Mencuatnya kembali wacana legalisasi ganja meski hanya untuk kepentingan medis dinilai sebagai bagian dari upaya propaganda yang harus diwaspadai. “Ini harus kita waspadai, upaya-upaya propaganda ini,” ujar Pakar Fikih Kontemporer KH Muhammad Shiddiq Al Jawi dalam Kajian Fikih: Ganja Halal, Adakah? di kanal YouTube Khilafah Channel Reborn, Jumat (15/7/2022).
Dengan kata lain, apabila nanti tiba-tiba sudah masuk ke dalam tahapan legislasi di DPR, upaya pencegahan dari masyarakat bisa dibilang sudah terlambat. “Ketika disahkan (legalisasi ganja) kita baru protes. Nah itu sudah terlambat,” tandasnya.
Maka itu, lanjut Kiai Shiddiq, sejak sekarang umat harus memiliki kesadaran dengan senantiasa waspada serta menolak upaya-upaya legalisasi narkotika golongan satu atau yang paling berbahaya karena daya adiktifnya sangat tinggi tersebut.
Di sisi lain, ia mengibaratkan upaya melegalisasi ganja sebagai pisau bermata dua. “Ada aspek manfaatnya tapi aspek mudaratnya itu juga ada yaitu ketika terjadi penyalahgunaan yang tidak terkontrol,” terangnya.
Sehingga kalaupun memang membutuhkan pengobatan, ia memandang, lebih baik mencari obat medis alternatif lain selain ganja. “Walaupun secara medis mungkin bisa dengan ganja itu dijadikan obat medis, tetapi kemudaratannya akan sangat besar nanti,” ucap Kiai Shiddiq.
Perlu diketahui wacana legalisasi ganja untuk medis kembali muncul setelah Santi Warastuti, warga Sleman, Yogyakarta, menyampaikan harapan legalisasi ganja medis di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta beberapa waktu lalu, untuk buah hatinya yang tengah sakit.
Santi membawa tulisan berisi tuntutan kepada Mahkamah Konstitusi di tengah car free day (CFD), Jakarta Pusat, Ahad, 26 Juni 2022, yang mendesak adanya legalisasi ganja. “Tolong anakku butuh ganja medis,” tulis Santi pada poster yang dibentangkannya.
Merespons itu, seorang pejabat publik yang kemunculannya sangat jarang pun seketika meminta Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk segera mengeluarkan fatwa legalisasi ganja medis.
Ialah KH Ma’ruf Amin yang meski mengatakan ganja telah dilarang di dalam Islam, namun berkenan kesehatan, Wakil Presiden tersebut meminta MUI untuk membuat fatwa baru.
Haram
Terlepas lebih dari 360 kandungan senyawa di dalamnya, kadar zat yang relatif tinggi yakni tetrahydrocannabinol (THC) dan bersifat halusinogen atau menurut Kiai Shiddiq, memiliki efek psikotropika, keharaman ganja tetap mutlak.
“Artinya baik timbul bahaya atau bahayanya itu bisa dikontrol itu sebenarnya penggunaan ganja itu tetap haram hukumnya,” tegasnya.
Bahkan dengan jumlah sedikit sebagai penyedap makanan yang tidak menimbulkan bahaya atau efek negatif bagi yang mengonsumsinya sekalipun.
“Ganja hukumnya haram tanpa melihat lagi apakah menimbulkan efek negatif atau tidak bagi penggunanya,” tegas Kiai Shiddiq, sebagaimana dalil hadits dari Ummu Salamah ra, yang berkata,
‘Bahwa Nabi SAW telah melarang setiap zat yang memabukkan (muskir) dan setiap zat yang melemahkan (muftir)’ (HR Abu Dawud no. 3.686 di Sunan Abu Dawud dan Ahmad no. 26.676, di kitab Al-Musnad).
Meski sebagian ulama menilai hadits tersebut dha’if (lemah), misalnya penulis kitab ‘Aunul Ma’bud dan Syekh Syu’aib al-Arna`uth, namun Kiai Shiddiq justru lebih condong kepada Imam Ibnu Hajar al-Asqalani di dalam kitab Fathul Bari, Juz 10 hlm. 47, yang menghukumi hadits sebagai hadits hasan.
“Artinya hadits ini layak sebagai sumber hukum untuk keharaman setiap zat yang memabukkan dan melemahkan,” sambungnya.
Sementara, istilah muftir, telah dijelaskan oleh para ulama semisal Syekh Rawwas Qal’ah Jie, di dalam kitab Mu’jam Lughah al-Fuqaha, hlm. 342, adalah setiap zat yang dapat menimbulkan rasa tenang/rileks (istirkhaa`) dan lemah/lemas (futuur) pada tubuh manusia.
Maka itu, sekali lagi Kiai Shiddiq menegaskan, bahwa hadits dari Ummu Salamah tadi bisa dijadikan dalil mengharamkan ganja.
Lebih jauh lagi, kata Kiai Shiddiq lebih lanjut, kendati terdapat khilafiah di antara para ulama tentang keharaman ganja, namun seperti halnya keterangan dari Syekh As-Saharanfuri dalam kitab Badzlul Majhud fi Halli Abi Dawud, Juz 16, hlm. 22, keharaman ganja justru bersifat mutlak atau umum.
“Kemutlakan hukum ini disimpulkan dari nash hadits Ummu Salamah yang bersifat mutlak pula,” jelasnya.
Maknanya, hadits ini hanya menjelaskan bahwa Nabi SAW telah melarang setiap zat yang melemahkan (mufattir), tanpa menjelaskan batasannya apakah yang dilarang itu sedikit atau banyak.
“Maka dari itu, keharaman ganja ini adalah mutlak, sesuai nash hadits yang mutlak pula,” pungkasnya, seraya menukil kaidah ushul fiqh yang menetapkan, ‘Dalil yang mutlak tetap dalam kemutlakannya, selama tidak terdapat dalil yang menunjukkan batasan’.[] Zainul Krian