Home Soal Jawab Fiqih MEMBELI KHAMR SECARA UTANG LALU TAUBAT, WAJIBKAH UTANG INI DIBAYAR?

MEMBELI KHAMR SECARA UTANG LALU TAUBAT, WAJIBKAH UTANG INI DIBAYAR?

39
Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi | Pakar Fiqih Kontemporer

 

Tanya :

Ustadz, saya mau tanya hukum hutang piutang tapi barang yang diutang adalah barang haram, yaitu khamr? Apakah kita wajib membayar utang tersebut? Jadi orang yang berutang itu adalah orang yang sudah hijrah, pada masa lalunya pernah berutang khamr, dan utang itu masih ditagih oleh yang memberi utang (penjual khamr). (Kokoh Sulaksono, Pangkalan Bun).

 

Jawab :

Dalam kasus yang ditanyakan di atas, terjadi ta’ārudh al-hukm (kontradiksi hukum). Kontradiksi hukum yang dimaksud adalah, pada satu sisi membayar utang itu hukumnya wajib, sedangkan di sisi lain berjual beli khamr hukumnya haram. Bagaimanakah seseorang harus bersikap, ketika pada saat yang sama, dia diwajibkan melakukan sesuatu sekaligus diharamkan melakukan sesuatu itu?

Jadi pada satu sisi, wajib hukumnya membayar utang dalam jual beli yang terjadi secara utang (tidak tunai), yakni pembeli mengambil barang dari penjual secara tunai, sedangkan pembayaran dilakukan secara tunda oleh pembeli. Dalilnya antara lain sabda Nabi SAW :

أَيُّمَا رَجُلٍ يَدَيَّنُ دَيْنًا وَهُوَ مُجْمِعٌ أَنْ لاَ يُوَفِّيَهُ إِيَّاهُ لَقِيَ اللَّهَ سَارِقًا . رواه ابن ماجه، وحسنه الألباني

“Siapa saja yang berutang lalu berniat untuk tidak mau melunasinya, maka dia akan menemui Allah (pada Hari Kiamat) dalam status sebagai pencuri.” (HR. Ibnu Majah no. 2410, hadits hasan menurut Syekh Nashiruddin Al-Albani)

Sabda Rasulullah SAW :

مَطْلُ الغَنِيِّ ظُلْمٌ

“Menunda-nunda pembayaran utang dari orang yang mampu, adalah suatu kezaliman.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Sedangkan pada sisi yang lain, haram hukumnya berjual beli khamr, baik jual beli itu dilakukan secara cash (kontan) maupun dibayar secara utang. Dalilnya antara lain hadits sbb :

عَنْ جاَبِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قاَلَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عاَمَ الْفَتْحِ بِمَكَةَّ يَقُوْلُ : إنَّ اللهَ وَرَسُوْلَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيْرِ وَالْأَصْناَمِ.أخرجه البخاري (2236)، ومسلم (1581)

Dari Jabir bin Abdillah RA, dia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah SAW pada tahun Fathu Makkah bersabda, ‘Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan jual beli khamr, jual beli bangkai, jual beli babi, dan jual beli berhala (patung).” (HR. Bukhari no 2236; Muslim, no 1581)

Jadi, terjadi kontradiksi hukum antara kewajiban membayar utang di satu sisi, dan keharaman berjual beli khamr di sisi lain. Bagaimana solusinya?

Solusinya, terdapat dalam kaidah ushul fiqih (al-qawā’id al-ushūliyyah) yang menjelaskan bagaimana menyikapi ta’ārudh al-hukm (kontradiksi hukum) yang terjadi sebagai akibat dari ta’ārudh al-hadits (kontradiksi hadits) antara hadits yang mengharamkan sesuatu di satu sisi, dengan hadits yang mewajibkan sesuatu itu di sisi lain. Jika hal ini terjadi, maka hukum haram dan wajib itu kedudukannya sama-sama kuat, kecuali ada dalil murajjih, yaitu dalil khusus yang menguatkan salah satunya. Jika tidak ada dalil murajjih, hukum yang dirajihkan adalah hukum haram. Kaidah ushuliyah ini menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani lengkapnya berbunyi sebagai berikut :

اَلْخَبَرُ الدَّالُّ عَلىَ التَّحْرِيْمِ يُسَاوِي الْخَبَرَ الدَّالَّ عَلىَ الْوُجُوْبِ فَإِذَا وَرَدَ دَلِيْلاَنِ أَحَدُهُماَ يَقْتَضِيْ تَحْرِيْمَ شَيْءٍ وَالْآخَرُ يَقْتَضِيْ إِيْجَابَهُ فَيَتَعاَدَلاَنِ أَيْ يَتَسَاوَياَنِ حَتىَّ لاَ يُعْمَلَ بِأَحَدِهِماَ إلاَّ بِمُرَجِّحٍ …فَإِذَا لَمْ يُوْجَدِ الْمُرَجِّحُ مُطْلَقاً، فَحِيْنَئِذٍ يُرَجَّحُ التَّحْرِيْمُ عَلىَ اْلإِيْجاَبِ

“Khabar (hadits) yang mengharamkan sama kuatnya dengan khabar (hadits) yang mewajibkan, maka jika terdapat dua dalil dimana yang satu mengharamkan sesuatu sedang dalil yang lain mewajibkan sesuatu itu, maka kedua dalil itu berarti sama kuat, sehingga tidak diamalkan salah satunya kecuali ada dalil murajjih yang menguatkan salah satunya… maka jika tidak terdapat dalil murajjih secara mutlak, maka pada saat itu dirajihkan (dikuatkan) hukum yang mengharamkan atas hukum yang mewajibkan.” (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, 3/493; Imam Al-Baidhawi, Nihāyatul Sūl Syarah Minhāj Al-Ushūl fī ‘Ilmi Al-Ushūl, 4/503).

Dalam hal ini telah terdapat dalil murajjih, yang menguatkan hukum haram, yaitu sabda Rasulullah SAW yang mengharamkan ketaatan dalam berbuat maksiat, yang dalam kasus ini adalah mentaati perintah penjual khamr untuk membayar tagihan utang khamr tersebut, sesuai sabda Rasulullah SAW :

لاَ طاَعَةَ فِي الْمَعْصِيَةِ، إِنَّماَ الطاَّعَةُ فِي الْمَعْرُوْفِ. رواه البخاري ومسلم

“Tidak ada ketaatan dalam berbuat maksiat, sesungguhnya ketaatan itu hanyalah dalam hal yang ma’ruf (sesuai syariah).” (HR. Bukhari, Fathul Bārī, 12/233; Muslim, no 1840).

Kesimpulannya, telah terjadi ta’ārudh al-hukm (kontradiksi hukum) antara membayar utang yang wajib hukumnya, dengan jual beli khamr yang haram hukumnya. Dalam kaidah ushul fiqih yang sudah kami paparkan di atas, jika terdapat kontradiksi yang haram dengan yang wajib, maka keduanya sama-sama kuat, kecuali ada dalil murrajih, yaitu dalil yang menguatkan salah satunya. Dalam hal ini telah terdapat dalil murajjih yang menguatkan hukum haram, sehingga kesimpulannya pembeli khamr itu haram hukumnya membayar tagihan dari pedagang khamr. Wallāhu a’lam.

 

Jakarta, 24 Agustus 2024
Muhammad Shiddiq Al-Jawi