Home Fiqih Fiqih Muamalah MEMBELI BARANG TARIKAN LEASING DAN BARANG CURIAN

MEMBELI BARANG TARIKAN LEASING DAN BARANG CURIAN

320

Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi

Tanya :
Assalamualaikum wa rahmatullah wa barakatuh.
Ustadz, mohon ijin bertanya bagaimana hukum jual beli barang dari sumber haram seperti barang tarikan leasing dan barang curian? Syukron jazilan (Agus Salim, Yogyakarta).

Jawab :

Wa alaikumus salam wr wb.

Haram hukumnya menjual belikan barang tarikan leasing, karena barang itu bukan hak milik pihak leasing, melainkan hak milik pihak customer / pembeli (lessee).

Dalam Syariat Islam, barang yang dibeli sebenarnya sudah menjadi hak milik pembeli, dengan adanya ijab dan kabul dalam akad jual beli, walaupun barang itu dibeli secara angsuran dan belum lunas. Ini berlaku untuk barang-barang yang tidak ditakar, tidak ditimbang dan tidak dihitung, seperti rumah, tanah, kendaraan, dan sebagainya. Adapun barang-barang yang ditakar, ditimbang dan dihitung, seperti gandum, beras, minyak goreng, dan sebagainya, maka selain sudah terjadinya akad jual beli, ditambah satu syarat lagi agar terwujud kepemilikan sempurna bagi pembeli, yaitu adanya penerimaan barang (al qabdhu) oleh pembeli. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, II/291).

Jadi kalau penjual (pihak leasing) menarik paksa barang itu dengan alasan gagal bayar dari pihak pembeli, lalu menjual barang itu, artinya pihak leasing telah menjual barang yang bukan miliknya.

Padahal menjual barang yang bukan hak milik adalah haram dalam Syariah Islam, sesuai sabda Rasulullah SAW :

لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ

“Janganlah kamu menjual apa-apa yang tidak ada di sisimu.” (Arab : laa tabi’ maa laysa ‘indaka) (HR Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Haram juga jual beli barang curian, berdasarkan keumuman dalil hadits tersebut, dan juga berdasarkan dalil khusus yang mengharamkan jual beli barang curian.

Dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW berkata :

مَن اشترى سَرِقَةً ، وهو يعلمُ أنها سَرِقَةٌ ، فقد شارك في عارِها وإِثْمِها

“Barangsiapa membeli barang curian, sedang dia tahu bahwa barang itu adalah barang curian, maka ia bersekutu dalam aib dan dosanya.” (HR. Al-Hakim dan Al-Baihaqi. Hadits Shahih. Lihat Imam As-Suyuthi, Al-Jami’ush Shaghir, Juz II, hal. 164; Lihat juga Yusuf Al-Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam (terj.), hal. 363).

Hadits di atas dengan jelas menunjukkan haramnya membeli barang curian.

Namun hadits tersebut menunjukkan bahwa keharaman itu ada jika pihak pembeli mengetahui bahwa barang yang dibelinya adalah barang curian.

Mafhum mukhalafah (pemahaman sebaliknya) dari ungkapan ini ialah, jika pembeli tidak mengetahui, maka dia tidak turut berdosa. Namun andaikata pihak pembeli tidak mengetahuinya, pihak penjual tetap berdosa. Sebab penjual tersebut berarti telah menjual sesuatu yang sebenarnya bukan hak miliknya dan ini telah diharamkan dalam hadits yang kami sampaikan sebelumnya.

Wallahu a’lam.

Yogyakarta, 18 Juni 2022

M. Shiddiq Al Jawi