, dan beliau menggadaikan kepadanya baju besinya. (HR. Al-Bukhari no 2386; Muslim no. 1603; Al-Nasa`i, no. 4609; Ibnu Majah no 2436).
Contoh keempat, telah turun kepada Nabi SAW ayat Al-Qur`an yang mengharamkan riba secara umum, baik riba nasi`ah (riba dalam utang piutang) maupun riba fadhl, yaitu riba dalam jual beli barang-barang ribawi (emas, perak, gandum, jewawut, kurma, dan garam). Firman Allah SWT :
وَاَحَلَّ اللّٰهُ الۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰوا ؕ
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah : 275).
Kemudian Nabi SAW sebagai penguasa menerapkan hukum Islam dalam ayat tersebut ketika beliau diberi kurma bagus dari seorang laki-laki, yang diperoleh sebelumnya dengan menukar kurma jelek miliknya dengan kurma bagus dengan berat yang berbeda.
عن أبي سعيد الخدري أنه جَاءَ بِلالٌ إلى النَّبيِّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ بتَمْرٍ بَرْنِيٍّ، فَقَالَ له النَّبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: مِن أيْنَ هذا؟ قَالَ بِلالٌ: كانَ عِنْدَنَا تَمْرٌ رَدِيٌّ، فَبِعْتُ منه صَاعَيْنِ بصَاعٍ؛ لِنُطْعِمَ النَّبيَّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فَقَالَ النَّبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ عِنْدَ ذلكَ: أوَّهْ أوَّهْ! عَيْنُ الرِّبَا، عَيْنُ الرِّبَا، لا تَفْعَلْ، ولَكِنْ إذَا أرَدْتَ أنْ تَشْتَرِيَ فَبِعِ التَّمْرَ ببَيْعٍ آخَرَ، ثُمَّ اشْتَرِهِ.
Dari Abu Said Al-Khudri RA, bahwa Bilal telah datang kepada Nabi SAW membawa kurma Barni (kurma bagus). Lalu Nabi SAW berkata kepadanya,”Dari mana ini?” Bilal menjawab,”Kami mempunyai kurma yang jelek, lalu aku jual dua sha’ dari kurma jelek itu dengan satu sha’ kurma Barni, supaya kami dapat memberikannya sebagai makanan untuk Nabi SAW. Maka Nabi SAW bersabda,”Waduh waduh! Itu tu riba, itu tu riba, jangan kamu lakukan. Tapi jika kamu ingin membeli (kurma bagus), juallah kurma yang buruk, lalu (dengan uang hasil penjualan itu) belilah kurma yang bagus.” (HR. Al-Bukhari no 2312; Muslim no 1594).
Inilah beberapa contoh, yang menunjukkan ketika suatu ayat Al-Qur`an turun kepada kepada Nabi Muhammad SAW, maka Nabi SAW sebagai penguasa menerapkan hukum Islam yang terkandung dalam ayat yang sudah turun tersebut di tengah masyarakat. Jadi Nabi SAW tidak sekedar menjadi nabi dengan menerima ayat dan menyampaikannya kepada manusia, namun juga menjadi penguasa atau pemimpin dengan menerapkan hukum-hukum Islam dalam ayat tersebut di tengah masyarakat.
Konsekuensi Dua Kedudukan Nabi SAW
Kita umat Islam wajib menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai suri teladan yang baik (uswah hasanah) sesuai firman Allah SWT :
لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُولِ ٱللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلْيَوْمَ ٱلْءَاخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) Hari Kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab : 21).
Firman Allah SWT :
قُلۡ اِنۡ كُنۡتُمۡ تُحِبُّوۡنَ اللّٰهَ فَاتَّبِعُوۡنِىۡ يُحۡبِبۡكُمُ اللّٰهُ وَيَغۡفِرۡ لَـكُمۡ ذُنُوۡبَكُمۡؕ وَاللّٰهُ غَفُوۡرٌ رَّحِيۡمٌ
“Katakanlah (Muhammad), “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Ali ‘Imran : 31)
Pertanyaannya, dari dua kedudukan Nabi SAW tersebut, sebagai nabi dan pemimpin, manakah yang wajib hukumnya kita teladani? Jawabannya, kedudukan sebagai pemimpin (penguasa), itulah yang wajib diteladani oleh umat Islam. Kedudukan sebagai pemimpin (penguasa) inilah yang dilanjutkan oleh para khalifah setelah beliau wafat. Adapun kedudukan sebagai nabi, jelas bukan pada tempatnya kita meneladani beliau, karena beliau adalah nabi atau rasul terakhir (khātamun nabiyyīn).
Firman Allah SWT :
مَا كَانَ مُحَمَّدٌ اَبَآ اَحَدٍ مِّنۡ رِّجَالِكُمۡ وَلٰـكِنۡ رَّسُوۡلَ اللّٰهِ وَخَاتَمَ النَّبِيّٖنَ ؕ وَكَانَ اللّٰهُ بِكُلِّ شَىۡءٍ عَلِيۡمًا
”Muhammad itu bukanlah bapak dari seseorang di antara kamu, tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup para nabi (khātamun nabiyyīn). Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Ahzab : 40)
Rasululah SAW bersabda :
إِنَّ الرِّسَالَةَ وَالنُّبُوَّةَ قَدْ انْقَطَعَتْ فَلَا رَسُولَ بَعْدِي وَلَا نَبِيَّ
“Sesungguhnya kerasulan dan kenabian itu telah terputus, maka tidak ada lagi rasul dan nabi setelah aku.” (HR. Al-Tirmidzi, no. 2272)
Rasulullah SAW juga menegaskan:
كَانَتْ بَنُو إسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمُ الأنْبِيَاءُ، كُلَّما هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ، وإنَّه لا نَبِيَّ بَعْدِي، وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ فَتَكْثُرُ
”Dahulu Bani Israil dipimpin dan diatur segala urusannya oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi wafat, dia digantikan nabi lainnya. Dan sesungguhnya tak ada lagi nabi sesudahku, yang ada adalah para khalifah dan jumlah mereka akan banyak…” (HR. Muslim, no 1842)
Hadits Nabi SAW tersebut dengan jelas menunjukkan bahwa :
Pertama, tidak ada lagi nabi lagi setelah Nabi SAW meninggal. Ini artinya, kedudukan pertama bagi Nabi SAW, yaitu kedudukan kenabian dan kerasulan (manshib al-nubuwwah wa al-risālah) dengan mendapat wahyu langsung dari Allah, telah berakhir dengan wafatnya Nabi SAW.
Kedua, akan ada khalifah-khalifah setelah wafatnya Nabi SAW. Ini artinya, kedudukan kedua bagi Nabi SAW, yaitu kedudukan kepemimpinan (manshib al-ri`āsah), tidaklah berakhir, melainkan digantikan dan diteruskan oleh para khalifah setelah wafatnya Nabi SAW.
Para penerus Nabi SAW dalam kedudukan beliau sebagai pemimpin (manshib al-ri`âsah) itu, dinamakan khalīfah. Sedang sistem pemerintahan yang dipimpin oleh para Khalifah yang menjadi penerus beliau itu, dinamakan Khilāfah. Khilafah itulah yang meneruskan kedudukan Nabi SAW sebagai pemimpin (manshib al-ri`āsah), yaitu menegakkan hukum-hukum Islam.
Meluruskan Persepsi Keliru
Banyak persepsi keliru, antara lain persepsi seolah-olah Islam adalah agama sekuler, yaitu agama yang terpisah dari kekuasaan. Alasannya Muhammad SAW itu murni hanyalah seorang Nabi, yang tugasnya memberi peringatan (wahyu) kepada manusia, bukan sebagai penguasa yang punya hak paksa. Ini adalah pendapat Ali Abdur Raziq dalam kitabnya Al-Islām wa Ushūl Al-Hukm (1925).
Dalil pendapat ini, adalah ayat-ayat yang membatasi fungsi Nabi Muhammad SAW sebagai nabi penyampai wahyu saja, seperti firman Allah SWT :
إِنْ عَلَيْكَ إِلَّا ٱلْبَلَٰغُ ۗ
“Kewajibanmu (Muhammad) tidak lain hanyalah menyampaikan (risalah).” (QS. Asy-Syura : 48).
Dalil lainnya menurut persepsi itu, bahwa Muhammad SAW tidak punya hak untuk memaksa, yang merupakan hak seorang penguasa, sebagaimana firman Allah SWT :
لَّسْتَ عَلَيْهِم بِمُصَيْطِرٍ
“Kamu (Muhammad) bukanlah orang yang berkuasa atas mereka.” (QS. Al-Ghasyiyah : 22).
Pendapat tersebut BATIL, karena ayat-ayat tersebut adalah ayat-ayat Makkiyah, yang memang benar pada saat sebelum hijrah, Nabi Muhammad SAW hanyalah seorang nabi, belum mempunyai kekuasaan.
Tetapi setelah beliau berhijrah ke Madinah, turunlah ayat-ayat Madaniyyah, yang memerintahkan Nabi Muhammad untuk menerapkan hukum Islam. Misal QS Al-Maidah : 48, 49, dsb. Jadi setelah hijrah, beliau mendapat tambahan tugas sebagai penguasa, di samping tugas sebagai nabi dari Allah SWT.
Contoh persepsi keliru lainnya, seolah-olah Nabi SAW adalah orang yang menghindarkan diri (zuhud) dari kekuasaan, jadi beliau itu hanya nabi bukan penguasa. Dengan alasan antara lain :
Pertama, Nabi SAW pernah ditawari beberapa hal oleh kaumnya, antara lain kekuasaan, tapi Nabi SAW menolaknya. Kaumnya berkata :
وَإِنْ كُنْتَ تُرِيدُ بِهِ ملكًا مَلَكْنَاكَ عَلَيْنَا
“Jika kamu menghendaki kekuasaan (dengan dakwahmu itu), kami akan jadikan kamu berkuasa atas kita.” (Sirah Ibnu Hisyām, Juz I, hlm. 293).
Kedua, Nabi SAW pernah mengatakan “Saya bukan raja” ketika beliau didatangi seorang laki-laki, lalu dia gemetar melihat haibah (kewibawaan) Nabi SAW. Nabi SAW berkata kepadanya :
هَوِّنْ عَلَيْكَ، فَإِنِّي لَسْتُ بِمَلِكٍ، إِنَّمَا أَنَا ابْنُ امْرَأَةٍ مِنْ قُرَيْشٍ كَانَتْ تَأْكُلُ الْقَدِيدَ
“Tenanglah kamu, karena aku bukanlah seorang raja, aku hanyalah anak seorang perempuan dari Quraisy yang dulunya suka makan dendeng.” (Ibnu Sa’ad, Al-Thabaqāt Al-Kubrā, Juz I, hlm. 23).
Pendapat tersebut BATIL, karena 3 (tiga) alasan sbb :
Pertama, karena yang ditawarkan kepada Nabi SAW adalah kekuasaan yang mensyaratkan Nabi SAW meninggalkan dakwah Islam. Jadi Nabi SAW menolak kekuasaan yang ditawarkan kaumnya itu bukan karena menolak kekuasaannya itu sendiri, melainkan karena kekuasaan yang ditawarkan itu, mensyaratkan sesuatu yang batil, yaitu Nabi SAW harus meninggalkan dakwah Islam.
Padahal segala macam persyaratan yang bertentangan dengan Islam, maka persyaratan itu statusnya adalah batil, sesuai sabda Nabi SAW :
مَا كَانَ مِنْ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِئَةَ شَرْطٍ
“Setiap-tiap syarat yang bertentangan dengan Kitabullah, maka dia adalah batil, walupun ada seratus syarat.” (HR. Muslim, no. 1504).
Adanya persyaratan batil itu dapat diketahui dari perkataan Nabi SAW kepada pamannya Abu Thalib yang menunjukkan keteguhan beliau mengemban dakwah Islam:
يَا عَمُّ، وَاللَّهِ لَوْ وَضَعُوا الشَّمْسَ فِي يَمِينِي، وَالْقَمَرَ فِي يَسَارِي عَلَى أَنْ أَتْرُكَ هَذَا الْأَمْرَ حَتَّى يُظْهِرَهُ اللَّهُ، أَوْ أَهْلِكَ فِيهِ، مَا تَرَكْتُهُ
“Wahai paman, demi Allah, jika mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, dengan syarat aku meninggalkan urusan ini sampai Allah memenangkan urusan ini, atau aku binasa karenanya, maka aku tidak akan meninggalkannya.” (Sirah Ibnu Hisyam, Juz I, hlm. 266).
Kedua, karena walaupun Nabi SAW menyatakan beliau bukan raja (malik), bukan berarti Nabi SAW anti kekuasaan atau tidak menghendaki kekuasaan.
Jadi Nabi SAW ketika menyatakan dirinya bukan raja, maksudnya bukan berarti beliau itu menolak kekuasaan, melainkan hanya sekedar menegaskan bahwa beliau bukan orang yang kejam, yang suka berbuat kerusakan di muka bumi, sebagaimana umumnya perilaku raja-raja ketika mereka berkuasa.
Perhatikan ayat berikut, yang menunjukkan ciri-ciri raja, yaitu kejam dan suka berbuat kerusakan di muka bumi, sebagaimana firman Allah SWT :
قَالَتْ إِنَّ ٱلْمُلُوكَ إِذَا دَخَلُوا۟ قَرْيَةً أَفْسَدُوهَا وَجَعَلُوٓا۟ أَعِزَّةَ أَهْلِهَآ أَذِلَّةً ۖ وَكَذَٰلِكَ يَفْعَلُونَ
“Dia (Balqis) berkata,”Sesungguhnya raja-raja apabila memasuki suatu negeri, niscaya mereka membinasakannya, dan menjadikan penduduknya yang mulia jadi hina; dan demikian pulalah yang akan mereka perbuat.” (QS An-Naml : 34)
Ketiga, tidaklah benar Nabi SAW merupakan figur yang anti kekuasaan atau tidak menghendaki kekuasaan. Yang beliau tolak adalah kekuasaan yang tidak mengabdi kepada Islam. Adapun jika kekuasaan itu diabdikan kepada Islam, yakni demi tegaknya Islam, maka kekuasaan seperti ini justru sangat diinginkan oleh Nabi SAW.
Ini terbukti Nabi SAW sendiri pernah berdoa kepada Allah SWT, agar diberi karunia berupa Sulthān Nashīrā, yaitu kekuasaan yang dapat menolong agama Islam. Lihat ayatnya di dalam QS Al-Isra` : 80.
Sungguh Nabi SAW sebelum hijrah pernah berdoa kepada Allah SWT agar diberi kekuasaan yang menolong agama Islam (sulthānan nashīrā) itu. Firman Allah SWT :
وَقُل رَّبِّ أَدْخِلْنِي مُدْخَلَ صِدْقٍ وَأَخْرِجْنِي مُخْرَجَ صِدْقٍ وَاجْعَل لِّي مِن لَّدُنكَ سُلْطَانًا نَّصِيرًا
“Katakanlah (Muhammad), “Ya Tuhanku, masukkan aku (ke tempat dan keadaan apa saja) dengan cara yang benar, keluarkan (pula) aku dengan cara yang benar, dan berikanlah kepadaku dari sisi-Mu kekuasaan yang dapat menolong(-ku) (sulthānan nashīrā).” (QS Al-Isra` : 80).
Pengertian سُلْطَانًا نَّصِيرًا (sulthānan nashīrā) dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir adalah sebagai berikut :
قَالَ قَتَادَةُ : عَلِمَ نَبيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهُ وَسَلَّمَ أَنْ لَا طَاقَةَ لَهُ بِهَذَا الأَمْرِ إِلَّا بِسُلْطاَنٍ [ نَصِيْرٍ ] فَسَأَلَ سُلْطَانًا نَصِيْرًا : كِتابَ اللَّهِ وَحُدودَهُ وَإِقامَةَ دِيْنِهِ
“Qatadah berkata,’Nabiyullah SAW telah mengetahui bahwa beliau tidak punya kemampuan menegakkan urusan ini (agama Islam) kecuali dengan kekuasaan (yang menolong), maka Nabi SAW memohon kekuasaan yang menolong itu, yakni yang menolong Kitabullah, hudūd-Nya, dan penegakan agama-Nya.” (Tafsīr Ibnu Katsīr, Juz IX, hlm. 67)
Penutup
Doa tersebut akhirnya dikabulkan oleh Allah, ketika Rasulullah SAW berhijrah ke Madinah (622 M), dan beliau mendapat kekuasaan (as-sulthān) untuk melaksanakan agama Islam secara kaffāh (keseluruhan) dalam segala aspek kehidupan. Firman Allah SWT:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ادْخُلُوْا فِى السِّلْمِ كَاۤفَّةًۖ وَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ
“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara menyeluruh dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syetan! Sesungguhnya ia musuh yang nyata bagimu.”
(QS Al-Baqarah : 208). Wallāhu a’lam.
Yogyakarta, 20 September 2025
Muhammad Shiddiq Al-Jawi






















