
Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi | Pakar Muamalah Kontemporer
Tanya :
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Perkenalkan saya Pungky dari Gejayan, Yogyakarta, Ustadz. Ini ada hal yang mau saya tanyakan terkait perekrutan pegawai. Katakanlah saya seorang pengusaha dan saya butuh pegawai. Ketika merekrut pegawai, boleh tidak ya bagi saya untuk menentukan batasan umur dan tingkat pendidikan? Terima kasih. (Pungky, Gejayan, Yogyakarta).
Jawab :
Wa ‘alaikumus salam warahmatullahi wabarakatuh.
Boleh hukumnya menentukan batasan umur dan tingkat pendidikan dalam rekrutmen pegawai, karena tidak ada dalil syariah dari Al-Qur`an dan As-Sunnah yang melarang hal itu, yaitu syarat untuk pegawai harus memenuhi umur tertentu atau mempunyai tingkat pendidikan tertentu.
Syarat yang seperti ini dalam fiqih Islam disebut syarat ja’lī, yaitu syarat yang dibuat sendiri oleh para pihak yang melakukan berbagai akad muamalat, seperti akad jual-beli, akad kerja/jasa (ijārat al-ajīr), akad sewa-menyewa (ijārah), akad utang-piutang, akad nikah, akad perdamaian (ish-lāh), akad pinjam pakai (‘āriyah), akad ju’ālah (sayembara), akad titipan (al-wadī’ah), dan sebagainya.
Syarat ja’ lī tersebut, hukum asalnya adalah boleh hukumnya dibuat oleh para pihak dalam berbagai mu’amalat tersebut, kecuali jika syarat itu ada dalil syariah yang mengharamkannya, baik dalil dari Al-Qur`an atau dalil dari al-Sunnah. Jika tidak ada dalil syariah yang mengharamkan, maka syarat ja’lī itu hukumya boleh. (Wahbah al-Zuhailī, Ushūl al-Fiqh al-Islāmī, Juz I, hlm. 101).
Kaidah fiqih dalam masalah ini menetapkan :
الْأَصْلُ فِي الشُّرُوْطِ فِي الْمُعَامَلَاتِ الْإِبَاحَةُ
Al-Ashlu fī al-syurūth fī al-mu’āmalāt al-ibāhah. “Hukum asal menetapkan syarat-syarat dalam berbagai mua’malat (seperti akad jual beli, akad kerja/jasa, utang piutang, dsb), adalah boleh.” (Walīd bin Rāsyid al-Saīdāni, Al-Tajrīd li (i)khtiyārāt Syaikh al-Islām Ibn Taimiyyah, hlm. 34).
Dalam kaidah fiqih lain yang maknanya sama, disebutkan bahwa :
الْأَصْلُ فِي الْأَفْعَالِ الْإِدَارِيَّةِ الْإِبَاحَةُ
Al-Ashlu fī al-af’āl al-idāriyyah al-ibāhah. “Hukum asal untuk perbuatan-perbuatan administratif (misal menetapkan syarat ja’li, membuat petunjuk teknis, dsb), adalah diperbolehkan.” (Samīh ‘Āthif al-Zain, ‘Ālamiyyat al-Islām wa Māddiyyat al-‘Aulamah, hlm. 229).
Dalil dari kaidah fiqih yang telah kami sebutkan di atas adalah sabda Rasulullah SAW :
وَالْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ إِلَّا شَرْطًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا
“Dan kaum muslimin (bermu’amalat) berdasarkan atas syarat-syarat di antara mereka, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau yang menghalalkan yang haram.” (HR. al-Tirmidzi, no. 1352).
Dengan demikian, jelaslah bahwa boleh hukumnya menentukan batasan umur dan tingkat pendidikan dalam rekrutmen pegawai, seperti yang ditanyakan di atas, dengan alasan karena tidak terdapat dalil syariah, baik dari al-Qur`an maupun dari al-Sunnah, yang mengharamkan syarat-syarat tersebut.
Maka dari itu, jika ada dalil-dalil syariah yang mengharamkan suatu syarat tertentu, berarti syarat itu adalah syarat yang batil, yang tidak boleh untuk ditetapkan atau dilaksanakan. Kaidah fiqih yang terkait dengan syarat seperti ini menegaskan :
كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ بَاطِلٌ وَلَوْ كَانَ مِئَةَ شَرْطٍ
Kullu syarthin laysa fī kitāb Allāh fahuwa bāthil walaw kāna mi`ata syarthin. Artinya, setiap-tiap syarat yang menyalahi Kitabullah (Syariah Islam), maka dia adalah batil, meskipun ada seratus syarat. (HR. al-Bukhari, no. 2168; Muslim, no. 1504; dan Abu Dawud, no. 3929. Muhammad Shidqī al-Burnū, Mausū’ah al-Qawā’id al-Fiqhiyyah, Juz VIII, hlm. 419; Muhammad Mushthofā al-Zuhailī, Al-Qawā’id al-Fiqhiyyah wa Tathbīqātuhā fī al-Madzāhib al-Arba’ah, Juz II, hlm. 836).
Contoh syarat rekrutmen yang haram, misalnya harus mengenakan seragam (kustom) yang ketat bagi pramugari yang bekerja di pesawat terbang atau di kereta api. Persyaratan ini adalah persyaratan yang batil yang haram untuk dibuat dan/atau dijalankan. Ini karena terdapat dalil syariah berupa hadits Nabi SAW yang mengharamkan wanita muslimah untuk berbusana yang ketat atau transparan (tembus pandang). Rasulullah SAW bersabda :
صِنَفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُؤُسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا
“Ada dua golongan penghuni neraka yang aku belum pernah melihat keduanya; (Pertama), suatu kaum yang mempunyai cambuk-cambuk seperti ekor-ekor kerbau, yang mereka gunakan untuk menyiksa manusia. (Kedua) wanita-wanita yang berpakaian tapi telanjang, yang cara berjalannya seperti berjalannya seorang pelacur (melenggak-lenggok, dsb), kepala-kepala mereka seperti punuk unta, mereka tidak akan masuk surga, dan mereka tidak akan mencium baunya surga, padahal baunya surga dapat tercium dari jarak perjalanan sekian dan sekian.” (HR. Muslim, no. 2128).
Syaikh Nāshiruddīn al-Albānī menafsirkan hadis itu, bahwa wanita yang berpakaian tapi telanjang, maksudnya adalah berpakaian dengan pakaian ketat, atau berpakaian transparan (tembus pandang). Beliau selengkapnya berkata :
فَهِيَ كَاسِيَةٌ وَهَى فِي الْحَقِيقَةِ عَارِيَةٌ مِثْلُ مَنْ تَكْتَسِي الثَّوْبَ الرَّقِيقَ الَّذِي يَصِفُ بَشَرَتَهَا أَوْ الثَّوْبَ الضَّيِّقَ الَّذِي يُبْدِي تَقَاطِيعَ خَلُقِهَا
“Jadi wanita-wanita itu berpakaian tetapi sebenarnya telanjang (كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ), misalnya adalah wanita yang memakai baju yang tipis yang dapat memperlihatkan warna kulitnya, atau wanita yang memakai baju yang ketat yang menampakkan lekuk-lekuk tubuhnya.” (Nāshiruddīn al-Albānī, Jilbāb al-Mar`at al-Muslimah, hlm. 80).
Contoh lainnya untuk syarat rekrutmen pegawai yang haram, misalnya karyawan atau staf atau talent wanita yang akan direkrut, haruslah mempunyai “penampilan menarik”, atau bahkan disyaratkan harus mempunyai tinggi badan minimal sekian sentimeter atau berat badan maksimal sekian kilogram, dsb.
Syarat seperti ini adalah syarat yang batil yang tidak boleh ditetapkan atau dilaksanakan, karena Islam dengan tegas melarang pekerjaan tertentu bagi wanita yang mengeksploitasi kecantikan wajahnya atau keindahan tubuhnya. Islam hanya membolehkan pekerjaan bagi wanita yang memanfaatkan kerja fisiknya (seperti chef, tukang jahit, dsb) atau intelektualitasnya (seperti dosen, peneliti, dsb).
Dalam hadits dari Abu Hurairah RA, diriwayatkan sbb :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كَسْبِ الْإِمَاءِ مَخَافَةَ أَنْ يَبْغِينَ
Dari Abu Hurairah RA, dia berkata,”Rasulullah SAW telah melarang pekerjaan yang dilakukan oleh para budak wanita karena khawatir mereka akan melacurkan diri (menjadi PSK).” (HR. Ibnu Hibban, no. 5159; dan al-Bukhari, no. 2283 tanpa redaksi (مَخَافَةَ أَنْ يَبْغِينَ) “karena khawatir mereka akan melacurkan diri”).
Dalam hadits lain diriwayatkan sbb :
عَنْ طَارِقِ بْنِ عَبْدِالرَّحْمَنِ الْقُرَشِيِّ، قَالَ: جَاءَ رَافِعُ بْنُ رِفَاعَةَ إِلَى مَجْلِسِ الْأَنْصَارِ فَقَالَ : لَقَدْ نَهَانَا نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْيَوْمَ، فَذَكَرَ أَشْيَاءَ وَنَهَى عَنْ كَسْبِ الْأَمَةِ إلَّا مَا عَمِلَتْ بِيَدِهَا ، وَقَالَ: هَكَذَا بِأَصَابِعِهِ نَحْوَ الْخُبْزِ وَالْغَزْلِ وَالنَّفْشِ
Dari Thāriq bin ‘Abdurrahman al-Qurasyi, dia berkata,”Telah datang Rāfi’ bin Rifā’ah ke satu majelis kaum Anshar, lalu dia berkata,”Sungguh Nabiyullah SAW telah melarang kita hari ini, lalu dia menyebutkan beberapa hal yang dilarang itu. Dan Nabi SAW telah melarang pekerjaan yang dilakukan oleh seorang budak wanita, kecuali apa yang dapat diperbuat oleh tangannya. Dia berkata,’Seperti ini, yaitu membuat roti, menenun kain, atau memilah wol dan katun untuk dibuat bantal.” (HR. Abu Dawud, no. 3426; Ahmad, no. 19.020).
Imam Taqiyuddin An-Nabhani menjelaskan hadits di atas dengan berkata :
أَيْ: تُمْنَعُ الْمَرْأَةُ مِنْ كُلِّ عَمَلٍ يُقْصَدُ مِنْهُ اسْتِغْلاُ أُنُوثَتِهَا، وَتُبَاحُ لَهَا بَاقِي الْأَعْمَالِ
“Hadits ini berarti, wanita dilarang dari setiap-tiap pekerjaan yang dimaksudkan untuk mengkesploitasi keperempuanannya, dan dibolehkan bagi wanita pekerjaan-pekerjaan selainnya.” (Taqiyuddin An-Nabhani, Muqaddimat al-Dustūr, Juz I, hlm. 327).
Kesimpulannya, boleh hukumnya menentukan batasan umur dan tingkat pendidikan dalam rekrutmen pegawai, seperti yang ditanyakan di atas, karena tidak terdapat dalil syariah yang melarang syarat tersebut, baik dari al-Qur`an maupun dari al-Sunnah. Wallāhu a’lam.
Yogyakarta, 11 Mei 2025 Muhammad Shiddiq Al-Jawi