Mediaumat.id – Pakar Fikih Kontemporer sekaligus Founder Institut Muamalah Indonesia KH Muhammad Shiddiq al-Jawi menyinggung soal kualat atas tindakan siapa pun yang mempermasalahkan khilafah.
“Saya berani mengatakan sungguh kualat siapa pun juga, yang berani mempersoalkan khilafah,” ujarnya dalam Kajian Fikih: Khilafah Ajaran Islam, Pengajian Khilafah Kok Dibubarkan? di kanal YouTube Khilafah Channel Reborn, Jumat (23/6/2023).
Pasalnya, sambung Kiai Shiddiq, siapa saja yang berani mempersoalkan khilafah, berarti pula mempersoalkan empat sumber hukum Islam yang utama yang menjadi rujukan, yaitu Al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas.
Seperti dipahami bersama, sumber-sunber hukum Islam tersebut merupakan petunjuk penting bagi kaum Muslim dalam melakukan segala aktivitas di dunia, mulai level individu, keluarga, masyarakat, hingga bernegara.
Sedangkan khilafah adalah bagian dari ajaran Islam di bidang sistem pemerintahan. “Gawat itu kalau berani menolak itu, menolak khilafah. Wong itu jelas-jelas ajaran Islam,” tegasnya.
Lima Alasan
Di sisi lain, kata Kiai Shiddiq, sesuatu bisa disebut sebagai ajaran Islam setidaknya karena lima alasan.
“Yang pertama itu adalah ada istilah yang menyebut ajaran itu, yang kedua itu ada hukumnya, ketiga itu ada dalilnya, keempat ada pengamalannya khususnya oleh Rasulullah dan para shahabat, dan kelima itu ada ijtihad ulama mengenai ajaran itu,” urainya.
Di dalam Al-Qur’an surah al-Baqarah ayat ke-30, kata Kiai Shiddiq mengawali, Allah SWT telah berfirman yang maknanya, sesungguhnya Dia akan menjadikan seorang khalifah di muka bumi.
“Ayat ini adalah dasar di dalam pengangkatan seorang khalifah atau seorang imam,” ucap Kiai Shiddiq, mengutip keterangan di dalam kitab Tafsir al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, atau biasa dikenal Tafsir al-Qurtubi, tentang QS al-Baqarah: 30 sebagai titik tolak tentang fikih siyasah.
Artinya, ayat ini menjadi dasar dalam persoalan pengangkatan para khalifah pasca wafatnya Rasulullah SAW. “Ini ada ayatnya loh. Kenapa kok disoal?” lontarnya, kembali menyayangkan.
Dalam satu riwayat Imam Ahmad, Nabi SAW menerangkan bahwa kaum Muslim akan mengalami lima fase kehidupan sebelum datangnya Hari Kiamat besar.
Fase pasca kejahiliahan yang menyelimuti kehidupan bumi, yaitu era Rasulullah SAW. Setelah itu, kekhilafahan yang mengikuti manhaj kenabian. Lalu kekuasaan yang zalim. Kemudian diktator, hingga berdirinya kembali kekhilafahan yang mengikuti manhaj kenabian.
Berikutnya, dari segi hukum dan dalil, lanjut Kiai Shiddiq, para ulama telah menyebutnya fardhu.
“Bahwa imam mazhab yang empat, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad sepakat bahwa imamah atau khilafah itu adalah fardhu, yaitu wajib,” paparnya, mengutip kitab Al-Fiqh ala al-Madzahib al-Arba’ah, Juz V, hlm. 416, karya Syekh Abdul Rahman al-Jaziri.
Kiai Shiddiq juga memaparkan satu kitab yang menurutnya bagus. Yakni kitab Al-Imamah al-‘Uzhma ‘inda Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah (1987), merupakan karya seorang ulama besar asal Makkah, Prof. Dr. Abdullah bin Umar Ad-Dumaiji.
“Di situ diuraikan dalil-dalilnya mulai dari ayat-ayat Qur’an, hadits-hadits Nabi, ijma’ shahabat, lalu ada dalil kaidah syar’iyah yang intinya menunjukkan wajibnya khilafah,” sebutnya.
Lalu alasan khilafah adalah bagian dari ajaran Islam selanjutnya, ada pengamalan sebagaimana yang telah ditempuh oleh Rasulullah SAW dan para shahabatnya.
“Khalifah Abu Bakar as-Siddiq itu mengamalkan konsep khilafah, bukan mengamalkan sistem republik, bukan mengamalkan sistem kerajaan,” bebernya, yang juga menyinggung kepemimpinan para Khulafaur Rasyidin.
Terakhir, adanya ijtihad mengenai khilafah yang menjadikannya sebagai bagian dari ajaran Islam.
Terkait hal ini, ia pun menyampaikan bahwa Imam al-Mawardi telah menulis di dalam kitabnya, Al-Ahkamul al-Shultaniyah. Begitu pula dengan Imam Abi Ya’la Muhammad bin al-Husain al-Farra’ dalam kitabnya yang berjudul sama.
“Ada kitab lagi judulnya Ma’atsir al-Inafah fi Ma’alim al-Khilafah, karya al-Qalqasyandi,” imbuhnya.
Berikutnya, kitab Ghiyatsul Umam fit-Tiyatsidh Dhulam, dengan penulisnya, Imam Haramain Abul Ma’ali al-Juwaini yang bermazhab Syafi’i.
Dengan demikian, kata Kiai Shiddiq, dari kelima tolok ukur tersebut, kewajiban penegakan khilafah masuk semua. “Kalau kita ukur yang namanya khilafah masuk semua,” ucapnya.
Karenanya, kalau misalnya ada kiai, ulama yang ikut dalam kelompok yang mempermasalahkan khilafah, ia meminta agar ditunjukkan kitab rujukan yang mengharamkan atau paling tidak, keterangan yang menyebutkan khilafah bukanlah ajaran Islam.
“Tolong tunjukkan, dan saya yakin Anda tidak akan bisa membuktikan bahwa khilafah itu adalah bukan ajaran Islam,” pungkasnya.[] Zainul Krian