Pakar Fikih Kontemporer KH Muhammad Shiddiq Al Jawi menegaskan, seorang khalifah yang dibaiat harus mempunyai kekuasaan (as-sulthan) dan menerapkan hukum syara’ di berbagai aspek kehidupan.
“Jadi, khalifah yang dibaiat haruslah mempunyai kekuasaan (as-sulthan) dan menerapkan hukum-hukum syara’ di berbagai aspek kehidupan, seperti sistem pemerintahan, sistem ekonomi, sistem pendidikan, politik luar negeri, dan sebagainya,” tegasnya kepada Mediaumat.id, Kamis (09/06/2022).
Kiai Shiddiq menerangkan definisi khalifah dengan menukil pendapat Imam Abdul Qadim Zallum dalam kitabnya Nizhamul Hukmi fi al-Islam pada bab Al-Khalifah halaman 49.
اَلْخَلِيْفَةُ هُوَ الَّذِيْ يَنُوْبُ عَنِ اْلأُمَّةِ فِي الْحُكْمِ وَالسُّلْطَانِ وَفِيْ تَنْفِيْذِ أَحْكَامِ الشَّرْعِ
“Khalifah adalah orang yang mewakili umat Islam dalam urusan kekuasaan atau pemerintahan dan penerapan hukum-hukum syara’.”
“Khalifah yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah khalifah dalam definisi syar’i. Maka kalau seseorang diangkat sebagai khalifah, tetapi tidak mempunyai kekuasaan dan tidak melaksanakan hukum-hukum syara, sebenarnya dia bukanlah khalifah dalam pengertian syar’i,” tandasnya.
Menurutnya, khalifah yang dibaiat haruslah mempunyai kekuasaan (as-sulthan) dan menerapkan hukum-hukum syara’ di berbagai aspek kehidupan, seperti sistem pemerintahan, sistem ekonomi, sistem pendidikan, politik luar negeri, dan sebagainya.
“Maka, membaiat khalifah tanpa kekuasaan atau tanpa penerapan syariah kepada masyarakat hukumnya tidak sah menurut syara’, karena telah menyalahi nash-nash syara’ yang menerangkan kewenangan (shalahiyat) khalifah dalam kekuasaan dan penerapan syariah dalam segala bidang kehidupan,” lugasnya.
Baiat
Founder Institut Muamalah Indonesia tersebut membenarkan bahwa wajib hukumnya setiap Muslim mempunyai baiat di lehernya dan jika tidak mempunyai baiat kepada khalifah kemudian mati, maka matinya adalah mati jahiliah.
Ia mengutip sabda Rasulullah ﷺ,
مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِيْ عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
Barang siapa yang mati sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada khalifah), maka matinya adalah mati jahiliah (yaitu mati dalam kondisi berdosa, bukan mati kafir (HR Muslim).
“Ini tidak berarti bahwa orang boleh membaiat khalifah dengan sembarangan tanpa memperhatikan syarat-syarat syar’i atau berbagai wewenang (shalahiyat) yang dimiliki khalifah, yaitu menerapkan syariah Islam dalam segala bidang kehidupan, misalnya di bidang pemerintahan, ekonomi, pendidikan, pidana (‘uquubaat), perdata (muamalat), sosial, budaya, hubungan internasional, dan sebagainya,” beber Kiai Shiddiq.
Ia menerangkan, pembaiatan tersebut sama dengan shalat yang hukumnya wajib hukumnya atas setiap Muslim. Kalau seorang Muslim tidak mau shalat, maka dia diancam oleh Allah ﷻ akan masuk neraka (Saqar), seperti yang termaktub di dalam Al-Qur’an surah Al-Muddatstsir ayat 42.
“Tetapi, tidak berarti seorang Muslim boleh shalat secara sembarangan, misalnya shalat tanpa memenuhi syarat-syarat sahnya shalat, misalnya shalat tanpa menghadap kiblat, tanpa menutup aurat, tanpa wudhu, dan sebagainya,” ujarnya.
Menegakkan Khilafah
Kiai Shiddiq menyebutkan ada dua kekeliruan pemahaman. Pertama, melaksanakan hukum syara’ tanpa memperhatikan syarat-syaratnya. Kedua, yang tak kalah fatalnya adalah tidak membedakan antara mengangkat khalifah (nashbul khalifah) dengan menegakkan khilafah (iqamatul khilafah).
Ia menegaskan, kedua hal itu berbeda karena mengangkat khalifah tidak otomatis menegakkan sistem khilafah, ketika khilafahnya sendiri tidak ada seperti kondisi sekarang pasca-runtuhnya khilafah di Turki tahun 1924. “Tetapi menegakkan khilafah (iqamatul khilafah), secara otomatis akan berimplikasi adanya keharusan pengangkatan khalifah (nashbul khalifah),” jelasnya.
“Nah, masalah yang dihadapi umat Islam setelah hancurnya negara khilafah di Turki tahun 1924, justru adalah menegakkan khilafah (iqamatul khilafah), bukan sekadar mengangkat khalifah (nashbul khalifah),” ungkapnya.
Kiai Shiddiq menjelaskan, jika pemahaman dasar bahwa masalah yang perlu dipecahkan sekadar mengangkat khalifah (nashbul khalifah), tanpa memperhatikan apakah negara khilafahnya sendiri sudah ada atau tidak ada sama sekali, di sinilah pangkal kekeliruannya. “Kekeliruan yang parah ini antara lain bersumber dari buku berjudul Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah karya Wali Al-Fattah,” urainya lebih lanjut.
Kiai Shiddiq menyebutkan, di dalam kitab Nizhamul Hukmi fi al-Islam karya Syekh Abdul Qadim Zallum menerangkan bahwa untuk mengangkat khalifah (nashbul khalifah) wajib dipenuhi 7 (tujuh) syarat. “Tujuh syarat yang harus melekat pada pribadi (person) khalifah, yaitu seorang khalifah itu wajib Muslim, laki-laki, balig, berakal, adil (tidak fasik), merdeka (bukan budak), dan mampu,” sebutnya.
Sedangkan, beber Kiai Shiddiq, untuk menegakkan khilafah (iqamatul khilafah), harus dipenuhi empat syarat, seperti disampaikan oleh Syekh Abdul Qadim Zallum dalam kitab Nizhamul Hukmi fi Al-Islam halaman 59-60.
Pertama, khalifah yang dibaiat wajib memenuhi ketujuh syarat baiat in’iqad (yaitu ketujuh syarat wajib yang telah disebutkan di atas). Kedua, negeri (al-balad) tempat khalifah itu dibaiat wajib mempunyai kekuasaan yang mandiri (sulthanan dzatiyan), bukan di bawah kendali orang kafir atau negara kafir.
Ketiga, keamanan (al-amaan) negeri itu berupa keamanan Islam, yakni keamanan negeri itu baik dalam negeri maupun luar negeri, sepenuhnya berada di tangan kaum Muslim. Keempat, khalifah itu wajib segera menerapkan hukum-hukum syara’ di dalam negeri, dan wajib segera melaksanakan tugas mengemban dakwah Islam ke luar negeri.
“Ini penjelasan secara garis besar saja. Untuk mengetahui lebih detailnya, termasuk segala dalil-dalilnya, silakan merujuk pada kitab Nizhamul Hukmi fi al-Islam karya Syekh Abdul Qadim Zallum. Semoga Allah senantiasa memberikan petunjuk kepada para hamba-Nya yang bertakwa kepada-Nya,” pungkasnya.[] Reni Tri Yuli Setiawati
Sumber : https://mediaumat.id/khalifah-yang-dibaiat-harus-punya-kekuasaan-dan-terapkan-hukum-syara/