Oleh : KH.M. Shiddiq Al Jawi | Pakar Fiqih Mu’amalah & Kontemporer
Tanya :
Dalam penjelasan Ustadz sebelumnya di sini :
MENGHITUNG ZAKAT PERDAGANGAN, DARI HARGA BELINYA ATAU DARI HARGA JUALNYA?
Ustadz telah menyatakan bahwa pendapat yang rājih (lebih kuat) adalah pendapat jumhur ulama, yaitu bahwa zakat barang dagangan itu dihitung dari harga jualnya, bukan harga belinya. Pertanyaan lanjutan dari saya, ini harga jual kepada siapa, Ustadz? Misalkan penjual menjual 1 produk dengan harga end user (eceran) sebesar Rp100.000/pcs. Jika penjual menjual kepada agen, harga jualnya Rp70.000/pcs, dan jika dia menjual kepada distributor, harga jualnya Rp50.000/pcs. Jadi zakatnya dihitung dari harga jual yang mana, Ustadz? Ada juga penjual yang hanya fokus menjual kepada distributor saja dengan harga jual Rp50.000/pcs. Berarti yang dizakati dari Rp50.000 ini njih, Tadz? (Ade Wijaya, Sleman).
Jawab :
Jika seorang penjual grosir menjual barang dagangannya dengan harga grosir, maka zakatnya dihitung dari harga grosir. Jika seorang pedagang eceran menjual barang dagangannya dengan harga eceran, maka zakatnya dihitung dari harga eceran. Adapun jika seorang pedagang menjual barangnya dengan dua macam harga, yaitu harga grosir dan juga harga eceran, maka zakatnya dihitung masing-masing secara proporsional, mengikuti jumlah pcs (pieces/unit) masing-masing yang dijual.
Syekh ‘Atha` Abu Ar-Rasytah dalam nasyrah Soal Jawab-nya, tertanggal 3April 2016/25 Jumadil Akhir 1437 H, berkata :
إِذَا كَانَ البائِعُ بائِعَ جُمْلَةً فَإِنَّهُ يُقَوِّمُ سِلَعَهُ بِسِعْرِ بِضاَئِعِ الْجُمْلَةِ ، وَإِذَا كَانَ يَبِيْعُ بِالْمَفْرِقِ فَإِنَّهُ يَقُوِّمُهَا بِسِعْرِ المَفْرِقِ . . . وَإِذَا كَانَ يَخْلِطُ بَيْنَ بَيْعِ الجُمْلَةِ وَبَيْعِ المَفْرِقِ فَيَأْخُذُ النِّسْبَةَ بَيْنَ اَلْبَيْعَيْنِ وَيَعْتَمِدُهَا ، فَإِنْ كَانَ يَبِيْعُ نِصْفَ السِّلَعِ بِالْجُمْلَةِ والنِّصْفَ الآخَرَ بِالْمَفْرِقِ فَإِنَّهُ يُقَدِّرُ نِصْفَ السِّلَعِ بِالْجُمْلَةِ والنِّصْفَ الآخَرِ بِالْمَفْرَقِ . . . وَهَكَذَا ، وَذَلِكَ لِأَنَّ هَذَا هُوَ التَّعْبِيْرُ الأَقْرَبُ إِلَى الْحَقِيْقَةِ عَنْ قِيْمَةِ السِّلَعِ .
“Jika penjual itu adalah penjual grosir, maka dia menghitung nilai zakatnya dari harga barang grosir, dan jika penjual itu menjual barangnya dengan harga eceran, maka dia menghitung nilai zakatnya dari harga eceran. Dan jika penjual itu mencampurkan antara menjual dengan harga grosir dan dengan harga eceran, maka dia menghitung zakatnya dengan melihat persentase masing-masingnya dan berpatokan dengan persentase (nisbah)-nya. Jika dia menjual setengah (50%) dari barangnya dengan harga grosir, sedang setengah lainnya (50%) dengan harga eceran, maka dia menghitung nilai zakatnya yang setengah dari harga grosir, dan yang setengahnya dari harga eceran. Demikianlah. Hal itu dikarenakan, harga jual itulah yang lebih tepat untuk menunjukkan nilai yang sebenarnya dari berbagai barang dagangan.” (https://www.hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/36403.html).
Jadi, misalkan ada seorang pedagang grosir yang hanya fokus menjual kepada distributor saja dengan harga grosir Rp50.000/pcs, maka zakatnya dihitung dari harga grosir itu, yaitu Rp50.000, dikalikan jumlah barang yang dijual, dikalikan 2,5%. Misal pada akhir haul, pedagang grosir itu menjual 1000 unit barang, dengan harga @ Rp50.000/pcs. Maka zakat yang dia keluarkan pada akhir haul (saat jatuh tempo) adalah = 1000 unit x Rp50.000/pcs x 2,5% = Rp 50.000.000 x 2,5% = Rp1.250.000 (satu juta dua ratus lima puluh ribu rupiah).
Adapun jika seorang pedagang menjual barangnya dengan macam-macam harga, maka dihitung masing-masing. Misalnya, pedagang itu menjual 1000 unit barangnya dengan harga end user (harga eceran) sebesar Rp100.000/pcs; lalu dia juga menjual 2000 unit barangnya kepada agen dengan harga jual agen Rp70.000/pcs, dan dia menjual kepada distributor 3000 unit barangnya dengan harga jual distributor Rp50.000/pcs.
Bagaimana cara menghitung nilai zakatnya? Jawab, dihitung masing-masing, lalu digabungkan (ditotal).
Pertama, zakat yang dikeluarkan untuk barang yang harga jualnya Rp100.000/pcs (kepada end user), sama dengan = 2,5% x Rp100.000 x 1000 unit = Rp2.500.000 (dua juta lima ratus ribu rupiah).
Kedua, zakat yang dikeluarkan untuk barang yang harga jualnya Rp70.000/pcs (kepada agen), sama dengan = 2,5% x Rp70.000 x 2000 unit = Rp3.500.000 (tiga juta lima ratus ribu rupiah).
Kedua, zakat yang dikeluarkan untuk barang yang harga jualnya Rp50.000/pcs (kepada distributor), sama dengan = 2,5% x Rp50.000 x 3000 unit = Rp3.750.000 (tiga juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah).
Jadi total zakat yang dia keluarkan adalah = Rp2.500.000 + Rp3.500.000 + Rp3.750.000 = Rp 9.750.000 (sembilan juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah).
Demikianlah cara menghitung zakat barang dagangan, yaitu dengan menghitung dari harga jualnya, bukan dari harga belinya. Jika barang dagangan dijual dengan harga grosir, maka zakat dihitung dari harga grosir, dan jika dijual dengan harga eceran maka zakat dihitung dari harga eceran. Jika seorang pedagang menjual barangnya dengan menggabungkan harga grosir dan harga eceran, maka zakatnya dihitung masing-masing, lalu digabungkan.
Semua ini dengan asumsi, bahwa nilai barang dagangan yang ada sudah memenuhi dua kriteria zakat harta; yaitu, pertama, mencapai nishabnya, yaitu nishab terendah di antara dua nishab (nishab dirham atau nishab emas), dan, kedua, nilai barang dagangan yang sudah mencapai nishab itu, sudah berlalu dalam satu haul, yaitu telah dimiliki dalam jangka waktu satu tahun dalam perhitungan kalender hijriyah. Wallāhu ‘alam.
Wallāhu a’lam.
Yogyakarta, 16 Mei 2023 Muhammad Shiddiq Al-Jawi